Bintang Lain

Alenia terbangun karena teriakan Johan, anak tetangga sebelah yang menangis memanggil mamanya. Ia mengucek mata dan tak mendapati suami yang tadinya tidur di sisi.

Dari cela pintu kamar ia melihat sosok suaminya itu sedang duduk di atas karpet yang tak lagi halus. Alenia menggelung rambut seadanya dan keluar.

"Pagi, Al." Davis menyapa, melirik sekilas sosok isterinya dan kembali menekuni ponselnya.

"Pagi, Dav." Alenia membalas.

"Masakin sarden, ya?" pinta Davis.

Alenia mengangguk, ia memang senggang hingga nanti siang, ia masih sift dua. Jadi dipastikan ia bisa memasak dan mengurus rumah.

Ikan sarden kalengan itu ia olah menjadi sarapan lezat untuk Davis. Ia tak perlu memakan bubur bawang lagi paling tidak sampai dua minggu ke depan, taksirnya, tetapi jika Ivy memangkas uang isterinya bisa dipastikan ia akan memakan bubur bawang lagi lebih lama.

Pesan dari Ivy sudah masuk ke dalam ponselnya sejak bangun, adik perempuan satu-satunya itu alan datang dan sudah dalam perjalanan.

"Ivy sudah di jalan," kata Davis memberitahu.

"Sama mama?" tanya Alenia.

"Sendirian."

Alenia urung menambahkan liter beras pada panci penanak nasi listrik. Ia segera mengolah sarden kaleng selagi beras ditanak sementara Davis beranjak dan bergegas membersihkan diri.

Gadis belasan tahun yang turun dari angkutan umum itu berdecak kesal, ia berharap kakaknya membelikan sepeda motor biar tak lagi berdesak-desakan seperti tadi.

Tangannya merapikan rambut hitam lurusnya sambil berjalan ke arah halaman parkir flat kakaknya. Ia mendesah lagi saat tahu harus menaiki puluhan anak tangga agar sampai ke lantai tiga. Menghentakkan kedua kakinya saat sampai di anak tangga teratas, segera ia melangkah dan berhenti di depan pintu flat kakaknya.

"Sudah datang, masuk, yuk!" ajak Alenia.

"Hhh, capek sekali datang ke sini! Kenapa sih enggak ditransfer aja uangnya, Kak?" tanya Ivy yang memghela napasnya masuk.

"Kakakmu mau ngomong bentar, dia masih mandi." Alenia memberitahu Ivy, adik iparnya.

Ivy melenggang ke arah dapur, membuka lemari es dan memanyunkan bibirnya. Alenia menata meja makan untuk sarapan bersama kedua sahabatnya.

"Apa enggak ada teh kemasan? Jus jeruk atau apa gitu?" tanya Ivy kecewa.

"Adanya es teh manis saja, Vy." Alenia menjawab.

"Payah!" gerutu Ivy menutup pintu lemari es cukup kencang.

"Sudah sarapan, Vy? Bareng, yuk!" ajak Alenia.

"Enggak deh, Kak. Ivy udah dibeliin Mama rendang tadi." Ivy mengambil air minum kemasan dingin.

Alenia hanya tersenyum. Suaminya keluar dari kamar sudah rapi dan wangi, ia melihat adik kandungnya itu duduk di atas karpet melihat televisi. Davis membiarkannya, ia memilih sarapan bersama sang Isteri sebelum memberikan wejangan pada adiknya itu.

"Kak, mana—" kata Ivy.

"Sebentar,Vy kakak lagi makan." Davis memutus ucapan Ivy dan melanjutkan sarapannya.

Alenia membawa ke bak cuci piring semua wadah bekas sarapan. Davis yang sudah memakai pakaian rapi keluar dari kamar. Ia duduk di sisi Ivy yang mengulurkan tangannya.

"Vy, kakak mau ngomong sama kamu. Kakak 'kan belum kerja, hanya Kak Alenia saja yang bekerja, dipastikan kami makan pun kekurangan, kamu malah minta uang sama Kak Alenia?" tanya Davis yang memberi pengertian pada adik satu-satunya.

"Tasku udah jebol Kak, udah bulukan malulah sama temen sekolah aku!" Ivy menjawab dengan nada tak suka.

"Vy, kamu itu sekolah apa mau fashion show? Tas kamu 'kan banyak, Vy? Masa jebol semua?" tanya Davis lagi.

"Kak mana uangnya?" tanya Ivy pada Alenia.

"Yang sopan kamu sama yang lebih tua!"

"Sudahlah, Kak, mana uangnya?" tanya Ivy lagi pada Alenia.

"Bulan depan saja ya, Vy beli tasnya? Uang kakak nipis banget bulan ini," jawab Alenia akhirnya.

"Ya sudah, aku telepon Mama saja," kata Ivy enteng sambil mengeluarkan ponselnya.

"Vy, kamu kok enggak nurut sih omongan kakak?" tanya Davis yang terpancing.

"Kakak itu sudah diijinin nikah sama dia! Tahu 'kan Mama enggak suka sama dia! Sejak nikah sama dia, Kakak jadi jarang ngirim uang! Mama terpaksa kerja, dan lihat rejeki kakak juga jadi seret sejak nikah sama dia!" Ivy mengeluarkan semua yang ia pikirkan pada kakaknya.

Davis mengangkat tangannya akan mumukul Ivy, ditahan Alenia yang menatapnya terluka.

"Apa?? Mau nampar Ivy?? Lihat 'kan, Kakak juga jadi gini itu semua karena pengaruh dia!!"

"Ivy!!"

"Pantas deh kalian enggak punya anak!" Ivy masih meneruskan ucapannya yang tak mengenakkan hati.

Alenia yang tak tahan mendengar ocehan Ivy yang merembet ke mana-mana. Ia masuk ke dalam kamar dan membuka dompetnya, mengeluarkan sejumlah uang yang diminta Ivy.

Ia mendekati dua orang yang masih berdebat di ruang tamunya yang sederhana. Mata Ivy berbinar saat disodori uang yang diinginkan dari Alenia.

"Kok kamu berikan dia uang?" tanya

Davis pada Alenia.

"Aku tak tahan, Dav. Kalian berdebat semakin sengit dan malu didengar tetangga." Alenia mengutarakan keberatannya.

"Sini! Kakak yang anter kamu beli tas, beli di mana ayo kakak antar!" Davis merebut uang yang diberikan Alenia.

"Enggak mau! Ivy bisa sendiri! Mana uangnya!" Ivy hendak merebut uang yang diambil oleh Davis.

"Kalau kamu mau beli tas, ayo sama kakak sekalian kakak keluar."

"Siniin uangnya, Kak!" Ivy merengek ingin uangnya dikembalikan. Akan tetapi Davis tak menggubrisnya, ia berpamitan pada isterinya dan mengajak Ivy keluar dari rumah.

Alenia mengelus kedua lengannya sendiri, usai menutup pintu rumahnya. Ia berpikir keras bagaimana kehidupannya ke depan yang dipastikan akan semakin kekurangan.

"Aku harus cari kerja sampingan. Tapi apa? Waktuku sudah tersita di Anugerah, sementara Davis ... mana mau dia kerja entengan gitu?"

Alenia menghabiskan waktunya dengan membersihkan bak cuci piring, setelah usai ia melihat jam dinding. Suaminya belum kembali bersama adiknya hampir jam makan siang.

-

Marisa Mall hari ini ramai sekali, Ivy yang tak sekolah dikarenakan ada latihan ujian untuk kakak kelasnya terang saja mempunyai waktu luang seharian. Ia mengusap peluhnya saat keluar dari sebuah toko yang menjual tas keperluan sekolah.

Tak ada yang diminati oleh Ivy, itu sudah toko ke lima yang didatangi Ivy dan kakaknya.

"Kamu cari yang model gimana sih, Vy? Kok rewel amat, ambil yang mana saja sesuai uang yang diberikan Kak Alenia."

"Tahu sendiri 'kan uang segitu cukup apa dibawa ke Marisa Mall? Tas yang kutaksir udah laku!"

"Kalau kamu mau uang banyak, menabung! Enggak hanya minta saja!"

"Sudah, sudah aku mau ke toko itu dulu!"

"Kakak tunggu sini, capek!" Davis duduk di bangku besi panjang depan sebuah toko di lantai dua, ia mengibas-kibaskan tangannya sambil melihat ke lantai bawah.

Dua orang wanita berblazer oranye dan blus merah muda keluar dari Viridis Kafè sambil mengobrol, mereka terlihat sangat akrab.

Wanita berambut hitam yang di-curly berblazer oranye berpamitan pada wanita berambut hitam di depan Viridis Kafè.

"Jeng, terima kasih loh ya, sempetin ketemuan sama aku."

"Sama-samalah Jeng Andhita (Clarity Of Love) salam buat anaknya ya," kata wanita yang beblus merah muda.

"Iya, sampai jumpa ya, Jeng Manda." Wanita yang bernama Andhita itu berpamitan layaknya wanita sosialita lainnya.

Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan hendak pergi dari depan Viridis Kafe namun ia terkejut oleh sosok pria yang kemarin datang ke Emerald Two melamar pekerjaan.

"Mas Davis ya? Yang kemarin ngelamar kerja di Emerald Two?" tanya seorang wanita yang familiar di mata Davis.

"Ibu yang kemarin kecopetan?" tanya Davis memastikan.

"Jangan panggil ibu, panggil saja Manda, usia kita enggak beda jauh kok." Manda mengulurkan tangannya pada Davis.

"Oh, ya Bu, eh, Manda." Davis menerima uluran tangan Manda yang berdandan natural.

"Sedang apa di sini? Lamar kerja juga?" tanya Manda.

"Tidak, nganterin-" kata Davis yang terpotong.

"Kak! Enggak ada yang cocok tasnya, harganya lebih dari dua ratus ribu, paling murah seratus sembilan pulub ribu!" Ivy keluar dari toko dan langsung berkeluh kesah pada kakaknya.

"Beli di pasar tradisional aja kalo gitu, Vy." Davis menawar.

"Dia anaknya, Mas?" tanya Manda yang melihat Ivy.

"Adik tunggal, tepatnya." Davis menjelaskan.

"Dia siapa Kak? Pacar Kakak?" tanya Ivy.

"Hush! Ngaco kamu! Dia ini Ivy, adikku." Davis menjelaskan pada Manda dan melihat Ivy tajam.

"Manda," kata Manda yang mengulurkan tangannya pada Ivy.

"Ivy, Kak gimana donk?" tanya Ivy yang kesal.

"E, Vy beli di pasar tradisional saja yuk!" ajak Davis.

"Duh, Kak kakiku sakit ..." keluh Ivy yang justru memilih duduk di bangku.

"Beli apa?" tanya Manda menengahi perdebatan mereka.

"E, beli tas." Ivy mejawab cepat.

"Tapi uangnya sedikit, kurang banyak!" sentak Ivy sewot memandang kakaknya.

"Ayo ikut Kak Manda kamu mau tas yang mana?" tanya Manda mengajak Ivy masuk ke dalam toko besar menjual tas.

"Enggak usah! Kami mau ke pasar tradisional saja." Davis menyegah niat Manda.

"Uangnya kurang ...."

"Kak Manda belikan, kamu mau yang mana tunjuk aja."

"Beneran?? Asiik!" Ivy meraih tangan Manda dan memeluknya erat berjalan ke dalam toko yang di mana ia keluar.

Davis hanya melongo melihat polah adiknya yang matre. Ia merasa tak enak sekali pada Manda yang baru saja berkenalan sudah membelikan tas untuk Ivy.