Alenia perlu membeli beberapa bahan makanan yang habis di toko kelontong Ci Memey. Tetapi, karena toko yang biasa didatangi itu tutup, akhirnya memutuskan untuk keluar dari kampung dekat flat, ke minimarket yang terkenal dengan selebaran promo.
Cukup jauh, tetapi Alenia tak mempermasalahkannya, lagi pula ia sendirian di rumah. Beberapa tetangga di kampung yang mengenalnya sekilas, menyapanya ramah, mempertanyakan kenapa tak melihatnya pergi bekerja.
"Mbak sudah enggak kerja lagi ya? Biasanya lihat Mbak berangkat atau pulang lewat sini," kata tetangga memakai daster kuning sedang menyuapi anaknya dalam gendongan.
"Sudah tidak kerja lagi, Mbak. Suami saya melarang kerja lagi, dulu dilecehkan di bus sama preman." Alenia menerangkan. Matanya tak lepas dari bayi perempuan berusia sembilan bulan yang sedang digendong ibunya itu.
"Wah itu preman kurang menyan kayaknya, kurang ajar banget lecehin wanita baik-baik macam Mbak."
Tetangga itu sepertinya tersulut emosi mendengar cerita Alenia.
"Oh ya, saya mau ke minimarket di ujung dulu, permisi." Alenia berpamitan.
"Oh ya, Mbak silakan."
Alenia melanjutkan langkahnya kembali. Tak hanya satu tetangga yang menyapanya, meski ia tak hapal satu per satu nama mereka, tetapi ia hapal wajah setiap orang yang sudah ramah padanya.
Hanya perlu berjalan lurus menyusuri kampung dan berbelok ke kanan jika sudah sampai jalan raya. Ada beberapa mobil dan sejumlah motor matic yang terparkir di parkiran minimarket. Aroma kebab yang lezat menggoda selera Alenia.
Sesekali jajan tidak akan membuat uang belanja bulanan yang diberikan Davis habis bukan?
Sebelum ia masuk ke minimarket ia memesan satu porsi kebab, jadi saat ia keluar dari minimarket kebab pesanannya sudah tinggal ambil, karena antri cukup banyak.
Usai Alenia membayar sejumlah barang belanjaannya di kasir, ia keluar dari minimarket dan bertanya apakah pesanannya sudah jadi? Ternyata belum dibuatkan karena masih dalam antrian. Jadilah ia menunggu di bangku depan minimarket yang disediakan.
Aku beli satu apa dua, ya? Davis mau enggak, ya? Kalau kubelikan dia pasti tanya dapat uang dari mana? Nanti dia ngamuk lagi? Kalau dia mau bisa beli sendiri 'kan?
"Boleh saya duduk di sini? Tempat lain penuh," tanya seorang pria yang berwajah teduh tersenyum lembut pada Alenia.
"Silakan." Alenia mempersilakan pria berjas abu-abu itu duduk di kursu kosong di sebelahnya.
"Terima kasih. Menunggu kebab juga?"
"Iya." Alenia menjawab sekenanya.
Ia merasa harus menjaga jarak dengan orang baru kenal, trauma di dekati oleh preman sungguh membuatnya was-was.
Meski pria yang pamit duduk di sebelahnya itu sopan dan tidak ada tampang seperti preman, sama saja dia tetap lelaki asing.
Bola-bola bilyard sudah berpencar di dorong takdir, setiap bola bergerak memgikutinya. Terkadang membelot, ada pula menunggu giliran. Pemain abadi sedang menimbang, bola mana yang masuk atau masih menunggu keajaiban.
"Pak, pesanannya!" seru Abang tukang kebab pada pria yang duduk di sebelah Alenia.
"Saya duluan, sampai jumpa."
Alenia hanya mengangguk mengiyakan. Ia merasa cèngo sesaat mendengar penuturan pria berstelan abu-abu itu padanya.
Apa maksudnya dengan sampai jumpa? Apa dia teman Davis? Aku merasa baru melihat wajahnya kali ini. Sungguh.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya, melihat sekilas wanita yang bertanya-tanya dalam benaknya sendiri, tanpa ia jawab. Ia membawa pulang makanan pesanan kakak iparnya yang sedang hamil.
Pria berambut pirang yang berwajah sama dengannya, meminta sekalian membeli makanan khas Turki untuk isterinya saat pulang.
Alenia sedikit melamun, saat melihat orang yang mirip dengan suaminya dari belakang pulang mengendarai sepeda motor keluar dari minimarket.
Davis selalu pulang malam setiap hari. Aku tidak tahu bagaimana bekerja di kantoran seperti apa, tetapi apakah bosnya tidak kasihan padanya, pergi pagi pulang malam?
Pesanan kebab miliknya selesai, ia membawa pulang makanan itu untuk dimakan di rumah, dan benar dugaannya. Davis belum pulang meski senja sudah hampir memudar berganti langit malam.
Alenia menaruh belanjaannya dari minimarket di atas dapur. Ia duduk di atas karpet tipis depan televisi sambil memakan kebab beliannya.
Ini ternyata enak sekali! Sama rasanya seperti terakhir kali aku dibelikan Davis. Ah, aku jadi kangen Davis. Dav, kapan kita bisa seperti dulu lagi? Setiap hari pulang kerja langsung tidur, seolah terlalu lelah untuk melepaskan kerinduan seharian pergi bekerja.
Ah, besok aku akan besuk Ibu dan bawakan kebab, pasti Ibu suka. Aku juga harus mendengar secara rinci bagaiamana pembunuhan itu terjadi karenanya. Rasanya aku tak menyangka jika Ibu tega menghilangkan nyawa orang lain.
-
Ratna begitu bahagia, tahu kedekatan puteranya dengan Manda. Ia pun menebak jika Manda sudah tergila-gila pada puteranya. Ia menjadi sumringah, selalu tersenyum dan merasa awet muda tanpa kosmetik antiaging mahalnya.
Puterinya pun juga merasakan imbas hubungan kakaknya dengan wanita kaya yang kemungkinan akan menjadi kakak iparnya.
Ivy selalu berhayal jika suatu hari nanti ia mempunyai tas dan sepatu mahal yang akan dipamerkannya pada teman SMA-nya. Gadis belasan tahun itu pun sudah bisa membeli make-up, pakaian dan sepatu setiap sebulan sekali, tentu saja dengan uang pemberian Manda.
Di ruang kamar mamanya, duduk Ratna mengamati perhiasan yang bisa ia beli dari gajinya bekerja. Uang belanjanya tak tersentuh, karena Manda sering membelikan makanan online ke rumah. Jatah uang saku bulanan Ivy pun terkumpul, bisa mentraktir teman sekolahnya di kafe.
"Ma, Kak Davis belum nikah sama Kak Manda aja kita sudah makmur gini," kata Ivy yang masuk ke dalam kamar mamanya.
"Benar, Vy. Mama jadi bisa kumpulin uang buat beli perhiasan, bisa banget dipamerin ke ibu-ibu arisan."
"Lama-lama nanti Kak Manda Ma yang beliin, cincin berlian!"
"Ah, bisa tuh pas ulang tahun Mama saja kalau gitu, 'kan sebentar lagi." Ratna tertawa membayangkan idenya itu akam terwujud segera.
"Eh, tapi Ma. Kak Alenia gimana?" tanyq Ivy.
"Gimana apanya? Ya enggak gimana-gimana, Vy." Ratna menjawab enteng.
"Maksud Ivy, gimana kalau Kak Alenia tahu hubungan mereka?" tanya Ivy cemas.
"Ah, biarin saja, malah bagus dong, biar Davis cepet ceraikan dia. Wanita enggak jelas asal-usulnya, mandul, ah banyak deh kurangnya dia!" Ratna menjelaskan pada puterinya apa saja kekurangan Alenia.
"Iya juga sih, Ma." Ivy mengiyakan.
-
Manda mengantar Davis seperti biasa dan di tempat yang juga seperti biasa, halte bus tempat di mana dulunya sering ia duduki menunggu bus. Manda melajukan mobilnya ke rumah orangtuanya, sementara Davis melangkah pulang ke flat. Ia melirik arlojinya, satu jam lebih cepat dari biasanya ia pulang sejak bekerja di kantor.
Alenia sedang melihat acara TV duduk di atas karpet tipis, ketika Davis membuka pintu rumahnya. Wajah Alenia tampak sedikit terkejut melihat Davis pulang lebih awal dari kemarin-kemarin
Davis memundurkan langkahnya saat Alenia mendekat ingin memeluk. Ia berkata jika tubuhnya lengket sekali dan bau asem jadi ia langsung mandi saja. Davis membuka almari mencari pakaian ganti dan melesat ke dalam kamar mandi.
Di dalam, Davis melepas kemejanya, ia tersenyum melihat bekas cupangan Manda di dada, perut dan dekat miliknya.
Kau nakal sekali, Manda!
Davis menggosok tubuhnya, berharap bekas cupangan Manda menghilang walau sedikit. Tetapi, tak berubah.
Kalau Alenia tahu, jelas dia akan curiga dan marah. Ini cupangan, tak akan masuk akal jika aku bilang ini habis jatuh atau kejedot.