-Lily
Sudah aku putuskan.
Aku sudah menemukan orangnya.
Aku tidak akan melepaskan dia sedetikpun mulai sekarang.
Bagaimanapun, aku tetap merasa bersalah tentang ini. Seharusnya aku menyadarinya sejak dulu.
Dia, selama 5 tahun terakhir selalu mondar-mandir mendatangiku secara random dan aku terlalu egois mengikuti rasa ego bodohku dan terus menunggu, berharap dia yang mulai melakukan pergerakan dan berakhir terus menunggu mengikuti ego itu selama lebih dari 5 tahun.
Itu adalah terakhir kalinya aku akan mengikuti rasa ego yang tidak perlu itu lagi.
Jika aku tahu masa depan akan berjalan seperti ini, mungkin aku akan berusaha mengubahnya agar hal seperti ini tidak terjadi.
Sebelumnya, aku memang mengenalnya. Hanya sebatas mengenalnya dan mengetahui beberapa informasi yang wajar darinya. Selama 5 tahun aku terus perlahan mengenal dirinya. Walau tidak ada perkembangan yang begitu besar, namun itu cukup konsisten.
Dan dalam beberapa hari terakhir, kami berdua sudah sama-sama saling mengenal satu sama lain. Bahkan, apa yang aku lakukan beberapa hari terakhir bersamanya jika di bandingkan dengan 5 tahun sebelumnya itu tidak ada apa-apanya.
Aku sebelumnya pernah memikirkan ini, tentang betapa cepatnya hubungan kami berkembang dalam jangka waktu sesingkat itu. Tetapi aku salah. Hubungan kami sudah berkembang sejak bertahun-tahun yang lalu, hanya saja beberapa hari terakhir kami seperti memakai pendorong super yang membuatnya makin berkembang lebih pesat dari dugaan.
Aku tidak bisa menjelaskan betapa senangnya aku beberapa hari terakhir saat menghabiskan waktu bersamanya. Seperti, hal-hal seperti ini memang hanya datang setidaknya sekali dalam hidupmu.
Hanya saja, selalu saja begini.
Setiap aku mengetahui beberapa fakta penting yang terjadi kepada orang yang aku sayangi selalu saja berakhir seperti ini.
Pada akhirnya, itu memang terjadi karena kesalahanku.
Itu semua terjadi karena ketidakmampuan aku, kelalaian yang sangat bodoh.
Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu, beberapa jam yang lalu, beberapa menit yang lalu, dan beberapa detik saat ini membuatku merasakan syok yang begitu luar biasa.
Pertama, saat tadi pagi aku tanpa sengaja menemukan obat khusus miliknya di rak dapur. Bahkan di situasi itu aku juga bisa terkena serangan jantung juga setelah mengetahui penyakit apa yang sedang dia lawan saat ini.
Kedua, dia yang tiba-tiba mengalami collapse di WC biskop beberapa jam yang lalu. Itu sama seperti sebelumnya, selain membuat jantungku mati langkah untuk berdetak, aku beruntung membawa obat yang aku temukan itu untuk berjaga-jaga. Firasatku saat itu bekerja dengan baik.
Ketiga, itu baru saja terjadi beberapa detik yang lalu.
Aku tidak ingin terlalu banyak membahasnya.
Bahkan walaupun itu hanya berputar di pikiranku, aku memilih untuk tidak membahasnya sementara waktu ini.
Itu, itu, itu, itu membuatku sangat depresi tentunya. Tapi aku tidak boleh menunjukkan itu sekarang di hadapannya. Lupakan tentangku, kali ini semua adalah tentangnya.
Semua ini tentang Andi.
Tidak, aku tidak bergerak seperti saat ini hanya karena baru saja mendengar fakta yang terjadi tentang kehidupan yang di alaminya selama 27 tahun terakhir. bahkan tanpa mengetahui itu aku akan melakukan hal yang lebih.
Kali ini, aku tidak akan melepaskannya. Aku tidak akan melepaskan orang ini lagi. Tidak ada lagi kesempatan kedua jika kami kembali berpisah dan jaminan kembali bertemu lagi.
Terakhir kali aku menunggu bertemu dengannya, itu hampir memakan waktu satu tahun!
8 Bulan. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan diri terus menunggu kedatangannya di setiap harinya. Karena itu dia, dan keyakinanku yang teguh dia pasti akan datang membuatku terus membangun kepercayaan untuk terus menunggu.
Sebenarnya, dalam jangka waktu itu aku sempat merasa putus asa beberapa kali.
Namun, Andi memang tidak pernah mengecewakan aku.
Maksudku, dalam segi hal yang seperti ini dia tidak pernah mengecewakanku.
Selain itu dia cukup menjengkelkan orangnya. Beberapa hari terakhir selalu menjahiliku tanpa aku sadari. Dia juga sering memulai perang kaki denganku.
Lalu dia membuat pipi kananku memar tadi.
Tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Dia sudah menyembuhkannya dalam waktu singkat setelah itu.
Dan, sekarang..
.. Dan untuk seterusnya.
Aku tidak akan melepas pelukan ini darinya.
Tidak akan pernah sedetikpun—
—!
Apa aku baru menyadari Andi sudah tidak bergerak sejak beberapa detik yang lalu?
Tidak bergerak!
Kenapa aku baru menyadarinya?!
Aku segera memperhatikan Andi, dia terlihat seperti boneka yang tidak bernyawa.
Oh, jangan. Jangan!
Ambulan!
Aku harus menghubungi ambulan!
Aduuuuh, mana nomor ambulan?!
Jangan—masa bodoh, aku akan menelpon ambulan rumah sakit tempatku!
Ayolah, jangan bercanda seperti itu!
Aku segera membaringkan Andi dan langsung mengecek nadi di tangannya.
Nadi..
Ayo, mana denyutmu?
Kenapa tidak berdenyut?!
?!
Aku salah memegang nadinya, aku malah memegang tulang pergelangan tangannya!
Itu berdenyut, itu berdenyut!
Sekarang, kita periksa—
" Khhhhkkkrrkkkk..."
Apa aku baru saja mendengar suara dengkuran tadi?
Tetapi suara itu sangat lembut.
Oke, aku harus mendekati—
"—kkhrkkkk.."
Dia tertidur rupanya.
Ya, aku mengerti. Dia sangat kelelahan.
Dia mengatakan itu tadi.
Dengan jelas.
Betapa lelah dirinya saat ini.
Entah itu kepada kehidupan atau tubuhnya, aku rasa itu merujuk ke keduanya.
[ Halo? Dok? Halo Dokter—]
Aku melupakan yang satu ini.
" Ah, maaf tadi kepencet! Maaf serius!"
Aku lupa Hp ku sejak tadi menelpon Ambulan Rumah Sakit dan itu terus tersambung.
[ Oh, begitu ya. Gak, gak. Gak masalah.]
" Maaf ya sekali lagi, udah ngeganggu waktu tidur kamu."
[ Gak, malam ini waktu jaga saya. Saya sedang main catur dengan security.]
Main catur malam-malam begini? Apa itu tidak membuat kepala mereka makin meledak?
" Oke. Lanjutkan bertugas. Sekali lagi maaf ya."
[ Siap Dok! Sekali lagi, telepon nomor ini jika ada sesuatu yang darurat. Saya 24 jam siaga, terutama jika itu dari Dokter!]
" Iyaa. Malam."
Aku melepas nafas panjang sekaligus lega. Petugas merespon dengan sangat baik walaupun di tengah malam begini. Setidaknya aku tahu mereka akan siaga selama seharian jika menerima panggilan.
Aku menatap Andi yang sedang terbaring lemas di hadapanku.
" Oke. Sekarang, bagaimana cara membawamu kembali ke kamar?"
Apa aku meminta bantuan resepsionis yang tidak pernah tidur di bawah saja?
Ya, aku rasa dia tidak akan curiga jika aku meminta bantuannya.
Dia tidak mungkin berpikir yang tidak-tidak kan?
Ya, mana mungkin dia berpikir seperti itu
Baiklah, kita akan menggunakan ide itu saja.
-Lily
Aku ingin membuat sebuah pengakuan.
Sebuah pengakuan yang cukup blak-blakan.
Ya, pengakuan ini ada kaitannya dengan orang yang baru saja siuman setelah pingsan dan sedang sarapan dengan nafsu makan gila di hadapanku sekarang.
Setidaknya ini akan membuatnya jelas.
Aku menatap wajahnya dalam diam.
Seperti magnet.
Dan aku saat ini tertarik oleh gaya magnet itu.
(Menarik Nafas)
Sebenarnya, sejak awal aku bertemu dengannya.
Sejak bertemu dengan Andi.
Entah kenapa, semua dasar ilmu medis yang sudah aku pelajari sejak dulu tidak ada yang berguna atau sama sekali tidak bisa aku ingat cara penerapannya saat berada di dekatnya.
Seperti...
... Aku mendadak menjadi bodoh ketika berada di dekatnya.
Maksudku, aku bertingkah seperti itu jika dia berada di dekatku. Sejak dulu selalu begitu. Sebuah keinginan dengan hasrat besar yang misterius mendorongku melakukan itu dari dalam tubuh.
Jadi aku memang melakukannya. Dan, aku terus melakukannya hingga itu menjadi kebiasaan sampai sekarang.
Apa ini memang sebuah hal yang wajar?
(Menarik Nafas. Lagi.)
Hmmm.
Aku rasa itu memang sesuatu yang wajar.
Menjadi dan bertingkah konyol di hadapan orang yang sangat spesial bagi diri kita, kemudian berhasil mendapatkan perhatiannya.
Hmmmm, mmm?
Apa dia juga melakukan hal yang serupa terhadapku selama ini?
(Melirik matanya)
Mata kami saling bertatapan.
(Menutup mata beberapa saat)
Aaaaaaaaaaaaaaaahhhh!
Kenapa aku terlalu pede menyimpulkan sesuatu seperti itu?!!!
" Umm, aku mau mengunjungi suatu tempat setelah ini. Li—"
"—Hah?! Mau kemana lagi kamu?! Jangan kemana-mana sampai kamu lepas dari mataku hingga seminggu ke depan!" Aku mendadak memotong kalimatnya dan berbicara dengan nada sedikit tinggi di campur perasaan jengkel.
Tetapi memang benar.
Aku tidak akan melepaskan dia lagi dari pandanganku mulai sekarang.
Ya, aku tidak ingin kehilangan manusia yang sedang menatapku gugup ini. Tidak peduli betapa besar hal yang akan aku lakukan kedepannya aku tidak ingin kehilangan seseorang yang begitu spesial ini.
Tidak peduli, betapa sering dia menatapku dengan tatapan bodohnya itu atau betapa sering dia akan menjahiliku lagi.
Tidak peduli, betapa merepotkan hal yang mungkin akan muncul dari rumahku nanti.
Tidak peduli, jika itu harus membuatku memutuskan hubungan keluarga nanti.
Tidak peduli, jika itu akan merenggut banyak hal dariku nantinya.
Tidak peduli, jika semua hal yang sudah aku raih sejauh ini akan di renggut nantinya.
Itu semua akan sebanding jika semua hal itu berakhir untuk keselamatan dirinya.
Membuat dirinya bertahan.Itu saja sudah cukup bagiku.
Aku ingin dirinya di beri kesempatan lagi.
Aku ingin, agar tuhan memberikan aku juga kesempatan lagi.
Seperti yang pernah dia katakan saat kami mengobrol di larut malam saat itu.
Aku akan mengambil takdir besar yang sudah tuhan siapkan kepadaku sejak dulu. Takdir yang selama ini selalu aku abaikan dan tidak pernah aku ambil.
"... Lily, bisa kamu temanin aku setelah ini?"
"..."
...
...
Takdir besar yang menyatukan dua manusia ke dalam hubungan yang sangat sakral.
(Wajahku perlahan mulai mendidih)
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH, DIA AKHIRNYA MENYEBUT NAMAKUUU!!!!!
Aku membuat keputusan yang tepat.
(Mata mulai merasakan panas)
Kali ini, aku membuat keputusan yang tepat.
A-aah, kenapa ini bisa membuatku menjadi menangis?
" Andi, kamu kenapa?"
Dia tidak mungkin tidak menyadari hal ini.
Entah kenapa, sejak pagi tadi dia selalu mengawasiku. Memperhatikanku begitu detail. Sangat detail bahkan hal-hal bodoh yang aku lakukan seperti salah memakai kaos kaki tadi dia menyadarinya.
Astaga. Kenapa dia bisa menyadari hal kecil seperti itu tadi?
Untuk saat ini, rencana awalku hampir seluruhnya gagal.
Tapi tidak sepenuhnya gagal. Aku berhasil menjauhkan Fadil, namun aku sengaja menghindari Rani beberapa hari terakhir.
Dan aku tiba-tiba mendapati pesan dari suaminya tadi pagi saat sedang sarapan.
Suaminya, mengirimkan sebuah pesan yang sangat singkat.
Pesan, yang aku rasa tidak perlu dia beritahukan kepadaku. itu adalah sesuatu yang sangat privat dalam kehidupannya.
Tapi, jika Fadil ada bersamaku saat ini mungkin dia akan mengatakan ini.
'aku harus tetap tahu apa yang terjadi.'
Aku begitu banyak memprediksi apa yang suami Rani pikirkan saat tiba-tiba mengirimkan pesan itu.
Dia mungkin melihatku sebagai gangguan sejak awal? Atau dia memandangku seperti ngengat yang mengganggu? Bisa jadi dia berpikiran negatif tentang pribadiku dalam kehidupannya selama ini? Ya, sesuatu seperti itu sedang berputar memenuhi otakku.
Oh iya, aku memang sengaja tidak menyimpan nomor suami Rani di dalam kontakku sejak awal. Tetapi aku mengingat jelas nomor miliknya.
Jadi, saat tiba-tiba pesan singkat terkirimkan lalu muncul di hp ku.
+628***67****6
[ Kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Cerai.]
Aku sudah pasti tahu siapa yang pengirim pesan itu.
Kalimatnya terlalu berterus terang bukan?
Apa itu juga termasuk kalimat kasar?
Tidak, aku rasa tidak. Walau aku bukan orang yang berlatar belakang bahasa atau pendidikan di jenjang yang lebih serius seperti orang di sampingku ini, aku tahu itu bukan kalimat yang kasar.
Tapi aku masih tidak mengerti tentang ini.
Tentang alasan kenapa Suami Rani tiba-tiba mengirim pesan itu.
Sebentar...
Apa itu juga termasuk kalimat deklarasi?
Benar juga, jika aku memberi tahu Fadil tentang ini dia pasti akan melakukan salto mendadak di tempat dia berdiri sekarang.
Fadil, benar juga, apa dia juga di kirimkan pesan serupa?
Hmm, sejauh ini Fadil tidak menelponku balik. Jadi mari kita anggap hanya aku orang yang baru mengetahui kabar ini. Pertanyaannya adalah, mengapa harus aku yang menerima pesan itu?
Kepalaku mulai berasap.
Selain karena asap yang hendak timbul dari kepalaku, tatapan gelisah yang tidak henti menatapiku sejak tadi dari orang yang duduk di sebelahku membuat aku terpaksa meminggirkan Mobil yang sedang aku kendarai.
Sebenarnya ini juga termasuk tanda tanya besar yang sedang terjadi hinga saat ini.
Bagaimana bisa aku mengemudikan mobil setelah semua yang terjadi kemarin? Bahkan saat malam aku jatuh di Wc Bioskop, juga aku yang mengemudikan mobil saat pulang begitu kondisiku pulih.
Mungkin orang di sebelahku ini yang menjadi alasan mengapa aku masih bisa melakukan hal gila ini. Itu seperti aku meminum suplemen energi atau suplemen vitamin untuk tubuh. Hanya dengan merasakan keberadaannya, itu sangat cepat mendorong sesuatu di dalam diriku.
Lily memang bersikeras untuk membawa mobil malam itu ataupun tadi saat kami hendak berangkat. Namun aku melihat dari tingkat kefokusan kami berdua saat ini, aku pikir statistik milikku lebih unggul dari dia.
" Sekarang, apa aku boleh meminta sesuatu kepadamu?"
Tatapan yang dia berikan kepadaku entah mengapa seketika dapat menaklukkan tubuhku.
Aku mengangguk dan mencoba menarik nafas serileks mungkin.
" Andi, ceritakan apa yang terjadi kepadaku. Tolong ceritakan apa yang terjadi, terutama tentang kenapa kamu yang tiba-tiba hendak berpergian enggak jelas di mana besok itu jadwal kamu untuk operasi!"
"..."
Aku ketakutan setengah mati setelah mendengar dia mengatakan itu dengan wajah marah.
Bagaimana menggambarkan betapa ketakutan diriku?
Jika tidak memikirkan berapa usia ku saat ini, aku mungkin sudah kencing di celana.
Raut wajah Dokter mulai memerah. Seperti akan bersiap-siap untuk memarahi aku fase ke 2.
Aku harus menghentikan malapetaka yang akan terjadi.
Dan juga, aku memang harus meminta saran orang di sebelahku tentang masalah ini.
Tapi bagaimana mengatakan hal ini kepadanya?
Apa dia akan terus menunggu aku berbicara dengan wajah menakutkan seperti itu?
Nah, aku sih tidak masalah walau sepanjang sisa hidupku dia terus menatapku dengan tatapan seperti itu. Dari sudut pandangku, walaupun aku ketakutan setengah mati melihat tatapan matanya itu tetap saja wajahnya terlihat sangat imut saat ini.
Tuh, matanya makin melotot walau dia sendiri juga sadar kalau dia itu sangat tidak cocok melakukan ini.
(Mengedipkan mata)
Kenapa aku baru menyadari ini sekarang selama 5 tahun terakhir?
(Menatap matanya)
Jika ini terus aku lanjutkan aku yakin akan merusak suasananya. Kami akan saling tertawa jika aku terus menatapnya seperti ini.
Oke, kamu menang.
" Aku ingin meminta tanggapan kamu tentang ini. Aku tidak terlalu paham tentang beginian."
Aku mengeluarkan hp dari saku celanaku kemudian langsung membuka kunci layar.
" Hp kamu tidak memakai password?"
Pertanyaan spontan itu keluar begitu saja dari mulut Lily.
" Apa, itu perlu?"
Lily kemudian merebut hp dari tanganku dan segera mengutak-atiknya.
" Tentu saja! Bagaimana jika nanti seseorang akan melihat privasi atau mencuri data pribadi milikmu?! Aku akan menyeting pass—"
Apa ada sesuatu yang salah?
Tidak-tidak, tidak ada sesuatu yang mencurigakan dari hp itu!
Hmm?
"..."
Aaah!
Kecuali wallpaper nya.
Lily tertegun dan terus menatap layar kunci di hp ku.
Saat itu aku sempat memotret wajah aneh Lily ketika kami sedang membeli baju setelah dari Labersa. Karena foto itu kuanggap sangat sakral aku langsung menjadikannya wallpaper layar kunci hp ku.
Ini malah membuat semua makin tidak jelas arahnya.
" Gunakan tanggal lahir kamu saja. Sebagai kunci pinnya."
Apa yang aku katakan sih?!
" Hah? Oh! Ha, oke!"
"?"
Kenapa dia malah menyetujui ide itu?
Dia dengan cepat dan gesit langsung mengubah pengaturan di hp ku. Aku hanya menganga memperhatikannya dari samping.
" Sudah."
" Benarkah?"
Kenapa aku menanyakan itu?! Bukannya aku juga memperhatikan dia sejak tadi dari samping?!
Juga aku tidak mengetahui tanggal kelahiran dia sebelumnya.
Sebentar, berapa tadi kode pin yang Lily masukkan?
" Ayo katakan."
Walaupun suasana masih canggung akibat insiden wallpaper barusan, dia tetap menanyakan akar masalah yang belum dia dapatkan jawabannya dariku sejak tadi.
Sepertinya aku harus menceritakan semuanya lagi dari awal.
Itu tidak masalah. Aku tidak keberatan menceritakan ulang lagi semuanya kepadanya.
Pertama, aku ingin meminta pendapatnya tentang pesan mendadak yang baru di kirim suami Rani barusan.
" Bagaimana menurut kamu, tentang pesan ini?"
Aku mengarahkan dia agar membuka fitur pesan dan melihat pesan yang baru saja terkirim.
-Lily
Aku membaca pesan yang baru saja Andi suruh untuk aku buka. Itu adalah pesan yang di kirim oleh nomor tidak di kenal.
?
??!!!
Gak, itu gak mungkin.
Dia gak mungkin tertipu pesan bodong seperti 'Mama minta pulsa' dari nomor tidak di kenal kan?
+628***67****6
[ Kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Cerai.]
Seketika aku terdiam membeku menatap layar hp milik andi.
Rasanya, aku ingin terkena serangan jantung. Tapi secara medis aku sehat-sehat saja dan kemungkinan aku terkena itu sangat rendah. Tapi aku ingin merasakannya sekarang juga.
" Bagaimana pendapat kamu tentang pesan itu?"
Mataku masih melototi layar hp tidak percaya.
" Hah?"
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!
Siapa dan kenapa juga mengapa pesan itu mengatakan mau cerai?!!
Ini sama sekali gak ada hubungannya dengan Andi kan?!
Oh tidak! Ini bukan dari seseorang yang rela bercerai demi dirinya kan?!
Apa ini hanya sebuah pesan teror?!
Aaa-aaaa-aaaaaaa-aaaaaaaaaaaaa!
!
(Mengedipkan mata)
" Ini salahku! Maaf! Aku harusnya menjelaskan itu dulu sejak awal."
Tangan kanan Andi tiba-tiba mencapit kedua pipiku. Wajahnya terlihat sama paniknya dengan wajahku.
" Kamu enggak mancing keributan rumah tangga orang kan?"
" Enggaak!!"
Andi melepas capitan tangan kanannya dari pipiku. Kemudian tangannya menetuk-ngetuk keningnya beberapa kali.
Sebenarnya aku sudah terlalu banyak terkejut hari ini. jadi aku sudah tidak mempedulikan cara dia meredam rasa panikku tadi. Juga, aku tidak keberatan jika dia melakukan itu.
Dengan wajah panik yang selalu berhasil membuatku tertawa itu Andi mulai menjelaskan asal muasal SMS yang dia tujukkan kepadaku itu.
Itu adalah cerita paling mengharukan yang pertama kali bisa membuatku tertawa saat suasana hati sedang sedih ketika mendengar sesuatu. Andi berhasil melakukannya. Terutama degan cara penyampaiannya yang sangat detail dan terkadang ngaco saat lupa alur cerita yang sedang dia sampaikan.
Juga aku baru mengetahui fakta ini, kalau dia memang hanya memiliki 2 orang teman sejauh ini.
Setelah mendapat izin untuk melihat nomor kontak yang dia simpan di hp nya itu membuatku terkejut. Dia tidak berbohong! Dia tidak berbohong kepadaku! Sejauh ini dia hanya menyimpan 3 orang di kontak hp nya.
Beneran 3 orang!
2 orang temannya, Rani dan Fadil. Kemudian seseorang dengan nama kontak 'Alaram Bulanan'.
Aku kira dia hanya bercanda sebelumnya.
Oh iya, walaupun kami sudah berhari-hari ini bersama kemana-mana aku dan Andi masih belum menyimpan nomor kontak masing-masing. Jadi aku langsung menyimpan nomorku di Hp nya dan menyimpan nomornya di hp ku. Baik di masing-masing hp kami aku memberi nama kontak kami, 'Emergency'.
Tidak ada arti khusus di dalamnya. Karena masing-masing nomor ini penting aku memasukkan ke dalam kategori 'favorit'. Jadi nomor itu ada di paling atas list saat sedang ingin mencarinya nanti.
Masalah pesan 'perceraian' itu, aku juga baru mengetahui kalau pesan itu di kirim oleh suami dari teman Andi, Rani. Bagaimana dia mengetahui identitas pengirimnya cukup membuatku ragu. Andi mengatakan dia menghafal nomor beberapa orang yang di anggapnya cukup penting.
Aku rasa itu adalah salah satu cara dia mempersulit hidup. Aku harus mengubah kebiasaan anak ini dengan perlahan untuk kedepannya. Apa sih salahnya menyimpan nomor seseorang dan memberinya nama dan keterangan seperti, 'Suami Rani' atau 'Mama Lily' seperti itu sih?
Aaaaaaahh!
Aku kebanyakan mengkhayall!
Oke kita balik ke permasalahan utama.
Oh iya, Rani itu adalah teman Andi yang membuat hidungnya patah dan berhasil membuatnya menemuiku setelah 8 bulan tidak mendapati kabar darinya. Aku harus menemui orang yang bernama Rani ini dan mengucap rasa terima kasihku yang paling tinggi kepadanya.
Andi mengatakan mereka sudah bersama sejahk masa sekolah. Dia mengenal Rani sejak kelas 1 SMA dan hingga kini masih berhubungan dengan sangat baik. Itu adalah pertemanan jangka panjang yang sangat jarang aku lihat untuk orang seumuranku saat ini. Walaupun terakhir kali mereka saling berbicara Rani membuat hidung Andi patah karena perkelahian kecil.
Kalau di bandingkan denganku, pertemananku yang masih bertahan hingga sekarang dalam jangka waktu lebih dari 5 tahunan dengan Si Psikater gila itu. Kami saling kenal sejak awal semester dan sampai saat ini masih saling kontak. Terakhir kali kami berkomunikasi adalah beberapa jam yang lalu. Ketika aku membuat story wa yang memamerkan apa yang aku masak untuk sarapan tadi. Anak gila itu langsung menebak dan meminta dia yang menjadi orang pertama saat di beri 'undangan resepsi'. Bukankah itu menyeramkan? Terutama dari cara dia menebak apa yang terjadi itu memang tidak pernah meleset sejak dulu!
Andi masih melanjutkan ceritanya, tentang bagaimana awal hubungan Rani dengan seseorang yang dia anggapsebagai 'bajingan' hingga ke jenjang pernikahan. Aku bukanlah orang yang gampang terbawa suasana atau gampang emosian, tetapi ketika Andi menceritakan bagaimana sosok dari orang yang menjadi suami Rani itu. Walau dia sejak awal hanya sedikit menceritakan betapa 'kacaunya' pria itu. Entah kenapa aku bisa terbawa suasana dan dengan cepat memutuskan, 'pria ini memang seorang bajingan'.
Tidak. Itu bukan karena Andi yang menceritakan atau yang sedang berbicara saat ini. Atau betapa seringnya aku memperhatikan wajah dan hidungnya saat berbicara tadi.
Itu, karena, aku memang merasa deskripsi Andi tentang suami Rani sangat benar. Sangat tepat aku rasa.
" Saat kami masih sekolah dulu. Jadi kan itu masih populernya orang kirim SMS lewat hp senter."
Aku hampir menyemburkan ludah ketika dia menyebut Hp jadul yang populer di tahun 2000an dengan sebutan hp senter.
" 2008-2009 an berarti ya?"
Andi mengangguk polos.
" Suaminya ini pernah kelahi kan sama Rani. Aku ingat, itu karena Rani ga nanyain kabarnya selama seharian."
" Hah?!"
" Ya, itu juga mungkin karena aku penyebabnya. Rani ngebantu aku dan Fadil buat nyuplai dagangan dari bisnis wali kelas kami yang kami bantu ke kedai-kedai terdekat. Kami keteteran sebenarnya walau udah ada tenaga tambahan."
Aku memasang raut tidak mengerti.
" Sebentar, karena apa tadi dia kelahi?"
Kedipan mata tidak percayaku hanya di balas kedipan mata polos dari Andi.
" Ga nanyain kabarnya seharian."
Rasanya aku ingin tertawa, tapi itu sudah pudar akibat raut wajahku yang heran tidak mendukung suasananya.
" Bagaimana bis—"
Aku menahan kalimatku.
" Mungkin itu sesuatu yang wajar ya, terutama itu pas lagi masa pubertas kan. Tapi aku ga terlalu yakin tentang pandanganku ini. Soalnya aku juga belum pernah pacaran juga selama ini."
Waw.
Lagi dan lagi, informasi berharaga kembali aku dapat.
Juga alasan aku tidak melanjutkan kalimatku tadi sama seperti alasan Andi.
" Hal yang membat citra suaminya buruk sejak awal dimataku, juga di mata Fadil adalah cara dia melampiaskan emosi saat marah. Pertama, dia memaki-maki melalui SMS. Kemudian melalui telepon dengan sedikit bumbu ancaman yang terlalu kekanak-kanakan. Saat itu bahkan Rani sudah menangis ketika dibentak hingga pertengahan percakapan. Fadil menggantikan Rani dan terus menerima makian dari suaminya hingga selesai setelah itu. Itu adalah gelombang perdana."
Gelombang perdana?!
Untuk Fadil, kami pernah bertemu sebelumnya. Itu juga adalah saat pertemuan pertamaku dengan Andi. Ketika dia mengantarku pulang dengan keadaan setengah sadar, kemudian aku yang memutuskan untuk mengatarnya pulang ke rumahnya melihat betapa mengenaskan tenaga yang dia miliki saat itu. Ketika sampai, teman satu rumahnya Fadil sudah menunggu di depan rumah mereka. Dan, itu berakhir dengan Fadil yang mengantarkanku balik ke rumahku. Tentu dengan Andi yang setengah sadar berada di kursi tengah.
Pertemuan yang cukup rumit dan sangat lucu.
Fadil, entah mengapa dia langsung memperkenalkan diri layaknya hubungan kami akan berjalan awet saat pertama kali bertemu denganku. Begitu banyak informasi dasar yang aku terima darinya. Termasuk Andi dan Fadil yang sudah saling mengenal sejak kelas 3 SD. Ini sudah masuk kategori Bestie kali ya? Juga dia yang entah mengapa memberitahuku beberapa sisi tersembunyi dari Andi di saat itu juga. Itu informasi yang super berharga sebenarnya.
Bisa di katakan, dia tahu betul bagaimana Andi itu dan memberikan semua informasi penting tentang dirinya itu kepadaku. Seakan dia langsung mempercayaiku begitu saja.
Normalnya, jika teman dekatmu baru menemui seseorang, kamu tidak akan membocorkan sisi rahasia yang bisa di jadikan senjata pamungkas kepada seseorang yang baru dia kenali itu di hari yang sama ketika mereka baru berkenalan bukan?
Normalnya begitu.
Tapi baik Fadil maupun orang yang sedang menceritakan 'gelombang kedua dan seterusnya' di sampingku ini bukanlah kategori orang normal.
Aku masih mengingat cara Fadil menatapku selama beberapa menit saat aku sampai di depan rumah mereka dulu. Tatapannya itu seperti mengekspresikan, 'Ah aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kepada mereka' saat melihatku.
Tipe orang yang memiliki insting yang sangat kuat.
Buktinya, apa yang mungkin dia prediksi dari cara dia membocorkan sisi tersembunyi Andi itu memang beneran kejadian sampai sekarang. Informasi itu, walaupun belum pernah aku gunakan memang sangat berguna bagiku. Dan hubungan kami bisa menjadi seperti sekarang ini. Sisi menyedihkannya adalah selama 5 tahun terakhir terjadi buffering terhadap hubungan ini.
Semenjak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan Fadil lagi.
Andi masih menceritakan tentang suami Rani, dan kini sudah memasuki bagian 'gelombang ke 8'.
" Sepertinya aku mulai paham bagaimana suami Rani ini. Juga, apa kamu memang tidak mengingat namanya? Aku cukup risih ketika kamu hanya menyebutnya dengan 'Si Suami' sejak tadi."
Tangan Andi hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
" Namanya, Fadilhanda Putra."
Aku menarik nafaku dalam.
" Oke, Si Suami aja."
Cerita kembali berlanjut, dan kali ini Andi mulai meringkas ceritanya menjadi super pendek. Tidak seperti sebelumnya yang sangat mendetail, kali ini benar sangat singkat, dan padat inti yang dia sampaikan.
Si Suami Rani menurut kesimpulanku sudah berhasil menaklukkan hati Rani sejak masa SMA. Itu adalah kunci utamanya. Jika seorang wanita sudah di taklukkan hatinya oleh seorang pria, maka itu dapat mengendalikan nya secara tidak langsung. Bahkan setelah Si Suami membentak dan menyamakan istrinya seperti binatang beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka itu masih bisa di maafkan.
Itu sangat aneh. Sangat menggangguku. Terutama betapa keras kepalanya Andi yang menceritakan kalau Rani langsung luluh ketika Si Suami meminta maaf sambil menangis di hadapannya.
Rasanya aku ingin menjambak Si Suami ini.
Pikirkan baik-baik, dia mengatai calon istrinya dengan sebutan binatang beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka! Dan itu buka lelucon maupun sapaan anti mainstream! Itu terucap ketika mereka sedang bertengkar, dan yang mereka perdebatkan cukup tidak masuk akal!
" Apa sebegitu pentingnya mengikuti tren harus mengucapkan selamat ulang tahun di jam 00.00?!"
Emosiku sudah terlanjur meledak dan mulai mencubiti lengan kiri Andi. Ini untuk melampiaskan betapa tingginya puncak amarahku saat ini. Sekarang, dengan menyentuh atau mencubit Andi bisa meredam amarahku.
" Aku sudah mengatakan sebelumnya. Bahkan jauh sebelum Rani menerima pinangan itu dari suaminya. Bahkan Fadil sampai berbusa-busa menjelaskan resiko yang akan terjadi. Tentang betapa sulitnya manusia berubah ketika sudah semakin menua. Dan tebak. Semua resiko dan hal yang kami khawatirkan saat itu memang terjadi sampai sekarang."
Aku mulai mengerti poin dari permasalahan ini.
Tapi aku masih tidak bisa begitu saja menyimpulkan saat ini. Walau salah satu bagian yang jauh berada di lubuk hatiku sudah memaki-maki Si Suami Rani ini, aku tetap harus mengontrol diri.
Kepala Andi terlihat sedang bersender di bantalan kepala kursi mobil.
Suara nafas panjangnya bisa aku dengar dengan jelas.
Menurutku, ini menjadi beban tersendiri di pikirannya saat ini.
Bisa jadi, di dalam kepalanya saat ini sedang terjadi rapat besar yang di mana fraksi-fraksi penting sedang berdebat untuk memutuskan apa yang harus di lakukan kedepannya.
"..."
Tanganku tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Mulai berjalan dan perlahan meraba sekitar wajahnya. Kulitku merasakan tulang hidungnya yang sudah mulai pulih itu. Kemudian pemikiran iseng membuat tangan kananku mencubit pipinya lalu memain-mainkannya.
Dia tidak bereaksi saat aku melakukan itu.
Sepertinya iitu benar, di dalam pikirannya saat ini sedang kacau.
Tanganku mulau merangka ke sekitar jidatnya. Mengelusnya dengan usil, memain-mainka beberapa benjolan kecil akibat jerawat di sekitar alisnya.
Sial, aku terlalu menikmati memainkan jerawatnya!
Bagaimana cara aku menghentikan ini?!
Ya, sebaiknya tidak perlu dihentikan, tapi wajahnya sudah pasrah begitu!
Bisa aku gambarkan, ekspresi yang di tampilkan Andi seperti seolah kepalanya panas dan menimbulkan asap karena berpikir terlalu berlebihan.
Jadi aku memutuskan mengelus rambutnya untuk mendinginkan kepalanya.
Sepertinya dia memakai shampoo yang aku rekomendasikan itu.rambutnya menjadi sedikit lebih lembut dari sebelumnya.
Dia memutuskan untuk menceritakan semua yang terjadi, bahkan aku sampai mengetahui hal-hal penting yang tidak terlalu berhubungan dengan masalah yang terjadi. Dengan kata lain, dia sejak awal sangat membutuhkan saran dari orang lain untuk jalan keluar masalah ini.
Sebagai seorang wanita, mungkin aku akan memihak Rani setelah mendangar betapa kuat dan sabarnya dia setelah menerima perlakuakn seperti itu sejauh ini. Tapi, sebagi orang asing yang bahkan belum pernah bertemu langsung dengannya aku tidak bisa begitu saja mencampuri urusan ini.
Jika aku mencoba berpikir sebagai seorang yang netral, Andi juga seharusnya tidak mencampuri masalah rumah tangga mereka. Itu bukan ranah dia lagi walau posisinya sebagai seorang sahabat.
Yang menjadi penyebab overthinking berlebihan saat ini adalah pesan blak-blakan yang di kirim oleh Si Suami kepada Andi itu.
Kenapa dia mengirimnya kepada Andi?
Mengapa harus Andi yang menjadi penerima pesan itu?
Bagaimana Andi harus bersikap dan menanggapi pesan itu setelah ini?
Apa ada maksud tersembunyi atau sesuatu semacamnya dari pesan itu?
Tidak hanya di kepalaku, sepertinya pertanyaan seputar itu sedang penuh di kepala Andi saat ini.
Lihat! Dia bahkan tidak sadar saat aku mencoba menggoyang-goyangkan tulang di hidungnya. Padahal sebelum ini dia begitu sensitif ketika aku menyentuh area di sekitar hidungnya.
Tanganku tidak bisa berhenti memainkan pipinya.
Ah, ini akan menjadi kacau jika aku terus melanjutkannya.
Aku benar-benar berada di bawah kendali nafsuku secara penuh sekarang.
Sesuatu seperti itu tentu bukanlah hal yang buruk. Walau aku sama sekali tidak memiliki pengalaman seperti itu sebelumnya, itu tidak masalah. Hanya saja, aku masih belum siap untuk terus melanjutkan ini.melakukan hal yang akan memuaskan nafsuku.
Sialan. Bagaimana cara menghentikan nafsu menggebu untuk mencium pipinya ini?!
Pupil mataku terasa membesar. Aku seperti seorang idiot yang sudah menyerah merebut kendali tubuh dari rasa nafsu.
Aaaa-aaaa-aaaaaaaa. Gimana ni.
Aku bisa memprediksi apa yang terjadi setelah ini.
Terutama setelah aku mengetahui kondisi kesehatan nya. Mungkin aku lebih memilih mengalah dengan nafsuku saat ini.
Tidak, tidak.
Jangan sekarang, jangan sekarang Lily!
Aaa-aaa-aaaa-aaaaaa-aaaaaaaah!
Antara pipinya dan bibrku seperti terjadi daya tarik magnet yang sangat kuat.
Ayo kita coba mengedipkan mata!
(mengedipkan mata)
Tidak berhasil, sialan!
Oooiii, Andi sadarlah!
Huhuhuhu,bagaimana menghentikan ini?
Waktu berjalan sangat lambat bagiku saat ini.
Beberapa senti lagi...
Beberapa senti lagiii!
Beberapa senti lagi bibirku akan mencium pipinya!!
'Duahk!'
Kepalaku pusing.
Tapi aku berhasil.
Aku menabrakkan jidatku ke arah pipinya.
Lalu kepalaku mencoba menjadikan dadanya sebagai bantal untuk bersandar. Posisi dia duduk mebuat caraku bersandar tidak ideal dan berakhir dengan kepalaku terguling hingga ke pahanya.
Aku menjadikan pahanya sebagai bantal sekarang. Kepalaku, denga tenangnya mencoba tertidur di atas bantal yang terasa agak kaku ini. walaupun di sekitar punggungku terasa mengganjal karena adanya rem tangan, aku tidak terlalu memperdulikannya.
Sudah aku katakan sebelumnya. Saat berada di dekatnya, kewarasanku mendadak berkurang hampir setengahnya. Bahkan aku salah melakukan prosedur dasar mengecek denyut nadi saat dia yang mendadak pingsan di atap tadi malam.
Jadi bagaimana ya.
Yang ada di pikiranku saat berada di dekatnya tidak lain adalah perasaan bahagia. Sesederhana itulah yang membuat kewarasanku bisa menghilang. Aku rasa ada benarnya dengan seseorang yang mengatakan bahwa, 'Cinta itu seperti jam pasir. Ketika hati terisi, otak mulai kosong'.
Aku tidak tahu siapa yang mengatakan itu, tapi aku sangat mengingat kalimat itu. Itu adalah kalimat absurd yang awalnya aku sepelekan dan ku anggap sebagai lelucon belaka. Namun setelah merasakannya, aku hanya bisa terdiam dan mulai mengerti maksud dari kalimat absurd itu.
Mungkin, ini sama dengan yang di pikirkan Rani. Tapi aku tidak berani menilai langsung seperti itu. Pengalaman berbicara, untuk di sektor ini aku masihlah seorang bocah ingusan yang baru merasakan perasaan ini di umur yang sudah cukup matang. Mungkin, apa yang di rasakan Rani melebehi apa yang baru aku rasa dan pahami saat ini.
Mungkin, kesabaran dia sudah berada di puncak atau kesabaran Si Suami yang sudah memuncak? Entahlah, bahkan orang yang pahanya sedang aku tiduri saat ini saja masih tidak mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Yang dia tahu adalah kejadian pasca terjadinya masalah.
Hal-hal yang dapat menimbulkan trauma berkepanjangan akibat tidak bisa menahan emosi. Atas dasar itulah orang yang sedang aku gelitiki perutnya saat ini mendukung secara sepihak untuk mengakhiri hubungan sakral itu. Memang, jika dari satu sisi hubungan itu sudah mulai beracun.
Tetapi kita masih tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya di antara keluarga kecil itu.
Sebagai pihak luar, kita hanya bisa menduga. Tidak lebih dari itu.
Aku memperhatikan wajah kosong Andi dari bawah sini. Wajah ini terlihat tidak asing. Hmmm, ya aku mengingatnya. Wajah itu sama seperti wajah yang ia tunjukkan saat aku pura-pura tidak mengenalinya di Rumah Sakit beberapa hari yang lalu. Haaaah, aku tidak akan pernah melakukan itu lagi kepadanya. Hanya akan menimbulkan kesalah pahaman.
Bagaimana cara mengubah wajah ini menjadi sedikit lebih cerah?
Ngomong-ngomong, punggungku mulai terasa sakit.
" Auuuch."
Andi terlihat dari tersentak dari lamunannya ketika mendengar suaraku. Padahal aku sudah sepelan mungkin mengatakan itu, tapi dia masih bisa mendengarnya ya?
Dia mengambil selimut dari kursi tengah dan mencoba mengganjalya di sekitar punggungku. Aku mulai merilekskan punggungku ke kursi dengan selimut yang lembut mengganjal di area belakang perut. Itu cukup meredakan rasa sakitnya.
" Jadi di antara kamu dan Fadil, siapa yang paling ngotot menentang hubungan Rani?" Ucapku spontan setelah sadar Andi akan kembali ke dunia lamunannya.
Aku harus bertemu mereka berdua dan mengakrabkan diri bersama setelah ini.
" Hmmm, mungkin kalau dilihat dari siapa yang paling bersuara secara langsung Fadil sih. Tapi, kalau di lihat dari siapa playmaker dan yang paling sering bergerak menentang hubungan mereka dari belakang ya itu aku sih. Kelihatan jelas banget walau udah bereaksi se normal mungkin."
Aku tertawa cekikikan ketika dia mengatakan 'playmaker' tadi dan mencoba mengulangi kata itu.
" Hmm, kalau menurutku ya. Tentang pesan terus terang yang di kirim tiba-tiba dari Si Suami itu dengan kamu. Aku rasa itu ada indikasi kesengajaan deh."
Wajah Andi sangat datar ketika aku mengatakan itu.
" Kesengajaan?"
" Denger dulu, itu cuman opini dari aku. Sebenarnya, ada 2 alasan yang terpikirkan samaku sejak tadi tentang pesan itu. Alasan pertama, dia memang ingin mengabari kamu tentang hubungan mereka. Hanya saja itu memang tidak layak untuk di umumkan terutama dengan kata yang tertulis di pesan cukup misterius. Dia tidak menggunakan tanda seru maupun emoji gitu."
" Cowok jarang menggunakan emoji ketika menulis pesan."
" Bener nih? Aku pegang lho kata-kata kamu."
" Ya, aku sangat jarang melakukan chatting dengan seseorang. Aku lebih suka menghubungi langsung."
Aku hanya tersenyum dengan sedikit menggoda kepada Andi.
" Uuuu, aku rasa dalam beberapa waktu ke depan kamu akan sering melakukan itu."
Seketika aku melihat untuk pertama kalinya pipi dan telinga Andi mulai memerah.
Sepertinya itu berhasil.
Astaga aku tak mengira itu akan berhasil!
Aaaaah! Kenapa sangat panas di dalam sini?
Kita harus mengalihkan ini.
" Untuk alasan kedua. Ya, aku rasa sama seperti kemungkinan terburuk yang kamu bayangkan."
Andi mencoba menyisiri rambutnya ke belakang, wajahnya masih memerah akibat insiden tadi. Cara dia menyisir rambut sangat buruk, jadi aku kembali menyisiri rambutnya dengan tanganku.
" Y-Ya. Aku tahu itu. Tapi membayangkannya saja sudah cukup membuat tubuh terasa lemas."
Rambut ini aku rasa terlalu tebal. Aku harus memotongnya sendiri.
" Itu salah satu efek dari rasa kecewa dari ekpektasi yang tidak terpenuhi yang kita bayangkan. Tapi jangan khawatir jika kamu mulai merasa lemas atau sejenisnya mulai sekarang. Jika kamu merasakan sesuatu seperti itu, katakan langsung kepadaku. Tolong! Oke!?"
Kalimat yang aku katakan seolah mendeklarasikan sesuatu yang tidak tertulis di antara kami kedua. Sesuatu yang menandakan hal yang sangat istimewa telah terjadi. Sebuah ikatan yang mulai terbentuk di antara kedua manusia.
" Ya, baiklah. Maaf jika suatu saat nanti aku akan merepotkanmu."
Dan respon itu sudah menandakan awal mula cerita ini akan berlangsung mulai saat ini.
Sebenarnya, aku merasakan perasaan bahagia yang tak bisa di ungkapkan saat ini. Namun situasi yang terjadi berhasil menekanku melampiaskan emosi positif itu sekarang. Baik itu tentang masalah yang sedang dia ceritakan kepadaku atau masalah yang sedang dia hadapi saat ini.
Awalnya aku sempat mengira, setalah sampai di sebuah puncak maka perjalananmu akan berakhir. Kenyataan yang terjadi adalah masih ada puncak lain yang sedang menanti di hadapan kita.
Walaupun begitu, aku tidak bisa kembali turun menaiki puncak yang baru aku daki ini. Arus kehidupan yang terus memaksa kita untuk terus kembali mendaki sampai batas yang di tentukan.
Hanya saja, kali ini aku tidak melakukannya lagi sendirian.
Yah, aku tidak tahu apakah ini sudah resmi atau kami perlu mmbicarakan ini lagi. Tapi aku rasa itu tidak perlu di bicarakan lagi untuk di perjelas.
Tidak ada lagi yang perlu di perjelas. Melakukan sesuatu yang seperti itu hanya akan membuat kita melupakan cara menikmati momen yang terjadi sekarang.
Kisah ini sudah di mulai bertahun-tahun yang lalu, hanya saja baru di bab ini mulai mengalami perkembangan yang sangat drastis. Dan, perkembangan itu tidak di iringi dengan sesuatu yang mudah.
Astaga, aku terlalu berlebihan memikirkan ini.
Lama-lama aku sudah terlihat seperti dia saja ketika melamun.
Hmm, aku rasa itu tidak terlalu buruk.
" Oh iya, ngomong-ngomong di mana Fadil saat ini?"
Andi mendadak mengedipkan mataya 2 kali lebih cepat dari biasanya.
Apa aku menanyakan sesuatu yang salah?
Sebentar, aku merasa kalau sesuatu yang lebih penting aku lupakan sejak tadi.
" Bukannya Fadil ada di rumahmu saat ini?" Sambungku.
Dia kembali menggaruk rambut yang berada di atas jidatnya.
Benar kan, ada sesuatu yang salah sedang terjadi!
" Sebenarnya. Anak itu ada di Singapura sekarang."
Ekspresi di wajahku mendadak berubah dalah hitungan detik setelah mendengar itu.
Masih banyak hal yang belum aku ketahui tentang dirinya. Dan aku akan memulai menggali informasi itu mulai dari sekarang.
" Kenapa, dia ada di Singapura?"
Mungkin, dari nada aku berbicara itu terdengar jelas kalau aku akan memarahinya jika dia tidak memberi jawaban yang dapat memuaskanku. Itu memang benar. Walaupun dia menjelaskannya dengan jujur aku akan tetap memarahinya setelah ini.
Aku sudah menetapkan itu.
Andi mendadak menundukkan kepalanya, menghindari tatapan dariku.
" Aku tidak bisa membiarkan dia mengetahui ini."
"..."
?
?!
Apa telingaku salah mendengar apa yang dia ucapkan barusan?
Apa dia baru saja mengatakan satu-satunya sahabat yang selalu bersamanya selama 24 jam sehari selama bertahun-tahun tidak mengetahui penyakit yang sedang dia derita saat ini?
Kenapa?
" Kenapa kamu merahasiakan itu?"
Kepalanya masih menunduk dan enggan untuk menatapku.
Saat itu, aku mulai melihat bagaimana sosok Andi yang sesungguhnya. Sosok yang selama ini selalu dia sembunyikan dari siapapun. Sosok yang mungkin tidak akan pernah dia perlihatkan kepada orang lain.
Namun aku berhasil melihat itu.
Sosok Andi yang sebenarnya.
" Aku membuat dia terjebak dengan modus kami akan memindahkan pusat kantor ke negara tetangga, dan dia melakukan itu tanpa curiga sedikitpun. Aku berhasil membuatnya menjauh dariku setidaknya untuk jangka waktu satu hingga dua bulan."
Walaupun wajahnya sedang membelakangiku saat ini, tapi aku tahu kalau dia saat ini sedang menggertakkan giginya dengan sangat kasar. Bagaimana aku bisa mengetahui itu? Tentu saja. Pantull kaca mobil di sampingnya.
Mata kami saling bertemu dan dia menyadari kalau aku dapat melihat wajahnya dari situ.
Akhirnya, dia menoleh perlahan dan mulai menatapku.
" Aku tidak bisa membuat dia mengetahui tentang ini semua. Hal yang tidak ingin aku lihat adalah ketika dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku miliki, jadi aku tidak bisa melakukan itu. Kamu tahu, setelah persentase keberhasilan yang di katakan itu.. aku tidak bisa. Jadi aku membuatnya menjauh dariku sejauh mungkin."
Sebelumnya, aku mengatakan akan terjadi sesuatu yang berantakan jika kami terlalu dini melakukan kontak fisik seperti itu di momen seperti ini.
Satu hal yang aku sadari saat ini adalah, ada hal yang jauh lebih besar yang akan membuatku menjadi sangat kacau di banding jika aku melakukan hal seperti itu kepadanya saat ini.
Aku akan menyesali ini sepanjang hidupku jika aku tidak melakukannya.
" Sudah aku katakan sebelumnya, tidak ada yang boleh menentukan persentase kehidupan kamu seseorang sekalipun itu seorang Dokter spesial termasyur sekalipun!"
Ini adalah salah satu memori yang akan menjadi abadi dalam ingatanku.
" Semua yang akan terjadi setelah ini, aku disini, aku menemanimu. Apapun yang terjadi kamu tidak perlu khawatir lagi. Aku ada di sini."
Kedua tanganku memegang erat pundaknya. Sentuhan lembut yang aku rasakan di bibirku mulai terasa hangat ketika merasakan kerutan lembut di bibirnya. Aku bisa merasakan bagian pungungnya mulai kaku dan salah satu tangannya mulai menyentuh punggungku.
Apa memang seperti ini cara melakukannya?
Sebentar...
Apa aku baru saja mencium bibirnya?
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah??!!!!!!!!
Kenapa aku bisa mencium ke bagian itu??!!
Aku niat awalnya ingin mencium pipinya!!!
Tunggu sebentar, apa lagi yang harus aku lakukan setelah mengecup bibirnya?!!
Kepalaku kosong!
Kepalaku kok bisa kosong di saat seperti ini?!!
Mataku terasa panas.
Aaaah.
Aku menangis lagi di hadapannya.
Dia bisa melihat wajahku yang begitu memalukan saat ini.
Padahal aku mengira air mataku sudah mengering akibat kejadian tadi malam.
Kedua tanganku perlahan bergerak cepat dan segera memeluk erat tubuhnya.
Juga, aku bisa merasakan tangan Andi yang bergerak perlahan di punggungku.
Aku merasakan kehangatan lagi dari tubuhnya.
Jantungku berdetak tidak karuan. Dan itu terasa cukup menyakitkan di dadaku.
Tenggorokanku terasa begitu kering, sangat menyakitkan.
Bisa aku pastikan pita suaraku tidak berfungsi saat ini.
Namun aku terus mencoba untuk membuat bagian tubuh itu berfungsi.
Tapi aku tidak bisa mendengar suara apapun yang keluar dari mulutku.
Bagaimanapun, aku harus mengatakan ini kepadanya.
" M-Ma-Maaf!"
"?"
Andi mendadak mengatakan itu.
" S-Se-Sepertinya aku baru saja menyentuh tali bra di punggungmu."
" A-A-Aku j-juga sama!
Tanganku langsung melepas pelukan dari tubunya dan menatapnya panik dengan wajah yang masih mewek akibat menagis.
" T-Tadinya aku mau mencium pipimu, tapi malah mendadak mengecup bibirmu."
Astaga.
Tolong, berhenti menatapku dengan wajah seperti itu. Apa kamu tidak melihat wajah mewekku yang masih belum pulih dan tidak bisa berhenti untuk menangis?
Jadi berhenti menatapku seperti itu, karena itu bisa membuatku tertawa walau susananya sedang canggung seperti ini.
" Bhhftt—!!"
" Ahahahahaha!!" x2
Baik aku maupun Andi tertawa hingga lepas kendali setelah ini.
" Pfttt—Ahahahahaha!"
Apa benar kami berdua berusia 27 tahun saat ini?
Kalau di perhatikan, cara kami melakukan itu tadi seperti seorang pemula yang tidak tahu menahu bagaimana cara melakukan kontak fisik yang begitu dasar.
Aku menagis dan tertawa di saat bersamaan saat ini.
Apa hanya aku yang menyadarinya? Perasaan ini membuat kami menjadi bodoh bersama.
Dugaanku benar, Rani memang berada di sini selama beberapa hari terakhir.
Saat aku tiba, para tetangga satu persatu mendatangiku dan menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Rani hingga pagi ini berada di tempat ini. Kemudian dia pergi entah kemana setelah suaminya menjemputnya.
Menurut kesaksian salah satu tetangga, Rani terlihat berdebat hebat sengan suaminya sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dan meninggalkan tempat ini.
" Kisaran jam berapa itu terjadi?"
Aku bertanya sekali lagi untuk meyakinkan diriku.
" Matahari aja belum terbit. Aku lagi manasin mobil dan tau-tau aja ngeliat orang berantem gitu. Aku kira Rani berantem samamu, soalnya terakhir kali kan dia berantem sampe buat hidungmu berdarah malam-malam kan?"
" Eh? Kamu ngelihatnya?"
Yang aku dapati ketika menanyakan itu adalah mereka yang tersenyum memperlihatkan gigi mereka dengan lebar.
" Kami semua melihatnya. Ada turnamen domino di garasi, bukannya aku sudah mengundangmu?"
Aku melupakan hal ini. Dunia tidak selalu berjalan untukku, itu juga berjalan bagi orang lain.
Tubuhku terasa lemas setelah mengetahui ada orang lain yang melihat pertengkaranku dengan Rani malam itu.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan para tetangga, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan.
Lily sebelumnya ngotot ingin membereskan rumah, aku tidak bisa mencegahnya ketika dia menatapku dengan cara seperti itu. Walaupun begitu, aku yakin Rani pasti sudah membersihkan tempat ini selama menetap di sini kemarin.
Aku mendengar suara Lily dari arah kamarku.
Hmm?
Kamarku?!
Eh sebentar!
Aku tidak ada menyembunyikan sesuatu yang aneh bukan di sana?
Hmmm.
Ya, tidak ada satupun aku rasa.
" AAANDIIIIIIIIIIIIII!!!!!"
Kecuali tumpukan bekas minuman berenergi yang tidak pernah aku buang.
Lily memarahiku habis-habisan selama beberapa menit. Sebelum suara perutku menyelamatkanku dari lingkaran abadi itu. Kini, dia mulai memasak di dapur walau masih tidak bisa berhenti mengomeliku.
" Jangan minum itu! Kalau emang ga sanggup ga usah di paksain sampai sering bergadang juga konsumsi minuman kaya gitu! Kalau emang overload sama jobdesk kamu ga usah di ambil! Jangan ngorbanin kesehatan kamu untuk pekerjaan yang berlebihan!"
Aku hanya bisa menatapnya diam dan mendengarkan omelan darinya yang tidak berhenti selama 15 menit terakhir itu.
Sebelumnya aku sudah mencoba untuk menundukkan kepala atau sejenisnya, dan itu malah memperburuk situasinya.
" Kalau kamu memang ngantuk, ya tidur! Bukannya malah minum kaya beginian!"
Lily melempar koleksi botol minuman berenergiku ke tong sampah.
" Apa yang kamu makan biasanya kalau sering bergadang?!"
Lily sibuk menggerutu sambil terus memeriksa tiap laci di dapur.
Aku akan berakhir mengenaskan jika dia sampai menemu—
—Terlambat sudah.
Telingaku sudah cukup kesakitan mendengar omelan tanpa henti darinya sejak tadi. aku rasa gelombang kedua akan datang dan aku prediksi itu lebih parah dari sebelumnya.
Lily menemukan lokasi aku menyembunyikan makanan-makanan instant.
Oke, aku tidak masalah jika dia akan mengomeli aku selama seminggu atau sebulan penuh setelah ini. Paling telingaku yang menjadi berdengung.
?
Lemari itu kembali di tutup olehnya. Kemudian Lily kembali berjalan ke arah kompor dan melanjutkan memasak-masakannya tanpa berbicara sepatah katapun kepadaku.
Eh?
Kenapa dia tidak memarahiku?
Kenapa dia malah mendandak menjadi pendiam seperti ini?
Fenomena ini terus berlangsung bahkan ketika makanan itu di sajikan dan kami menyantapnya bersama. Lily bahkan terlihat enggan untuk menatap mataku.
Dia, hanya sedang kesal kan?
Oke, aku akan mengajaknya mengobrol aja.
" Makanan itu, aku hanya memakannya ketika tidak sempat untuk memasak."
"..."
Lily hanya mengunyah pelan makanan di mulutnya dan menatap kosong ke arah piring makananku.
" Fadil yang biasanya memasak. Jadi dia terkadang membuatkan makanan untukku setiap malam."
"...."
Hatiku terasa seperti daging yang di iris-iris saat ini.
Itu sangat sakit.
Dampak yang di timbulkan sangat-sangat sakit.
" Kamu tidak perlu khawatir, aku melihat tanggal kadaluarsa lebih dulu sebelum mengkonsumsinya."
"..."
' Kamu tahu, aku sering menyajikannya denga tambahan topping seperti sayuran yang di rebus."
"..."
" Makanan itu walaupun instant aku baca cukup sehat sebenarnya."
"...."
" Kami juga memesan makanan via GoFood di tiap awal bulan."
"..."
" Terkadang, Rani mampir dan membawakan rantang untuk kami."
"...."
Keluarkan aku dari penyiksaan ini, segera.
Jadi itu bisa sesakit ini ya?
Ketika seseorang mendiamkan kamu rasanya bisa sesakit ini ternyata.
Kedua mata kami saling bertemu. Apa yang tergambarkan dari pandangan Lily kepadaku saat ini seperti dia yang sudah mencapai batas kesabarannya. Ya, memang seperti itu yang terlihat.
" Kapan?"
Dia akhirnya angkat bicara.
Tapi, konteks pertanyaan yang dia katakan ini merejuk ke mana?
Apa tentang Rani yang terkadag membawakan kami makanan? Itu adalah kalimat terakhir yang aku katakan kepadanya.
Anggap saja itu.
" Hampir setiap bulan. Rani selalu memb—"
"—Bukan itu. Kapan yang ketika kamu tidak sempat untuk masak itu?"
Aku mulai mengerti setelah melihat raut wajah dia saat ini. Tidak hanya aku, dia juga tidak nyaman deangan situasi seperti ini.
Ya, aku tahu ini semua memang sejak awal kesalahanku.
" Hampir setiap hari."
" Tuh."
Jantungku berdebar-debar kencang mendengar respon langsung darinya itu.
Apa yang harus aku katakan lagi?
Aku harus mengatakan sesuatu atau suasana nya akan kembali canggung!
" Jangan lakukan itu lagi, oke?"
?
Lily langsung beranjak dari kursi ketika mengatakan peringatan simple itu. Sebuah ultimatum lebih tepatnya. Dia berjalan membuka kembali lemari tempat aku menyembunyikan tumpukan makanan instan tadi. Kemudian membuang semua isinya ke dalam tong sampah.
" Kalau kamu mau makan atau lapar, bilang kepadaku. Jangan pernah memakan makanan seperti ini lagi mulai dari sekarang! Kamu mengkonsumsi sesuatu seperti ini secara berlebihan dan itu akan merusak tubuhmu lebih jauh!"
Tong sampah di dapur sudah penuh dan dia mengambil plastik besar dan memasukkan sisa makanan instan yang masih banyak ke dalamnya. Plastik itu kemudian dia letakkan di samping tong sampah. Lalu dia mencuci tangan di wastafle dan kembali melanjutkan memakan makanannya di meja makan bersamaku.
" Kamu seperti ayahku. Terkadang, dia suka bersembunyi dariku dan Mama dan diam-diam memakan mie instan dari kami. Padahal aku sering memasak makanan favoritnya di rumah. Itu membuatku tertekan. Apa dia tidak menyukai makanan buatanku? Apa makan yang aku buat memang tidak enak dan itu yang membuat dia suka memakan mie instan diam-diam di belakang kami?"
Ultimatum kedua.
" Makananmu yang membuatku kembali bisa merasakan sesuatu. Jadi aku menolak pernyataan itu."
Dia sempat tersenyum beberapa detik kemudian kembali memasang wajah marah.
" Aku lagi memarahi kamu! Jangan coba-coba curi kesempatan dengan mengatakan itu!"
Dia memang sangat buruk menyembunyikan itu.
" Jadi, gimana tentang Rani?" Sambungnya.
Setidaknya aku sudah bisa sedikit lebih tenang untuk sekarang. Amarah dia sudah sepenuhnya mereda saat ini. Namun aku kembali di hadapkan dengan masalah sebenarnya yang sedang terjadi.
" Dia memang berada di sini beberapa terakhir. Menurut kesaksian tetangga di sini, ada yang melihat Rani masih berada di rumah ini hingga tadi subuh. Sebelum akhirnya dia di bawa pulang oleh suaminya."
Area di sekitar rambutku terasa sangat gatal. Dan aku mulai menggaruk rambutku.
" Juga, para tetangga mengatakan sebelum dia pergi dengan suaminya sempat ada perkelahian di antara mereka berdua."
" Apa Si Suami main tangan saat melakukan itu tadi?"
Aku menggelengkan kepala.
" Entahlah, aku tidak menanyakan hingga se detail itu. Yang jelas, aku rasa itu semakin kuat hubungannya dengan alasan mengapa suaminya mengirimi aku pesan seperti itu kepadaku tadi pagi. Keberadaan Rani di tempat ini membuatnya semakin jelas."
Aku menemui jalan buntu untuk menyelesaikan masalah ini.
Bagaimana ini?
Apa yang harus aku lakukan?
Rani tidak pernah tidak hadir dalam hidupku ketika sedang mengalami masalah. Dia selalu ada selama ini bahkan ketika krisis melanda aku dan Fadil.
Fakta menyeramkan yang mungkin menjadi penyebab hubungan mereka berakhir karena aku membuatku merasa sangat bersalah.
Itu...
Karena aku..
Tidak, itu bukan kerena aku.
Suaminya memang sudah bermasalah sejak awal mereka mengawali hubungan.
Aku tidak membencinya, tapi dia yang membuatku membenci sosoknya.
" Hei, jangan memasang raut wajah seperti itu di hadapanku. Kamu tidak harus menanggung perasaan bersalah dari masalah yang terjadi di antara mereka."
Lily mengatakan itu tepat ket
" Ketika mengetahui alasan yang membuat mereka berpisah menggiring ke arah perbuatanku dengan dia beberapa hari lalu malah membuatku, menyesal. Seakan, seperti aku yang menjadi pemicu nya."
" Aku rasa itu tidak ada hubungannya sama sekali. Walau memang jika kamu yang menjadi pemicu nya bukan berarti kamu harus menjadi kambing hitam dari retaknya hubungan seseorang."
" Ya, kamu benar. Bahkan sejak SMA hingga sekarang tidak ada perubahan yang konstan dari sikap dan perlakuan Suami Rani terhadapnya. Seharusnya aku bisa berbuat lebih banyak lagi selemun ini terjadi."
Tangan kanan Lily menompang dagunya yang mulai terlihat berat itu. Dia menatapku kosong dan mencoba meniup beberapa helai rambut yang jatuh di sekitar dahinya.
" Jadi, bagaimana sekarang? Sebaiknya kita harus melakukan sesuatu untuk ini sebelum berakhir terus menggosipi Si Suami selama beberapa jam ke depan."
Benar juga, sejak tadi kami belum pernah membahas kebaikan Si Suami.
Hmm, kebaikannya?
Kalau aku ingat lagi, aku tidak ingat pernah melihat dia melakukan sesuatu yang begitu menonjol dalam kebaikan. Terutama terhadap Rani sejauh yang aku perhatikan dari hubungan mereka selama ini.
" Rani itu sudah kaya keluargaku sendiri. Kalau boleh membandingkannya, dia itu seperti seorang Kakak yang lebih tua satu tahun di atasku yang selalu bertingkah menyebalkan namun diam-diam peduli dari belakang jika itu menyangkut masalah yang lebih berat."
Sebuah senyuman yang familiar terlihat dari wajahnya.
" Jangan minta pendapatku, aku anak tunggal."
" Aku juga, sebenarnya. Tetapi bukannya itu memang wajar terjadi? Hubungan Kakak-Adik terlihat buruk hanya ketika sedang bercanda atau semacamnya bukan?"
Kini, tangan kiri Lily ikut menopang dagu nya. Lalu mencoba tersenyum manis dan mulai mengatakan sesuatu yang keluar dari topik pembicaraan.
" Hmm, mungkin? Apa kamu mau kita untuk mencari tahu nya? Kita tidak tahu sebelum melihatnya langsung bukan?"
Topik apa yang coba dia katakan saat ini?
Oh, aku mengerti.
" Menyelediki hubungan seorang Kakak-Adik membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jadi aku tarik kembali kesimpulanku sebelumnya."
Lily mendadak mengangkat kepalanya yang sudah terlanjur nyaman bertengger di kedua tangannya itu.
" Y-Ya. Yah! Kamu benar!" Suara Lily terdengar melengking.
Kenapa dia mendadak berteriak seperti itu?
" Jadi, apa kamu punya saran untukku saat ini?"
Lily langsung memperbaiki hijab di kepalanya yang sebelumnya tidak terlihat kusut atau longgar itu. Apa dia merasa gerah atau kepanasan? Tapi aku tahu persis sirkulasi udara di ruangan ini lancar dan terik matahari di luar tidak terlalu panas.
" Apa kamu sudah mencoba mengubunginya, menghubungi Rani?"
Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini, itu tertutup oleh kain hijab bewarna dongkernya.
" Sebelumnya dia terus menerorku selama seharian pasca perkelahian kami."
Tangan Lily berhenti bergerak dan dia wajahnya masih tertutup oleh kain.
Akhirnya dia menarik kain itu dan memutuskan untuk berhenti memasang ulang hijabnya.
" Menerormu?"
Aku mengedikkan bahu. " Ya, dia tidak berhenti menelponku dan mengirmiku pesan tanpa henti selama seharian penuh. Sebenarnya dia hanya ingin minta maaf karena mematahkan hidungku dengan tidak sengaja, juga pertengkaran kami saat itu cukup serius. Aku berpikir, sebaiknya kami berdua menenangkan pikiran lebih dulu untuk sementara waktu."
Mulut Lily terbuka lebar seakan tidak percaya.
" Kenapa kamu tidak mengangkatnya saja?! Atau setidaknya balas pesannya dan katakan kamu baik-baik saja walau sebenarnya kamu merasa tidak baik!"
Benar juga, aku belum mengatakan bagian ini kepadanya.
" Aku akan melakukan itu, jika suasananya tidak seperti sekarang. Sebenarnya tidak hanya Fadil, Rani juga sama sekali tidak mengetahu apa yang sedang terjadi padaku hingga sekarang."
Aku kembali jatuh di lubang yang sama kali ini.
Lily kembali memarahiku hingga matahari terbenam dalam beberapa jam kedepan tanpa henti. Walau tidak separah sebelumnya, tapi itu tetap terasa menakutkan ketika melihat dirinya marah dan mengancamku dengan kalimat-kalimat yang akan membuatku menangis seperti sebelumnya.
Tak terasa, amarah Lily mulai mereda dan kini dia berada di kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang gerah akibat otot-otot mulutnya yang mulai kaku.
Aku melihat ke arah luar rumah. Benar-benar sudah gelap di sekitar kami.
Aku mencoba bersandar di pinggir konsen pintu samping. Menatap ke arah halam samping yang di peenuhi tanaman liar milik Fadil.
Aku tidak ingin berbohong.
Aku merasa sangat bersalah soal ini, tentang Rani.
Rani tidak seharusnya menerima konsekuensi seperti ini.
Jika aku tahu seperti ini jadinya mungkin aku aka melakukan segala cara untuk menggagalkan hubungan dia dengan suaminya saat SMA dulu.
Aku masih mengingat percakapan terakhir kami sebelum perkelahian itu. Jauh sebelum kami mengantarkan Fadil di bandara. Beberapa minggu sebelum itu.
Ketika dia curhat kepadaku kalau suaminya menolak untuk memiliki anak dalam beberapa tahun ke depan. Ketika aku mengetahui itu, aku sebenarnya sangat marah. Sangat marah walau aku tidak berhak untuk marah.jadi itu membuatku hanya memendamnya begitu saja hingga kini.
Baik aku dan Fadil sejak awal pertemuan dengan Rani sudah mengetahui kalau dia adalah orang yang sangat penyayang. Terutama terhadap seorang anak.
Jadi aku memutuskan kembali membuka ingatan yang masih aku simpan ketika hari kelulusan di SMA kami. Hari di mana aku hanya mengambil ijazah dan memilih tidak ikut bergabung dengan angkatan untuk berpesta seperti mencoret baju dan berdan sa di Hall Sekolah. Aku lebih memilih duduk bersama dua orang idiot di pinggir tebing tempat kami biasa menghabiskan waktu jika senggang.
Tidak ada rasa antusias tentang kelulusan diantara kami bertiga saat itu.
Hanya ada rasa takut terhadap masa depan yang akan kami hadapi. Menantikan seberapa terjang jalan yang akan kami lalui setelah hari itu. Rani yang memutuskan berjuang di Universitas swasta, sedangakan aku dan Fadil yang sepakat berjuang dengan apa yang sudah kami bangun walau saat itu pekerjaan ini belum sebesar dan selancar seperti sekarang.
Karena mencoba berpikir realistis sangan membebani pikiran, kami memutuskan untuk mulai mengatakan apa yang mungkin terjadi di masa depan nanti.
Kemungkinan apa yang kami harapkan terjadi 10 atau 15 tahun mendatang.
Fadil mempikan dia yang akan menikah ketika mentalnya sudah siap sepenuhnya di umur 25 atau 26. Dan sepertinya itu akan terjadi dalam waktu dekat.
Aku mulai membayangkan memiliki Rumah yang juga menjadi tempat kerja kami, jadi tidak perlu berangkat sejauh beberapa kilometer untuk berangkat kerja. Keinginan itu tentunya terwujud hanya dalam kurung waktu kurang dari 4 tahun.
Rani, dia memiliki pandangan yang jauh berbeda di antar kami berdua.bahkan aku dan Fadil sama sekali tidak terpikirkan ketika Rani mengatakan apa mimpi dia dalam jangka waktu 10 tahun ke depan.
Rani memimpikan kami kembali duduk di tempat itu, dengan wajah yang sedikit lebih tua, keriputan di wajah, kantung mata yang mengjitam, serta anak-anak kami yang berteman akrab dan sedang bergelud tepat di hadapan kami nantinya.
Sayangnya, sepertinya hanya mimpi milikknya yang belum menemui kepastian hingga saat ini.
Dan kini, hubungan dia sepertinya terancam akan berakhir.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu kedepan terhadap Rani, tetapi aku ingin mimpi miliknya itu setidaknya terwujud.
Aku juga suatu saat bisa berada di sana jika memungkinkan. Hanya saja aku tidak berharap banyak untuk kemungkinan itu.
Apa Rani bisa menjalani itu semua sendirian nantinya?
Mungkin Rani tidak pernah menyinggung ini, tapi aku tahu fakta kalau suaminya sangat jarang memberi uang belanja kepadanya di tiap bulan. Aku tahu itu. Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan Rani sering tertekan terhadap suaminya.
Apa dia bisa melewati jalan itu nantinya?
Rani, dia baik-baik saja kan?
Apa kemungkinan orang yang berpisah dengan pasangannya dan menemukan kembali kebahagian itu besar adanya? Itu pasti akan terjadi bukan?
Tidak, aku tidak bisa berpikir optimis kali ini.
Kenyataan kondisi diriki saat ini juga membayangkan kemungkinan yang akan terjadi terhadap Rani nantinya hanya menghasilkan pemikiran pesimis. Walau anak itu selalu bersikap positif kepadaku selama ini, aku tidak yakin apa itu akan bertahan nantinya.
Aku tidak yakin akan ada di sana, menemaninya dan perlahan memulihkan dirinya seperti yang biasa dia lakukan kepadaku.
Ini buruk, apa yang harus aku lakukan?
Sesuatu, apa aku tidak bisa melakukan sesuatu dari sekarang untuk mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepadanya?
Apa saja, apapun itu tidak adakah...
Apa saja...
Apapun..
... sesuatu yang bisa aku lakukan untuknya..
...Sesuatu?
Sepertinya aku menemukan titik terang.
Aku akan langsung mengirimnya. Hanya itu yang bisa aku berikan kepadanya saat ini. Aku harap dia akan mengerti ini. Lagian, aku tidak tahu harus aku apakan untuk semua itu.
" Apa kamu sudah mencoba menelpon balik?"
Suara Lily terdengar keras dan menggema dari dalam WC.
Terkirim!
" Belum!"
Aku segera menutup pintu dan berjalan ke ruang tengah. Kami berpapasan di lorong Dapur dan aku melihat Lily dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya.
Seperti saran darinya, dengan berat hati dan rasa bersalah telah kacauya rencana awalku untuk menjauh darinya aku mulai menghubungi nomor Rani.
[ Nomor yang anda tuju sedang mengalami gangguan. Mohon coba beberapa saat lagi]
" Sepertinya nomor kamu di blokir olehnya."
" Ya, aku tahu itu."
Lily memeluk lengan kananku, mencoba menghiburku.
" Ayo kita coba hubungi dengan nomorku. Kamu bisa berbicara dengannya melaui itu. Dia tidak mungkin memblokir nomorku juga bukan?" Cara Lily mengatakan kalimat terakhir seperti mengejekku.
" Untuk memastikan nomornya masih aktif saja."
" Gak-gak, kamu harus berbicara dengannya!"
Lily mulai menyalin nomor Rani dan menambahkan ke daftar kontaknya. Lalu dia mulai menghubungi nomor itu.
( Berdering)
Aku bernafas lega setelah mengetahui dia masih memakai nomor itu.
[ Halo?]
Itu suaranya!
Dan, dia terdengar sedang menangis.
Bahkan Lily juga menyadari kalau Rani yang sedang berada di sambungan telopon saat ini sedang menangis.
Jadi itu benar, SMS itu memang benar.
Lily dan aku saling menatap satu sama lain. Kami sama-sama mengangguk dan sepakat untuk menelponnya lain kali mengingat suasananya sedang tidak mendukung. Jadi aku menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan dari hp Lily.
" Tenang saja.." Ucapku tenang.
"... Tenang saja gimana kamu ini? Atau begini saja, kamu akan mengirim pesan kepadanya menggunakan nomorku."
Aku mencoba tersenyum yakin.
" Tenang saja, aku akan berkomunikasi dengan cari lain kepadanya."
Semoga apa yang aku bayangkan saat ini benar.
Semoga dia yang menangis saat ini karena hal itu. Ya, yang bisa aku lakukan saat ini adalah berharap demikian.