Separation

-Lily

Sebenarnya aku masih cemas terhadap cara Andi menyelesaikan permasalahan tentang sahabatnya, Rani saat ini. Dia terlihat begitu tenang dan santai-santai saja semenjak aku yang menelpon Rani menggunakan nomorku dan mendapati Rani sedang menangis tersedu-sedu saat di dalam panggilan.

Aku harap itu berjalan baik sebagaimana mestinya.

" Kalau ada kesempatan, aku ingin menemui Rani. Tolong jadi perantara kami oke?"

Andi menatapku cuek.

" Aku rasa Rani akan datang sendiri kepada kamu nantinya."

Sudah mengenal luar dalam sifat sahabatnya ya?

" Hmmm, begitu ya."

Andi menyenggol badanku pelan.

" Ya, memang begitu."

Kaki kami berdua melangkah ke lift yang cukup panjang di depan kami ini. Andi sempat dengan sengaja menginjak kakiku saat ingin melakukan lompatan kecil. Itu hampir membuatku terjatuh jika keseimbanganku hilang kendali.

Sebenarnya sejak meninggalkan rumahnya, entah kenapa aku merasakan firasat yang begitu aneh terhadap Andi. Sesuatu, perasaan ini cukup mengganggu dan sulit untuk di utarakan. Yang jelas, rasa khawatir dan kewaspadaanku tiba-tiba meningkat drasisdalam beberapa jam terakhir.

" Kamu sudah meminum obatnya?"

Hanya tatapan jengkel yang aku dapat darinya ketika mengatakan pertanyaan itu.

" Bukannya kamu yang memasukkan paksa pil-pil itu ke dalam mulutku sebelum kita berangkat tadi?"

Ya, aku tahu dari mana asal kekesalan itu.

Hanya saja aku masih merasa khawatir atas sesuatu saat ini.

" Besok perginya bareng aku oke?"

" Iyaa, udah berapa kali kamu menanyakan pertanyaan ini hari ini?"

Besok adalah jadwal operasi pengangkatan kista di pangkreas Andi. Ya, semua berjalan begitu cepat beberapa hari terakhir dan aku bersyukur menjadi protektif kepadanya saat ini. jika tidak dia bisa saja menghilang atau bahkan sengaja mangkir dari jadwal operasi besok!

Sekarang aku sudah tahu karakter anak satu ini bagaimana.

Karena besok dan seterusnya kemungkinan dia bisa melakukan sesuatu seperti berjalan-jalan itu sedikit mustahil, terutama pemulihan pasca operasi dia mengajakku untuk bermain di TranStudio Mini yang berada di Simpang empat Jl. Soekarno - Hatta.

Seberapa jauh tempat ini tidak begitu aku permasalahkan sebenarnya, juga jarak Rumah Sakit terdekat di sekitar tempat ini tidak terlalu jauh jiga terjadi apa-apa nanti kepadanya.

Hanya saja, jujur aku menentang ide dia untuk keluar ini.

Aku hanya ingin malam ini dia duduk di rumahnya atau penginapan tempat kami menginap dan tidak melakukan sesuatu yang beresiko terlalu besar memicu hal yang tidak di inginkan.

Saat di rumahnya, aku melihat dia memiliki Konsol game yang cukup keren, mungkin kami berdua bisa bermain hingga larut malam jika tetap di rumah.

Namun, aku juga tidak bisa menolak permintaannya untuk keluar dan bermain di keramaian ini.

Kalau dariku, hari-hari yang kami habiskan bersama sebelum ini sudah cukup. Sangat cukup dan aku sangat menikmatinya. Bahkan itu semua sudah lebih dari cukup.

" Kalau kamu ngerasa sakit, nyeri, atau sesak di dada kita langsung pulang ya?"

"Iyaaaaa."

Andi memasang wajah kesal yang tertahan saat mengatakan itu.

Ini sudah ke-8 kalinya aku menanyakan hal yang sama lagi.

Kami berhenti di sebuah stand makanan. Itu adalah stand makanan luar yang menyajikan berbagai makanan seperti Taco, Fried chiken namban, Ayam gochujang.Galbi fried chicken, Sushi, dan gimchi.

Telunjuk Andi perlahan mengarahkan ke stand makanan itu.

" Ngaak! Kita udah makan tadi! Lambung kamu kaget yang ada nantinya!"

Kenapa aku mendadak menjadi galak gini sih?

" Biasanya kamu suka lepas kendali melihat yang begituan."

Ya, ya aku tahu itu.

Hanya saja saat ini firasat dan rasa khawatirku sudah mengalahkan nafsu makan dan rasa ketertarikan terhadap makanan manis dan enak seperti itu.

" Kalau kamu ingin memakan salah satu dari itu, katakan saja padaku. Aku akan membuatkannya untukmu. Spesial buatan tangan dari Lily hanya untuk kamu."

Mata Andi berkedip beberapa kali, kemudian memasang wajah dengan ekspresi yang terlihat menyesal. Cara dia menatapku dengan mata itu seakan ingin mengatakan, 'Kenapa baru bilang sekarang?'.

Aku tersenyum dan mencoba memberi tatapan menggoda.

" Kalau begitu, nanti pagi. Aku akan membuatkan itu untuku. Tapi kita harus membeli bahannya dulu."

Kedua tangan Andi mendadak di tepuk dan membentuk posisi seperti orang jepang yang sedang berdua, lalu ujung jarinya di tempelkan di dekat jidatnya.

" Mohon kerja samanyaa!"

Cara Andi yang mengatakan itu dengan berteriak dan tiba-tiba membungkuk itu menarik perhatian banyak orang di sekitar kami. Terutama para pasangan yang sedang menghabiskan waktu di tempat ini tertawa melihat kelakuan Andi yang random ini.

Tanganku mencoba mengacak-ngacak rambutnya.

" Ayo kita cari bahannya."

Andi menegakkan badannya dan tersenyum ceria.

Saat aku melihat senyuman itu, lubuk hati terdalamku merasakan gelisah yang luar biasa. Tentu di samping itu aku sangat senang, melihat perubahan dirinya yang perlahan menjadi lebih positif. Hanya saja, cara dia tersenyum itu membuatku sedikit terganggu.

Tangan kiri andi sengaja membentuk setengah lingkaran, seperti memintaku untuk memeluk lengan itu.

Ya, ini hanya perasaan gelisah semata.

Tidak ada hal yang paling membahagiakan yang pernah aku rasakan sejauh ini selain melihat dirinya yang kembali ceria.

Aku menyambut baik ajakan itu dan segera memeluk lengan kirinya.

" Apa kamu juga bisa membuat bandrek?"

" Mau cari mati ya kamu? Asam lambungmu naik nanti lho."

Sebisa mungkin aku menahan rasa ingin marah setelah sebelumnya terpancing dan jatuh hati oleh tingkahnya beberapa detik yang lalu.

" Kalau begitu, milkshake aja."

Kami berjalan menuju bagian Transmart dengan irama jalan yang kacau dan mengganggu pengunjung sekitar.

Andi mengambil troli belanja dan mendorongnya santai. Bahkan terkadang dia menirukan cara para lansia yang menggunakan alat bantu jalan. Aku tertawa ketika dia melakukan itu, walau sebenarnya tidak seharusnya menertawakan hal seperti itu.

Dia sangat ceria.

Aku bersyukur melihat versi dia yang ceria seperti ini.

Sepertinya, aku berhasil menghidupkan api kehidupan yang sebelumnya mulai meredup dari dalam dirinya itu.

" Jangan asal memasukkan barang. Jangan membeli barang yang tidak perlu!"

Aku memarahi dia ketika asal memasukkan buah kalengan ke dalam troli.

" Kamu gak mau leci kalengan ini?" Dia menunjukkan kalengan leci kepadaku.

Ah, aku menjilat ludahku sendiri.

" Kecuali itu, tidak apa. Jangan mengambil barang yang tidak perlu lagi."

Sudah berapa lama aku tidak memakan sesuatu seperti itu ya?

Hmm, kalau aku ingat kembali Andi pernah iseng membawa itu ketika memeriksa kesehatannya beberapa tahun yang lalu. Hanya saja ketika dia memberikan itu kepadaku, kami tidak memakan itu bersama. Seperti biasanya, kami berpisah setelah aku selesai menuliskan resep obat yang sama berkali-kali saat itu. Kemudian aku kembali menunggu kedatangannya selama hampir sebulan. Terkadang kurang dari sebulan terkadang lebih dari itu. Dia benar-benar orang yang random.

Aku mengambil tepung terigu yang berada di rak atas.

Tidak sampai, jangkauan tanganku tidak sampai!

" Kamu harus banyak minum susu atau melakukan skipping. Badanmu akan segitu-segitu saja nanti loh. Ga ada bertumbuh." Itu adalah kalimat sindiran yang jelas walau dia mengatakannya dengan nada bercanda.

" Badan manusia berhenti bertembuh ketika menginjak usia awal 20an. Untuk perempuan, biasa akan terhenti di usia 17 hingga 18 tahun. Sedangkan pria di kisaran 20 hingga 23 tahun. Jadi ketika usia manusia sudah melewati masa itu, itu akan berhenti tumbuh."

Ah, ilmu medisku kali ini bisa tersampaikan dengan baik ketika ada di dekatnya. Biasanya tidak berguna atau buffering.

Sebentar, itu bukan bagian dari ilmu medis. Itu sebenarnya mendekati pengetahuan umum.

" Hmmm, aku rasa kamu salah."

Oke, mulai lagi.

" Tidak, itu pengetahuan umum yang sudah sewajarnya diketahui. Informasi itu bisa di bantah dan sudah di lakukan penelitian untuk membuktikannya sebelumnya."

Andi tidak menanggapi perkataanku dan mulai berjalan duluan di depanku, meninggalkan troli belanjaan dan membuatku terpaksa mendorong troli itu dan segera menyusulnya.

" Kalau begitu, bisa kamu jelaskan sesuatu yang terus bertumbuh drastis di dalah tubuhku selama beberapa hari terakhir ini?"

Aku berhenti melangkah.

Dia menggombal, aku tahu dia baru saja mengatakan gombalan!

Aaaaa-aaaaaaaa!

Pipiku memerah dan suhu di tubuhku mendadak naik.

Bagaimana dia bisa mengatakan gombalan seperti itu?!

Aku tahu kalimat yang dia katakan itu cukup sulit di pahami orang-orang normal, karena menggandung banyak frasa di dalamnya. Tapi aku tahu dia saat ini sedang menggombaliku!

Apa memang itu sebutannya? Menggombal, atau merayu?

Peduli setan dengan sebutannya, yang mana saja bisa aku tidak akan memikirkan hal seperti itu lagi!

Jarak di antar kami makin menjauh dan aku langsung berjalan cepat sambil mendorong troli menyusulnya. Saat aku memperhatikannya, tangan kanannya sudah memegang satu buah kaleng biskuit kong ghuan.

" Aku sudah mengatakan untuk tidak asal mengambil belanjaan bukan? Balikkan lagi ke tempatnya."

Andi hanya tersenyum cengengesan sambil menggaruki bagian belakang kepalanya. Kemudian dia asal menaruh kaleng buskuit yang dia ambil tidak di tempatnya.

Melihat itu, aku hanya bisa mencubit alis mataku.

" Aku juga akan membuatkan kamu Roti boy spesial jika kamu kembali menaruh itu di tempat kamu mengambilnya tadi."

" Laksanakann!!!"

Andi langsung berlarian ke arah belakang dan menaruh kembali kaleng biskuit itu di tempat dia diam-diam mengambilnya tadi.

Entah kenapa, rasa khawatir yang aku rasakan sebelum ini perlahan mereda.

Setidaknya aku bisa merasa lega untuk saat ini.

Kedua kakiku terus melangkah walau Andi masih berada di belakangku dan belum juga menyusulku. Aku harap dia tidak melakukan sesuatu seperti menjatuhkan barang promo yang ada di pertengahan lorong di samping kiri kami. Soalnya sejak kami melewati area ini cukup banyak barang promo yang di susun dengan posisi cukup ekstrim, seperti membentuk primadia, persegi abstrak dan sebaginya.

Andi tidak mungkin bisa terseret dan tidak sengaja menjatuhkan barang seperti itu kan?

Nah, dia tidak mungkin melakukan itu kan?

Aku tahu dia orangnya terkadang menjadi sangat ceroboh.

Ayo Lily, berhenti berpikiran negatif seperti itu. Penuhi kepala ini dengan sesuatu yang positif mulai sekarang hingga seterusnya!

Dia akan menjalani operasi besok, dan aku harus menjauhkan pikiran negatif seperti itu untuk sekarang.

Pandangan di depanku memperlihatkan hampir seluruh pengunjung terdiam dan menatap sesuatu dari arah belakangku. Tatapan mata mereka seakan terkunci dan fokus terhadap sesuatu yang terjadi di belakangku.

Hmm? Tapi aku tidak mendengar suara benda jatuh atau semacamnya sebelumnya.

Perlahan, aku mulai menoleh dan memutarkan badanku ke arah belakang, arah yang saat ini menjadi pusat perhatian banyak pengunjung di depank—

?

?

??!!

Aku melihat Andi yang sudah terjatuh di atas lantai dan mengalami kejang.

" Asta...."

Ya tuhan, ya tuhan!!!

Kedua kakiku seakan tertarik oleh sesuatu dan sangat berat untuk di gerakkan.

Dalam hitungan sepersekian detik, waktu berjalan begitu lambat di sekitarku.

Hanya ada satu nama, satu orang, satu wajah yang terlintas di kepalaku saat ini.

Orang-orang di sekitar mulai mendekati orang itu, orang yang wajahnya saat ini memenuhi kepala dan pikiranku dan seluruh memori yang aku miliki tentangnya ditampilkan dalam kecepatan yang sangat cepat dalam waktu singkat.

Nafasku, detak jantungku, dan adrenalinku saling memicu satu sama lain.

Orang itu, kini berjarak beberapa meter dariku. Sedikit lagi, sedikit lagi, sedikit lagi aku sampai!

Sialan, sedikit lagi!

Ya tuhan, kali ini saja, kali ini saja...

Kali ini saja jangan ambil dia! Aku masih ingin bersama dengannya lebih lama lagi!

Jangan lakukan itu!

Aku memohon kepadamu pencipta semua zat yang ada di dunia ini, jangan ambil dia dariku.

Kepadamu yang menciptakan dan mengatur dunia ini sebagaimana semestinya, beri aku kesempatan lagi untuk bersamanya.

Tolong dengarkanlah permintaan yang egois ini sekali saja ya tuhan.

Badannya berhenti bergerak, bola matanya mulai bergerak perlahan ke atas.

Tidak ada anggota badannya yang merespon ketika aku mencoba memicunya untuk bergerak.

Tak ada nafas yang keluar dari hidung.

Denyut nadinya, aku tidak bisa merasakannya.

Aku,...

... tidak bisa merasakan.. itu.

Andi, mengalami henti jantung.

Pupil di mataku seakan merasa mengecil dan darah bergerak cepat ke arah kepalaku.

Aku mendengar salah seorang pengunjung yang berteriak apakah ada seorang Dokter di sekitar sini. Tanganku bergetar hebat, tangan itu kemudian langsung mulai menyiapkan prosedur resusitasi jantung paru.

" Saya Dokter."

Salah seorang satpam tiba dan aku dengan refleks langsung memintanya untuk mengambil sesuatu yang sebelumnya aku lihat ada di dekat pilar dinding samping lift.

" Ambilkan AED nya pak!"

Aku bersyukur satpam itu mengerti prosedur yang di haruskan saat situasi seperti ini.

Salah seorang pengunjung ikut membantuku, aku menatap matanya. Dia adalah seorang perempuan yang terlihat seusia denganku. Dia meminta para pengunjung lain memberi ruang dan mulai meluruskan kaki Andi.

Siapapun perempuan itu, aku mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya.

Tangan kananku ku letak di atas dadanya, dan tangan kiriku di atasnya. Aku akan melakukan kompresi di dadanya segera.

" Ayo, ayo, ayo."

Kedua tanganku berkali-kali menekan dadanya. Naik-turun, naik-turun, naik-turun.

Keringat mengalir deras dari jidatku dan jatuh di atas dadanya.

" Tolong dongkakkan kepalanya dan tarik dagunya."

Perempuan yang membantuku itu langsung melakukan apa yang aku suruh.

Aku menarik dalam nafasku. Mataku tertutup dan aku melepikan doa kepada tuhan, " Ya tuhan, tolong lancarkan ini. Jangan renggut dia dariku." Kemudian mulutku mulai ku jatuhkan di atas mulut Andi dan langsung meniupkan udara ke dalamnya.

Setiap aku memoma udara ke dalam mulutnya, aku mulai menyadari air di mataku jatuh begitu deras dengan sendirinya tanpa seizinku.

Aku menyudahi meniup udara dari mulutnya dan kembali mengulangi kompresi di dadanya.

" Ayo, ayo kamu bisa, jangan lakukan ini kepadaku, kamu jahat sialan!"

Aku mulai berteriak. Sulit mengendalikan emosiku dan memilih melampiaskannya begitu saja saat ini.

Setelah hampir 50 pijatan di dada, aku kembali mencoba memberikan nafas buatan kepadanya.

Kamu bisa, kamu bisa, jangan tinggalkan aku begitu saja, tolong jangan tinggalkan aku!

Aku melepas ciuman pernapasanku dari mulutnya ketika menyadari suara ricuh yang mulai mendekatiku. Itu adalah satpam yang membawa AED!

Satpam itu terlihat berlarian sedangkan rekannya yang baru datang membuka jalan dari depan.

" Ambulan sedang dalam perjalanan!"

Tanganku langsung menerima alat yang memiliki ukuran sama seperti laptop itu.

Aku kebingungan tepat ketika baru saja menerima AED dari satpam. Pikiranku begitu kacau balau untuk menentukan prosedur mana yang harus aku lakukan terlebih dahulu, membuka bajunya atau membuka alat ini.

" Saya bisa membuka alat itu, kamu tolong buka bajunya."

Aku menatap perempuan yang menolongku tadi.

Tanpa menunggu pejelasan lebih lanjut, aku menyerahkan alat itu kepada perempuan itu dan mulai membuka kancing kemeja yang dipakai Andi.

Kenapa kancing ini begitu susah untuk di lepaskan?!!!

Sialan!

'KRAAKKK!!'

Maaf, aku akan mengganti baju itu, jadi aku mohon sadarlah setelah ini!

Di sekitar dadanya terasa cukup lembab, ini pasti karena keringatku.

Astaga, kenapa malah aku yang mempersulit ini?!

Aku langsung melepas jilbab yang aku kenakan. Aku menggunakan kain jilbab itu mengeringkan area sekitar dada Andi.

Perempuan itu kemudian memberiku salah satu PAD dari AED, dia mengetahui prosedur penggunan ini. Syukurlah.

Aku meletakkan PAD pertama di bagian atas kanan dada Andi, tepat di bawah bahunya.

Perempuan itu kembali memberikan PAD kedua, dan aku langsung menempelkan PAD itu tepat di bagian bawah kiri dad Andi. Tepat di dekat area jantungnya.

Aku menekan tombol 'analisis' dari alat AED itu.

Perempuan itu mulai menjauh sekitar beberapa meter dari tubuh Andi. Begitu juga denganku, hanya saja tidak sejauh itu.

" DO NOT TOUCH PATIENT! ANALYZING RYTHM."

Suara dari mesin itu terdengar jelas dan mulai menganalisa detak jantung Andi.

Aku menutup mataku, menunggu dan terus berdua kepada tuhan. Berdoa, dan terus berdoa.

" SHOCK ADVISED CHARGING."

Aku mulai membuat janji kecil antara diriku dan tuhan.

" CHARGING."

Sebuah janji, di mana aku akan melakukan apapun untuk keselamatannya.

" STAND CLEAR! PUSH FLASHING BUTTON TO DELIVER SHOCK."

Aku menekan tombol 'shock'.

Dada Andi terlihat sedikit terangkat akibat menerima kejutan listrik yang cukup besar dari alat itu.

Perempuan yang membantuku tadi mulai mengambil alat CPR dan bersiap memasangkannya ke area mulut Andi.

Aku kembali melakukan kompresi di dada Andi ketika alat itu selesai memberikan kejutan listrik. Aku memiliki waktu 2 menit untuk kembali melakukan CPR sebelum alat itu kembali melakukan anal—

"—!!"

" DO NOT TOUCH PATIENT! ANALYZING RYTHM."

Tangaku reflek terangkat dari tubuh Andi. Kenapa bisa secepat itu? Bukannya aku baru saja—

" SHOCK ADVISED CHARGING."

" CHARGING."

Ah, ayolah, ayolah jangan lakukan ini kepadaku.

" STAND CLEAR! PUSH FLASHING BUTTON TO DELIVER SHOCK."

Jari telunjukku kembali menekan tombol, 'shock' kemudian badan Andi kembali di aliri sengatan listrik.

" Bertahanlah, kamu bisa, tolong bertahanlah"

Aku kembali melakukan CP—

"—DO NOT TOUCH PATIENT! ANALYZING RYTHM."

Relativitas sialan!

" SHOCK ADVISED CHARGING."

Mataku membelalak tidak percaya.

" DI MANA PETUGAS MEDISNYAAA!!!!!!?????"

Aku tidak peduli jika orang-orang melihatku sebagai orang gila saat ini.

" SUDAH BERAPA LAMA INI DI MANA PETUGAS MEDISNYA SIALANN!!!!??"

" STAND CLEAR! PUSH FLASHING BUTTON TO DELIVER SHOCK."

Tanganku berhenti bergerak ketika mendengar suara Walky-Talkie dari satpam tempat ini berbunyi.

[ Medis sudah di pintu masuk!]

" Bersihkan dan beri jalan area untuk jalan keluar nanti. Dan cepatlah!!!"

Tidak hanya aku yang terbawa emosi saat ini.

'shock'

Dada andi kembali bergetar, dan aku mulai kehilangan kesabaranku atas semua pihak yang sedang terlibat dari kejadian ini.

" RHYTHM CHANGED, SHOCK CANCELLED."

Kesadaranku seakan perlahan mulai menghilang, aku merasakan tidak bisa mendengar apapun di sekitarku lagi ketika aku mulai bersiap untuk kembali melakukan prosedur CPR kepada Andi.

Namun aku tetap melakukan itu, aku terus memompa dadanya kemudian meniupkan udara ke mulutnya melalui alat CPR yang sudah di pasang di mulutnya. Aku terus melakukan itu agar harapan yang ada disini terus hidup, aku melakukan itu agar harapan itu tidak menghilang, agar...

... agar..

... jangan tinggalkan aku.

Baik penglihatan maupun pendengaranku kembali berfungsi dengan baik, hanya saja bayaran atas kembalinya indera itu membuat emosiku mulai naik dan pecah.

Terutama ketika aku melihat satu tim yang sedang berlarian membawa tandu dari ambulan ini.

" SIALAN DARI MANA SAJA KALIANNN!!!???>p:?!!!"

Aku meneriakkan itu tepat di depan wajah petugas medis yang baru saja datang dan hendak memeriksa tubuh Andi.

" Dokter Lily, anda bisa istirahat dan biarkan Dokter lain menggantikan posisi anda."

Suara itu bergema diantara ruangan dingin yang cukup senyap ini. Selain suara 'bip'dari alat pengukur detak jantung dan peralatan medis yang sedang di gunakan, suasana di dalam ruangan ini sudah seperti medan perang.

Aku menatap orang yang sangat familier saat masa Koass ku itu dengan tatapan lemas.

" Kamu sudah kelelahan, istirahat saja dulu."

Apa yang dia katakan benar.

Aku mengangguk dan mulai melepas sarung tangan lateks yang dipenuhi lumuran darah dari orang yang aku cintai itu.

" Maaf, sebelumnya."

" Kamu akan kena masalah setelah ini, itu pasti. Tapi saya akan sebisa mungkin mengurangi dampak itu. Tidak apa, serahkan saja ini kepada saya."

Aku mengangguk kepada orang yang pernah menjadi Dokter konsulen ketika aku menjalani koass di rumah sakit ini. Rumah sakit terdekat yang saat ini menjadi tempat operasi Andi.

Aku beruntung Rumah Sakit terdekat yang kami tuju adalah tempat ini, tempat yang sangat familiar bagiku selama beberapa tahun menimba ilmu.

Mataku masih menatap ragu untuk meninggalkan Andi sendirian di ruangan ini. Aku kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ketika kami sampai terjadi penyubatan besar di sekitar area pembuluh darah Andi. Itu mungkin yang menjadi salah satu penyebab dia collapse tadi.

Ketika mengetahui hal itu terjadi, aku langsung menyuruh untuk memasang Stent pada pembuluh darahnya. Itu adalah tindakan yang gila, bahkan aku tidak memiliki izin atau hak untuk melakukan itu. Bahkan, Rumah Sakit ini bukanlah rumah sakit yang menampungku saat ini, ini bisa memperburuk reputasi tempatku bekerja. Tapi aku tidak peduli dan langsung melakukannya hingga Dokter yang jaga datang dan mengambil alih prosedur operasi.

Akibat dari tindakanku itu, Andi mengalami Aritma reperfusi. Aku hampir mencoba mengakhiri hidupku dengan pisau bedah ketika sadar tindakan awalku yang sembrono itu hampir membuat Andi kehilangan nyawanya.

" Lily!"

Suara itu terdengar dari orang yang kini sedang membedah area jantung Andi. Dia adalah salah satu orang yang masuk ke dalam kategori temanku, kami saling mengenal akrab ketika masa Koass dulu. Baru-baru ini aku mendapat kabar dia akan dilantik menjadi seorang spesialis jantung dalam satu minggu kedepan.

" Percayakan saja ini kepadaku, kamu istirahat saja."

Sepertinya dia juga akan terjerat masalahku ini, kemungkinan terburuk,... berhenti berpikir seperti itu Lily!

Mungkin, ketika tau akan terjadi sesuatu seperti ini di masa ini, aku yang masih polos dan mengemban profesi ini dengan terpaksa akan lebih serius dan menjalaninya sepenuh hati.

Langkah kakiku mulai melangkah mundur, kemudian segera keluar dari ruang operasi setelah membuang sarung tangan lateks yang sudah aku gunakan ke tong sampah medis di dalam ruang operasi.

Aku duduk di salah satu bangku di depan Ruang Operasi dan mulai meringkuh kesakitan.

Hatiku dihujam milyaran sayatan pedang selama 4 jam terakhir.

Aku mulai menangis dan langsung menutup wajahku dengan kedua tanganku untuk menyembunyikan wajahku. Aku tidak ingin orang lain melihat wajahku yang sedang menangis.

4 jam bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan agar tidak menangis ketika aku ikut melakukan operasi ilegal terhadap orang yang aku sayang itu.

Pandanganku mulai kabur, sepertinya aku merasakan rasa lelah yang luar biasa menyerang mata dan pikiranku. Apa yang mereka katakan itu benar, aku hanya akan menjadi beban kalau masih melanjutkan operasi ilegal itu bersama mereka.

Kepalaku bersender ke arah dinding lorong yang terasa cukup dingin ini. Walaupun tekstur tembok ini sangat keras dan jelas tidak nyaman sebagai bantalan kepala untuk tidur, entah kenapa kesadaranku mulai hilang sepenuhnya.

Tidak!

Tidak, aku harus tetap terjaga!

Aku harus tetap terjaga hingga mendapat kab—

"—Lily!"

Aku terbangun dari tidur singkatku yang sangat tidak nyaman itu.

Leherku merasakan nyeri yang luar biasa akibat posisi kepala yang salah saat tidur.

Temanku yang sudah dipastikan gagal menjadi spesialis dalam seminggu kedepan itu membangunkanku. Dia duduk di sampingku dan langsung memelukku.

" Tidak apa-apa, dia baik-baik saja. Juga, aku sangat merindukanmu! Maaf aku tidak bisa menghubungimu sebulan terakhir ini."

Tubuhku di peluk seperti anak kecil memeluk boneka kesayangannya, terlalu erat dan hampir membuatku sesak nafas.

" Maaf ya, Sel."

Aku membalas pelukannya itu dengan menekan kuat punggungnya menggunakan kedua tanganku.

" Apa yang kamu minta maafkan? Malah aku yang seharusnya meminta maaf dan jadi terlambat datang tadi!"

Apa dia tidak sadar karirnya bisa saja hancur akibat tindakanku barusan?

" Bisa saja kamu kena seret masalah yang aku buat ini."

Sely melepas pelukannya dariku. Dia menatapku dengan tatapan serius.

" Kalau aku menjadi pengangguran aku akan tinggal bersamamu dan kamu harus menanggung hidupku hingga ada orang kaya datang untuk melamarku!"

Selera humor anak ini memang aneh, datang kapan saja tidak mengenal situasi. Selain akhiran nama kami yang sama-sama di akhiri dengan 'ly', mungkin kepribadian aneh kami yang bisa membuat kami terus erat menjalin hubungan hingga saat ini.

" Di mana dia sekarang?"

Aku segera berdiri dan sirkulasi darah berjalan begitu cepat di kedua kakiku. Aku mengalami kesemutan. Sely menarik tanganku dan membuatku kembali terduduk di sampingnya.

" Sudah-sudah, sebentar lagi dia akan di pindahkan di kamarnya. Tenang saja. Kamu akan melihatnya juga toh. Daripada itu, bagaimana kamu bisa mengenalnya?"

Aku tersenyum tidak percaya.

Bagaimana bisa aku merasa cukup tenang ketika mengobrol dengan Sely dimana saat ini Andi baru saja selesai melakukan operasi jantung?

Eh, apa aku tidak salah dengar barusan?

" Kamarnya? Maksudnya gimana?"

Sely tersenyum kaku dan mulai memutarkan kedua bola matanya.

" Sebenarnya, dia sudah berada di tempat ini selama 8 hari terakhir untuk rawat inap pra-operasi, mengingat kondisinya sudah cukup parah."

Ekspresi wajahku sangat datar mendengar penjelasan dari teman idiotku sejak masa koass ini.

" Di hari pertama dia berada di sini, tiba-tiba mengatakan sesuatu yang bodoh kepadaku mau kabur dari tempat ini besok pagi. Umm, dia benar-benar melakukan itu dan meninggalkan catatan akan datang saat hari H operasi besok. Sebelumnya dia sangat baik kepada siapa saja yang melakukan pemeriksaan di ruangannya. Staff Rumah Sakit menyerah untuk mencari keberadaannya karena itu terasa mustahil, dan situasi di sini juga cukup sibuk dari biasanya, kami kekurangan personil sejak 6 bulan terakhir." Sambung Sely dengan keringat yang mengalir cukup deras di sekitar dahinya.

" Jadi itu alasan kamu begitu singkat mengabariku selama ini?"

" Ya. Dan, hal yang membuatku kaget setengah mati adalah ketika kamu ada bersamanya tadi. Dia menepati janjinya kepadaku saat itu, walaupun datang dengan kondisi seperti itu. Nah Lily, sebelum aku merasakan firasat buruk kamu akan mendahuluiku aku ingin menyakan sesuatu. Apa hubunganmu dengannya?"

Sely menatapku dengan tatapan seram yang cukup menyedihkan. Dia terlihat ingin menangis.

Aku masih mencoba mencerna informasi baru yang aku dapat ini di kepalaku.

Kepalaku terasa begitu sakit terlalu banyak berpikir untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Hmm? Apa dia baru saja menjelaskan sesuatu seperti dia yang menjadi Dokter penanggung jawab Andi tadi?

Tanganku langsung mencengkram kuat kedua pundak Sely. Aku menatapnya serius walau itu selalu gagal saat aku mencoba melakukannya dengannya.

" APA KAMU YANG SEMENA-MENA MENDIAGNOSIS DIA TIDAK MEMILIKI HARAPAN LAGI JIKA MELAKUKAN OPERASI?"

Bahkan aku bisa menyadari bulu kuduk di sekitar leher Sely saat ini berdiri tegak.

" W-Well yes, but actually no."

" Hah?"

" Pertama, aku belum resmi di sahkan sebagai seorang spesialis. Kedua, bagian spesialis yang aku ambil adalah Jantung. Bukan spesialis pencernaan. Ketiga, dia terkena masalah dengan kedua bidang ini."

Aku melepas cengkramanku dari pundak Selly. " Maaf." Kemudian meminta maaf karena sudah mengikuti naluriku saat merasakan marah barusan. Aku bisa melihat wajah Sely begitu ketakutan karena melihatku yang marah kepadanya untuk yang pertama kalinya.

" Tapi, aku akan jujur. Karena aku merasa kamu dan dia memiliki hubungan yang begitu spesial aku akan jujur kepadamu, Ly. Memang aku yang mengatakan itu kepadanya saat itu. Terutama setelah aku yang secara langsung meminta penjelasan ulang diagnosa dan resiko pasca operasi untuk pasien aneh itu."

Mungkin, ini yang aku sukai dari Sely. Dia akan selalu berusaha jujur kapanpun dan tidak melihat suasanya, seperti tadi yang barusan bisa saja memutus hubungan pertemananku dengannya. Aku tidak akan berbohong akan memtus pertemananku jika itu menyangkut keselamatan Andi.

" Jangan katakan dia aneh."

Sely kembali memelukku, dan aku tersenyum lega setelah dia melakukan itu.

Perhatian kami langsung teralihkan ketika brangkar dorong keluar dari Ruang Operasi. Dan yang terbaring tak sadarkan diri pasca efek bius di atasnya adalah Andi.

" Ceritakan kepadaku lebih lanjut tentang apa yang dia alami."

Aku segera berjalan mengiringi Andi ketika brangkar itu lewat tepat di hadapanku.

" Sebelum itu, kamu harus memakan sesuatu terlebih dahulu bersamaku..."

Aku berhenti berjalan dan langsung membalikkan badan menatap Sely dengan tatapan tidak percaya. Apa yang dia katakan di saat sedan—

"—Dan kamu yang harus mentraktirku. Bukan di kantin, atau rumah makan padang di depan Rumah Sakit! Aku mau hak memilih apapun di aplikasi GoFood! Kita akan memakannya di ruangan pasien Fauzy."

Oh, dia belum selesai ngomong ternyata. Baru saja aku ingin mengajaknya berkelahi karena kesalah pahaman jeda yang dia ucapkan.

Itu hampir merogoh angka 7 digit! Dan dia benar-benar melampiaskan kekesalan yang dia rasakan dengan memesan semua makanan yang ingin dia pesan. Bahkan beberapa dari makanan itu tidak akan bisa dia habiskan dalam waktu satu hari.

Sely menepati janjinya dan menceritakan semua informasi yang dia dapat kepadaku. bahkan dia sampai memberiku salinan dari riwayat pemeriksaan Jantung dan Pangkreas milik Andi yang seharusnya benda itu tidak di perbolehkan di sebar luaskan.

Sely menemaniku hingga pagi dan matahari mulai kembali terbit. Walaupun dia tertidur selama 5 jam di atas lantai akibat kekenyangan. Dia mengabaikan jadwalnya dan menjadikan ruangan ini sebagai pelariannya. Sungguh, dia tidak berubah sejak terakhir aku menghabiskan waktu denganya selama ini.

Keberadaan Sely di dalam ruangan ini mungkin juga menjadi alat peredam rasa panik berlebihan yang mungkin akan muncul dalam diriku. Terutama ketika aku sendirian di ruangan ini bersama dengan Andi yang terbaring tak sadar pasca operasi.

Aku hampir terjaga selama semalaman hanya untuk membaca riwayat pemeriksaan dan penyakit yang sebenarnya Andi derita selama ini. Kasus ini menjadi krisis terparah dalah hidupku karena aku merasa sangat gagal sebagai Dokter yang selalu dia kunjungi tiap bulannya.

Namun aku punya pembelaan tersendiri untuk ini. Itu benar, bahwa aku kehilangan insting medis maupun ilmu medisku tidak bisa bekerja dengan tepat ketika berada di hadapannya. Aku seperti merasa, sesuatu untuk mengisi energiku untuk melakukan tugasku malah salah kaprah dan malah mengisi sesuatu yang lain. Hatiku.

Ini sangat memalukan untuk menyadari dan mengakuinya.

Untuk beberapa jam seterusnya, aku tertidur dan menjadikan ujung kasur tempat Andi tertidur sebagai bantalan kepalaku. Awalnya itu sangat sulit untuk mencoba tidur dan mngistirahatkan mata.

Namun ketika aku mulai menyentuh lalu perlahan menggenggam tangan kanannya, itu terasa sangat mudah untuk menutup mata dan mengistirahatkan badan.

Saat aku terbagun, aku merasakan sesuatu sedang mengacak-ngacak rambut di sekitar ubun-ubunku dengan setuhan yang begitu lembut.

Ketika mataku terbuka, aku langsung menyadari kalau sinar matahari sudah perlahan mulai terik. Tidak, ini masih baru beberapa jam sejak terbit. Yang membuat pemandangan ini siau adalah orang yang saat ini mengacak rambutku sudah tersadar dari efek biusnya pasca operasi.

Aku menangkap tangan kanannya itu dan langsung menciumi punggung tangannya. Masih dengan posisi kepala yang tertidur di atas kasurnya dan menatap kerah wajah Andi.

" Terima kasih, ya tuhan! Terimakasih, terima kasih!"

Badanku langsung refleks terduduk ketika menyadi sesuatu.

Ya tuhan, aku lupa waktu subuh! Itu terlewatkan!

Pandangaku tiba-tiba teralihkan kepada seorang perempuan yang mulai berdiri dan membawa beberapa sisa makanan menuju pintu kamar.

Sely menyadari aku yang menatapnya dengan tatapan heran. Dia tersenyum dan mengacungkan jempol kepadaku.

" Tidak perlu kamu jelaskan lagi! Aku tidak akan menyakan apapun lagi tentang hubungan kalian berdua! Tenang saja, aku akan meminta perawat datang membawakan makanannya! Kali ini aku yang akan membayar sarapanmu, hehehe."

Sely membuka pintu dan meninggalkan ruangan ini seperti maling yang hampir kepergok akan menjalankan aksinya. Aku sebenarnya sadar dia memotret kami diam-diam sejak tadi dengan beberapa angle ekstrim.

Lain kali aku akan meminta file foto itu dengannya.

Andi dan aku menghabiskan sisa hari dengan mengobrol dan melakukan permainan True or Dare. Aku juga membahas tentang jadwal pengangkatan kista di pangkreasnya yang di undur menjadi lusa.

Bagaimana mengatakannya, aku merasa sangat beruntung kali ini.

Sangat-sangat beruntung.

Aku tidak pernah membayangkan betapa beruntungnya aku, terutama pekerjaan yang dulunya sempat aku benci ini bisa sangat berguna dan sangat menentukan untuk orang yang paling berharga bagiku saat ini.

Kalau di pikir-pikir kembali, memang orang ini yang membuatku perlahan menyukai profesiku. Dia adalah orang yang memberikanku kesan spesial di hari pertama ketika aku resmi bekerja dan menyandang gelar Dokter ini.

Ya, semua memang berawal darinya.

Hal baik maupun menjengkelkan yang membawa energi positif bagi hidupku bayak berasal darinya.

Semoga ini akan berlangsung untuk seterusnya.

Tidak, untuk selamanya.

Aku meminta bantuan Sely untuk mengurus keperluan dasarku seperti pakaian dan peralatan mandi. Tentu tidak terpikirkan bagiku meninggalkan Andi walau itu hanya sedetik saja. Bahkan ketika aku pergi ke toilet yang berada di ruangan yang sama di kamar ini aku masih merasa was-was.

Ini yang dinamakan, protektif. Aku sudah seperti mamaku saja.

Ah, aku akhirnya mengingat orang tua itu.

Aku tidak ada menghubungi bahkan menyalakan hp sejak operasi kemarin. Bahkan Itu sudah berlangsung 2 hari yang lalu!

Jadi, setelah hampir 2 hari aku sengaja tidak menyentuh gadget serba guna ini aku mulai menghidupkan daya ponsel ini.

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

—KLING! KLING! KLING! KLING!

" Hp mu baru saja mengalami perang saudara."

Andi mencoba membuatku tertawa dan itu berhasil.

" Aku sengaja mematikannya sejak 2 hari yang lalu."

Tanganku berhenti mengusap layar hp ku ketika mendapati mendapat panggilan tak terjawab sebanyak 234x dari Humas Rumah Sakit, 76x dari Mbak Lina Perawat, 11x dari Kepala Residen Bedah UGD, dan 6x dari Mama.

Huh, setidaknya bagian Humas Rumah Sakit lebih mencemaskanku dari orangtuaku.

Apa dia masih kebawa suasana saat terakhir kali kami bertengkar? Yah, aku rasa dia masih akan kukuh mempertahankan ego kolot nya itu. Mama memang seperti itu, dia tidak pernah berubah selama 27 tahun terakhir.

Bagaimana cara mengubah pemikiran orang tua satu itu?

Aku takut kualat jika terlalu kuat menentangnya. Hanya dia satu-satunya orangtuaku yang masih hidup. Walaupun aku kebanyakan makan hati saat bersamanya, dia tetaplah orangtuaku.

" Aku menimbulkan banyak masalah bagimu, ya?"

Aku melempar hp ku kaget ke arah kasur dan mengenai pinggang Andi.

" No! Satu-satunya masalah yang muncul dan mengganguku selama ini adalah kamu sendiri!"

Apa yang aku katakan?!

" Berarti memang benar, kan?"

Dia tersenyum polos saat mengatakan itu.

" Bukan begitu, kamu menyebabkan banyak masalah bagiku dalam harfiah lain. Bukan berarti kamu penyebab masalah yang terjadi...."

Ah, aku kehabisan kata-kata!

Padahal Sely sudah memprintkan beberapa halaman kalimat rayuan untukku tadi siang!

" Jadi, apa yang terjadi, alasan di balik perang notif di hp kamu hingga saat ini?"

Ini cukup menjengkelkan mengakuinya, notif yang masuk membuat hp kumengalami buffering.

" Sepertinya aku harus ke Rumah Sakit besok subuh! Bersiap untuk dimarahi dan hal lainnya menantiku."

Wajah Andi pura-pura terlihat murung. Dia sangat buruk melakukan itu, kuakui itu.

Ya, walaupun begitu cara dia memperagakan itu membuat hatiku kembali bermekaran. Merangsang seluruh hormon yang ada di tubuhku untuk memancing beberapa reaksi kima seperti jantung yang berdegup tak karuan, kedua sisi yang saling memerah, dan seutas senyuman yang begitu lembut.

" Apa kamu tidak bisa tetap di sini?"

Benar juga, besok adalah jadwal pengangkatan kista di pangkreasnya.

Bagaimana ini? Aaaarrrrggghh!

Tangan kanan Andi terulur dan perlahan terbuka ke arahku.

( Menarik nafas)

" Kalau aku dibiarkan pulang besok, aku akan langsung ke tempat ini. Janji! Kamu bisa memegang janjiku."

Aku mengankat jari kelinking di tangan kiriku dan mengarahkan itu ke tangan kanan Andi yang sedang terbuka, menawarkan segel perjanjian jari kelingking dan dia menerima segel perjanjian tak tertulis itu.

Andi terseyum lagi kepadaku..

... ya, dia tersenyum lagi kepadaku.

Kali ini, senyuman itu terlihat berbeda dari sebelumnya.

Bahkan berbeda dari seluruh senyuman yang pernah aku lihat darinya.

Aku tidak bisa menggambarkan maupun membaca senyuman itu.

Yang jelas, itu seperti kembali membangkitkan sesuatu yang termasuk bagian dari insting di dalam tubuhku. Bagian itu menjalankan tugasnya dengan baik sebelumnya.

Tangan kami masih saling membentuk segel perjanjian. Mataku menatap kuat lesung tak sempurna di kedua sisi pipinya saat tersenyum seperti itu.

Badanku perlahan merasa lemas, perasaan itu menjalar namun bergerak sangat pelan ke seluruh tubuhku.

(Menutup mata, dan kembali menarik nafas)

" Sepertinya aku ber—"

"—Gunakan mobilku."

Kalimat Andi itu langsung membuatku panik dan kebingungan di saat bersamaan.

Aku melupakan kalau mobilnya masih terparkir di area Transmart!

" Kamu mengatakan kalau harus ke Rumah Sakit atau akan kena marah nanti subuh bukan?"

" Gak-gak, jangan pikirkan itu. Mobilmu masih di Transmart!"

Andi tertawa cekikikan melihat reaksi panikku.

" Kamu kurang minum, kurang tidur juga. Bukannya tadi siang Staff Transmart datang kemari dan mengkonfirmasi mobilnya sudah di antar kemari menggunakan mobil derek?"

Mataku berkedip beberapa kali.

" Ah, kamu benar."

" Gunakan saja mobilku, dan kamu beristirahat saja di penginapan hingga subuh."

Harus aku akui kali ini dia mengatakan ide sembrono yang harus aku tolak mentah-mentah tanpa perlu memikirkannya dua kali.

" Gak-gak, aku di sini aja sampai nanti subuh."

Tangan kanan Andi melepas segel perjanjian kami dan aku baru menyadari tangan kami terus mempertahanan posisi itu sejak tadi.

" Coba kamu lihat jam berapa sekarang."

Jam?

Jam ber—

—!!

" Sekarang sudah jam 1. Itu 4 jam lagi menuju waktu subuh."

Kedua tanganku memegangi kepalaku saat ini.

Untuk kedua kalinya aku akan menyalahkan teori relativitas.

" Jas Lab kamu bukannya ada di penginapan? Juga beberapa barang lain serta jarak dari penginapan menuju Rumah Sakit tempat kamu bekerja lebih dekat di banding jarak Rumah sakit ini menuju Rumah Sakit tempat kamu bekerja. Jalannanya juga rawan macet pas pagi. Kamu bisa kena amuk lebih parah deh, kalau begitu."

Ide dia sebenarnya logis, dia memikirkannya hingga sejauh itu.

Tapi aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja!

Walau Sely sudah mengatakan akan menjaga dia dengan mempertaruhkan nyawanya ketika aku akan di sidang di tempatku bekerja nantinya. Aku masih merasa berat untuk meninggalkannya.

Bukannya dia juga memintakuuntuk tetap bersamanya tadi?

" Kamu yakin, tidak masalah aku meninggalkanmu?"

Andi mengangguk pelan.

" Ya, tenang saja. Juga aku ingin menitip pesan, agar kamu mengatakan kepada penjaga penginapan kalau aku baik-baik saja. Oh iya, penginapan itu sebenarnya milikku."

Pantas saja. Sebelumnya aku juga was-was takut akan di razia atau di grebek oleh pihak berwenang terutama selama di penginapan itu aku selalu tidur di kamar Andi. Walaupun dia terkadang tidur di sofa atau lantai dengan kasur tambahan sedangkan aku selalu di atas ranjang empuknya.

Aaaaa, bagaimana iniii?

Ah, begini saja.

Kepalaku reflek mendekati kepala Andi.

Bahkan dia kaget ketika aku melakukan itu.

Kemudian aku mulai mencium lembut pipi kanannya.

Semoga ini menjelaskan semua kalimat yang sulit aku katakan kepadanya.

" Aku harap selanjutnya di bagian satunya." Andi menyeletuk ketika aku melepaskan ciuman dari pipinya.

" Mau sekarang aja?" Tanyaku spontan.

" Besok aja, besok aja! Jantungku belum siap untuk itu! Ini saja udah sakit berdebar-debar kuat ga henti."

Aku mencubit hidungny—

" AAAAAAAAAAAAHHHHH—!!!!!"

Suara teriakan Andi menggelagar memenuhi ruangan ini.

Ah, aku lupa bagian itu masih proses pemulihan.

Mungkin aku harus meminta maaf lagi kepada Sely karena dia dalam beberapa menit langsung datang ke dalam ruangan, begitu juga dengan beberapa perawat. Andi tidak sengaja menekan Nurse Call, dan suara teriakan dia terdengar ketika interkom sedang tersambung.

Bagaimapun, aku masih harus stay 24jam untuk kabar Andi setelah ini.

Saat berada dijalan, aku menelpon Sely untuk sekali lagi mengkonfirmasi agar mengabariku jika terjadi apa-apa. Dan, dia memarahiku.

" Kamu gak lihat betapa paniknya aku tadi hanya mendengar suara teriakan darinya? Heh?!"

Itu hanya salah satu bagian dari rasa cemasku, aku harap dia menganggap itu hal yang wajar.

Jalanan begitu sepi.

Ini lagi-lagi mengingatkanku kepadanya. belakangan ini kami sering menjajal jalanan ketika sudah sepi seperti ini. Normalnya, mungkin aku akan mengalami halusinasi atau kurang fokus ketika jalanan kosong dan minim cahaya seperti ini. Namun Andi memberiku sebuah tips spesial. Melatih kerongongan dengan memainkan bibir dan mencoba irama beatbox.

Tips yang nyeleneh, namun itu bekerja dengan sangat baik.

Akhirnya, aku sampai di penginapan. Aku memarkirkan mobil dan mendapati pengunjung tempat ini cukup meningkat sejak 2 hari yang lalu. Seperti permintaan Andi, aku menyampaikan pesannya dan mengatakan kalau Andi baik-baik saja. Penjaga penginapan itu terlihat begitu lega ketika aku menyampaikan kabar itu.

Besok aku akan mengitrogasi Andi untuk penjelasan lebih lanjut masalah penginapan ini.

Kakiku terasa cukup pegal ketika menaiki tangga.

Ketika sampai di lantai 2, aku menatap ke arah lorong. Secara bergantian, aku menatap ke arah kamarku yang belum pernah aku tempati selain untuk tempat mandi dan kamar Andi yang selalu aku gunakan untuk tidur maupun hal lainnya.

Kamar mana yang harus aku gunakan?

Yah, sepertinya aku harus tidur di kamarku sendiri malam ini. Lagian itu hanya tinggal 3 jam lagi.

Juga, aku merasa bersalah tidak pernah menggunakan kamarku dengan semestinya selama berada di tempat ini.

Kunci kamarnya macet. Padahal sebelum ini lancar-lancar saja.

" Huaaahhhh."

Aku mengatakan itu ketika pintu kamar penginapan berhasil terbuka.

Aku mulai mencopot sepatuku dan langsung meletakkan tasku di lantai.

Sebelum itu, aku melakukan peregangan untuk membuat rileks tulang punggungku.

Ini adalah salah satu kenikmatan yang tidak bisa aku lupakan.

Rasa lelah kemudian mencoba tertidur setelahnya.

Perlahan, aku menatap kasur di hadapanku.

" Ayo kita dengarkan lagu sampai tertidur."

Aku mengambil kembali tas yang aku jatuhkan di lantai kemudian mencari Hp dan handsfree di dalamnya. Kemudian aku memasang kedua ujung hansfree ke kedua telingaku setelah menghubungkan kabelnya dengan hp ku.

Ya, tidak perlu mandi atau cuci muka.

Kita langsung—

" Aaaaaaaaaaa, lembutnyaaaa."

Badanku terjatuh di atas kasur dengan posisi tengkurap. Aku mengambil bantal dan meletakkannya di sekitar wajahku.

Kalau boleh aku bandingkan, kasur di kamar Andi lebih lembut dari kasur ini. Entah itu karena faktor lain atau kasur ini dengan miliknya sama aja aku tidak tahu, yang jelas di kamarnya suasanya lumayan nyaman.

Tapi di sini tidak buruk juga.

Aku memutar lagu dari hp dan langsung meletakkan itu tak jauh dari bantalku. Aku juga memasang alarm untuk jam 5.20 dengan 40x pengulangan.

Kepalaku bergeser ke arah kanan, dan mulai menatap ke arah tempat aku melempar hp tadi.

Instrumen gitar yang begitu tentram mulai terdengar dari kedua hansfree.

Aaah, ini tidak perlu waktu lama agar aku bisa tertidur.

Mataku mulai terasa berat.

Pikiranku mulai merasakan rileks.

Badanku mulai membiasan diri dan udara di kamar ini sangat pas untuk segera tidur.

Aku harap, aku tertidur dengan nyenyak, dan bermimpi indah.

Tidak, tidak perlu mimpi yang indah.

Cukup memimpikan Andi, itu saja sudah cukup.