After Ending

Aku melihat, seseorang yang begitu familiar.

Pria itu memiliki badan yang cukup berisi dan postur badan yangtidak terlalu tinggi. Namun, postur badannya yang berisi menjadikannya terlihat begitu ideal. Sangat ideal bagi para pria sekarang.

Aku melihat, Pria itu sedang bercanda dengan salah seorang wanita yang tampak memiliki wajah blesteran. Wanita itu mengenakan hijab dan memakai cincin yang sama dengan pria itu di jari manisnya.

Kini, pria itu berjalan pergi meninggalkan wanta itu. Wajahnya masih di liputi kebahagiaan setelah bersenda gurau dengan wanita yang tampak seperti tunangannya itu.

-Fadil

Pria itu terus berjalan di sebuah tempat yang cukup asing bagiku. Aku tidak pernah melihat tempat dengan atsmosfer dan suasana sekitar sebersih itu. Benar-benar berbeda dengan tempat yang pernah aku temui. Orang-orangnya juga taat peraturan dan lalu lintasnya sangat terkendali. Aku beranggapan, tempat yang sedang di tapaki pria itu adalah negara lain. Bukan negara tempat aku tempati saat ini.

Itu adalah perjalan yang cukup menyenangkan ketika aku melihatnya. Trotoar cukup rapi dan bersih begitu juga dengan Kendaraan Umum nya. Mencerminkan pria sedang berada di sebuah negara yang maju perkembangan sumber daya manusia nya.

Setelah aku melihatnya berkeliling kota sepertinya pria itu sampai di tempat tujuannya.

Ketika aku memperhatikan tempat itu, aku sangat yakin tentang pria yang aku lihat saat ini pernah aku temui. Pria itu terlihat menyeka keringat di jidatnya. Menarik nafas kemudian masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yang terlihat baru buka itu.

Itu adalah aktifitas normal orang-orang saat berada di kantor untuk bekerja pada umumnya.

Semuanya terlihat baik-baik saja sejauh ini.

Tidak ada sesuatu yang salah, semua berjalan dengan semestinya.

Sebelum akhirnya seseorang wanita yang terlihat seperti seorang sekretaris mendatangi pria itu. Dia membawa telepon wireless dan memasang wajah yang terlihat bingung.

Pria itu mengerutkan alisnya saat mengambil telepon wireless dari sekretarisnya itu. Dan pria itu akhirnya berkata kepada sekretaris nya:

" Dari siapa?"

Sekretarisnya hanya menggelengkan kepala panik, lalu menjawab.

" Rumah Sakit, katanya itu mengenai keluarga anda."

Ujung telepon wireless itu menempel di telinga pria itu walaupun dia terlihat masih kebingungan dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

" Halo?" Ucap pria itu santai.

Perlahan, wajah pria itu menjadi kaku dan akhirnya mulai melemas seperti sedang mendengar kabar dari hal yang tidak ingin dia dengar.

" Iya, dengan saya sendiri." Baik nada maupun ekspresi pria itu perlahan mulai goyah.

Aku melihat, kaki kanan yang sebelumnya ia hentak-hentakkan kuat mulai berhenti. Kemudian, tangan kirinya mulai memegengi jidatya, hingga akhirnya menyisiri rambutnya ke arah belakang.

Pemandangan yang aku lihat saat ini, seakan menular dan membuatku merasakan hal yang sama seperti pria itu.

Aku melihat, pria itu berusaha untuk tetap berdiri dan tenang walaupun tubuhnya sudah tidak bisa lagi untuk melakukan itu.

Sama seperti matanya, itu mulai berkaca-kaca, walau sebenarnya terlihat ingin mulai menumpahkan semua cadangan air yang tersimpan di dalamnya.

Pria itu mulai bernafas tidak teratur, dia masih memegang telepon wireless di tangan kanannya. Sekretaris wanita itu juga menyadari perubahan suasana yang terjadi terhadap pimpinannya itu. Lalu, wajah mereka saling memandang satu sama lain.

Itu adalah perubahan wajah tercepat yang pernah aku lihat. Wajah pria itu menjadi pucat dalam hitungan detik.

" Penerbangan ke Pekanbaru, sekarang! Pesankan saya penerbangan ke Pekanbaru sekarang!" Suara pria itu membentak, membuat seluruh orang yang berada di ruangan itu teralihkan perhatiannya.

Sekretaris wanita itu mengangguk dan langsung berlari ke arah mejanya. Sedangkan pria itu mulai kehilangan pijakannya untuk berdiri hingga membuatnya tersandar ke dinding di sebelahnya.

" Siapapun, siapapun yang membawa sepeda motor. Siapapun katakan yang membawa sepeda motor! Motorcycle! Who the perso—"

Seseorang karyawan tampak melemparkan kunci ke arah pria itu.

" Red, di depan pintu masuk." Ucap karyawan yang melempar kunci barusan.

Pria itu, hanya bisa mengangguk dan menatap kosong satu persatu karyawan lain yang sedang menatapnya.

Seperti, aku merasa pria itu kepalanya sedang kosong saat ini. tidak bisa berpikir maupun menggerakkan badannya karenanya.

" Mr. Fadil, are you alright?"

Salah seorang karyawan menghampiri pria itu dan memegang bahunya.

" No. I'm not!" jawabnya singkat dan mulai kembali berdiri.

Perlahan, aku melihat dia melangkahkan kakiknya cepat, lalu semakin cepat, hingga akhirnya dia mulai berlari menuruni tangga dan keluar dari kantor. Aku mendengar nafasnya yang tersenggal dan dia yang mencoba menahan untuk tidak berteriak saat sedang berlarian.

Dia keluar dan berada di halaman kantor, kepalanya melihat ke sekeliling gelisah, mencari sesuatu.

" Sialan kau, kau bajingan."

Aku mendengarnya mengatakan itu ketika dia berhasil menemukan motor berwarna merah dan langsung menaikinya.

Mesin motor itu menggebu-gebu terlalu kuat, membuatnya menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Sebelum pria itu menarik gas di tangan kanannya, sekretaris wanita bersama karyawan pemilik motor tadi muncul dari pintu gedung. Sekretaris wanita itu berhenti dan tampak kehabisan nafas di depan pintu. Sedangkan karyawan yang bersamanya tadi berlarian ke arah pria itu membawa sebuah hp.

" Batik Air, 25 menit lagi."

Pria itu mengangguk setelah menerima hp dari karyawan pemilik motor itu, lalu ia langsung menarik gas motor dan meninggalkan area gedung dalam waktu singkat.

Motor bewarna merah itu melenggang dengan kecepatan yang sangat tinggi di jalanan.

Aku melihat, motor itu hampir menabrak sebuah truk saat ingin berbelok.

Cara pria itu mengendarai motor dengan begitu cepat membuatku khawatir. Dia bisa kapan saja terkena masalah dengan pihak berwajib maupun mengalami kecelakaan kapanpun.

Aku harap dia baik-baik saja.

Apapun yang terjadi, aku berharap demikian.

Fadil, jangan memaksakan diri.

Kamu malah makin memperburuk firasatku.

Jadi, ini belum berakhir?

Kali ini aku melihat seorang wanita yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya. Wanita itu saat ini sedang sibuk berbicara dengan seseorang yang terlihat seperti Pengacara itu dan mulai mengisi beberapa dokumen.

-Rani

Bukannya ini terlalu pagi untuk sekelas kantor pengacara buka?

Dari apa yang aku saksikan, wanita itu tampak cukup gesit dan cekatan mengatasi sesuatu. Buktinya, tidak butuh waktu lama baginya menyelesaikan urusannya di kantor ini walau dokumen yang sedang dia isi sebelumnya itu terlihat menyeramkan dan cukup merepotkan.

Sebenarnya, siapa wanita ini?

Sejauh yang aku perhatikan, wanita ini sedikit ceroboh walau orangnya sangat gesit menyelesaikan sesuatu seperti sebelumnya. Itu bisa aku pastikan dari cara dia berjalan sempoyongan dan hampir menabrak tiang listrik karena. Atau dia sedang terkena efek alkohol dan semacamnya?

Tidak, aku rasa itu bukan dari pengaruh alkohol.

Dan, setelah memperhatikan dengan seksama wanita ini, aku sepertinya mengenalinya.

Ya, aku bisa memastikan itu. Aku tahu wanita ini. Walau aku belum pernah bertemu dengannya. Aku melihat fotonya terpampang di kamar orang yang yang sayangi sebelumnya.

Wanita itu merogoh sesuatu dari tas kecil yang tersandang di bahu kanannya, lalu mengambil sebuah hp yang tampak sudah hancur dan masih bisa bertahan itu. Layarnya hancur berkeping-keping walau masih bisa menyala dan sebagian lcd di bawah sudah rusak.

Dia menatap layar di hp nya sesaat lalu kembali memasukkan benda itu ke dalam tasnya.

Apa dia sedang menunggu pesan seseorang atau hanya sekedar melihat jam?

Tidak, bisa aku pastikan berapa besar dan mencoloknya jam di kantor pengacara yang dia datangi sebelum ini. Tidak mungkin dia tidak menyadari jam itu bukan?

Astaga, kenapa aku memikirkan hal seperti ini dengan begitu berlebihan?

Wanita itu singgah untuk sarapan setelah melihat warung mie ayam yang buka di pinggir jalan. Ketika dia menunggu pesanannya, aku hanya bisa melihat dia termenung dengan tatapan yang sangat kosong menatap ke arah jalan di hadapannya.

Begitu kosong, dan sangat mencolok dari cara dia termenung. Itu seperti melihat seseorang kenalan yang cukup aktif dan ceria setiap harinya tiba-tiba memiliki masalah dan termenung dan hanyut oleh kehampaan. Perubahan sifat yang sangat jelas itu bisa cukup mudah di sadari.

Dan aku beranggapan, wanita ini adalah orang yang sangat aktif dan ceria sebelumnya.

Mas penjual mie ayam datang mengantarkan pesanannya dan seketika membuyarkan lamunan wanita itu. Benar saja, dia memang orang yang ceria dan aktif. Aku bisa memastikan itu dari cara dia mengajak bercanda penjual itu saat mengantarkan mie ayam barusan.

" Mas ini ih, aku sampe bengong kelaparan nungguin ko ga dateng-dateng... hedeehhh."

Mas penjual mie ayam itu hanya tertawa kecil menanggapi candaannya.

" Hehehe, maaf ni mba."

Percakapan diantara mereka berdua berakhir sampai di situ. Wanita itu melanjutkan memakan sarapannya dan mas penjual melanjutkan melayani pelanggan yang datang memesan mie ayamnya. Aku rasa hal ini memang sangat wajar di lihat dalam sebuah lingkup masyarakat. Interaksi penjual dan pembeli, begitu juga sebaliknya. Ini semua membentuk sebuah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.

Begitulah kehidupan seharusnya terjadi. Kita hidup, memang harus saling menguntungkan satu sama lain.

Sama halnya dalam sebuah hubungan pertemanan, persahabatan, maupun yang lebih serius di atasnya. Hubungan seperti itu harus saling menguntungkan atau siapapun yang terlibat tidak akan mendapat keuntungan menjalani hubungan itu.

Lagi, aku memikirkan sesuatu berlebihan untuk kesekian kalinya.

Mungkin ini karena aku sejak tadi memperhatikan wanita ini dengan seksama. Terutama kemeja putih yang begitu bersih yang ia kenakan. Tidak bisa aku bayangkan kemeja itu akan menjadi seperti apa jika terkena noda kuah mie ayam atau semacamnya.

?!!

Aku baru saja membayangkan ini.

Mangkuk berisi mie ayam itu seperi lompat ke arah bajunya ketika dia mendengar suara nada dering yang terdengar khusus dari dalam tasnya. Dia mengabaikan noda yang sudah mengacaukan kmeja putihnya itu dan segera mengambil hp di dalam tasnya.

Aku kembali melihat hp miliknya itu. Dan itu terlihat sangat mengenaskan ketika aku melihatnya kembali untuk yang kedua kalinya. Baik layar maupun lcd hp itu seperti ingin berteriak meminta pertolongan.

" Aaaah, seharusnya aku tidak membanting hp dia kemarin."

Jadi begitu, aku mengerti sekarang.

Wanita itu terlihat kesulitan menggeser layar untuk menjawab panggilan yang sedang masuk saat ini. Hanya melihat ekspresi di wajahnya aku tahu dia sangat geram dan sedang menahan diri untuk tidak membanting hp itu.

Sepertinya dia berhasil menggeser layar hp itu.

" Halo, Fadil?"

Perubahan raut di wajah wanita itu sama seperti pria yang aku lihat sebelumnya. Dan aku tidak bisa mendengar suara dari penelpon yang sedang menelpon wanita itu.

" Ya, aku lagi sarapan. Di...mana? Aku lagi di sekitar jalan Di Ponegoro."

Saat ini..

Saat ini aku merasakan hal yang sama dengan apa yang wanita itu rasakan.

Aku melihat, badan wanita itu mendadak kaku dan matanya melotot tidak percaya. Aku melihat, seakan bulu kuduk di sekejur tubuhnya saat ini sedang berdiri. Itu terjadi karena respon tubuh akan sesuatu.

Mata wanita itu, sangat menyeramkan. Dia tidak sekalipun mengedipkan matanya. Membuat air perlahan muncul di sekitar matanya dan akhirnya mulai membasahi itu.

" Apa, tadi, kamu, bilang?"

Suara wanita itu terbata-bata dan tubuhnya mendadak berdiri.

Hanya dalam hitungan detik, ponsel di genggaman tangan wanita itu terjatuh. Kali ini, hp itu bisa aku pastikan hancur sepenuhnya setelah menabrak lapisan lantai.

Tubuh wanita itu, bergetar sangat hebat. Aku melihat dia mulai bernfas gelisah dan udara terlihat sulit masuk ke dalam hidungnya. Dia bernafas dengan mulut dan tubuhnya terlihat sangat sulit untuk di kendalikan.

Kedua tangannya mulai mencengkram jidatnya.

Mulutnya mencoba untuk berteriak namun sama sekali tidak mengeluarkan suara.

Penjual mie ayam dan beberapa pembeli memperhatikan kejadian itu.penjual mie ayam itu mulai mendekati wanita itu untuk memastikannya.

" Aaaaa-aaaa-aaaaa-aaaaa, aaaaaaaaahh! Aaa-aaa-aaa!"

Wanita itu mulai kehilangan keseimbangannya dan terduduk, berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Menagis, seperti...

... Seperti..

.. Apa yang terjadi sebenarnya?

Kenapa aku harus melihat ini?

Apa yang di bicarakan Rani di telepon dengan Fadil tadi?

Hmmm!

Masih belum?!

Apa maksudnya ini?

-Laura

Aku mengenal wanita ini.

Ya, aku bisa memastikan itu. Aku mengenalnya, aku melihatnya beberapa saat yang lalu. Dia membantuku saat itu.

Wanita yang saat ini sedang duduk dengan tatapan lesu di depan pintu rumahnya itu, aku yakin aku mengenalnya. Hanya saja aku tidak tau namanya.

Aku tidak sempat menanyakan itu. Tentang namanya. Juga aku tidak sempat untuk berterima kasih.

" Hmmm~ Mmmmm~ Naa~aaaahaaaaa~"

Harus au akui, dia memiliki bakat menanyi. Ini bisa aku kategorikan bakat dari lahir. Aku tidak pernah mendengar seseorang menyanyikan melodi simple yang dapat membuatku terpukau seperti itu.

Ya, meskipun begitu. Itu seperti sama sekali tidak membantunya sama sekali.

Wanita itu seperti menatap kosong sebuah kehampaan. Dari gerak tubuhnya, bisa aku katakan dia kehilangan sesuatu. Sesuatu, yang membuatnya tidak memiliki dorongan untuk melakukan aktivitas apapun lagi.

Cara dia menyandarkan kepala di pinggir konsen pintu, juga cara dia mengunyam sesuatu yang terlihat seperti coklat batangan itu seakan menggambarkan sesuatu yang sangat berarti baru saja di rampas darinya.

Seperti itulah penilaianku terhadapnya saat ini. yang jelas, aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi kepada wanita ini.

Jujur, wanita ini sangat sulit untuk di tebak.

Aku akan menarik kembali kesimpulanku tadi.

Kenapa? Karena saat ini aku baru saja melihat wanita itu menghela nafas seakan baru saja melakukan sesuatu kesalahan yang sangat fatal di dalam hidupnya.

Dia, sangat sulit untuk di prediksi.

Aku mengakui itu.

" Apa yang sudah aku lakukan?"

Suara helaan nafas hebat terdengar dari wanita itu ketika selesai mengatakan kalimat itu.

" Para tetangga mengira aku di pecat dari pekerjaanku, hanya karena aku terus melakukan ini selama 2 hari berturut-turut. Dasar bodoh. Kenapa kalian suka mencampuri urusan orang!?"

Apa yang aku katakan benar, cara wanita ini berbicara dengan judes meleset dari cara aku menebak pribadi wanita ini sebelumnya.

" Aku hanya bolos, bukan di pecat. Kalian salah paham."

Aku tak mengerti lagi dengan wanita ini.

Bagaimana bisa dia merubah nada suaranya dalam beberapa detik dari yang awalnya terdengar judes menjadi lemas dan penuh perasaan bersalah itu?

Ini bukan ranahku sejak awal, mempelajari kepribadian seseoran—

—?

Wanita itu tiba-tiba berdiri ketika sebuah mobil bewarna putih berhenti di depan rumahnya. Seseorang yang memakai kemeja putih langsung turun dari mob—

—!?

Jangan.

Jangan...

Ada apa ini?

Apa mereka saling mengenal atau memiliki hubungan seperti itu sebelumnya?

Wajah wanita yang saat ini berdiri di depan pintu itu mendadak memucat, namun dia masih mempertahankan ekspresi lesu seperti sebelumnya.

Bahkan jika itu aku, aku akan melakukan hal yang sama. Mungkin keringat dingin akan mengucur deras di sekujur tubuhku.

Bagaimana tidak, ketika seorang wanita dengan mata yang bengkak dan air mata yang masih mengalir deras di matanya itu tiba-tiba mendatangimu. Aku sangat yakin, itu bukanlah sesuatu yang baik.

Dan juga, kenapa wanita yang aku lihat sebelum ini kembali muncul dengan wajah bengkak seperti itu?

-Lily

Penglihatan apa itu, kenapa aku harus melihatnya?

Aku menatap telapak tanganku.

Jariku masih lima, begitu juga tangan satunya lagi.

Ini baik-baik saja.

Ya, tidak ada yang salah dengan anggota tubuhku yang lain juga.

Ruangan yang aku lihat di sekililingku terasa sangat tidak asing. Begitu juga kursi super empuk yang sedang aku duduki saat ini. Ini begitu familiar.

Sekarang aku ingat, mengenai tempat ini.

Suara pintu terbuka terdengar sangat jelas dari arah belakangku, sama halnya dengan suara beberapa saepatu yang sedang melangkah mendekatiku.

Aku menatap deretan kursi yang menyamping sejajar di hadapanku. Hanya sebuah meja panjang yang membatasinya dengan tempat aku duduk saat ini.

Sepertinya aku akan kena marah habis-habisan sebentar lagi.

Kamu bisa Lily, jangan takut. Jangan menangis, ini tidak ada apa-apanya untuk di tangisi. Kamu melakukan sesuatu yang benar sebelumnya.

Ya, itu semua juga demi dirinya. Orang yang paling berharga dalam hidupku saat ini.

Jadi amarah dari para atasan tidak akan mempengaruhiku. Aku ini cukup keba—

"—Dokter Lily, anda baik-baik saja?"

Salah seorang suster senior menanyakan itu kepadaku. dan itu sudah yang ke 5 kalinya dia menanyakan pertanyaan yang sama.

Aku hanya mengangguk lesu.

Aku di marahi habis-habisan.

Setidaknya aku tadi tidak menangis saat sedang di eksekusi. Walau itu mempengaruhi ekspresi wajahku hingga saat ini.

Apa memang tergambar begitu jelas ya?

Aku menuliskan resep obat kepada pasien remaja berumur 19 tahun yang mengidap diare ektrem di perutnya itu.

" Kurangi membeli makanan di luar ya." Ucapku lesu.

" O-Oke Dok."

Pasien itu beranjak dengan wajah kebingungan. Lalu membuka pintu dan meninggalkan ruangan.

Punggungku pegal. Aku harus menyandarkannya sejenak.

" Oke Sus, Pasien sela—"

"—Dok! Anak saya tiba-tiba muntahin cacing pas sarapan tadi! Ini dia cacingnya,Dok!"

Ibu-ibu yang tiba-tiba menyelong masuk itu meletakkan sebuah cacing ke atas meja kerja—

"—!!!!"

Aku spontan melompat dan punggungku menabrak dinding di belakangku.

Aku belum sempat meluruskan punggungku dan sekarang ada emak-emak yang ngeletak cacing usus ke atas mejaku!

Sebenarnya aku sangat ingin berteriak saat ini. Apa boleh aku berteriak?

" Bu, tolong tenang! Adeknya tolong baring di atas kasur ya."

Suster senior tadi langsung menyingkirkan cacing usus itu dari mejaku kemudian membuangnya sebelum membungkusnya ke dalam plastik medis.

Ini tidak ada habis-habisnya!

Kenapa hari ini begitu ramai?

Tolonggggg!!

" Saya mau ke toilet sebentar."

Aku mengatakan itu kepada Suster di ruanganku ketika selesai memeriksa anak yang terkena Mantaber barusan. Juga bagaimana dia bisa memuntahkan cacing itu? Tidak, cacing di dalam perutnya sangat kuat. Astaga, perut anak itu sangat bermasalah.

Ketika aku keluar dar ruanganku, aku melihat tempat ini bagaikan pasar kaget. Tidak, ini terlihat lebih parah dari itu.

Pasien yang mengantri dari lorong hingga berserakan. Mereka bahkan mengantri hingga ke tangga darurat.

Ini adalah hari tersibuk yang pernah aku rasakan di Rumah Sakit ini.

Ya, aku rasa ini juga salahku telah bolos kerja selama berhari-hari sebelumnya. Bisa dii bilang aku masig beruntung tidak di kenakan sanksi berat atas tindakanku sebelumnya. Hanya pemotongan gaji dan jatah cutiku tahun ini dipotong hingga ludes.

Aku mengedipkan mataku beberapa kali, dan aku tidak bisa merasakan apapun saat melakukan itu.

Oke, kita langsung ke WC, membasuh muka dan kembali ke neraka in—

" Dok! Dokter Lily! Kak! Kak Lily!!"

Ini tidak ada habisnya bukan?

Aku membalik kan badan lalu menoleh ke sumber suara.itu adalah salah satu juniorku yang saat ini sedang jadi budak rumah sakit ini untuk mendapatkan gelar Dokter resminya.

Dia, membawa sebuah telepon wireless.

"..."

Ini, aku merasakan De Javu.

Juniorku itu terlihat kehabisan nafas dan mulai memegangi lututnya.

" Ada Telepon, untuk.. Kakak.. hah-huh-hah.."

Aku mengambil telepon wireless itu darinya kemudian menempelkannya ke ujung telinga kananku.

" Halo?"

[ Ly....]

( Suara isak tangis)

Ini, siapa?

" Ada apa?"

[Ly.. maafin aku ly.. maafin aku.. Ly.. maafin aku.]

Sekarang aku tau siapa pemilik suara itu.

" Sely, ada apa?"

[Ly, sekali lagi maafin aku...]

Aku hanya mendgar suara Sely mengis dari seberang sana.

" Sel, kamu kenapa?"

[ Aku tidak bisa menyelamatkannya, aku tidak bisa menyelatkannya. Ly maaf aku gak bisa menyelamatkannya. Maaf.]

Bahuku bergetar sangat hebat ketika mendegarkan itu.

Urat-urat di sekitar leherku tiba-tiba berdenyut, begitu juga perasaan merinding yang aku rasakan mulai merambat di sekujur tubuhku.

[ Lily, Andi meninggal dunia.]

" Hah?"

Pikiranku mendadak kosong.

Aku tidak bisa merasakan tubuhku.

Mataku membelalak tidak percaya dengan kalimat yang baru saja aku dengar itu.

Sebuah kalimat yang tidak ingin aku dengar sama sekali.

Apa maksudnya ini?

Kenapa ini bisa terjadi?

Aku, aku, aku, aku baru menemuinya malam tadi..

Aku..

Aku....

.. Aku berjanji akan menemuinya lagi nanti malam. Aku akan sudah berjanji akan mengunjunginya setiap hari. Aku sudah berjanji dengannya. janji. Janji.

Kami sudah melakukan janji kelingking untuk itu.

Kami sudah berjanji..

Apa yang baru saja aku dengar barusan?

Ya tuhan apa aku tidak salah dengar barusan?

Ya tuhan..

Ya tuhan, apa yang sedang terjadi saat ini.

Kenapa?

Kenapa?

Aku sudah berjanji akan melakukan apapun sebelumnya padamu yan tuhan.

Jadi kenapa..

Andi.

Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi, Andi.

Jangan tinggalkan aku.

Andi jangan...

Ya tuhan, kenapa?

" Kak?"

Kenapa ini bisa terjadi?

Apa yang terjadi saat ini?

Sely, aku harus memastikannya lag—

—?!

Kesadaranku..

Aku tidak bisa bernafas.

Aku tidak bisa menghirup nafas!

Penglihatanku, perlahan memburam.

Andi.

Hanya ada satu nama yang terlintas di kepalaku saat ini.

Wajahnya saat ini memenuhi kepalaku.

Andi.

Kita sudah berjanji bukan?

Kamu jahat, kamu melanggar janji itu!

Jangan lakukan ini, jangan lakukan ini kepadaku, jangan lagi. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon.

Jangan tinggalkan aku, Andi. Jangan lakukan itu, tolong jangan lakukan itu.

-Andi

Jadi, semua berakhir menjadi seperti ini?

Ya, ini juga tidak jauh dari apa yang aku prediksi sebelumnya.

Hanya saja.

Ini semua sudah berakhir.

Aku menatap ke arah kedua lengan dan tanganku.

Aku akan mengatakan itu benar-benar terlihat transparan.

Juga aku tidak menyangka bisa berkeliling seperti ini. Sebelumnya aku mengira akan tetap dalam tubuh itu.

Apa ini menyenangkan?

Entahlah, sulit menjelaskannya. Apalagi ketika mengetahui hidupmu sudah berakhir sepenuhnya. Ini sudah berada di halaman terakhir, seperti itulah.

Sebenarnya aku juga mengetahui legendanya, dan ya, apa yang terjadi setelah kematian. Mungkin aku di beri kesempatan untuk melihat ini adalah anugrah lain. Ya bisa jadi. nasibku selama hidup bisa di katakan angin-anginan.

Banyak sedihnya terus.

Walau selalu menjadi begitu indah dan manis di akhir.

Tetapi sedihnya keterlaluan sih.

Namun gimanapun sakitnya, pelajarannya memang sangat berarti bagiku. walau beberapa pelajaran aku dapat di waktu yang tidak tepat dan terlalu lambat.

Bahkan saat ini bingung ingin bersyukur atau gimana untuk menikmati momen ini.

Astaga, momen apanya yang harus aku nikmati?

Ini bukanlah momen yang harus aku nikmati.

Momen ini harus aku saksikan mau tidak mau.

Aku melihat, seorang pria dengan rambut tebal dengan samping sisi kepalanya yang di cepak duduk dengan tatapan kosong di dekat pintu masuk kantor kami.

Apa dia membawa calon istrinya?

Ah, benar juga. Aku seharusnya memberikan kado untuk mereka.

Satu-satunya benda yang aku tinggalkan kepada dia adalah sebuah surat. Surat yang saat ini sedang dia pegang dan juga alasan dia duduk di depan rumah sekarang.

Hmm, kalau di pikir-pikir cukup ramai juga orang yang melayat. Aku tak tahu kalau aku sepopuler ini.

Ketika aku mendekati pria itu, dia kembali membaca surat yang sebelumnya aku tulis untuknya itu.

Untuk Fadil

Tolong jangan terlalu terburu-buru nantinya.

Setidaknya, sampai seseorang datang.

Kamu belum pernah menemui nya.

Dan dia aku yakin juga tidak mengetahui siapa pun nantinya.

Tidak, aku berbohong. Kalian pernah bertemu sebelumnya. Aku yakin kamu mengingatnya, siapa dia.

Tapi aku percaya, kamu bisa mengetahui orang itu. Aku percaya, kamu tahu orang itu hanya dalam sekali lihat.

Jika saat itu tiba, tolong sambut dia baik-baik. Sebenarnya aku ingin mengenalkan orang itu denganmu dengan format yang lebih spesial tentunya. Tapi ya.. kamu tahu sendiri.

Maaf, ya. Sekali lagi, aku minta maaf denganmu.

Dan, terimakasih.

Karena selalu ada menemaniku sejak dulu. Dulu sekali hanya kamu satu-satunya yang menemaniku. Jadi aku rasa tidak akan cukup rasa terimakasih ku.

Aku harap kamu mengerti kenapa aku tidak ingin berada bersama kalian di akhir.

Andi, your best duo.

Jujur sebenarnya wasiat ini terlalu aneh.

Tapi tidak masalah, aku yakin dia mengerti dengan maksud dari surat itu.

Astaga aku lupa membuat suasana dramatis lagi untuknya. Seharusnya aku kembali berterimakasih untuk masalah dia dan hubungan kami yang sudah seperti saudara ini.

Kami sudah saling mengenal satu sama lain selama 20 tahun. Awalnya aku berharap itu akan terus berlanjut, jika perlu hingga menyentuh setengah abad. Sayangnya itu berhenti di angka itu.

Aaah, aku bingung mau ngomongin kebaikan apa lagi tentang Fadil ini.

Jujur dia banyak ngeselinnya, apalagi sifat yang terlalu kelewat santai itu.

Hahahaha.

Tidak buruk.

Jika bukan dia yang selalu tenang menghadapi sesuatu mungkin semua usaha kami tidak akan bisa hingga sebesar sekarang. Kami mungkin tidak akan pernah melewati krisis seperti yang terjadi 8 tahun yang lalu. Atau bahkan kami sudah di kejar dan menjadi buronan bank.

Kenapa ini, aku gagal membangun suasana sedih untuknya.

Kenapa aku tidak bisa menjadi sedikit lebih emosional ketika sedang berada di dekat Fadil?

Aku akan masuk ke dalam rumah atau aku akan menodai suasana yang sedang terjadi di sekitar sini.

Hmm, aku tahu di dalam sini juga menjadi ramai seperti di luar.

Hanya saja, sekarang cuman satu oang yang berada di samping tubuhku.

Ya, itu Rani.

Aku tahu dia yang merasa paling bersalah atas semua ini. Kami mengakhiri hubungan dengan sebuah perkelahian.

Hidungku juga di buat patah olehnya.

Tapi aku sudah memaafkan masalah hidung itu.

Mungkin, yang tidak bisa aku maafkan adalah diriku sendiri.

Ran, sebenarnya aku lupa buat buatin kamu surat.

Tapi setidaknya aku sudah meninggalkan pesan kepadamu.

Kamu membacanya kan?

Aku harap kamu mempergunakannya dengan bijak. Bahkan kamu bisa hidup santai dengan uang itu. Hanya itu yang bisa aku berikan kepadamu, karena tidak ada orang yang bisa aku teruskan masalah harta yang aku miliki saat ini.

Hei Ran, matamu bengkak pakai banget loh. Udah kaya di gigit tawon aja.

Maafin aku ya Rani.

Apalagi situasinya saat ini kamu seperti Sudah jatuh tertimpa tangga pula lagi.

Pertama, rumah tanggamu tamat.

Kedua, malah sahabatmu yang tamat.

Nah, aku juga ga bermaksud mau mati cepat juga. Tapi beginilah yang terjadi.

Kita ga tau apa yang menanti kita, selama kita hidup kita sudah siap menerima konsekuensinya bukan?

Ran, aku tahu kamu sangat marah kepadaku.

Tapi lihat tempat juga oke?

Aku udah mati juga.

Ada banyak dasar alasan utamaku untuk menyembunyikan penyakit yang aku derita kepada kamu atau juga Fadil. Hanya saja aku kembali memikirkan ini. sejak awal, akulah yang memulai ini. akulah pelaku utama yang membuat tubuhku mendapatkan penyakit ini.

Jadi aku layak mendapatkannya.

Tubuhku berhak untuk menuntut keadilan.

Walau hampir seluruh kehidupanku terasa sering dicurangi.

Tapi aku tidak mempermasalahkan itu lagi.

Toh, lagian aku sudah mati kan?

Apa yang bisa aku lakukan lagi?

Aku melihat seseorang memasuki ruangan.

Bahkan Rani sampai menoleh saking mencoloknya orang yang baru datang itu.

Aku melihat Rani, dia menatap orang yang baru masuk itu dengan tatapan amarah.

Aku tahu Rani akan meledak dalam beberapa detik lagi.

Kedatangan orang itu memancing amarahnya.

Orang yang baru masuk itu adalah Laura.

Ran, jangan Ran.

Rani jangan sekarang Ran!

" Kemana saja lu? Aku nyempatin datangi rumah lu tadi kenapa lu baru datang sekarang?!! HAH KENAPA LU BARU DATANG SEKARANG??!!"

Apa yang bisa aku lakukan?

Laura hanya menundukkan kepalanya, kali ini aku bisa menebak ekspresi di wajahnya.

" KAMU GA SADAR SEKARANG INI SALAH SIAPA??! KAMU SADAR SIAPA YANG MEMULAI INI SEMUA?!! ALASAN KENAPA DIA SAMPAI BISA KAYA GINI?!! KAMU TAU GAAAK!! HEIIII!?"

Tidak ada gunanya saling menyalahkan sekarang, Ran.

" AKU AKAN MENGATAKANNYA! DIA SEPERTI KELDAI BEKERJA GA NENTU HANYA UNTUK NGALIHKAN PIKIRANNYA DARIMU!! LU TAHU PERASAANNYA UNTUKKMU SELAMA INI TAPI LU MILIH BUAT GANTUNGIN ITU SELAMA 10 TAHUNN!! 10 TAHUN SIALAN!! 1 DEKADE!!! SELAMA 1 DEKADE DIA TERUS MENANTI KEJELASANNYA!!!! 1 DEKADE DIA TERUS MENUNGGU JAWABAN DARIMU WALAU DIA SEBENARNYA TAHU!! DIA CUMAN INGIN LU MENGATAKANNYA DENGAN JELAS SIALAN!"

Di mana Fadil sekarang ini?

Aku tak menyangka akan ada keributan seperti ini.

Laura, tangan kanannya mulai menutup mulutnya.

Dia sedang menahan air di matanya agar tidak tumpah.

" DAN DI MANA AKU SAAT ITU? DI MANA AKU SAAT DIA SEDANG DI SITUASI ITU??!! DIA MENDATANGIKU TAPI AKU MALAH TIDAK MENDENGARKANNYA!! AKU SEHARUSNYA MENDENGARKANNYA SAAT ITU!! INI TIDAK AKAN TERJADI JIKA AKU TIDAK SIBUK DENGAN MASALAHKU SENDIRI SAAT ITU!! INI TIDAK AKAN!!!"

Kenapa kalian lambat menyadari keributan di sini?!

Fadil dan Calon Istrinya masuk ke dalam ruangan untuk menenangkan Rani. Rani di bawa masuk ke dalam kamarku ketika dia perlahan kehilangan kesadarannya.

Sedangkan Laura melanjutkan berjalan, terus melangkahkan kakinya.

Kini, air mata itu tidak bisa tertahan dan dia menumpahkannya begitu saja.

Begitu saja.

Ya, begitu saja.

Laura memeluk tubuhku dan mencoba mengatakan sesuatu walau suaranya tidak jelas dan aneh.

Aku melihat Calon Istri Fadil mendatangi Laura kemudian menenangkannya.

Dia membisikkan sesuatu ke telinga laura.

Itu seperti sebuah mantra yang seharusnya dia gunakan sejak tadi. Laura perlahan dapat mengendalikan dirinya walau dia tidak bisa mengendalikan bendungan yang tumpah itu di matanya.

Tolong tenangkanlah dirimu dan kamu tidak perlu menanggung perasaan bersalah lagi.

Kamu tidak salah apa-apa.

Itu memang murni kesalahanku. Penyakit ini sudah mengerogotiku sejak awal, jadi itu bisa kapan saja mengakhiri hidupku.

Walaupun sebelum aku terkena serangan jantung di supermarket saat itu aku melihatmu sebagai pemicunya, itu bukanlah salahmu.

Itu hanya...

Itu...

Ketika aku melihat tatapan dari matamu..

Entah kenapa itu memicunya.

Kamu tahu,tatapanmu itu sulit di prediksi seperti biasanya.

Namun saat itu aku melihat 2 hal dalam tatapanmu itu.

Mungkin kamu merasa kecewa kepadaku saat itu, bukan begitu? Tapi memang begitulah, dan aku berhak menganggapnya seperti itu.

Juga, kita saat itu sama-sama terkejut ketika saling menatap bukan?

Aku terkejut dengan kamu yang berjalan dengan seseorang dan kamu yang juga terkejut melihatku berjalan dengan seseorang.

Hei... kehidupanku selama ini berjalan di tempat akibat terus menunggu ketidakpastian jawaban darimu. Walau itu sepenuhnya murni salahku. Tapi aku masih merasa itu tidak adil, tahukah kamu?

Tapi aku akan berhenti meluapkannya.

Tidak ada yang perlu memaafkan atau di maafkan di antara kita berdua.

Kesalahpahaman itu murni salahku.

Lau..

Hal terbaik yang pernah kulakukan adalah menjadi pengagum beratmu dari jauh.

Aku mengagumi caramu berbicara, caramu merespon sesuatu dan caramu menatap makhuk halus sepertiku.

Saat aku memutuskan untuk berbicara denganmu, aku makin menyukaimu. Terutama caramu yang memilih kalimat simple dalam menanggapi hal bodoh yang kita bahas.

Bahkan, saat aku mendengar kabar tentang kamu yang menjadi rusak. Walau itu sangat menyakitkan, aku tidak bisa berbuat banyak kau tahu? Aku bukan siapa-siapa dalam cerita hidupmu. Hanya, seorang tokoh latar.

Bagaimanapun aku masih tetap mengagumimu hingga sekarang.

Jadi tolong jangan terlalu dipikirkan. Oke? Tokoh latar sepertiku tidak seharusnya kamu urusi. Jadi tolong, hapus air di matamu. Aku juga tidak bisa memaafkan permintaan maaf darimu. Bukan karena aku dendam atau apa.

Kita sudah saling terpisah di dunia yang berbeda.

Yah, seharusnya aku menulis ini untuk surat perpisahan kepadanya.

Fadil tiba-tiba keluar dari kamarku dan berjalan tergesa-gesa menuju halaman.

Aku mengikutinya dan melih—

...

"—Mau apa anda kemari?!"

Tadi Rani dan sekarang Fadil.

Ada salah apa aku semasa hidup hingga bisa jadi ribut seperti sekarang ini?

Yang saat ini membuat heboh di halaman rumah adalah seorang wanita yang sudah 12 tahun menghilang dari hidupku.

Dan kini, dia datang setelah 12 tahun lamanya.

Wanita itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan Fadil langsung menghalanginya.

" Saya tanya sekali lagi, mau apa anda kemari?!"

Fadil, tolong jangan begitu.

Bagaimanapun wanita itu Ibuku.

Terlepas bagaimana dia memperlakukanku sejak kecil hingga dewasa, kemudian meninggalkan aku saat berusia 15 tahun dengan uang yang mengenaskan lalu tidak pernah kembali lagi hinnga saat ini. bagaimanapun dia tetaplah orang tuaku.

" Apa anda bisu?! Hei apa anda tidak bisa menjawabnya?! Kenapa anda baru muncul setelah 12 tahun menghilang dari hidupnya?!"

Aku juga sama marahnya seperti kamu Fadil. Tapi tolong, maafkanlah.

" Apa anda tau siapa mayat yang tergeletak di sana sekarang?!"

" Itu adalah anakku, anak yang aku lahirkan, lalu aku besarkan dan—"

"—AHAHAHAAHAHAHAHA! APA ANDA BILANG? ANAK YANG ANDA LAHIRKAN?"

Ibu menatap mata Fadil.

Dia masih secantik itu walau usianya sudah cukup berumur.

Aku tetap menyayanginya apapun yang terjadi. Walaupun dia meninggalkanku saat itu aku akan tetap menyayanginya.

Hanya saja rasa sayang dan benciku terhadapnya hingga saat ini seimbang.

" Dia adalah anak yang saya kandung selama 9 bulan di dalam rahim saya."

" Dia tidak pernah meminta untuk di lahirkan."

Fadil, itu sangat kejam.

Walau itu sangat kejam, kalimat itulah yang sangat ingin aku katakan kepada ibu jika dia kembali muncul di hidupku sebelumnya. Tapi dia tidak pernah muncul.

" Dia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, kemudian tumbuh dengan oergaulan seperti itu, dengan cara anda membesarkannya, cara anda mengasuhnya, cara anda membentuk pola pikirnya, cara anda mendidinya, dia tidak pernah meminta itu semua!"

Ibu masih menatap Fadil dengan tatapan serius itu. Dia samas sekali tidak bergeming dengan perkataan dari Fadil.

" Sayang, bolehkan saya masuk untuk melihat anak saya?"

Ini adalah kalimat paling tulus yang pernah ibu lontarkan dari mulutnya.

Fadil, biarkanlah.

" Dia sudah tidak ada lagi."

Fadil berjalan menuju halaman membiarkan Ibu masuk ke dalam rumah untuk melihatku.

Melihat tubuhku. Tubuh yang pernah dia kandung di dalam rahimnya selama 9 bulan. Tubuh yang dia besarkan. Tubuh yang menjadi bagian dari darahnya.

Ibu duduk di samping tubuhku, menatap kosong tubuh tak bernyawa itu di hadapannya.

Kemudian dia mencium dahi pemilik tubuh itu.

Dan dia mulai menangis.

Hanya saja tidak seemosi Rani atau separah Laura, dia hanya menangis biasa. Meneteskan sedikit air mata dan mengeluarkan suara sendu yang terdengar biasa saja.

Aku pernah memikirkan hal ini dulu, saat ketika Ibu tidak pulang selama sebulan sebelum aku akhirnya menyadari dia meninggalkan aku begitu saja dan tidak kembali lagi hingga hari ini.

Bagaimana dia melihatku saat itu.

Apa dia melihatku sebagai anaknya? Dosa masa lalu nya? Atau bentuk penyesalan terbesarnya?

Ketika aku menyadari ada orang yang lebih mempedulikan aku ketimbang orang tua kandungku, aku berhenti memikirkan hal itu.aku memutuskan untuk tidak pernah mengungkit atau menutup hati untuk buku yang bernama orang tua dalam hidupku semenjak itu.

Mungkin, semua nasib sialku selama ini adalah bentuk karmaku karena melakukan itu.

Bagaimanapun, orang ini tetaplah ibuku.

Dan tidak seharusnya seorang anak memperlakukan ibunya seperti itu.

Setidaknya, aku ingin kembali menarik perkataan yang ingin aku ucapkan kepadamu dulu.

Terima kasih, sudah melahirkan aku.

Terima kasih, telah memberikan aku kesempatan merasakan semua berkah ini.

Terima kasih, telah membuatku bisa merasakan berbagai emosi, sedih, bahgia, kecewa, marah, bahkan rasa nya ketika jatuh hati maupun jatuh cinta.

Terima kasih telah membawaku ke dunia ini.

Hanya saja aku ingin meminta maaf kepadamu sebelumnya.

Bukan kamu orang yang sedang aku maupun Fadil tunggu saat ini.

Seseorang, yang aku sudah yakin dia akan datang terlambat.

Aku sudah memprediksinya ketika aku mulai mengalami collapse di rumah sakit tadi.

Aaaah, dia pasti yang paling datang terakhir.

Kemungkinan, dia pingsan atau bisa jadi mengalami serangan jantung saat mengetahui berita tentangku saat itu.

Atau bisa jadi, dia terlambat menyadari karena aku juga tahu dia sedang dalam hukuman di tempat kerja nya.

Tidak, aku paham mengapa dia di hukum. Dia melakukan itu demi menyelamatkan nyawaku.

Aku mendengar doa darinya ketika aku tertidur di rumah sakit, dia yang meminta agar kembali di beri waktu bersamaku walau hanya sebentar saja.

Dia, adalah alasan aku kembali bersyukur telah dilahirkan ke dunia ini.

Karena pertemuanku dengannya lah, aku mulai mengerti makna hidup yang sesungguhnya.

Orang yang kini berdiri di depan pagar kantorku itulah yang menjadi tujuan hidupku walau akhirnya hidupku berakhir lebih dulu ketimbang mencapai tujuannya.

Lily Yulianti.

Dokter.

Lily.

Apa dia pernah mendengar ini sebelumnya dariku?

Aah, benar juga, dia belum pernah mendengarnya.

Tapi apa jika aku mengatakannya sekarang itu berpengaruh?

Maksudku, apa dia akan mendengarnya?

Aku harap dia mendengarnya. Entah bagaimanapun itu aku harap dia mengetahui ini.

" Dok.."

Astaga, kenapa aku memanggilnya dengan sebutan itu?

Hmm,mmm.

Tidak, ini sebutan spesialku untuk dia. Jadi aku rasa dia tidak akan mempermasalahkan ini juga kan.

" Dok, aku ingin kamu mengetahui ini walaupun sudah terlambat sebenarnya. Tapi aku rasa itu tidak masalah bukan? Aku yakin kamu di suatu tempat bisa mendengar ini. Halooo, Dokterku yang berhasil membuat jantungku teriris hanya karena melihat senyuman bodohnya. Aku mencintaimu."

Aku mencintaimu.

Aku baru menyadari ini ketika aku memutuskan untuk kembali bertemu lagi denganmu setelah 8 bulan tidak bertemu. Setelah aku memutuskan untuk menjadikan kamu sebagai orang terakhir yang harus aku temui sebelum operasi persentase rendah yang mempertaruhkan nyawaku.

Aku mencintaimu.

Lily, maafin aku.

Aku, malah mati.

Padahal kita udah berjanji sebelumnya bukan?

Kita menggunakan jari kelingking buat simbol perjanjian itu.

Tapi aku melanggarnya.

Kamu tahu, aku...

Mati.

Ini tidak bisa di rubah lagi.

Aku pernah mengatakannya padamu malam itu. Nasibku memang selalu buruk. Mungkin itu juga akibat karma ku. Sesuatu selalu saja membuatku sedih selama bertahun-tahun sebelum aku merasakan sedikit rasa manis yang di sebut kebahagiaan.

Lily.

Sekali lagi maafin aku ya.

Aku minta maaf dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Sangat dalam.

Jangan menatapku seperti itu Dok.

Aku tahu kamu sangat kebingunan saat ini.

Aah, aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi ya.

Fadil juga tidak bisa menjelaskannya untukku.

Apalagi Rani, kalian saja bahkan belum pernah saling bertemu.

Rani, aku minta maaf, sebenarnya dia loh perempuan yang suatu hari bakal aku perkenalkan dengan kamu itu lho.

Buat Ibu juga, aku ingin Ibu tahu kalau dia loh orang yang berhasil membuatku kembali bersyukur telah di lahirkan oleh kamu ke dunia ini.

Perempuan ini loh, yang belakangan ini selalu membuatku merasakan perasaan bahagia yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Namanya Lily, Lily Yulianti. Tapi aku lebih suka manggil dia dengan sebutan Dokter.

" Dok, aku sangat mencintaimu. Sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangaaat mencintaimu. Rasa cintaku sama kamu ituuu.. "

" ... Beeesaaaar banget. Aku tu ngerasain lagi yang namanya kehidupan berkat kehadiranmu."

" Saking cintanya aku sama kamu Dok, aku sampai gak bakal mau orang lain ngeliat senyuman atau cara tertawamu selain aku."

" Aku juga saaaayang banget sama kamu Dok. Saking sayangnya tu aku kepengen selalu nemanin kamu setiap harinya. Aku pengen buat kamu ketawa atau nangis setiap harinya karena aku."

" Aku Jatuh Cinta kepadamu sudah sejak 5 tahun yang lalu, tapi aku baruu aja nyadari sekarang."

" Dok..."

" Kamu udah taukan seberapa besar perasaanku ini sama kamu? Jadi tolong berhenti menangis ya Dok."

" Sebeentaaar ajaa. Aku bakal ngulangin lagi betapa besarnya perasanku kalo kamu mau berhenti nangis. Sebentaaar aja, aku ingin kamu berhenti nangis ya."

" Dok.. kalau kamu masih terus nangis kaya gitu..."

"... Kalau kamu gak bisa berhenti sebentaar aja..."

"... Aku gak bakal bisa ninggalin kamu dengan tenang lagi.."

" Dok..."

"... Ayolah, berhenti menangis sebantaraa aja.."

" ... Kalau kamu terus kaya gitu..."

"... aku gak akan mau mati sejak awal kalau gini ceritanya."

" Dok, aku gak ingin mati."

" Aku masih mau jalan-jalan bersamamu Dok."

" Kamu udah janji mau buatin aku roti kan Dok?"

".. Dokkk..."

"... Aku gak penegn mati Dok.."

" ... Jangan tinggalin aku Dok..."

" ... Aku gak mau ninggalin kamu Dok..."

" Lily... aku mau menghabiskan hidupku bersamamu. Aku gak mau mati... aku masih mau bersamamu.."

" Ly, aku gak mau ninggalin kamu.."

" Kenapa hidupku selalu sial seperti ini sih?"

" Aku mendapati orang yang aku cintai, tapi aku malah mati sebelum sempat menjalani hidup bersamanya."

" Dok, berhentilah menangis atau aku akan kembali hidup dan memelukmu lagi!"