Mimpi atau Masa Lalu?

"Theo, apa kau bisa mengeluarkan sihirmu lagi!?"

Sebuah teriakan membuat pria bernama Theo itu menolehkan kepalanya ke arah sang pemimpin. Tubuhnya sudah melemah, dia tidak yakin bisa bertahan lebih lama lagi atau mengeluarkan sihirnya. Tapi suara penuh akan rasa khawatir itu membuatnya tidak bisa mengatakannya.

Dia memilih mengangguk, membuka buku sihirnya lagi dengan harapan bahwa ini bisa membantu pria itu. Tapi sebelum itu tatapannya jatuh pada sosok gadis yang terlihat kesakitan di belakang tubuhnya. Gadis dengan surai perak itu menutup matanya dengan tubuh yang penuh tumbuhannya dan luka.

Andai saja tidak ada resiko dari penggunaan sihir, maka mereka tidak akan kesakitan seperti ini. Apalagi gadis itu, gadis yang hanya bisa berdiri di bagian belakang mereka. Dia lah orang yang sering merasakan rasa sakit yang luar biasa, kekuatan penyembuh hanyalah sebuah mimpi buruk bagi gadis itu.

Dan dia benar-benar merasa khawatir pada sosok gadis itu, walau dia tahu dia sendiri saja sudah tidak bisa mendeskripsikan rasa sakit yang dia terima akibat menggunakan buku sihir ini terlalu banyak.

Sungguh mereka memang sangat mengenaskan! Satu sihir yang mereka keluarkan maka mereka harus membayarnya, sekecil apa pun bentuk sihir itu tetap harus mereka bayar.

"Jangan gila kau Theo! Tubuhmu sudah tidak bisa menahan resiko sihirmu lagi!" sebuah suara dari arah depan membuat Theo terkejut, menatap ke arah pria bersurai hitam yang menatapnya dengan khawatir.

"Kau juga Irvin! Apa kau ingin Theo mati!" ucap pria itu lagi menatap tajam pada sosok pria bersurai biru yang terlihat sibuk pada busur di tangannya.

"Kematian itu hal yang biasa, kenapa aku harus memikirkan tentang hal tidak penting seperti itu!"

Pria bersurai hitam itu tidak percaya, tangannya mengepal. Mencengkram kuat pedang yang ada di tangannya hingga dia langsung menodongkan pedang itu tepat di leher Irvin. Dia tidak peduli lagi! Pria egois seperti Irvin tidak pantas menjadi pemimpin mereka.

Bagaimana bisa pria itu membiarkan rekan tim-nya mati hanya karena keegoisannya seperti itu. Dia tidak akan membiarkan siapapun mati di sini, bahkan jika dia harus menentang perintah Irvin maka akan dia lakukan supaya teman-temannya tidak ada yang mati.

"Theo buka sihir teleportasi saja! Kita akan pergi dari sini! Dan jika kau tidak ingin ikut maka tidak masalah! Aku tidak peduli!" ucap pria itu lagi membuat pria bersurai pirang langsung mendekati gadis di belakang mereka.

Memapah tubuh gadis itu hingga dia melihat Theo yang sibuk membuka buku sihirnya. Mencari mantra yang bisa dia gunakan untuk membuka sihir teleportasi, karena dia juga tidak ingin yang lainnya mati sama seperti pemikiran Damian.

Tidak lama kemudian sihir teleportasi terbuka membuat pria bersurai pirang itu lebih dulu masuk, lalu di ikuti Damian yang membantu Theo bangkit "sekarang jika kau mau mati di sini terserah kau! Tapi jangan harap kau bisa membawa mereka untuk mati denganmu!" teriak Damian membuat Irvin menggeram marah.

Busur panahnya langsung dia angkat dan dia lepaskan tepat pada jantung Damian. Theo terkejut, tubuhnya berniat mendorong Damian tapi yang ada dia terlambat. Damian lebih dulu terkena panah dari Irvin membuat tubuhnya membeku.

Darah mulai merembes dari dada Damian, Theo berteriak memanggil nama pria itu. Namun yang ada hanyalah sebuah kesia-siaan dengan kematian Damian yang membuat pria itu marah. Namun tumbuhan yang menjalar dari dalam sihir teleportasi membuat Theo terkejut, itu sihir gadis bersurai perak itu.

"Aku... Aku masih bisa!" ucap gadis itu dengan kepala yang mulai terlihat di antara pintu teleportasi itu.

Gadis itu terjatuh dan mulai batuk darah membuat pria bersurai pirang itu khawatir, berniat menghentikan gadis itu namun gadis itu tetap melakukannya. Dia tidak mau melihat Damian mati, dan tatapannya langsung jatuh pada Irvin.

"Kau pembunuh!!" tatapannya syarat akan perasaan hancur, dia tidak suka hal ini. Jika bukan karena mereka adalah yang terpilih mungkin takdir mereka tidak sekejam ini.

Tapi, kenyataanya mereka harus berada di tempat ini demi menyelamatkan dunia ini. Apakah ini nyata, bahwa mereka yang hidup selayaknya manusia biasa berakhir menjadi seorang pahlawan untuk dunia tempat mereka di lahirkan.

Mereka tidak punya kekuatan untuk bertarung tapi entah sejak kapan kekuatan itu mulai muncul, hingga mereka berada di posisi ini. Saling lelah dan ingin bertahan hidup di atas permainan takdir yang mengikat mereka.

Namun yang bisa mereka lakukan hanyalah mengikuti semua takdir itu, hingga mereka lupa pada janji masing-masing. Janji bahwa mereka akan kembali dalam keadaan hidup tanpa ada yang terluka, namun sekarang dan saat ini. Kematian itu datang, bukan karena para musuh tapi karena mereka sendiri.

Keegoisan itu membuat mereka lupa diri, jika saja dia masih bisa bertahan dia pasti akan menyelamatkan Damian bagaimanapun caranya. Tapi apakah harapan itu akan ada?

"Ca--therine..."

Gadis itu terkejut, menatap ke arah Damian yang terlihat berusaha membuka kedua matanya. Padahal pria itu sudah batuk darah tapi dia masih berusaha mengatakan sesuatu padanya. Dia sendiri juga tidak jauh berbeda, jadi sebenarnya siapa yang harus di selamatkan?

"Suda-h cu--kup. Ak-u ti-dak apa" ucap Damian lagi mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh sisi wajah gadis itu.

"Ja-ngan ma--ti!" lanjut pria itu sebelum dirinya menutup matanya dengan tangan yang terjatuh di atas tanah membuat Catherine berteriak.

"Tidak! Damian! Bertahanlah!!!"

Pria bersurai pirang memilih menyentuh bahu Catherine dengan kedua mata yang dia tutup. Merasa tidak percaya bahwa kematian itu benar-benar datang pada mereka saat ini. Apakah tidak ada harapan lagi, kenapa mereka harus seperti ini?

Jika saja mereka bisa mengubah masa depan, mungkin mereka tidak perlu mati. Dan Theo langsung mengambil pedang Damian, menatap ke arah pedang itu sebelum dirinya melempar pedang itu dengan sihirnya ke arah Irvin.

"Ini balasan atas kematian Damian!" teriak Theo tepat di saat pedang itu mengenai bahu Irvin.

Pria bersurai biru itu hanya diam, tidak berniat menghindar sama sekali. Seakan dia memang berniat untuk menebus kematian Damian dengan kematiannya. Pria itu tersenyum tipis dengan darah yang mulai keluar dari luka di bahunya.

Hingga dia tumbang di atas tanah, menatap ke arah yang lainnya dengan perasaan bersalah. Berniat mengucapakan sebuah kalimat minta maaf namun dia lebih dulu mati, tanpa tahu bahwa salah satu di antara mereka tersenyum miring atas semua yang terjadi saat ini.

Dan hal yang selanjutnya terjadi adalah kematian mereka semua.

"Hah.. hah.. hah.. ini mimpi!" kaget Damian membuka kedua matanya lebar-lebar merasa terkejut.