(PoV Aya)
Hari ini hari pertama aku masuk di akademi keperawatan yang ada dikotaku, tempatku melanjutkan kuliah. Aku mengambil jurusan ini atas permintaan ibuku karena jaraknya dekat dengan rumah tempat kami tinggal. Aku yang semata wayang ini tak pernah diijinkan untuk pergi jauh bahkan jika hanya untuk menuntut ilmu sekalipun. Padahal sebenarnya aku ingin mengambil jurusan akutansi di salah satu perguruan tinggi di ibukota dengan ikatan dinas, yang karenanya aku sudah belajar mati-matian dari kelas 3 SMA, sehingga aku bisa mendapatkan nilai 100 mata pelajaran akuntansi diujian akhir kelulusanku.
Dengan masuk di perguruan tinggi itu aku bisa meringankan beban kedua orang tua ku karena tak ada biaya kuliah yang di bebankan, alias gratis. Hanya tinggal memikirkan untuk biaya makanku saja di sana. Namun nyatanya ibuku tetap bersikeras tak menyetujuinya. Beliau bahkan rela menjual sepetak sawah miliknya untuk memasukkan ku kuliah di kampus yang dipilihkannya. Sedikit kecewa memang. Tapi ya sudahlah. Aku menurut saja.
Tiga tahun di akademi ini, aku harus tinggal di asrama bersama dengan teman-teman mahasiswa yang lainnya. Asrama laki-laki dan perempuan terpisah. Ada enam buah kamar untuk asrama perempuan dan tiga kamar untuk asrama laki-laki, karena memang lebih banyak jumlah mahasiswa perempuan dibanding mahasiswa laki-laki. Dan setiap kamar diisi oleh sekitar 10-12 orang.
Dua minggu tinggal di asrama, aku sudah mulai akrab dengan teman-teman sekamarku. Biar kusebutkan nama-nama mereka. Ada Ati yang pendiam, Janah yang cerewet dan selalu ingin tahu, Ana yang paling tinggi besar namun masih suka ngambek, Yulia yang hitam manis namun hobi berantem, Tia yang suka mengalah, Sari yang paling cantik, Rahma yang keibuan, Marta yang percaya diri dan pintar, Nia yang senang sekali belajar, Aini yang suka bersih-bersih, dan Sita yang kecil dan suka sekali bercerita.
Tia, Ana dan Rahma berasal dari kota yang sama denganku. Bahkan Tia adalah teman sebangkuku dikelas 3 SMA ku dulu. Sedangkan yang lainnya berasal dari kota yang berbeda-beda. Diantara kesebelas temanku itu, Marta adalah yang paling berada. Dia anak orang kaya. Kedua orang tuanya adalah pengusaha. Penampilannya bersih dan barang-barang yang dibawanya pun bagus dan bermerk. Wajar saja jika dia selalu tampil dengan percaya diri.
Kamis malam ini, kami semua sibuk belajar di dalam kamar karena besok akan ada presentasi berkelompok dan akan diadakan penilaian dari presentasi kelompok tersebut. Kami bersama dengan kelompok kami masing-masing, dengan serius mempersiapkan bahan untuk esok hari.
Tiba-tiba gawaiku berdering satu kali yang menandakan ada pesan singkat masuk. Kubuka pesan itu dan kubaca dalam hati.
('Aya, maafin aku ya. Aku pengen kita balikan lagi.') pesan dari nomor baru yang aku yakin itu dari mantanku, Reza. Detak jantungku tiba-tiba tak beraturan waktu itu. Empat bulan semenjak dia meminta putus dariku, ini kali pertama dia menghubungiku. Dan dengan tanpa rasa bersalah, dia memintaku menerimanya lagi. Aku memang belum bisa melupakannya. Tapi rasanya aku lelah dengan hubungan tak sehat yang kami jalani dulu, dan aku yakin, jika aku menerimanya kembali, hal itu pasti akan terjadi lagi.
Aku abaikan saja pesan singkat darinya itu. Biar saja. Aku ingin berkonsentrasi penuh ke presentasi ku esok hari.
Tiga hari semenjak pesannya ku abaikan, malam itu tepat jam tujuh malam, Reza kembali mengirim pesan singkat kepadaku. Kali ini dengan nada ancaman.
('Kalau kamu nggak mau balikan sama aku, mungkin lebih baik aku pergi yang jauh. Dan kita tak akan ketemu lagi.') begitu bunyi pesannya.
Entah karena aku terlalu naif atau mungkin karena aku masih sayang padanya, aku balas pesannya itu.
('Za, kalau aku nggak salah ingat, ada sekitar tiga kali kita putus nyambung. Tiga kali itu juga kamu yang kembali mengajakku untuk balikan sama kamu dengan kata-kata yang seingatku sama. Aku nggak tahu kamu sengaja bikin aku sakit hati dengan cara kamu mempermainkan perasaanku, atau memang kamu benar-benar mau balikan sama aku. Tapi yang aku tahu pasti, aku beneran sayang sama kamu. Rasanya capek juga putus nyambung kayak gini terus Za. Seperti yang kamu bilang, rasanya seperti di neraka. Apalagi ibumu yang begitu membenciku. Jadi kayak hubungan kita ini nggak ada masa depannya. Hanya buang-buang waktu manurutku. Atau gini aja. Kalau memang kamu masih sayang sama aku dan beneran serius sama aku, tunggu sampai kita selesai kuliah dan benar-benar mapan, baru kita balikan dan langsung nikah. Itupun juga kalau ibu kamu setuju.') jawabku jujur.
('Kalau itu mau kamu, aku setuju. Kamu tungguin aku ya. Aku janji bahagiain kamu suatu hari nanti. Kita berjuang sama-sama buat dapetin restu ibuku.') jawab Reza dengan diikuti gambar hati berwarna hitam diakhir kalimatnya. Aku tak membalasnya lagi. Hatiku yang mulai terasa tenang karena terlepas dari belenggunya, kini menjadi kalut kembali. Aku letakkan telepon genggamku, aku pergi ambil wudhu, lalu aku bersiap untuk melaksanakan sholat Isya'. Tak lupa aku selipkan doa untuk aku dan Reza semoga Allah senantiasa melindungi dan semoga Allah mengabulkan janji kami untuk bersatu suatu hari nanti. Aamiin.
Dua bulan setelah pesannya itu, tiba-tiba ketika aku belajar kelompok diteras asrama bersama dua teman laki-laki dan satu teman perempuanku, Reza datang menghampiriku. Aku kaget bukan main. Aku diam saja. Reza juga nampaknya kaget melihatku. Namun tiba-tiba ada salah satu teman laki-laki ku yang menyapanya.
"Lho, mas ngapain kesini?" tanya temanku yang bernama Jaya.
"Em, anu. Nggak ngapa-ngapain Jay." jawab Reza singkat sambil melirikku.
"Lho kamu kenal Jay?" tanya teman perempuanku yang bernama Tiwi.
"Kakak kelasku waktu SMA." jawab Jaya.
"Oke." kata Tiwi sambil berdiri menghampiri Reza dan kemudian menggandeng tangannya. Betapa kagetnya aku melihat pemandangan ini. Ternyata kedatangan Reza bukan untuk menemuiku. Tiba-tiba kurasakan mataku basah. Secepat mungkin kupejamkan mataku agar tak ada air mata yang jatuh mengalir di pipiku.
"Kenalin, pacar baruku. Namanya Reza. Kita udah sebulan pacaran. Dan dia baru sempet kesini karena sibuk kuliah diluar kota." kata tiwi dengan nada centil. Tiwi memang seorang gadis yang bisa dibilang agak sedikit menjeng. Tubuhnya berisi, namun wajahnya mulus dan cantik. Dia juga populer dan aktif dimedia sosial.
"Wah, selamat ya." Jaya memberikan ucapan selamat kepada mereka berdua.
"Makasih ya. Lho, kok cuma Jaya yang ngasih ucapan. Aya, Ryan kok diem aja." kata Tiwi kepadaku dan temanku laki-lakiku yang satunya.
"Selamat-selamat." kata Ryan. Sedangkan aku hanya tersenyum getir. Aku tak bisa berkata-kata. Bibirku terasa kaku, sama sekali tak mampu aku gerakkan. Luka hatiku yang berangsur membaik, seperti ditaburi garam kembali. Dan kepercayaanku untuk menunggu seseorang yang berjanji akan membahagiakanku, seketika luluh lantah berantakan.
"Aya, apa kabar? Aku nggak tau kalau kamu kuliah disini juga." tiba- tiba Reza menyapaku lirih.
"Alhamdulillah, baik. Ya Za, kita memang lama sudah nggak pernah ketemu." jawabku. Aku gugup, tak berani menatapnya.
"Lho, kalian udah saling kenal?" tanya Tiwi heran.
"Dia tetangga aku." jawab Reza yang membuatku semakin merasa kalau aku memang tak ada artinya untuknya.
"Oh gitu. Kirain nggak kenal. Habisnya Aya dari tadi diam saja, biasanya ceria banget. Ini kenapa jadi pendiam waktu ada tetangganya disini. Apa jangan-jangan Aya cemburu ya lihat aku pacaran sama tetangganya. Hahaha." canda Tiwi.
"Nggaklah. Aku mau nyapa tadi, tapi keduluan Jaya. Trus Reza udah duluan nyapa aku. Jadi ya udah. Lagian nggak ada masalah siapa yang nyapa duluan. Sama aja kan." jawabku beralasan.
"Iya, lagian Aya juga dari tadi kayaknya serius ngerjain tugas tu. Jadi dia mungkin lagi pengen konsentrasi aja." Reza menambahi.
"Iya-iya. Eh Ya, masih banyak nggak tugasnya? Aku mau keluar dulu soalnya. Masak iya pacar aku kesini aku cuekin. Hihi." kata Tiwi.
"Nggak apa-apa kalau kamu mau keluar. Biar aku sama Ryan sama Jaya aja yang nyelesaiin." kataku menjawab pertanyaannya.
"Kamu kerjain tugas dulu nggak apa-apa. Aku tunggu. Kasihan temen kamu. Kan tugas kelompok berempat, masak yang ngerjain cuman bertiga." Reza menanggapi.
"Udah nggak apa-apa Mas, Aya kan pinter. Dia bisa ngatasin sendiri kok tugasnya. Orang dari tadi aku, Tiwi sama Ryan juga cuman nemenin, dia semua yang ngerjain." Jaya ikut berbicara.
"Tuh kan. Ya udah yuk kita keluar, keburu malem." kata Tiwi menarik tangan Reza untuk bergegas pergi.
Reza sempat pamit sebelum dia pergi, namun aku tak menghiraukannya. Hatiku sakit. Benar-benar sakit. Untuk pertama kalinya aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Reza jalan dengan wanita lain. Sebelumnya, meski kami berkali-kali putus nyambung, namun Reza tak pernah terlihat berdua dengan wanita, meskipun hanya di dalam foto.
***