Semenjak peristiwa malam itu, aku segera mengganti nomor ponselku agar Reza tak bisa menghubungiku lagi. Aku benar-benar tak menyangka dia setega itu. Baru saja dia berjanji untuk sama-sama berjuang bersamaku, tiba-tiba saja dia sudah berpacaran dengan temanku. Sungguh sangat keterlaluan.
Pagi itu, Tiwi menyapaku di koridor ketika kita sama-sama mau masuk kedalam kelas.
"Aya." sapanya riang.
"Hai." jawabku tersenyum kecil.
"Dapat salam dari Reza tuh." kata Tiwi lagi.
"Oh." aku tak ingin menanggapi.
"Kok 'oh' aja. Nggak mau salam balik nih? Nanti biar aku sampaiin pas dia telepon. Kita tiap hari telponan, smsan trs kok, jd nggak bakal lupa." katanya.
"Nggak usah." kataku. Aku kembali merasakan hatiku teriris. Teringat ketika aku dan Reza berpacaran, bahkan kami sangat jarang berkomunikasi. Berbanding terbalik dengan pengakuan Tiwi yang setiap hari mereka selalu berkomunikasi. Mendengarnya, hatiku semakin yakin, aku harus melupakan Reza.
"Kamu temenan kan sama Reza?" tanya Tiwi. Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang tak aku tahu artinya.
"Iya cuma kenal aja. Kita kan tetanggaan." jawabku. Aku meliriknya.
"Tapi Reza bilang kalau kalian sahabatan." Tiwi tampak tak puas dengan apa yang aku katakan.
"Dulu waktu kita masih kecil. Kalau sekarang udah jarang main bareng karena udah pada sibuk masing-masing." jelasku.
"Oh, gitu. Reza itu orangnya gimana sih Ya?" tanyanya lagi.
"Dia baik." kataku. Aku tak mungkin menjelekkan Reza di depan kekasihnya, jadi meskipun aku sedikit marah kepadanya, aku tetap memujinya.
"Playboy juga nggak?" pertanyaannya membuatku seketika menatap ke arahnya.
"Aku nggak tahu kalau soal itu." aku menolak menjelaskannya. Dalam hayi sebenarnya ingin aku menjelaskan semuanya agar tak ada lagi korbannya. Tapi aku rasa tak perlu begitu. Karena cepat atau lambat Tiwi juga pasti akan tahu. Dan aku nggak punya hak untuk mengatakan itu.
"Yah, Aya. Kan kamu tetangganya. Masak iya nggak ngerti. Kasih tahu dong. Soalnya kata Jaya, dia playboy, pacarnya banyak, banyak juga yang suka." kata Tiwi. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran.
"Ya kan aku bilang kalau aku main sama dia waktu kita kecil, jadi pas udah gedhe, udah nggak ngerti lagi dia kayak gimana. Lagian rumahnya juga nggak deket-deket amat sama aku. Jadi ya aku beneran nggak tahu." jawabku.
"Beneran, kamu nggak tahu? Atau kamu menutupi sesuatu ya? Kamu mau lindungi tetangga kamu ya?" tanyanya lagi.
"Nggak ada gunanya buat aku Wi. Ya udah ah aku mau duduk dulu." jawabku yang kemudian meninggalkannya berdiri sendirian di depan kelas.
Dia kemudian ikut masuk ke dalam kelas, melewatiku dengan wajah yang cemberut. Aku hanya memandangnya. Aku tak membencinya, karena mungkin dia tak tahu soal masa laluku dengan Reza. Mungkin Reza belum cerita, atau mungkin memang aku tak pernah dianggapnya menjadi kekasihnya dulu.
***
Malam itu seisi kamar dihebohkan oleh Marta yang baru jadian dengan teman sekelasku yang bernama Edo, laki-laki berkulit putih dengan tinggi kurang lebih 165cm.
Pulang dari kencan, dia membawa banyak sekali makanan untuk diberikan kepada kami, teman sekamarnya. Untuk PJ katanya, alias pajak jadian.
"Wah, kamu bakal jadi tetangga aku donk Ta." kata Yulia yang memang berasal dari satu kota dengan Edo.
"Sama aku juga donk." Aini yang juga dari kota yang sama, menimpali.
"Iya nih, seru kalau nanti nikah bisa deket sama kalian." kata Marta berbunga-bunga. Marta tampaknya sangat bahagia. Terang saja, Edo adalah laki-laki yang disukainya semenjak kami masuk kuliah. Dia juga yang pertama kali mencoba mendekati Edo. Jadi wajar saja kalau dia begitu berseri setelah berhasil mendapatkan cintanya itu.
"Wah, Marta akhirnya bisa dapetin Edo juga ya. Perjuangan banget ya Ta." kata Yulia lagi.
"Iyalah Yul. Kamu tahu sendiri kan Edo itu orangnya susah banget di deketin. Dia masih terjebak dengan masa lalunya. Makanya aku seneng banget kalau akhirnya aku bisa dapetin dia." Marta tersenyum manis.
"Siapa sih yang nggak mau sama kamu Ta. Udah kaya, cantik, pinter lagi." Tia memuji Marta. Memang, Marta adalah gadis yang sempurna. Tampaknya tak ada kekurangan di dalam dirinya. Meskipun dia kadang sedikit menunjukkan kesombongannya karena kesempurnaannya itu.
"Iya lah. Orang yang jauh lebih baik dari Edo aja banyak yang ngejar-ngejar aku, apalagi cuma Edo. Iya nggak? Hahaha." Nah kan, dia mulai sombong.
"Iya dong." jawab yang lain kompak. Kemudian mereka tertawa bersama. Merayakan keberhasilan Marta yang buat mereka begitu membahagiakan.
Aku tak menanggapi apapun. Bukan aku tak senang dengan kebahagiaan temanku, aku hanya sedang tak ingin tertawa. Reza terus membayangiku.
"Eh, kenapa kamu Ya?" tanya Nia kepadaku, yang membuatku sedikit kaget karena memang dari tadi aku diam saja dan sedikit melamun di pojok ruangan.
"Nggak apa-apa." aku tersenyum kecil.
"Beneran? Kok diem aja dari tadi?" tanya Nia lagi. Aku mengangguk pelan.
"Biasa. Itu gara-gara mantan sialannya, si Reza, pacaran sama Tiwi. Galau deh si Aya." jawab Tia sok tahu. Tia memang tau segalanya. Selain aku sering bercerita dengannya, dia juga yang menjadi saksi perjalanan cintaku dengan Reza semenjak kami SMA.
"Serius? Wah, kita labrak aja deh tu si Tiwi." kata Yulia yang memang punya hobi labrak-melabrak.
"Udahlah, nggak perlu. Lagian bukan salah dia juga. Mana tau dia kalau aku dan Reza pernah pacaran kalau Reza nya nggak ngasih tau. Lagipula, aku juga udah nggak ada apa-apa sama Reza. Ya, cuman mungkin aku masih belum bisa move on aja kali dari Reza makanya aku masih galau." kataku menjelaskan.
"Sebentar deh, bukannya Aya pacaran sama Chandra ya?" tiba-tiba Sari mengingatkanku kalau aku baru saja dua hari jadian sama teman sekelasku yang bernama Chandra, yang akupun bahkan sampai lupa kalau aku sudah punya pacar saat ini. Sebenarnya sejak awal Ospek, laki-laki hitam manis itu sudah mendekatiku. Dan menyatakan cintanya tepat sehari setelah aku dan Reza membuat janji via pesan malam itu. Hingga akhirnya aku harus menolaknya karena janjiku yang serius sama Reza. Namun setelah kejadian malam itu, akhirnya aku putuskan untuk menerimanya. Siapa tahu lewat dia, aku bisa melupakan Reza.
"Ya udahlah Ya. Kan udah ada Chandra. Reza udah nggak perlu kamu pikirin lagi. Chandra jg kayaknya sayang banget deh sama kamu." sambung Ati kemudian.
Aku tak menjawab. Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. Chandra memang baik. Dia juga begitu menyayangiku. Namun yang namanya hati tak bisa di bohongi. Aku merasa sudah jahat dengan Chandra karena menjadikannya pelarian. Mungkin aku memang harus mengambil keputusan. Belajar mencintai apa yang aku punya, atau masih menunggu sesuatu yang tak pasti dan menyia-nyiakan yang ada di depan mata.
***