BAB 6

"Haduh, akhirnya bisa rebahan juga. Capek banget dibis 2 jam." kata Tia setibanya kami dikamar kos.

"Iya nih. Padahal kan cuma dua jam ya. Tapi kenapa capek banget." imbuh Yulia.

"Ya karena bawaan kita banyak buat ptaktek besok di Rumah Sakit." kataku.

"Ya udah yuk istirahat." Tia langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Hari ini kami sampai diluar kota, dimana selama empat minggu kedepan ada tugas praktek klinik ketiga disalah satu instansi pemerintah di kota tersebut.

Aku, Tia dan Yulia, kebetulan kami dapat lokasi praktek yang sama. Sedangkan teman se asrama kami yang lainnya tersebar di lima kota yang berbeda.

Selain kami bertiga, ada Edo, pacar Marta yang juga satu lokasi praktek dengan kami. Sempat heran sih, soalnya biasanya Edo dan Marta selalu satu lokasi ketika ada tugas praktek klinik seperti ini. Biasalah, namanya anak muda yang lagi dimabuk cinta, maunya selalu sama-sama, bareng terus sama pacarnya. Tapi kali ini tumben aja mereka pisah. Mungkin karena nggak ada yang mau ditukar tempatnya kali ya. Karena memang jadwal dibuat dari pihak kampus dan boleh saling bertukar tempat dengan teman-teman yang lainnya bila ada yang menginginkan.

Dua minggu berlalu ditempat praktek. Reza sempat dua kali menghampiriku, tapi tak pernah ku tanggapi. Entah darimana dia tahu aku ada di kota ini, karena setahuku Reza tak pernah menghubungiku lagi semenjak aku ganti nomor handphone ku. Mungkin saja dari Tiwi, atau bisa jadi dia bertanya langsung ke orangtua ku. Dan entah apa maksud kedatangannya menemuiku, aku tak tahu pasti karena aku tak pernah sekalipun menemuinya. Rasanya aku tak akan sanggup menemuinya. Karena setiap kali dia muncul dihadapanku, duniaku seakan kembali runtuh, setelah sebelumnya sudah mampu sedikit demi sedikit mulai kutata rapi.

Siang hari yang terik selepas sholat dzuhur, ada pesan masuk di ponselku.

('Aku tunggu diruang tengah buat ngerjain presentasi ya Ya.') pesan dari Edo.

('Oke.') jawabku singkat.

Semenit kemudian, kami sudah ada diruang tengah.

"Cuman kita berdua nih Do? Bukannya kita kelompoknya berempat ya?" tanyaku.

"Yang lainnya masih ada jadwal piket di Rumah Sakit Ya. Jadi tinggal kita berdua. Kalau nunggu waktu kita berempat libur bareng-bareng buat ngerjain, kayaknya nggak akan sempet deh Ya. Takut terlalu mepet." katanya.

"Oh." jawabku.

Aku diam. Aku agak risih berdua dengan Edo sebenarnya. Bukan tanpa alasan. Aku merasa akhir-akhir ini sikap Edo agak aneh terhadapku. Rasanya dia selalu memperhatikanku. Ditempat praktek, di kos, dimanapun itu yang di situ ada aku dan dia, sering sekali aku tanpa sengaja menangkapnya menatapku tajam. Dan setelah dia tahu aku memergokinya, dia mengalihkan pandangannya dengan muka merah.

"Em, Ya. Boleh ngomong nggak?" katanya tiba-tiba mengagetkanku yang sedang serius mempersiapkan tugas kelompok yang akan aku kerjakan bersamanya.

"Ya?" jawabku.

"Kamu mirip lho sama mantan aku." katanya semakin mendekat padaku yang membuatku semakin merasa risih.

"Oh ya? Wah, benci donk kamu sama aku." tuduhku sambil menggeser sedikit posisi ku agar tak terlalu dekat dengannya. Aku mencoba bersikap biasa saja.

"Nggak. Kenapa benci? Kan cuman mirip. Lagian aku juga nggak benci sama mantan aku. Meskipun dia berkali-kali nyakitin aku, tapi aku masih tetap sayang sama dia. Bahkan kalau sekarang dia kembali, maka dengan senang hati aku bakalan nerima dia." katanya sambil memainkan jarinya diayas keyboard laptop miliknya.

"Hah? terus Marta? Jangan gila deh Do. Marta sayang banget lho sama kamu. Dan aku pikir kamu juga gitu. Soalnya kan kalian mesra banget kelihatannya?" kataku tak percaya.

"Itu dia. Marta tahu kok masalah ini. Dia juga pernah teleponan sama mantan aku itu, bertiga sama aku. Dan dia tahu juga kalau aku sebenarnya masih sayang sama mantan aku. Tapi kamu tahu kan Marta percaya dirinya luar biasa. Dia bilang aku nggak mungkin ngelirik cewek lain setelah pacaran sama dia. Dan aku bakalan bisa ngelupain mantanku karena dia lebih diatas mantanku. Itu katanya." Edo menjelaskan.

"Iyalah. Udah pinter, cantik, kaya lagi. Siapa yang nggak mau sama Marta." kataku menanggapi.

"Iya sih, tapi dia nggak semanis kamu." kata Edo dengan senyuman dan tatapan tajam yang membuatku semakin ingin beranjak pergi.

"Udah nggak usah ngaco deh Do. Lanjutin aja tugasnya." aku mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa sih? Aku jarang-jarang punya kesempatan ngobrol berdua sama kamu Ya. Dan aku sengaja milih praktek di sini karena mau bareng kamu." katanya.

"Gila ya kamu. Setega itu sama pacar kamu sendiri. Ngegodain sahabat pacar kamu. Apalagi Chandra, pacar aku juga satu kamar sama kamu. Nggak malu kamu?" aku benar-benar heran.

"Kenapa harus malu? Cinta nggak memandang apapun Ya. Lagipula aku tahu, kamu nggak beneran cinta sama Chandra dan mantan kamu yang sering nyamperin kamu itu juga sudah jadian sama Tiwi kan." katanya lagi.

"Hah? Kok tahu?" tanyaku heran.

"Kamu nggak tahu ya aku udah lama merhatiin kamu? Dan nggak ada tentang kamu yang nggak aku tahu." katanya padaku.

"Kalau kamu masih bahas beginian, aku pergi ya." kataku mulai tak nyaman.

"Aku serius. Kalau kamu mau sama aku, aku putusin Marta sekarang." kata Edo sambil memegang tanganku. Aku tersentak dan langsung ku hempaskan tangannya dari tanganku.

"Laki-laki dimanapun sama saja ya. Brengsek!" kataku mengumpat. Aku pergi meninggalkan Edo dengan perasaan kesal. Edo berusaha menahanku, namun aku tak menghiraukannya.

Aku langsung saja masuk ke dalam kamar dengan perasaan tak karuan. Gila! Pikirku. Marta dan Edo yang selama ini terlihat begitu romantis dan harmonis ternyata ada juga masalahnya. Dan si Edo, apa sih yang dia cari? Marta kurang apa coba? Udah cantik, pinter, kaya lagi. Bisa-bisanya dia malah mengincarku. Pantas saja aku merasa ada yang aneh saat dia menatapku. Ternyata dia menyimpan rasa kepadaku.

Semenjak kejadian itu,aku memutuskan hubungan pertemananku dengan Edo. Kuhapus nomor HPnya dan ku blokir semua media sosialnya. Dan aku pikir tak perlu ada yang tahu semua kejadian ini, sehingga aku sama sekali tak bercerita apapun kepada siapapun.

Namun bukan Edo namanya kalau nggak nekat. Sekeras apapun aku menghindarinya, dia tetap saja menggodaku, bahkan sering beberapa kali menampakkan ketertarikannya kepadaku didepan banyak teman kami. Hingga sempat suatu ketika Marta menanyaiku. Namun akhirnya aku berhasil membuat alasan untuk menjawab pertanyaannya.

Aku jadi semakin tak enak jika bertemu dengan Marta. Dan perlahan aku agak menjauh darinya. Aku menjaga jarak dan tak pernah mau diajak pergi ke manapun jika ada dia, apalagi bersama Edo.

Sebenarnya aku tak perlu khawatir karena itu bukan salahku. Namun aku tak mau ada

salah paham saja di antara dia dan Edo. Karena aku takut, kalau aku masih dekat dengan Marta, bisa-bisa aku juga akan sering bertemu dengan Edo. Aku tak mau itu.

***