BAB 8

(PoV Aya)

"Ciye,pacar barunya Mas Imam ya..." tulisku berkomentar diakun media sosial mas Imam ketika kudapati Mas Imam berfoto berdua dengan seorang wanita cantik berjilbab.

Ku tunggu balasan dari Mas Imam. Tumben saja ada hal sebesar ini, dia sama sekali tak memberi tahuku. Padahal dulu, tak pernah lupa dia bercerita padaku tentang apapun yang dia alami dan rasakan. Bahkan dia tak pernah membiarkanku hidup tenang sebelum dia bercerita masalahnya, se sepele apapun itu.

Dan kini bisa-bisanya dia tak mau berbagi denganku atas kebahagiaan yang dia alami. Bisa-bisanya dia lupa mengirimiku pesan demi memberitahuku kalau dia sudah punya seseorang yang akan dicintainya.

Lama kutunggu balasan komentar dari mas Imam. Aku sampai mengantuk di buatnya. Dan disaat aku sedikit tertidur sambil memegang telepon genggamku, tiba-tiba nada dering ponselku berbunyi.

Mas Imam. Mas Imam meneleponku.

"Ngapain nelpon-nelpon? Kirain udah lupa kalau ada aku disini. Punya pacar nggak mau cerita. Apa mau ganti adek ya, sampai-sampai adek yang lama dilupain? Kalau memang gitu, ya udah putusin aja hubungan persahabatan kita. Biar nggak punya temen sekalian aku. Sebel di cuekin." todongku pada Mas Imam tanpa memberi salam. Sambil menahan tawa, aku menggodanya. Aku tak bisa benar-benar marah padanya. Bagaimana mungkin seseorang bisa marah dengan orang sebaik Mas Imam.

"Yah ngambek. Ya udah aku tutup dulu deh teleponnya biar nggak kena semprot." kata Mas Imam menjawab omelanku.

"Tutup aja. Berani tutup telponku, selamanya aku nggak akan mau teleponan sama kamu Mas." jawabku.

"Hahaha. Iya-iya maaf deh. Jangan marah lagi ya. Manisnya ilang lho." Mas Imam mulai merayuku.

"Manisan juga pacar baru kamu Mas." kataku memancingnya.

"Namanya Sarah. Dia temen kuliahku. Anaknya baik dan pinter. Dikenalin sama temenku. Tapi kami baru deket, belum pacaran." cerita Mas Imam.

"Se mesra itu masak belum pacaran Mas. Nggak percaya aku." kataku.

"Mesra darimananya sih Ya. Cuman duduk jejer berdua gitu aja masak iya kamu bilang mesra. Ada-ada aja." kata Mas Imam mengelak.

"Iyalah. Soalnya kan Mas nggak pernah tuh foto berdua trus dipajang di sosmed. Jadi kalau ada foto yang begituan, ya udah termasuk mesra dan aku pikir itu pacar Mas Imam. Lihat aja tuh sosmed mu Mas. Dari bawah sampai atas, fotonya sama Ardi semua. Sampai-sampai aku pikir mas Imam pacarannya sama Ardi. Hahahaha." ucapku tergelak.

"Astaghfirullah Aya ngomongnya. Mas masih normal Ya. Masih suka sama cewek. Sebenernya ada yang Mas incer dari dulu. Tapi Mas belum mau ngomong aja sama dia." jelas Mas Imam.

"Lah,ngapain nggak ditembak Mas? Keburu diambil orang lho. Yang difoto itu ya?" aku penasaran.

"Bukan dia. Ada deh pokoknya. Udah deh nggak usah dibahas. Nanti kamu juga ngerti Ya. Aku janji pasti cerita kalau nanti aku jadi sama dia. Oke?" kata Mas Imam.

"Siyap deh kakakku yang paling ganteng, hihi." aku menggodanya.

"Haha, bisa aja. Eh, dapet salam tuh dari Reza. Kemaren kebetulan dia chat sama aku. Dia nanya kabar kamu. Katanya kamu udah nggak mau berhubungan lagi sama dia. Dia bolak balik nyamperin kamu juga, tapi kamu nggak mau ketemu. Dan nomor barumu ini jg katanya dia nggak tahu." telingaku terasa sakit saat nama Reza di sebutnya.

"Iya Mas. Udah capek banget rasanya hati aku di permainkan sama dia. Mas juga udah tahu semua ceritaku dari awal sampai akhir. Mas pasti jg tahu alasan aku kayak gitu sama dia." jawabku. Memang tak ada satupun yang aku tutup-tutupi dari Mas Imam. Semuanya aku ceritain ke dia. Mulai dari awal aku sama Reza, sampai pada ceritaku sama Chandra dan Edo. Mas Imam tahu semuanya. Dan rasanya lega kalau aku sudah berbagi dengannya. Seakan beban dipundakku berkurang dan hatiku kembali tenang.

"Kamu nggak mau kasih dia kesempatan lagi Ya? Kalau bukan jadi pacar, setidaknya kalian jadi sahabat kayak dulu lagi lah. Masak iya kamu dan Reza sekarang jadi musuhan. Kan nggak asyik. Lagipula kemaren dia telepon juga mau ngasih tahu kamu kalau bapaknya sakit. Bapaknya nitip salam sama kamu juga katanya. Kamu kan sekarang di Asrama, kamu juga nggak bisa dihubungi, makanya Reza nitip ke aku buat nyampaiin ini sama kamu." jelas Mas Imam.

"Bapaknya sakit apa Mas? Parah nggak? Aduh gimana ya. Pengen jenguk tapi males ketemu sama Reza. Takut juga ketemu sama emaknya yang benci banget itu sama aku. Padahal aku juga nggak pernah salah apa-apa sama beliau. Bisa-bisanya aku di bentak-bentak tiap kali ketemu." kataku. Memang rasanya malas buat berurusan lagi dengan keluarga Reza. Disatu sisi si Reza yang udah keterlaluan terhadapku. Disisi lain ibunya yang terlalu membenciku.

Namun aku juga tak bisa memungkiri, kalau sebenarnya Bapaknya Reza itu baik banget sama aku. Dia nggak pernah benci sama aku. Dia juga sering nanyain aku kalau aku lama nggak main kerumahnya. Makanya aku jadi agak sedikit kepikiran setelah dapat kabar kalau Bapaknya Reza sakit.

"Temen-temen yang lainnya gimana Ya? nggak ada yang ngabarin kamu? Atau ngajak kamu gitu jengukin bapaknya Reza?" tanya Mas Imam.

"Temen kita kan udah pada keluar kota semua Mas semenjak lulus SMA. Mana jauh-jauh lagi tinggalnya. Dan jarang banget pulang. Cuman aku yang masih tetep setia nungguin kota kita ini." jawabku lagi.

"Oh iya ya. Mana aku juga ini masih sibuk-sibuknya lagi. Nggak bisa pulang kampung dalam waktu dekat ini deh kayaknya. Apa nanti aku kirimin nomer Reza aja kamu ya. Kalau kamu udah nggak marah, coba kamu hubungi dia. Kasihan lho dia nyari-nyari kamu terus. Kayaknya kangen deh sama kamu. Hihi." canda Mas Imam.

"Nggak usah bercanda deh mas. Ya udah mana sini. Nanti kalau aku nggak males, tak coba buat ngehubungi dia. Cuman mau tahu gimana kondisi bapaknya aja. Secara aku kenal bapaknya dari kecil dan beliau juga baik sama aku." aku menimpali.

"Iya. Ya udah tutup dulu telponnya ya. Nanti aku kirim via chat aja. Aku nggak bisa lama-lama teleponan soalnya Ya. Masih di kantor ini. Lembur. Nggak apa-apa kan?" kata Mas Imam.

"Ya udah nggak apa-apa Mas. Semangat lemburnya Mas. Sehat-sehat di sana ya. Jangan lupa makan. Dan tetep harus menyempatkan diri beristirahat." aku menasehatinya.

"Iya. Ya udah. Assalamualaikum." Mas Imam mengakhiri kalimatnya dengan salam.

"Wa'alaikumsalam." jawabku singkat.

Lalu Mas Imam menutup telponnya. Beberapa saat kemudian, dia mengirimiku pesan berisi nomor telpon Reza. Aku menyimpannya. Namun belum berminat menghubunginya. Nanti saja kalau hatiku sudah siap.

***