BAB 10

Tepat jam dua belas malam, prosesi pemakaman bapaknya Reza sudah selesai. Semua pelayat sudah kembali kerumah masing-masing. Aku sebenarnya juga mau pulang ke rumah, namun Reza memintaku untuk menemaninya dulu. Dia sendiri yang meminta izin pada orang tua ku saat bertemu di pemakaman tadi. Dan orangtua ku mengizinkan. Tak lupa Reza juga meminta izin kepada ibunya agar aku diperbolehkan menemaninya di rumahnya. Ibunya diam. Tak melarang, namun juga tampaknya berat untuk mengijinkan.

Dirumah Reza aku mencoba bersikap baik dengan ibu Reza dan berusaha menyalaminya. Namun beliau tak menghiraukanku. Meski begitu, beliau tak juga marah dan memaki ku seperti biasanya. Mungkin hatinya masih bersedih dengan kepergian suami tercintanya. Dan memarahiku hanya akan membuang waktunya saja.

Aku duduk diruang tamu bersama Reza, Ila dan Ofan. Hanya kami berempat. Yang lainnya tak bisa datang karena berada diluar kota dengan jarak yang lumayan jauh.

Aku duduk dikursi panjang bersama dengan Reza. Namun sesaat kemudian dia tertidur di pangkuanku. Sedangkan Ila dan Ofan, mereka masih berbincang dikursi panjang didepanku, ditemani mbak Fatma.

"Beruntungnya Reza punya pacar pengertian kayak kamu Ya." mbk Fatma berbicara padaku. Aku hanya tersenyum.

"Aya baik padahal. Tapi kenapa ibu bisa nggak setuju ya." Ila menambahi.

"Kalau kamu beneran sayang sama Reza, kamu perjuangin ya Ya. Mbak yakin, suatu saat nanti ibu pasti bakalan luluh. Kamu jangan menyerah. Mbak dan Ila dukung kamu." mbak Fatma menyemangati.

"Makasih mbak. Tapi aku sama Reza, kita sebenarnya udah lama putus. Dan aku datang kesini sebagai sahabat yang peduli dengan sahabatnya. Udah itu aja nggak lebih." aku menjelaskan.

"Iya. Tapi Reza selalu cerita kalau dia masih sayang sama kamu dan punya janji sama kamu buat bersatu suatu saat nanti kalau kalian sudah sama-sama sukses Ya. Jadi kalian sabar dulu. Jangan sampai kalian nggak tepatin janji kalian itu." Ofan berbicara.

"Reza udah punya pacar kok Fan. Dia temenku kuliah namanya Tiwi. Dan aku juga udah punya pacar, temen kuliahku juga namanya Chandra." kataku.

"Reza nggak beneran kok pacaran sama Tiwi. Iya memang mereka pacaran, tapi Reza nggak beneran cinta sama Tiwi. Kan Tiwi juga yang nembak Reza. Karena ngerasa nggak enak, akhirnya diterima. Mereka pacaran dua bulan udah putus. Sekarang Reza masih sendiri. Dan selain Tiwi, sebenarnya dulu pas kalian masih pacaran, Reza juga sempat dekat sama cewek namanya Cici. Kamu sebenernya diselingkuhin sama Reza sama si Cici itu. Namun yang namanya hati nggak bisa bohong Ya. Apalagi Cici tipe cewek posessif banget yang bukan selera Reza banget. Makanya nggak lama kalian putus, Cici juga diputusin sama Reza." Ofan menjelaskan segalanya yang dia tahu. Tak heran, karena Reza selalu cerita apapun kepadanya. Jadi dia bisa tahu semua yang Reza alami.

Sebenarnya aku sedikit terkejut dengan apa yang Ofan katakan yang menyebutkan bahwa Reza selingkuh. Pantas saja sewaktu pacaran dulu aku tak dihiraukannya. Ternyata ada wanita lain selain aku dihidupnya yang juga meminta perhatiannya.

Hatiku yang semula mulai mau memaafkannya, entah kenapa kini kembali terasa perih mengetahui kenyataan bahwa Reza dulu berselingkuh.

"Ya udahlah Fan. Bukan saatnya bahas ginian. Lagipula kalau jodoh juga nggak akan kemana kan?" jawabku singkat.

Sesaat kami semua terdiam. Satu jam kemudian, mbak Fatma pamit masuk kedalam untuk menemani ibunya. Sedangkan Ila dan Ofan, mereka sudah terlelap bersender diatas kursi yang didudukinya.

Hanya aku yang masih terjaga. Kupandangi dengan seksama wajah yang sedang tidur di pangkuanku dengan mimpi indahnya. Masih setampan dulu. Tak ada yang berubah.

Perasaanku pun masih sama seperti dulu. Begitu mencintainya. Namun rasanya berat jika harus kembali bersama. Sakit dihati ku memang perlahan mengering. Namun bekasnya masih terasa perih bila di sentuh.

Seandainya Reza mau mengajakku kembali lagi, entah apa yang akan aku katakan. Ketika hati begitu besar mencintai, akan selalu berbanding lurus dengan rasa ingin memiliki. Namun nyatanya, aku pernah memilikinya, dan memilikinya hanya meninggalkan rasa sakit yang sulit terobati.

Perlahan ku belai rambutnya dengan lembut agar dia tak terbangun. Dia terlihat sangat lelah. Dan aku tak mau mengganggu tidurnya.

Namun tiba-tiba perlahan dia membuka matanya dan tersenyum lembut ke arahku. Pelan-pelan dia mulai bangkit dari posisinya berbaring. Dan kini dia sudah duduk tepat disisi kananku.

"Kamu nggak ngantuk Ya?" tanya Reza.

"Belum." jawabku.

"Pasti gara-gara aku ketiduran di pangkuanmu ya, jadi kamu nggak bisa tidur." katanya tak enak.

"Nggak kok. Memang belum ngantuk aja." jawabku lagi sambil melempar senyum kepadanya.

"Maafin aku ya. Aku menyesal sudah menyia-nyiakan wanita sebaik kamu. Seandainya aku masih diberi kesempatan, aku ingin kita seperti dulu lagi." Reza menatapku tajam.

"Kayaknya saat ini bukan waktu yang tepat buat bahas itu lagi Za. Aku kesini sebagai sahabat yang peduli sama sahabatnya. Bukan sebagai mantan pacar yang ingin kembali menjalin kasih." aku mulai merasa tak nyaman.

"Iya Ya. Aku tahu kamu benci banget sama aku, sampai kayaknya kamu udah beneran lupa sama hubungan kita dulu." Reza menunduk.

"Bukan gitu Za. Aku juga nggak semudah itu lupa. Tapi kan Bapak kamu barusan meninggal, jadi waktunya nggak tepat kalau kita ngomongin soal kita disaat kamu masih berkabung kayak gini." aku menjelaskan.

"Padahal seandainya kamu kasih jawaban kamu saat ini, itu akan sangat membantuku melewati masa berkabung ini dengan mudah Ya." kata Reza.

"Aku punya pacar Za. Dia baik. Aku nggak mungkin nyakitin dia." kataku.

"Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu lagi Ya. Kamu putusin aja pacarmu itu. Kamu tadi bilang kan kalau kamu juga belum bisa lupa sama aku. Jadi buat apa kamu menyakiti dia dengan pura-pura mencintainya?" Reza mendesakku.

"Udah Za. Saat ini aku beneran nggak mau bahas ini lagi. Kita bahas yang lain ya." aku benar-benar tak nyaman.

"Tapi kamu janji dulu, kamu bakalan kasih aku kesempatan buat kita sama-sama lagi." pinta Reza.

"Aku nggak mau jawab sekarang. Aku juga nggak bisa memutuskan pacarku gitu aja Za. Dia laki-laki baik." aku memberi alasan.

"Pokoknya mulai sekarang kamu nggak boleh ngilang lagi dariku. Aku mau terus sama kamu. Nggak apa-apa kamu punya pacar. Tapi aku tetap akan mengejar dan memperjuangkan cintamu." Reza semakin mendesakku.

Aku tak menjawab apapun. Hatiku campur aduk rasanya. Perasaan kembali terbuai oleh rayuannya memang saat ini tak bisa aku pungkiri. Namun aku masih belum sanggup bila harus menerimanya kembali. Apalagi jika harus menyakiti Chandra yang selama ini begitu baik padaku.

Reza memegang erat tanganku. Dia masih menunggu jawabanku. Aku bimbang. Apa yang harus aku jawab?

"Aku nggak mau kehilanganmu lagi Ya. Please terima aku lagi. Jadi selingkuhanmu juga nggak apa-apa." Reza menambahi.

"Kita jalanin aja ya Za. kalau kamu butuh aku, kamu boleh nyari aku dan aku juga siap meluangkan waktu ku untukmu. Tapi kamu juga nggak boleh lupa, kamu harus bisa menahan diri karena aku juga masih punya seseorang yang harus aku jaga perasaannya." kataku pada akhirnya.

"Tapi kamu harus janji, kamu jangan serius sama pacar kamu itu. Kan kamu sudah janji mau menikah sama aku suatu hari nanti. Kamu nggak boleh lupain itu. Kamu boleh punya pacar, tapi kamu nggak boleh buat aku cemburu. Kamu tetap masih terikat sama aku. Aku juga masih pegang janji aku dulu ke kamu. Meskipun aku punya pacar, aku tak akan serius sama pacarku itu. Karena aku hanya ingin punya masa depan sama kamu." kata Reza panjang lebar.

"Iya. Lihat nanti aja ya. Kalau kamu nyakitin aku lagi, aku juga nggak punya pilihan selain pergi dan melupakan janji kita." jawabku.

"Aku nggak akan nyakitin kamu lagi Ya. Aku serius. Aku benar-benar nggak mau kehilangan kamu lagi." Reza terlihat begitu serius.

Aku tak menjawabnya. Aku hanya tersenyum tipis padanya. Aku masih ragu dengan keputusanku. Namun dari kata-kataku tadi, tampaknya aku meng-iya-kan permintaan Reza. Aku tiba-tiba merasa berdosa telah menghianati Chandra seperti ini.

Mungkin benar kata Reza. Sebaiknya secepat mungkin aku harus mengakhiri hubunganku dengan Chandra. Dia lelaki baik. Tak seharusnya aku menyakitinya dengan begitu kejam.

***