BAB 11

( PoV Aya)

Hari ini adalah hari kelulusanku. Hari dimana aku akan di wisuda. Sehari sebelum hari besar ini, aku dan 4 temanku yang lain yakni Marta, Nia, Tia dan Yulia berangkat terlebih dahulu ke kota tempat kami wisuda dan menginap di rumah saudara Marta, karena pagi-pagi sekali kami harus dirias dan jarak kampus tempat kami belajar dengan lokasi tempat kami wisuda sekitar 4-5 jam.

Sedangkan orang tua ku baru akan berangkat petang ini untuk menemaniku dan mengabadikan moment special ini dengan berfoto bersama.

Aku sudah tak sabar menunggu moment hari ini. Selain karena akhirnya studi ku sudah selesai, Reza juga berjanji akan menghadiri acara istimewaku ini karena kebetulan lokasi acara wisudaku ini dekat dengan kantor tempatnya bekerja setelah dia lulus kuliah.

Pukul 8 pagi,orang tua ku sudah berada dihalaman gedung bersamaku. Tiba-tiba telepon ku berdering.

"Assalamualaikum." sapaku setelah ku pencet tombol terima.

"Wa'alaikumsalamsalam. Aya selamat ya kamu di wisuda hari ini. Semoga ilmunya berkah dan bermanfaat ya." jawab suara di seberang sana yang ternyata adalah Mas Imam.

"Makasih ya Mas doanya." jawabku senang.

"Sama-sama. Ya udah cuman mau bilang gitu aja. Aku tutup dulu telfonnya ya. Mau kerja. Takut kesiangan. Assalamualaikum." Mas Imam mengakhiri panggilannya.

"Wa'alaikumsalam." aku menjawab salamnya. Mas Imam memang selalu perhatian. Setiap hari dia selalu menghubungiku. Entah dengan cara menelponku, atau sekedar mengirim pesan singkat padaku. Tak pernah absen seharipun, meskipun saat ini dia disibukkan dengan pekerjaanya disalah satu kantor BUMN di kota tempat tinggalnya. Kadang-kadang aku berfikir 'seandainya Reza seperti itu, pasti hubungan kami awet sampai sekarang'.

Namun sepertinya tak mungkin. Jangankan memberi kabar setiap harinya seperti Mas Imam, kapan terakhir kali kita berbalas pesanpun aku lupa. Dan kini, sudah hampir sebulan dia menghilang. Aku tak pernah bisa menghubunginya.

Akupun ragu dia akan datang hari ini. Mustahil kalau dia ingat janjinya sebulan yang lalu untuk menghadiri wisuda ku. Akupun tak mau berharap banyak. Meski begitu, aku tetap setia menunggunya dan akan sangat senang seandainya dia benar-benar datang.

Pukul tiga sore hari, acara wisuda akhirnya selesai dengan lancar. Namun tampaknya belum ada yang meninggalkan lokasi wisuda. Kami masih sibuk berfoto ria bersama keluarga.

Dan benar saja. Reza tak datang. Tak juga bisa aku hubungi. Keterlaluan memang. Semudah itu dia mempermainkanku lagi.

Tiba-tiba suara seorang lelaki mengagetkanku. Suaranya tampak tak asing. Dia memanggil sambil menepuk pundakku dari belakang. Setelah aku berbalik untuk menatapnya, aku tak melihat wajahnya karena tertutup oleh rangkaian bunga Lily putih yang sangat indah.

"Siapa ya?" tanyaku penasaran.

"Selamat ya. Ini bunga buat kamu." kata suara itu, yang ternyata adalah Edo, sambil menyerahkan bunga yang dipegangnya kepadaku.

"Oh. Iya makasih." kuterima bunga itu lalu aku segera membalikkan badanku. Aku takut Marta melihatku bersamanya.

"Kenapa? Takut Marta lihat? Nggak papa kok, dia udah tahu kalau aku ngedeketin kamu karena mirip sama mantanku." kata Edo menebak pikiranku.

"Hah? Kamu gila ya? Mendingan kamu pergi deh sekarang. Aku bener-bener nggak mau berantem sama Marta cuman gara-gara kegilaan kamu." jawabku agak kesal.

"Tenang aja kali Ya. Lagian kamu tuh jauh dibawah aku, nggak mungkin Edo punya pikiran buat putus sama aku dan jadian sama kamu." Marta tiba-tiba muncul dan mengagetkanku.

"Nggak gitu Ta. Aku juga nggak ada pikiran sama sekali kalau Edo bakalan macarin aku. Aku juga tahu aku nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama kamu. Tapi nggak enak juga kalau temen-temen yang lain lihat. Apalagi Edo sampai bawa-bawa bunga kayak gini buat aku. Kan nggak pantes banget dilihatinnya." aku menjelaskan.

"Loh,kamu ngasih bunga buat Aya Do? Kok aku nggak kamu kasih sih." Marta kaget mendengarku mendapat bunga dari pacarnya itu.

"Iya nanti deh aku beliin." jawab Edo singkat.

"Beneran ya." rengek Marta.

"Iya. Eh Ya, foto yuk sama aku. Biar Marta yang fotoin. Buat kenang-kenangan." kata Edo. Mendengar ucapannya yang tak tahu malu itu, aku sedikit membelalakkan mataku.

"Nggak usah." jawabku ketus.

"Iya nih, ngapain sih ngajakin Aya foto segala. Aku lagi yang disuruh motoin. Aku nggak mau." Marta protes.

"Edo, tolong ya. Hari ini perasaan aku lagi nggak enak banget. Kamu jangan nambah-nambahin deh ya. Kalau aku sampai marah beneran sama kamu, aku nggak mau ngomong sama sekali sama kamu. Aku terima bunga dan ucapan selamat dari kamu. Makasih. Tapi tolong sekarang kamu pergi, jangan ganggu aku. Please." jawabku memohon.

"Pasti gara-gara Reza mantan kamu itu ya? Ngapain sih mikirin cowok brengsek itu terus Ya. Ini hari wisuda kamu. Harusnya kamu bahagia. Lagian mantan kamu itu juga nggak bakalan ingat. Dia dateng sih disini, tapi bukan buat kamu. Tuh tadi aku lihat dia sama cewek dari program studi lain. Kamu di permainin kayak gitu mau aja sih Ya." kata Edo.

"Nggak usah ngaco kamu ya." aku tak percaya.

"Ngapain sih aku bohong. Aku itu peduli sama kamu, makanya aku mau ngingetin kamu. Kalau kamu nggak percaya, ayo deh ikut aku, aku kasih lihat langsung kekamu." Edo menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat. Aku mengikutinya. Sebelum aku pergi, aku sempat melirik Marta. Dia tampak begitu kesal. Terang saja, pacarnya lebih memperhatikan wanita lain daripada dirinya. Kalau aku jadi dia pun, pasti aku akan marah.

"Tuh lihat mantan tercintamu." kata Edo padaku. Dia menunjuk kearah kerumunan disisi lain gedung tempat wisuda ku. Memang saat ini tak hanya kampusku yang sedang ada acara wisuda. Kampusku adalah cabang keempat dari kampus pusat yang tempatnya ada dikota tempat Reza kerja. Ada sekitar dua belas cabang yang kesemuanya adalah program studi di bidang kesehatan dengan jurusan yang berbeda-beda dan tersebar luas dibanyak kota di provinsi tempatku tinggal. Dan seluruh lulusan dari ke dua belas cabang program studi itu diwisuda hari ini bersama-sama.

Dan ternyata Edo benar. Ada Reza disana. Dia berdiri sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri dan tampak mesra dengan seorang wanita yang menggunakan kebaya berwarna peach dan tampak begitu anggun. Reza sendiri mengenakan kemeja panjang warna merah marun dimasukkan kedalam celana bahan warna hitam. Mereka tampak bahagia berfoto ria bersama sambil sesekali berpelukan.

Segera ku balikkan badanku. Aku tak mau melihatnya. Dan akupun juga tak mau kalau dia sampai melihatku. Karenanya, suasana hatiku yang seharusnya bahagia, kini benar-benar menderita. Rasanya tak sanggup kalau aku harus bertemu dengannya dalam situasi yang seperti ini. Kurasakan badanku sedikit bergetar dan mataku tiba-tiba basah.

Edo dengan cepat menarikku. Dia mengajakku menjauh dari kerumunan itu. Aku menurutinya saja.

"Udah nggak usah nangis. Cowok kayak dia nggak pantes kamu tangisin." kata Edo setelah kami berdua berada di tempat yang sepi di belakang gedung.

"Cowok kayak kamu juga nggak pantes buat dicintai cewek sempurna kayak Marta."jawabku.

"Kok jadi aku?" Edo tak mengerti.

"Kamu itu sama aja, sama kayak mantan aku si Reza. Sama sekali nggak ada bedanya. Udah punya pacar, bisa-bisanya ngejar cewek lain." kataku.

"Ya beda lah. Aku sama Marta nggak ada janji apapun kayak kamu sama mantanmu. Dia udah aku kasih tahu kondisiku yang belum bisa lupa sama mantanku dan belum bisa cinta sama dia, dan dia setuju. Itu artinya dia siap untuk sakit hati. Lagipula, dari awal hanya kamu yang aku kejar, nggak ada yang lainnya, karena memang aku sekali sayang sama cewek, aku susah buat beralih. Bukan kayak mantanmu itu yang sering gonta-ganti cewek." jawab Edo panjang lebar.

"Kamu kok kayak detektif sih Do. Tahu semua tentang aku sama mantan aku. Lagipula kamu itu nggak sayang sama aku. Kamu cuma terobsesi sama mantan kamu. Dan kebetulan aku mirip sama dia. Udah gitu aja." jawabku.

"Awalnya iya. Namun lama-lama aku rasa kamu beda sama dia dan aku tetep sayang sama kamu. Artinya apa? Aku tulus sama kamu. Dan dari awal kenal sama kamu, aku udah nyari semua info tentang kamu." katanya.

"Aku nggak peduli. Kamu pacarnya Marta Do. Kamu nggak sepantesnya kayak gini. Dan STOP mata-matain aku." jawabku.

"Ya udah aku putusin Marta sekarang biar kamu nggak merasa nggak enak sama dia. Lagipula kamu ngehindar dari aku juga gara-gara dia. Kalau aku putus dari dia, mungkin aja kamu mau ngasih aku kesempatan." jawab Edo yakin.

"Gila kamu. Keterlaluan. Nggak mungkin ya. Aku nggak akan mungkin mau sama kamu." umpatku padanya. Aku bergegas pergi meninggalkan Edo. Dia mengikutiku dari belakang. Tampaknya dia ragu untuk mengejarku. Mungkin dia takut aku semakin marah karena dia tahu hatiku sedang tak baik-baik saja saat ini. Dia takut kalau aku semakin membencinya dan semakin susah untuknya mendekatiku. Biarlah. Aku tak peduli.

***