Diperjalanan pulang, bersama dengan keluargaku, aku hanya diam dan tak ingin bicara apapun. Pikiranku kalut. Dan hatiku seakan mati rasa. Benar-benar jahat si Reza itu. Keterlaluan sekali. Aku merasa menjadi wanita yang gagal karena jatuh cinta dan terjebak bertahun-tahun dengannya. Sebodoh ini aku ternyata. Bisa-bisanya aku memberinya kesempatan berkali-kali untuk menyakitiku seperti ini. Awas saja. Aku tak akan memaafkannya kali ini. Jangan harap akan ada kesempatan berikutnya lagi.
"Kita makan dulu ya Mbak." tiba-tiba suara adik sepupuku yang ada di kursi kemudi membuyarkan lamunanku.
"Ayo. Kamu yang cari. Aku nggak ngerti tempat disini." kataku padanya. Tanpa menoleh sedikitpun. Pandanganku masih fokus menatap jalanan yang begitu penuh dengan kendaraan.
"Nasi Padang mau? Disini ada warung nasi padang enak lho. Deket-deket sini." katanya lagi. Adik sepupuku ini memang sedikit banyak hafal daerah sini. Karena dia juga pernah kuliah dikota ini. Satu kampus dengan Reza, tapi beda jurusan.
"Terserah kamu sama Bapak Ibu aja deh. Aku ngikut." jawabku. Aku tak berselera untuk apapun. Makanpun rasanya aku malas.
"Bapak Ibu ngikut kalian aja." jawab Bapakku.
"Oke. Fix ya, nasi padang." Sepupuku bersemangat.
"Oke." jawabku. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arahnya.
Sepupuku memelankan laju kendaraannya. Dia melihat sekeliling untuk mencari tempat yang di maksudnya itu. Dan akhirnya dia menghentikan kendaraannya di warung padang kiri jalan yang bercat hijau.
Kami semua turun dari mobil dan segera memesan makanan sesuai menu yang tersedia. Aku tak memesan makanan apapun. Aku hanya memesan teh hangat untuk menghilangkan dahagaku. Selain tak lapar, aku juga tak berselera untuk makan.
Aku memilih duduk didekat jendela sambil merasakan hembusan angin dan melanjutkan kegiatanku melihat kendaraan yang sedang lewat.
Dari tadi pikiranku rasanya penat dan sepertinya aku membutuhkan angin segar. Kulayangkan pandangan keluar jendela untuk mengusir kejenuhanku. Kupandangi satu persatu kendaraan yang lewat dijalanan tersebut sambil melamun. Pertokoan dan rumah makan disekitar situ juga tak luput dari pandanganku. Tiba-tiba mataku berhenti pada salah satu pasangan muda-mudi yang sedang tertawa bahagia di sebuah cafe terbuka yang berada tepat disisi kiri warung nasi padang tempatku makan saat ini.
Aku terkejut. Reza? Dia sudah ada di sini? Tanyaku dalam hati. Dan kali ini dia bersama dengan wanita yang berbeda dari yang aku lihat tadi di gedung tempat dilaksanakannya wisuda. Ternyata. Aku nggak menyangka Reza bisa berubah seperti itu. Kehidupan dikota ternyata banyak membuatnya menjadi lupa diri. Dia dulu tak seperti ini. Tak setega itu mempermainkan wanita. Bahkan dari sekian banyak gadis yang mendekatinya,tak pernah ada yang di gubrisnya. Aku benar-benar tak menyangka,Reza kini telah berubah drastis.
Baru saja kemaren dia memintaku untuk memberinya kesempatan. Namun kini ulahnya benar-benar menjijikkan. Aku malu rasanya pernah menjalin hubungan dengannya. Aku merasa menyesal karena sungguh mencintainya. Aku merasa sudah membuang waktuku yang berharga yang pernah aku habiskan dengannya. Dia benar-benar membuat kebahagiaanku hari ini menjadi tak lengkap.
Apakah karena sekarang dia sukses, dia bisa sesuka hatinya? Memang aku akui saat ini dia bisa dibilang sukses. Setelah lulus kuliah, dia langsung diterima bekerja disalah satu perusahaan yang bergerak dibidang kontruksi. Gajinya bisa dibilang cukup besar. Dari hasil kerjanya tersebut, dia bisa membeli rumah dan kendaraan pribadinya sendiri. Apalagi dia cukup tampan. Wajar saja semakin banyak yang mau menjadi kekasihnya.
Meskipun begitu, tak sepantasnya juga dia mempermainkan wanita seperti itu. Terlebih dia masih punya janji kepadaku. Janji yang selama tiga tahun ini membuatku tak bisa kemana-mana. Janji yang membuatku menyia-nyiakan lelaki baik seperti Chandra demi untuk menunggu saat yang tepat untuk hidup bersama Reza, selamanya.
Aaaaahhhhh. Tiba-tiba dadaku terasa sesak mengingat kemyataan kalau aku punya janji dengan lelaki plin-plan tak punya pendirian seperti Reza.
Aku tarik nafas dalam-dalam lalu ku hembuskan perlahan demi mengurangi rasa tak nyaman didalam dadaku. Kali ini aku berniat menemui Reza. Bukan untuk melabraknya. Hanya untuk meyakinkan hatiku, seberapa kuat aku, hingga bisa aku putuskan saat ini juga, aku harus berhenti menjaga janjiku untuknya, atau aku bisa tetap melanjutkan mimpiku untuk bisa bersamanya.
Aku menarik napas panjang. Aku mencoba menenangkan diri terlebih dahulu sebelum pergi menemuinya. Setelah aku merasa sedikit tenang, aku meminta ijin kepada kedua orang tuaku yang saat ini sedang makan untuk pergi keluar sebentar dengan alasan ingin membeli pulsa.
"Hai Za." sapaku pada Reza setelah aku berdiri tepat di belakangnya.
Dia menoleh. Dan nampak sedikit gugup setelah melihatku.
"Aya? Kamu kok ada disini?" tanyanya sedikit tergagap.
"Habis wisuda tadi. Terus makan diwarung padang sebelah. Nggak sengaja lihat kamu. Yaudah aku samperin." jawabku. Aku menatapnya tajam.
"Siapa Za?" tanya perempuan yang sedang menikmati hidangan steak bersama Reza.
"Oh, kenalin. Ini Aya. Pacar aku. Dan Aya, kenalin ini teman kantor aku namanya Dinda. Kita baru aja menang proyek, jadi kita ngerayain dengan makan bareng disini." kata Reza memperkenalkan kami.
"Pacar? Oh jadi kamu udah punya pacar. Kirain kamu ngajak aku makan tiap hari setelah kita pulang kerja, karena lagi ngedeketin aku. Aku pikir kamu suka sama aku. Soalnya setiap hari kamu nggak pernah absen buat ngasih aku hadiah, chat kata-kata romantis, telepon aku setiap hari, dan antar jemput aku ke tempat kerja. Ternyata kamu udah pacaran sama anak kecil ini." kata perempuan itu yang menatapku dengan begitu sinis.
"Dinda. Udah diem. Nanti biar aku jelasin. Tapi sekarang kamu pulang dulu ya. Biar aku bantu kamu pesen taksi online." jawab Reza. Gila ya. Dengan mudahnya dia mengusir wanita itu.
"Apa? Kamu nyuruh aku pulang sendiri? Kamu tadi yang ngajak aku ke sini ya Za. Kamu juga yang harusnya nganterin aku. Bukan malah ngusir aku kayak gini setelah kamu ketemu sama pacar kamu yang jelek ini." wanita itu menunjuk ke arahku. Aku menatapnya tajam. Ingin ku sumpal mulutnya.
"Nggak usah ngehina pacar aku Din. Udah, sekarang kamu pergi. Daripada sabar aku habis buat kamu. Aku pengen ngomong sama pacar aku dulu. Aku pesenin taksi online buat kamu." Reza mengambil handphonenya dan berniat ingin membuka aplikasi untuk memesan ojek online.
"Nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Dasar lelaki brengsek. Nggak usah nyari-nyari aku lagi." kata perempuan itu dengan wajah kesal dan bergegas pergi meninggalkan kami.
Aku masih belum beranjak dari tempatku berdiri. Aku terpana dibuatnya. Begitu mudahnya dia mengakuiku sebagai pacarnya dan menyuruh wanita yang di kencaninya pulang sendirian tanpa rasa malu dan perasaan bersalah. Benar-benar memalukan.
***