BAB 13

"Duduk dulu Ya." Reza tersenyum manis kepadaku. Senyuman yang awalnya membuatku jatuh hati. Namun kini, senyuman itu layaknya makanan basi. Menjijikkan.

"Kamu sama siapa aja Ya? Mau makan apa? Biar aku pesenin." Hah? Tak merasa bersalah kah kamu Za? Aku ke sini bukan karena mau makan sama kamu, Buaya. Huh, dasar. Ingin ku berkata kasar.

"Bapak Ibuk. Pakai mobil Vitra. Nggak usah,aku baru aja makan." jelas aku menolak.

"Pada makan dimana? Samperin Yuk. Aku lama nggak ketemu bapak ibumu. Ada Vitra juga lagi. Semenjak lulus SMA aku nggak pernah ketemu sama dia." Gila! Benar-benar nggak merasa salah.

Reza dan Vitra sepupuku itu memang teman semasa SMA, jadi mereka sudah saling kenal.

"Nggak usah. Disini aja. Aku pengen ngomong berdua sama kamu. Mumpung ada kesempatan. Keburu kamu ngilang lagi. Keburu kamu jalan sama cewek lain lagi. Aku cuma mau nanya. Kamu kenapa nggak dateng hari ini?" aku menatapnya tajam. Emosi.

"Maaf Ya. Aku bener-bener lupa. Seandainya kamu ngingetin aku, aku pasti dateng kok." jawabnya enteng sambil menikmati steak yang masih belum habis didepannya.

"Ouw jadi menurut kamu,aku yang salah karena nggak ngingetin kamu? Gitu?"

"Nggak gitu Ya, tapi kan aku sibuk. Jadi beneran nggak inget." jawab Reza beralasan.

"Kenapa nomor kamu ganti?" tanyaku lagi.

"HP aku yang lama hilang Ya, sebulan lalu. Aku nggak hapal nomormu jadi nggak bisa ngasih tahu. Dan aku juga belum pulang kerumah selama sebulan ini." ujarnya lagi.

"Trus tadi kamu dateng diacara wisudanya siapa Za? Aku nggak sengaja lihat kamu sama cewek tadi. Se lokasi sama tempat wisuda aku lagi." aku mencecarnya.

"Oh jadi kamu tahu toh. Itu tadi adik temen aku. Dia nggak bisa dateng di acara wisuda adeknya, orang tuanya jauh diluar kota, jadi aku yang disuruh dateng. Aku juga baru kenal sama adeknya tadi. Aku nggak tahu kalau kamu juga disitu wisudanya. Seandainya aku tahu aku pasti mampir tadi Ya. Kamu juga kenapa nggak manggil aku kalau kamu tahu aku ada disitu?" tanyanya balik padaku. Santai sekali.

"Gimana aku mau manggil kamu? Kamu aja asyik foto-foto sama cewek yang katamu adik temen kamu itu. Nggak masuk akal banget. Masak iya sama adek temennya yang baru kenal bisa lengket banget gitu. Kayak sama pacarnya aja. Lagipula yang namanya wisuda anak, pasti orang tua bela-belain dateng lah Za. Atau jangan-jangan tadi kamu dateng sama orang tua cewek itu? Calon mertua kamu?" aku benar-benar tak ingin diam.

"Udah deh Ya. Kamu masih nggak percaya sama aku? Kurang bukti apalagi coba kalau aku beneran sayang sama kamu dan beneran masih pegang janji kita? Oke aku ngaku. Cewek yang kamu lihat diwisuda tadi itu gebetan aku. Dan cewek yang tadi makan disini itu, dia juga gebetan aku. Bukan mereka aja. Masih banyak cewek-cewek lain diluar sana yang dekat sama aku. Tapi aku tetep aja milih kamu daripada mereka kan? Buktinya tadi aku ngakuin kalau kamu pacar aku didepan salah satu gebetan aku. Itu artinya meskipun aku disini main-main sama banyak cewek dan punya banyak pacar, tapi aku nggak serius sama mereka. Aku cuma main-main. Dan nggak ada niatan lebih dari sekedar buat hiburan. Itu kan yang kita sepakati dulu? Saat kita menunggu waktu yang tepat untuk nenikah, kita boleh punya pacar, tapi kita nggak boleh bikin cemburu masing-masing, kita juga nggak boleh serius sama pacar kita itu. Gitu kan dulu kesepakatan kita? Jadi kamu nggak perlu berpikiran macem-macem, nggak boleh cemburu. Aku kayak gini biar nggak jenuh aja Ya." mendengar jawaban Reza, ingin rasanya aku bertepuk tangan langsung di hadapannya. Saat ini juga.

"Ternyata kamu kayak gini ya Za. Nggak tahu kenapa aku merasa kamu udah berubah banget Za. Bukan lagi kayak Reza yang dulu aku kenal. Kamu yang dulu nggak mungkin banget selingkuh apalagi bangga banget udah mainin hati cewek-cewek. Tapi sekarang. Bener-bener luar biasa ya kamu." kataku tak percaya.

"Bukan gitu juga Ya. Aku masih sama kok kayak dulu. Ya mungkin aku memamg lagi jenuh aja. Pengen hiburan. Hidup sendiri dikota besar seperti ini nggak mudah Ya. Apalagi aku sekarang punya uang sendiri. Jadi apapun bisa aku dapetin. Lagian mereka sendiri kok yang mau sama aku. Bukan aku yang maksa-maksa mereka."

"Ouw gitu? Jadi kalau kamu punya uang kamu bisa seenaknya? Mentang-mentang cewek-cewek itu mau, terua kamu bisa nyakitin hati mereka gitu aja? Kamu nggak mikirin juga gimana perasaan aku? Kamu ngilang, nggak ada kabar, dan ternyata disini kamu main-main sama banyak wanita? Hebat kamu ya Za." aku kecewa.

"Udah lah Ya. Kita juga belum menikah. Dan kita juga nggak pacaran kan? Jadi biarin dulu aku bebas, biarin aku menikmati masa mudaku dulu. Biar aku puas-puasin dulu main wanita. Nanti pas udah nikah sama kamu, biar aku udah puas dan nggak selingkuh dari kamu." Benar-benar lelaki tak punya malu.

"Kamu pikir aku masih mau nikah sama kamu setelah aku tahu kamu kayak gini Za? Kayaknya harus aku pikir-pikir lagi buat nikah sama laki-laki macam kamu yang udah bikin aku kecewa berkali-kali." Ah, rasanya air mata ini ingin menetes. Semoga saja bisa aku tahan.

"Kok gitu Ya? Ya nggak bisa gitu donk. Aku bilang aku mau nikahnya sama kamu, itu berarti ya aku harus nikah sama kamu. Kamu nggak bisa main mutusin sepihak gini. Kan kamu juga udah setuju. Kamu juga udah tahu ada perjanjian ini dulu kan?" Reza tak terima.

"Aku aja jijik sama kamu sekarang Za. Rasanya nyesel udah kenal dan jatuh cinta sama kamu."

"Iya udah. Aku minta maaf. Dan aku janji nggak akan ngulangin lagi. Aku minta satu kesempatan lagi. Oke? Kalau kesempatan kali ini aku sia-sia in lagi, terserah kalau kamu mau ninggalin aku. Itu hak kamu. Tapi please, kasih aku satu kesempatan lagi." pintanya.

"Ngasih kesempatan kamu itu hanya akan membuang waktu ku Za. Daripada aku harus nunggu kamu lagi, lebih baik aku nyari laki-laki yang beneran mau serius sama aku dan nggak cuman ngasih janji-janji kayak kamu." kataku.

"Oke gini aja. Biar kamu nggak ragu lagi sama aku, ayo kita ketemu sama orang tua kamu. Kebetulan didepan ada toko emas. Aku lamar kamu sekarang Ya." Reza mencoba meyakinkanku lagi. Tapi rasanya aku sudah muak dengannya.

"Nggak perlu. Udah aku mau balik sekarang." kataku seraya berdiri dan berniat meninggalkannya.

Namun belum sempat aku beranjak pergi, Reza tiba-tiba memegang pisau makan diatas piring steak di mejanya lalu meletakkannya ke lehernya.

"Reza, kamu gila ya? Nggak usah mencoba menggertakku. Aku tak peduli." kataku memalingkan wajahku.

"Oke kalau kamu nggak peduli. Berarti kamu pengen aku mati. Aku beneran sayang sama kamu Ya. Aku ngaku kalau aku salah. Aku laki-laki kurang ajar. Kamu boleh marah dan hina aku. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu Ya. Aku mohon maafin aku. Aku janji nggak akan kayak gitu lagi." katanya mengancamku.

"Udah letakin dulu pisaunya. Kamu nggak malu bikin drama kayak gini didepan banyak orang?" tanyaku sambil melirik tamu lainnya yang dari tadi memperhatikan kami.

"Aku nggak peduli. Kalau kamu masih marah sama aku, aku nggak mau meletakkan pisau ini. Dan aku lebih baik mati." katanya sambil menekankan mata pisau yang tajam itu kelehernya sehingga lehernya sedikit terluka dan berdarah.

"Oke kita omongin lagi. Tapi jangan kayak anak kecil. Aku malu Za. Ayo cepetan letakin pisaunya." pintaku.

"Janji dulu sama aku kalau kamu udah nggak marah dan mau kasih aku kesempatan lagi." Reza memaksaku.

"Oke, oke. Aku udah nggak marah. Dan ini kesempatan kamu yang terakhir. Sekali lagi kamu nyakitin aku, aku beneran pergi jauh dari kamu."

"Makasih Aya." Reza meletakkan pisaunya dan segera memelukku, diiringi dengan tepuk tangan riuh para pengunjung dan pelayan Cafe yang menonton drama kami dari tadi. Dasar memalukan.

Sesaat kemudian aku pergi dari Reza dan bergegas pergi menemui orang tuaku yang mungkin sudah gelisah menungguku karena cukup lama aku meninggalkan mereka.

Aku juga masih belum menghabiskan nasi padangku yang tadi ku pesan. Reza ingin mengantarku, namun aku menolaknya. Masih ada rasa jijik dihatiku meskipun aku memaafkannya. Rasanya kali ini aku benar-benar muak padanya. Aku benar-benar ingin terlepas darinya setelah melihat tingkah laku dan pemikirannya yang diungkapkan lewat perkataannya tadi.

Namun kenapa sekali lagi aku memaafkannya? Padahal saat ini rasa benci dihatiku lebih aku rasakan daripada rasa sayangku padanya. Dan perasaan tak percayaku lebih mendominasi daripada keyakinanku terhadap janji-janji manisnya. Aku tak percaya kalau aku masih saja peduli dan menerimanya kembali.

Ah. Sudahlah. Biar waktu yang menjawab. Aku tak mau memikirkannya. Tugasku saat ini hanyalah menata hati. Agar aku tak sakit hati lagi bila suatu saat nanti Reza kembali menyakiti.

***