Tepat jam sembilan malam, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam, kami tiba dirumah. Aku bergegas masuk kerumah setelah ibu membuka pintu. Aku tak sabar untuk segera membersihkan diri dan menghapus riasan make up ku sisa wisuda tadi. Wajahku terasa berat. Padahal sudah beberapa kali pergi mengambil wudhu dan sholat di sepanjang perjalanan pulang tadi, namun masih saja terasa sangat ketat.
Pukul setengah sepuluh malam aku sudah berbaring diatas tempat tidur. Tubuhku serasa lebih segar setelah mandi, dan lelah pun sedikit berkurang.
Aku masih memainkan handphone ku dan belum berniat untuk tidur karena memang belum terasa mengantuk. Tiba-tiba teleponku berdering. Mas Imam menelpon ku.
"Assalamualaikum Mas." sapaku setelah ku terima panggilannya.
"Wa'alaikumsalam. Belum tidur Ya? Udah nyampai rumah? Nyampai jam berapa tadi?" tanya Mas Imam.
"Belum ngantuk nih Mas. Jam sembilan tadi baru aja nyampai. Ini baru selesai mandi." kataku menjawab pertanyaannya.
"Aku ganggu nggak telpon malem-malem disaat kamu lagi capek kayak gini? Kalau ganggu, dilanjut besok aja nggak apa-apa." Mas Imam berbasa-basi.
"Nggak kok Mas. Biasanya juga kita telponan sampai malem kan? Setelah denger suara kamu, aku baru bisa tidur. Kalau belum denger suaramu, susah banget mau tidur. Haha." candaku.
"Bisa aja bercandanya. Nggak gitu Ya. Hari ini kan kamu habis wisuda, jadi pasti capek banget. Makanya aku nanya aku ganggu nggak. Tapi ya udah kalau nggak ganggu sih. Lagi apa nih?" tanya Mas Imam.
"Rebahan aja sambil mainan HP Mas. Terus Mas telfon, jadi sekarang lagi telfonan deh sama Mas. Mas lagi apa?" aku balik bertanya padanya.
"Habis ngopi sambil ngobrol nih sama Bapak." jawab Mas Imam.
"Hah? Mas dirumah kampung sekarang? Kapan nyampainya?" aku terkejut. Ingin segera aku berlari menghampiri Mas Imam. Aku sudah rindu padanya.
"Tadi malem nyampainya Ya." jawab Mas Imam singkat.
"Lah, kok nggak dateng ke acara wisuda ku sih kalau semalem datengnya? Nggak ngabarin lagi kalau mau dateng." Aku cemberut. Mas Imam membuatku kesal.
"Aku nggak di undang, ya nggak mau dateng lah. Takut ganggu kamu sama Reza. Kan kamu bilang kalau Reza mau dateng ke acara wisuda kamu. Gimana sih." jawab Mas Imam. Kalimatnya seakan menyindirku.
"Jangan ngomongin dia deh Mas. Lagi males banget bahas dia." kataku tak bersemangat. Aku memang sedang muak dengan Reza.
"Tumben banget. Biasanya aku yang sampai males lho dengerin kamu cerita soal Reza terus. Hehe." kembali dia menyindirku. Dasar.
"Hahaha, sampai segitunya ya Mas kalau aku cerita soal Reza? Sampe kamu males dan mual pasti. Iya deh maaf. Nggak cerita lagi lain kali." aku berjanji. Namun tak yakin kalau aku mampu menepati.
"Hihi, bercanda kali Ya. Memangnya kenapa lagi sih sama Reza? Dia nggak dateng tadi? Dia nyari perkara lagi sama kamu?" Mas Imam bahkan sudah hapal dengan kelakuan Reza. Iya lah, aku kan selalu cerita apapun dengan Mas Imam selama ini.
"Iya Mas. Dia nggak dateng dan nggak ngabarin. Bahkan udah ganti nomor dan aku nggak tahu. Parahnya lagi, tadi aku mergokin dia sama dua cewek yang berbeda. Gila nggak tuh? Aku sampai jijik sama dia." lagi-lagi aku ingin Mas Imam tahu segalanya. Aku tak mau menyimpannya sendiri. Mas Imam lah orang yang tepat untukku bercerita.
"Paling bentar lagi juga udah sayang-sayangan. Jijiknya juga paling cuma semenit. Iya kan? Hehe." Mas Imam menggodaku. Yah, memang seperti itu biasanya.
"Haha tahu aja. Entahlah Mas. Aku juga bingung sama diriku sendiri. Udah berkali-kali disakitin, masih aja mau maafin dan nerima dia lagi." aku benar-benar merasa bodoh. Bodoh sekali.
"Ya itulah yang namanya cinta Ya. Nggak peduli seberapa besar dia nyakitin kita, atau bahkan nggak peduli sama kita sekalipun, namun kita nggak bisa benci sama dia, dan kita tetap bermimpi untuk hidup bersama dia selamanya." kata Mas Imam dengan penuh penekanan. Dia seakan benar-benar paham. Padahal setahu ku dia tak pernah punya pacar.
"Ciyeee, yang lagi jatuh cinta. Udah pinter bikin kata-kata bijak ya sekarang." aku menggodanya.
"Jatuh cinta apaan sih. Dibilangin malah godain. Males ah." Mas Imam kesal.
"Hahaha. Jangan ngambek dong Mas. Iya deh aku minta maaf." aku menahan tawaku. Senang sekali kalau dia sudah berlagak marah seperti itu. Lucu.
"Di maafin." kata Mas Imam singkat.
"Nah gitu donk. Eh Mas main donk ke sini sekarang. Pengen ketemu nih." kataku memintanya untuk pergi kerumahku malam ini. Tak enak rasanya ngobrol lewat telepon, sedangkan dia dan aku hanya berjarak beberapa langkah saja.
"Udah malem. Besok aja ya." Mas Imam menolak. Jelas. Ini sudah malam.
"Ya udah aku yang main ke rumah kamu ya Mas." aku memang gadis yang keras kepala.
"Besok aja Aya, udah malem. Ngeyel deh kalau di bilangin." katanya mencegahku.
"Hihi. Iya iya. Eh, belum dijawab tadi kenapa nggak mau dateng ke acara wisuda ku?"
"Kan udah dijawab tadi karena nggak kamu undang. Takut juga ganggu kamu sama Reza. Gimana sih. Masih muda kok udah pikun." jawabnya meledekku.
"Sejak kapan sih Mas aku sama kamu pakai acara undang-undang an segala. Bahkan nih ya kalau misal tadi kamu dateng, aku pasti bakalan surprise banget dan acara wisudaku jadi acara yang paling membahagiakan karena kamu dateng meskipun tanpa Reza." aku serius. Mas Reza memang seakan menjadi obat ketika aku kecewa dengan Reza.
"Ih. Udah pinter ya gombalnya." Mas Imam mengejekku kembali.
"Haha. Bener Mas. Kamu itu special buat aku. Sahabat yang paling aku sayang. Bahkan nih ya, aku seakan nggak bisa hidup tanpa kamu. Hihihi."
"Terusin gombalnya Ya. Terusin." katanya menimpali gombalanku.
"Haha. Eh bentar deh. Mas memang tadi nggak tahu ya pas aku dateng? Kok pakai nanya segala aku dateng jam berapa?" aku mengerutkan dahiku. Nggak mungkin kayaknya kalau Mas Imam tak tahu.
"Ya tahu lah. Aku juga lihat tadi mobilnya Vitra. Hehe. Nggak boleh ya godain kamu?" Mas Imam ganti menggodaku.
"Ih. Awas ya. Aku samperin deh sekarang ke rumah Mas. Mau ngasih pelajaran." kataku pura-pura kesal.
"Coba aja kalau berani. Di gerebek pak RT baru tahu rasa lho. Haha." Mas Imam tergelak. Aku senang kalau dia tertawa.
"Haha. Iya. Nggak jadi deh. Pak RT nya horor banget gitu." tiba-tiba aku teringat Pak RT yang bertubuh gempal dan berkumis. Dia selalu tak pernah santai kalau lagi ngobrol. Selalu saja pakai urat.
"Makanya. Udah sana tidur. Udah malem. Besok aku jemput, kita olah raga bareng ya. Besok seharian aku mau sama kamu, soalnya aku lusa harus balik." Mas Imam membuatku harus melupakan lamunanku tentang Pak RT. Haha.
"Cepet banget liburannya Mas. Dua hari doang?" aku agak sedikit kecewa.
"Iya. Cuman dapet ijin dua hari Ya."
"Ya udah deh. Tapi temenin aku tidur ya. Jangan ditutup telfonnya. Udah lumayan ngantuk nih Mas. Capek juga." pintaku.
"Iya, met malem Aya. Mimpi indah." kata Mas Imam.
Setelah kudengar suara terakhirnya yang lembut, perlahan mataku terpejam. Sesaat kemudian aku tertidur sangat nyenyak meninggalkan mas Imam yang masih setia menemaniku dari balik telepon genggamnya.
***