Pagi ini aku bergegas bangun karena sudah ada janji dengan Mas Imam. Aku tak sabar untuk segera menemuinya karena memang sudah lama aku tak bertemu dengannya.
"Assalamualaikum." suara Mas Imam memberi salam dari balik pintu. Aku langsung bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu dan menghampirinya.
"Wa'alaikumsalam. Yuk langsung aja Mas." kataku seraya menggandeng tangan Mas Imam dan mengajaknya untuk buru-buru pergi ke lapangan.
"Ibu Bapak mana? Aku mau minta ijin dulu." kata Mas Imam.
"Lagi di belakang. Udah ijin tadi, dan langsung di ijinin kalau keluarnya sama Mas." aku meyakinkannya.
"Ouw gitu. Ya udah yok berangkat. Keburu siang. Panas." katanya lagi.
Aku dan Mas Imam bergegas menuju ke lapangan desa tempat dimana kami biasa berolah raga. Ternyata ramai sekali. Banyak anak-anak kecil bermain dan orang-orang dewasa yang juga berolahraga disana.
Setelah hampir satu jam berlari bersama, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil meminum es kelapa di pinggir lapangan.
"Capek Ya?" tanya Mas Imam.
"Lumayan Mas." kataku sambil menyenderkan punggungku ke punggung Mas Imam. Nyaman sekali rasanya. Aku memang agak manja kalau bersamanya. Dia selalu membuatku merasa aman dan nyaman.
"Habis ini kita nyari makan ya." tawarnya.
"Belanja aja yuk Mas. Nanti aku masakin. Kita makan dirumah aja. Gimana?" pintaku.
"Idih sok-sok an. Emang kamu bisa masak?" tanyanya.
"Kalau cuman masak sambel ikan asap kesukaanmu sih kecil Mas. Hehe." jawabku. Mas Imam memang suka sekali sambal ikan asap buatan ibuku. Waktu kecil, setiap kali ibuku masak makanan favorit Mas Imam itu, tak lupa ibu selalu menyisihkan untuk Mas Imam. Orang tua ku memang sangat akrab dengan orang tua Mas Imam karena selain kami bertetangga, ibuku dan ibunya Mas Imam adalah teman akrab saat masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Namun sayang, orang tua Mas Imam harus berpisah. Ibunya yang janda harus pergi keluar kota untuk mencari nafkah dengan cara bekerja menjadi pembantu rumah tangga dirumah saudaranya yang kaya demi menyekolahkan Mas Imam. Dan bapaknya yang masih tinggal didekat rumahku pun kini juga sudah menikah lagi.
Syukurnya kini Mas Imam sudah punya pekerjaan yang bagus. Dia juga sudah punya rumah sendiri di kota tempatnya kerja. Rumah yang di dekat rumahku pun kini di bangun menjadi lebih besar dan nyaman.
Aku bangga padanya. Di usianya yang masih terbilang muda, dia mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Dia memang gemar sekali menabung. Ketika dia masih kuliah dan bekerja paruh waktupun dia sudah mampu membelikan sepeda motor untuk bapaknya. Tak heran kalau saat ini dia sudah mampu membangun rumah dari hasil menyisihkan sebagian gajinya dari dulu. Dia sangat perhatian dengan kehidupan bapaknya di desa meskipun tak lagi tinggal bersama. Ibunya pun kini tak lagi bekerja sebagai pembantu. Beliau hanya sibuk mengurus rumah Mas Imam selama Mas Imam kerja.
"Hehe. Nggak apa-apa kok kalau kamu nggak bisa masak. Gini-gini juga aku jago masak. Nanti kalau kita sudah menikah, biar aku yang masakin kamu. Kamu tinggal duduk diem nunggu aku pulang kerja ya. Atau kalau kamu bosen masakan aku, kita bisa juga beli makanan diluar." katanya bersemangat.
"Ih, kenapa tiba-tiba ngomongin nikah Mas? Siapa juga yang mau nikah sama Mas. Dosa tau, adek nikah sama kakaknya. Haha." candaku.
"Haha. Iya ya. Lagipula kamu kan nggak suka sama aku. Sukanya sama Reza dan kamu juga janjian mau nikah sama dia suatu hari nanti kan? Jadi santai aja. Aku nggak serius kok tadi ngomongnya." katanya. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Dia melepaskan punggungnya dari punggungku dan beralih menyenderkan badannya ke pohon kapas yang rindang dipinggir lapangan. Dia palingkan wajahnya seakan tak mau menatapku.
"Idih ngambek ya." godaku sambil menatap lekat wajahnya.
Sekilas dia melirikku, namun akhirnya memalingkan wajahnya kembali.
Aku terus mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba berubah menjadi kaku. Aku pepet dia dan aku gandeng tangannya. Ku senderkan kepalaku di pundaknya.
"Mas Imam kenapa sih. Kita kan kakak adek. Masak iya mau nikah?" kataku.
"Iya nggak papa kok. Aku kan bilang nggak serius." ujarnya. Wajahnya masih terlihat murung.
"Kalau gitu senyum donk." pintaku.
"Hmmm. Udah kan senyumnya? Nggak apa-apa Ya. Aku tadi cuman bercanda. Nggak usah diambil hati." katanya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Masak bercanda malah jadi ngambek sih akhirnya." aku masih tak percaya dengan pengakuan Mas Imam. Aku tahu kali ini dia tak sedang bercanda.
"Balik yuk. Udah siang." Mas Imam beranjak dari tempat duduknya dan membayar minuman kami.
Lalu dia berjalan pelan dan aku mengikutinya dari belakang. Kami mampir ketoko bahan-bahan masakan sebentar untuk membeli bahan yang akan aku masak buat Mas Imam. Setelah itu kami pulang. Mas Imam masih diam saja. Aku tak mengerti. Apa yang salah dari perkataanku? Sehingga tampaknya begitu menyinggung perasaannya.
Sesampainya kami dirumahku, aku bergegas membuat makanan kesukaan Mas Imam dibantu ibuku. Sedangkan Mas Imam duduk diruang tamu bersama Ayahku.
"Eh, Buk. Mas Imam kayaknya ngambek deh sama aku." kataku pada ibuku.
"Kok bisa Ya?" tanya ibuku.
"Ceritanya kan tadi ngomongin masak memasak, aku kan nggak bisa masak, terus dia bilang nggak apa-apa nanti kalau udah nikah dia yang mau masakin aku. Aku jawab aja siapa yang mau nikah sama kamu Mas. Gitu. Terus dia ngambek. Nggak mau ngomong sama aku." aku menjelaskan.
Ibuku menatapku sekilas sambil tersenyum simpul. Beliau tak menanggapi apa-apa. Hanya diam saja setelah mendengar ceritaku.
Setelah semua masakan siap dimeja makan, kami berempat duduk dimeja makan untuk sarapan. Ayah duduk disamping ibu dan aku duduk disebelah Mas Imam.
"Ayo Nak Imam dimakan." kata bapak menawari Mas Imam.
"Aya, diambilin donk Mas Imamnya." kata ibu padaku.
"Iya. Mas Imam mau yang mana biar aku ambilin?" tanyaku pada Mas Imam yang masih tampak enggan berbicara denganku.
"Terserah kamu aja Ya." jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku.
Lalu aku ambilkan semua yang ada dimeja. Memang hari ini aku dan ibu sengaja membuat semua masakan kesukaan Mas Imam. Mulai dari sambel ikan asap, tahu isi, tempe kecap, sayur lodeh dan kerupuk udang.
Aku letakkan piring Mas Imam yang hampir penuh didepannya. Aku sekilas meliriknya. Dia sama sekali tak mau menatapku dan sikapnya benar-benar tak seperti biasanya.
Setelah makan, dia pamit untuk pulang. Ibu membawakannya masakan kami untuk dimakannya dirumahnya nanti. Kami sengaja memasak banyak agar Mas Imam bisa puas memakan makanan kesukaannya itu selama dia berada dikampung.
***