Hari ini Nadia resmi pindah ke rumahnya di Town Hall. Sebulan berlalu, dan proses renovasi pun telah selesai. Ia hanya memberi tahu Khansa lewat WhatsApp dan semuanya terselesaikan dengan baik.
Semua hal terlihat mudah bagi Khansa. Kadang Nadia sendiri bingung, apa relasi sahabatnya itu begitu banyak? Sampai-sampai semua ahli dalam berbagai bidang dapat ia temukan.
Kini saat mobilnya sudah di depan pagar, pintu besi yang tinggi itu bisa terbuka sendiri. Nadia tak perlu lagi repot untuk turun dari mobil dan mendorong gerbang itu.
Seorang satpam sudah bersedia di depan posnya menyapa Nadia dengan senyuman hangat. Ia lelaki paruh baya yang sepertinya sudah memiliki keluarga.
Rumah besar itu menjadi lebih indah setelah penyempurnaan di sana sini. Nadia tak pernah menyesal untuk menyerahkan sebuah tugas pada Khansa.
Hari ini mereka sudah membuat janji untuk menginap bersama. Karena Nadia tak punya cukup banyak teman, ia lebih memilih menghabiskan waktu bersama sahabat dekatnya dari pada membuat kesenangan palsu bersama orang yang tak akrab dengannya.
Nadia melihat ke arah jam dinding besar yang di desain khusus di ruang tamunya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam tepat.
Khansa belum juga sampai di rumahnya. Sedangkan Nadia sangat tidak sabar untuk memberikan Lunchbox Cake yang ia beli di jalan pulang pada tetangga tampannya.
Nadia berfikir, kalau tidak hari ini ia akan kehilangan momentum yang tepat. Tapi di satu sisi ia pun masih terlalu gugup untuk mengetuk rumah laki-laki sendirian.
Nadia menarik napas panjang, "Now or never, Nad" dan ia segera mengambil bungkusan kue itu dengan cepat dan membawanya keluar. Langkah kakinya terkesan terburu-buru dan sangat gugup.
Rumah-rumah besar itu memberikan jarak yang cukup untuk Nadia mengatur napas dan menangani rasa gugupnya. Saat ia sampai, ia semakin yakin.
Dari tampilan luar, rumah itu terkesan misterius. Hampir semua cat luarnya berwarna hitam dan abu-abu. Lampunya pun berwarna kuning, memberikan kesan hangat namun juga menakutkan.
Nadia memberanikan diri menekan bel. Satu kali tak ada jawaban, dua kali masih sama.
"Baiklah ini yang terakhir." Untuk ketiga kalinya Nadia menekan tombol bel. Dan tiba-tiba lelaki yang ia lihat tempo hari terlihat keluar dari pintu rumahnya.
Ia berjalan mendekat ke arah pagar. Wajah tampannya yang semakin nampak jelas membuat perasaan gugup kembali menyelimuti Nadia.
Ia merasa aneh. Sebelumnya, tak ada laki-laki yang membuatnya sangat gugup seperti ini. Ini adalah pertama kalinya.
"Hai, ada yang bisa aku bantu?" tanya pria itu setelah membuka pagarnya.
"Ah, tidak ada. Aku tetangga baru di sebelah. Aku datang untuk menyapa," Nadia menjawabnya dengan kikuk.
Tak ada tanggapan yang keluar dari pria itu. Ia hanya mengangguk-angguk dan tersenyum melihat Nadia. Itu membuat suasana semakin canggung.
"Oh, ya, aku membelikan kue di perjalanan saat kemari untukmu. Ini makanlah dengan keluargamu," Nadia memberikan kue itu tapi lelaki itu hanya tersenyum.
"Aku tidak punya keluarga, masuk lah lebih dulu. Ayo makan kue ini bersama," sahutnya
Mata Nadia seketika berbinar, "Baiklah, ayo." Ia mengikuti arah kemana pria itu pergi. Masuk ke dalam rumahnya yang misterius.
"Kenalkan, aku Louis Hudson," ujar pria itu sambil mengulurkan tangannya.
"Kau bisa memanggilku Nadia, Louis" Nadia menjawab uluran tangannya dengan jabat tangan yang lembut.
Mereka sejenak saling tatap. Merasa ada yang aneh diantara mereka. Nadia membatin, bukan kah ini terlalu mulus? Aku kira dia ada tipe yang sulit diluluhkan, atau mungkin dia hanya suka mempermainkan wanita?
Louise sadar wanita dihadapannya itu sedang memikirkan sesuatu. Ia dengan cepat menarik kembali tangannya dan mempersilakan Nadia masuk.
Ini bukan pertama kalinya seorang wanita memasuki kediamannya, tapi mungkin ini pertama kalinya orang asing yang tak pernah ia tahu latar belakangnya memasuki kandangnya.
Nadia memperhatikan interior rumah itu. Sama sekali tak aneh, baginya mungkin Louis hanyalah seorang lelaki yang suka tema monokrom.
Louis mempersilakan Nadia duduk di sebuah mini bar miliknya. Selagi ia membuat minuman, mata Nadia masih sibuk berkeliling.
"Jadi kau tinggal sendiri di sini?" tanya Nadia.
"Ya, bagaimana denganmu? Apakah kau pindah bersama keluargamu?" pertanyaan itu keluar dari mulut Louis dengan amat kaku. Ia tak terbiasa menanyai orang secara langsung. Biasanya ia hanya mendengar informasi tentang seseorang dari anak buahnya.
Sebenarnya ia juga tak pernah peduli dengan yang namanya tetangga. Sebab orang-orang di sini cenderung mengurusi hidupnya sendiri. Tapi wanita ini mengapa berbeda?
"Tidak. Ayahku baru saja meninggal dan itu rumah pemberiannya. Mungkin aku akan mengajak seorang teman," ujar Nadia santai.
Louis yang mendengarnya justru bingung. Saat seperti ini harusnya memberi ucapan prihatin, bukan?
"Oh, aku turut berduka," lagi-lagi itu terkesan kaku.
Nadia hanya tersenyum. Lelaki itu tidak tampak spontan. Ia seolah memikirkan matang-matang soal kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Jadi kau sebatang kara?" Nadia hampir tidak percaya pria itu menanyakannya. Nadia masih terdiam sampai membuat Louis membalikkan badannya karena ia tak kunjung menjawab. Mata mereka bertemu, lagi.
"Maaf,"
"Aku,"
Mereka mengucapkannya bersamaan. Louis memberi tanda bahwa Nadia bisa lebih dulu bicara. "Aku sebenarnya masih punya ibu dan saudara tiri, tapi aku tidak ingin membahasnya,"
"Baiklah, maaf aku keterlaluan," namun ekspresi Louis sama sekali tak berubah atau mencerminkan permohonan maaf. Namun entah mengapa itu membuat Nadia tersenyum.
"Bola matamu itu, abu-abu?" kini giliran Nadia yang mulai mengungkapkan keingintahuannya dengam blak-blakan. "Apakah kau berasal dari luar negri?"
Louis tersenyum hampir tertawa, untuk pertama kalinya ia berurusan dengan orang yang tak mengenalnya dan dia juga manis.
"Kedua orangtuaku memang orang Eropa, tapi aku tinggal di Indonesia sejak aku masih sangat kecil," Louis menjawab santai sambil menaruh dua cangkir kopi di atas meja.
"Benar dugaanku, kau memang tidak memiliki sedikit pun wajah oriental,"
Lagi-lagi jawaban wajar dari Nadia itu membuatnya tersenyum. Rasanya lumayan juga untuk bisa melupakan pekerjaan yang seolah sudah menjadi gaya hidupnya sementara waktu.
"Jadi apa yang membuatmu pindah ke negara ini? Bukankah Eropa itu sangat indah dan menyenangkan?"
"Iya, Eropa memang sangat menyenangkan, terkadang aku juga merindukannya," Louis tidak menjawab pertanyaan intinya.
"Wah, kau pasti sering melakukan penerbangan panjang ya?"
"Tidak juga,"
Obrolan mereka terus berlanjut tanpa ada sesuatu yang aneh. Nadia merasa ia hanya seorang imigran biasa yang juga pasti legal. Jika ada yang aneh, itu adalah cara menjawabnya yang lambat dan keterkejutannya pada pertanyaan-pertanyaannya.
Di tengah-tengah obrolan yang mulai dinikmatinya, ponsel Nadi bergetar. Ia refleks melihat siapa yang memanggil.
Itu adalah Khansa. Pasti dia sudah sampai dan tahu bahwa Nadia tidak dirumah.
"Sepertinya aku harus pulang sekarang,"Nadia segera berpamitan.
"Apa ada sesuatu?"
"Sebenarnya aku tadi sedang menunggu seorang teman, sepertinya dia sudah datang,"
"Oh, baiklah. Aku akan mengantarmu ke depan,"
Nadia berpikiran Louis adalah tetangga yang baik, bahkan ia bersedia mengantarnya sampai pagar. Dia juga banyak tersenyum, itu membuat garis wajahnya yang tegas tidak terlihat menyeramkan. Nadia sangat tidak sabar untuk menceritakan ini pada Khansa.