Khansa sudah berdiri bertolak pinggang di pintu masuk rumah Nadia. Nadia yang melihat itu segera berlari ke arah sahabatnya sambil tertawa.
"Hei, apa yang lucu. Aku menunggu kau tahu?"
"Ya ampun itu bahkan tidak lama. Dirimu sendiri juga terlambat. Tolong catat itu, oke" ujar Nadia sambil berjalan masuk ke dalam rumah menuju sofanya.
Mendengar jawaban Nadia yang semuanya benar itu membuat Khansa mendengus sebal.
"Baru saja menyapa tetangga sebelah?"
Nadia hanya menanggapi pernyataan Khansa dengan anggukan yang semangat dan sumingrah.
Melihat reaksi sahabatnya itu Khansa bisa langsung tau apa yang terjadi. Ia mengikutinya duduk di sofa.
"Wah.. sepertinya obrolan kalian menyenangkan ya?" Khansa menebak tepat pada intinya.
"Ya, kurang lebih,"
Jawaban menggantung itu membuat Khansa heran. "Coba ceritakan padaku," kata Khansa sambil memasang wajah seriusnya.
Nadia menyandarkan punggungnya ke belakang kemudian ia mulai mengatakan pendapatnya mengenai Louis.
"Dia memang tampan, seorang bule yang tinggal lama di negara ini. Dia juga ramah, saat mengobrol denganku dia banyak tersenyum. Tapi ia sering kali terkejut dengan pertanyaanku seolah-olah ia tak pernah mendengar pertanyaan seperti itu sebelumnya,"
Khansa berpikir sejenak. "Aku rasa dia memang orang yang baik. Tapi Nad, bukankah di kawasan elit seperti ini menyapa tetangga itu salah satu hal yang tidak biasa? Maksudku biasanya bahkan mereka tak saling sapa,"
Mendengar itu tubuh Nadia berubah tegak. Dia menepuk jidatnya dan kembali bersandar dengan pasrah. "Kalau ada yang tidak tahu caranya bersosialisasi, itu pasti aku,"
"Sudahlah, itu bukan hal yang sepenuhnya buruk, kok. Lagi pula dia bisa menerima kedatanganmu, kan?" Khansa mencoba menenangkan pemikiran Nadia.
Sementara Nadia yang masih terus merasa kesal pada dirinya sendiri, mengusap-usap wajahnya dengan kasar.
"Eh, sudahlah. Kau tau ada satu lagi kemungkinan tentang seseorang yang bergelagat seperti itu,"
"Apa?"
"Dia bukan orang normal,"
Jawaban itu sangat membuat Nadia jengkel dan seketika. "Tidak normal bagaiman? Dia bahkan sangat normal, Sha,"
"Aih, sudahlah. Kau itu masih baru mengenalnya. Penilaianmu belim objektif." Tanggapan Khansa benar dan itu akhirnya membuat mereka saling diam.
"Kau tidak punya makanan?" satu tanya yang bisa membuat keduanya lupa pada hal-hal merepotkan.
"Ada, ayo," Makanan selalu membuat mereka hidup lebih nyaman.
Mereka sangat mirip, salah satu hal yang sama-sama menjadi ciri mereka adalah banyak makan namun tubuh tetap kurus. Semua orang menganggap itu anugerah, namun bagi mereka itu adalah hal yang biasa saja.
****
Hari Jumat adalah hari belanja untuk Nadia. Setelah pekerjaan yang melelahkan selama satu minggu, ia senang memasak untuk hiburan di akhir minggunya. Ia pergi ke supermarket dan sudah siap dengan keranjang belanjanya.
Ia menuju korner buah dan sayur dengan segera. Lalu mulai memilah bahan makanan yang ia perlukan. Semua berjalan normal dan menyenangkan.
Hingga ketika ia sampai di lantai basmen tempat ia memarkirkan mobilnya, Nadia melihat pemandangan yang tidak terduga.
Tetangga tampannya keluar dari bangku penumpang sebuah mobil yang terparkir di sana. Ia merapikan pakaiannya yang agak kusut kemudian menarik napas lega.
Nadia masih berdiri di tempatnya tidak tahu harus bersikap apa. Karena penjelasan Khansa kemarin membuat ia sedikit malu, dan juga hal yang ia lihat begitu mencurigakan sehingga ia tidak bisa berpikiran positif sedikit pun tentang hal itu.
Namun sepertinya takdir memang merencanakan pertemuan mereka. Louis melihat keberadaan Nadia. Nadia menjadi gugup kemudian memilih tersenyum padanya. Ia dapat melihat Louis menjauh dari mobil itu dan berjalan ke arahnya.
Nadia masih tak bergeming. "Kau membawa mobil?" pertanyaan itu keluar dari mulut Louis dan Nadia tidak mengharapkan kalimat itu tadinya.
"Iya.. Kenapa?"
"Bisa beri aku tumpangan?"
Memberi tumpangan? Sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Apa tadi itu bukan mobilnya? Jika bersama teman seharusnya dia juga bersama mobil itu kan? Nadia masih sibuk dengan pikirannya. Ia belum cukup mengenal Louis dan itu membuatnya khawatir. Dia adalah laki-laki dan bisa saja membayakannya.
Belum sempat Nadia menolak, mobil yang sedari tadi ia perhatikan melaju cepat keluar dari area parkir. Kacanya hitam sehingga Nadia tak bisa melihat siapa yang ada di dalamnya.
Louis ikut memperhatikan perginya mobil tersebut. Ia ikut merasa aneh sebab mobil itu tidak langsung pergi setelah ia keluar. Namun menyelidiki bukanlah hal yang sulit untuk dilakukannya. Sekarang ia masih menunggu jawaban Nadia. "Apa boleh?" ia menegaskan sekali lagi.
"Tentu saja boleh," jawab Nadia sambil mengusahakan senyumnya.
"Di mana mobilmu? Biar aku yang menyetir," ujar Louis.
Nadia tak banyak lagi berucap, ia segera menuju ke mobilnya, memasukan barang belanjaannya, lalu duduk tenang di samping kursi kemudi.
Sepanjang perjalanan Nadia ragu untuk membuka obrolan. Meski ia ingin sekali bertanya apa yang baru saja Louis lakukan, namun ia sebisa mungkin menahan pertanyaan itu. Nadia takut rasa ingin tahunya membuat hubungan mereka menjadi canggung.
Begitu pula Louis. Menurut nya akan lebih baik jika mereka tal saling tahu lebih banyak. Louis tidak ingin menambah masalah dengan melibatkan Nadia ke dalam hidupnya. Tapi ia tidak tahan dengan kesunyian seperti ini. Maka Louis memutuskan untuk menyalakan radio dan mengatur chanelnya ke stasiun pemutar musik. Ia melihat sejenak ke arah Nadia dan mendapati perempuan itu sedang tersenyum. Ia cukup cantik, pikir Louis.
Dan begitu lah keadaan mereka berlanjut sampai mereka tiba di rumah Nadia. Louis memarkir mobil Nadia langsung ke rumahnya. Perempuan itu langsung turun dan mengambil barang-barang di bagasi.
"Biar aku bantu," Louis menawarkan bantuan.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," Nadia berusaha menolak namun lelaki itu dengan cepat mengambil semia belajaannya.
"Jadi mau dilekatkan di mana?" Nadia hanya pasrah dan kemudian masuk kedalam rumah memimpin Louis untuk menunjukkan dapurnya.
Setelah mereka sampai di dapur Nadia meminta Louis untuk meletakkannya di atas meja. "Baiklah, terima kasih sudah memberiku tumpangan," ujarnya
"Terima kasih juga sudah membawakan barang-barangku," jawab Nadia.
Mata Louis tak bisa berpura-pura untuk tidak memperhatikan keadaan rumah Nadia. Itu adalah rumah yang cukup minimalis bagi seorang wanita yang biasanya senang melekatkan barang-barang lucu dan unik di rumahnya.
"Rumahmu terlihat sangat nyaman,"
Nadia mengikuti ke mana arah pandang Louis. "Ya, ini persis seperti yang aku inginkan. Tadinya rumah ini terlihat sepi tapi aku menambah sedikit hiasan untuk membuatnya terlihat nyaman ditinggali,"
"Aku"
"Mau"
Lagi-lagi mereka memulai kalimat bersamaan. Dan lagi Louis yang mengalah.
"Mau makan malam bersama? Aku akan memasak,"
Louis cukup terkejut dengan ajakan itu. Ia tadinya berpikir bahwa Nadia ingin segera melihatnya pergi. Namun itu adalah kesempatan langka. Sudah lama ia tidak menikmati masakan rumah. "Baiklah, itu ide bagus," akhirnya Louis mengurungkan niatnya untuk pulang.