Selagi tetap mempertahankan muka datarnya, Crayon dengan sangat hati-hati mencoba membuka topeng yang terpasang pada wajah seseorang yang sedang tidak sadarkan diri di depannya saat ini. Setelah selesai dengan itu, dia bisa melihat wajah seorang perempuan yang luar biasa cantik meski dia sendiri tidak terlalu memusingkan tentang tolak ukur seseorang dapat dikatakan cantik.
Terlepas dari bagaimana kesan yang didapatkannya, Crayon berpikir kalau dirinya tidak pernah bertemu dengan perempuan yang sebenarnya bernama panggilan Sherly tersebut. Seharusnya begitu, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebagai seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain, hawa keberadaan dari perempuan bernama Sherly itu seperti pernah dirasakannya sebelumnya, lebih tepatnya beberapa jam yang lalu saat dia masih berada di sekolah, tapi lebih jelasnya masih belum bisa dipastikan.
Sementara Crayon sibuk memikirkan topik yang sama, yang tidak sadarkan diri; Sherly, perlahan-lahan membuka matanya. Pemandangan yang dia dapatkan pertama kali adalah sesuatu yang membuatnya sangat terkejut sehingga dengan cepat bangkit lalu menjauh dari laki-laki di sampingnya.
Merasa jarak yang memisahkan sudah aman, dia dengan penuh kekhawatiran yang mana bersamaan dengan seluruh tubuhnya yang gemetar sebagai efek dari rasa sakit yang diterimanya mulai memeriksa seluruh tubuhnya dengan menggunakan tangan.
"Apa yang sudah kau lakukan pada tubuhku?"
Pertanyaan berisi interogasi dari Sherly tersebut keluar bersamaan setelah Crayon berdiri dengan wajah yang biasa-biasa saja, seolah apa yang sedang terjadi bukanlah situasi darurat meski dia tidak berpikir begitu. Di lain sisi dia malah menekankan minatnya pada suara Sherly yang benar-benar mencerminkan arti dari sebuah kedinginan, seolah berasal dari daerah bersalju.
"Tidak ada."
Menjawabnya sesuai kenyataan, yang Crayon dapatkan hanyalah tatapan tajam yang bercampur rasa jijik.
"Matilah, dasar menjijikkan."
"... Eh?"
Bukanlah aneh jika Crayon keheranan. Bagaimanapun, yang seharusnya marah di sini adalah dirinya, karena siapa yang tidak kesal jika tiba-tiba tanpa izin dikejar oleh seseorang dengan niat membunuh.
Meski begitu, dia tidak termasuk tipe orang yang terlalu memusingkan sesuatu. Akan tetapi, situasi yang sedang terjadi sepertinya akan mengharuskannya untuk serius, karena hidupnya selalu dipertaruhkan bahkan ketika memilih sudut pandangan. Sayangnya selama dia berpikir kalau dirinya sedang aman, maka rasa khawatir adalah sesuatu yang mustahil terjadi.
Setelah tidak satu pun kembali mengeluarkan kata-kata, Crayon merunduk untuk mengambil pisau di dekatnya. Ketajaman yang tertanam pada bilah tidak terlihat menyeramkan saat dia menatapnya, begitu juga gagang hitamnya yang tidak memberikan kesan apa pun terhadapnya.
Tepat saat dia membenarkan postur tubuhnya, pisau tersebut dengan mudah dilemparkan seolah pada gerakannya terselip bagaimana dirinya meremehkan perempuan yang sedang menatap dengan jijiknya di depan.
Akhirnya pisau tersebut kembali lagi pada pemilik aslinya.
Tepat setelah Sherly menangkap benda tajam itu menggunakan salah satu tangannya, kurang dari 1 detik, langsung dilemparkan lagi tapi kali ini dengan arah lurus berkecepatan tinggi yang mana mengarah pada bagian tengah dari kedua mata Crayon.
Bersamaan dengan itu, dia berlari melalui titik buta yang tercipta dari pergerakan pisau. Rasanya kali ini dia pasti akan berhasil, mungkin jika ada yang menyaksikan pertarungan ini akan berkata demikian, tapi Sherly sendiri berpikir kalau ada sesuatu yang kurang. Mungkin, rasa takut, bukan untuk dirinya, melainkan seseorang yang sedang diincarnya.
Apa yang dia lihat hanyalah Crayon yang menatapnya dengan bosan. Saat ini yang sedang dia lakukan adalah melompat dengan niat menusukkan pisau keduanya—lemparan pisau pertamanya berhasil ditahan oleh Crayon—yang diambilnya dari alat penyimpan senjata khusus yang terpasang di pahanya. Dari caranya memegang senjata, seolah seluruh hidupnya baik yang telah berlalu maupun akan terjadi sedang dipertaruhkan dalam kedua telapak tangan yang saling menggenggam gagang.
Berniat menusukkannya pada kepala lawan, dia harus memupuskan keinginannya saat Crayon menggunakan pisau yang telah dilempar sebelumnya menyamping menuju ke arah kepala perempuan ini.
Niat yang sama, menghasilkan kekalahan pada salah satu pihak, tepatnya Sherly. Terpaksa menghindarinya dengan susah di udara, dia kembali mundur menggunakan tubuh laki-laki di depannya sebagai pijakan untuk menjauh. Dia merasa pada saat itu seolah sedang menapak pada gedung kokoh yang akan tetap berdiri meski dilanda gempa berkekuatan tinggi.
"Bagaimana bisa?" kata Sherly dengan nada rendah yang sulit didengar oleh orang lain. "Dia ... terlalu kuat."
Sayangnya, Crayon bisa mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Sherly. Mungkin jika itu merupakan suara hati, maka Crayon tidak akan bisa menerima getaran di telinganya, tapi demikian, dia kemungkinan akan bisa menebak pemikiran orang lain.
"Sepertinya kau kesulitan."
"Diamlah, dasar menjijikkan."
Entah mau disebut apa, Crayon tidak terlalu memedulikannya. Setiap mendengar dirinya disamakan dengan binatang yang dianggap memiliki kasta rendah di mata manusia, ekspresi wajahnya tetap tidak berubah.
Selagi menanggapi perempuan di depannya yang menatap dengan tajam, jari-jemarinya bersantai memainkan pisau. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang suka dengan senjata untuk menyayat daging tersebut, menurutnya kurang efektif mengingat dia juga jarang bergerak kalau memang tidak perlu.
Bagian akhir dari seni pisau di telapaknya, tanpa diduga-duga, dia menekan bagian tertentu dari pisau tersebut sehingga dengan cepat melesat ke arah perempuan di depannya yang berjarak beberapa meter.
Sherly sedang tidak fokus pada saat itu, jadi saat tiba-tiba ujung pisau yang tajam menuju ke tenggorokannya, dia spontan menepisnya menggunakan benda yang sama meski tetap tercipta goresan kecil pada samping lehernya.
"Jadi kau terluka," perkataan aneh dari Crayon. "Seharusnya sebagai perempuan kau lebih menjaga tubuhmu."
"Jangan sok memedulikanku, dasar menjijikkan."
"Tidak, jangan begitu. Luka pada tubuh perempuan itu tidak dapat dibanggakan. Tapi kalau kau sudah tidak menyayangi tubuhmu, maka berikan kepadaku saja."
Tanpa menghiraukan kalau apa yang akan didapatkannya hanyalah tatapan jijik, Crayon mengatakan itu dengan lancarnya. Pada saat yang bersamaan, dia berjalan mendekati Sherly yang sedang bersiaga dengan sebuah kuda-kuda.
"Tujuanmu, katakan. Serta jangan lupa menyertakan identitasmu."
Tentu saja tidak akan semudah itu, bahkan yang bertanya juga mengetahuinya. Tapi bukan berarti mustahil, karena bagaimanapun, yang sedang memimpin situasi di sini adalah Crayon sendiri. Tidak ada faktor lain yang mana sedang membuatnya tertekan, dalam hal kekuatan, dia masih jauh berdiri di atas lawannya, begitu juga dengan rencana yang terpikirkan sebagai langkah kedua.
Setelah matanya saling menatap dengan jarak yang mana sudah ideal untuk mengobrol, dia mulai memikirkan alasan kenapa Sherly malah memilih untuk tidak melarikan diri darinya, mengingat ada banyak kesempatan untuk melakukannya.
Sementara itu, sejenak tidak ada kalimat yang keluar dari dua orang yang sebentar lagi sepertinya akan kembali bertarung. Crayon menunggu jawaban dari pertanyaannya, tidak ada pengulangan pertanyaan, karena itu tidaklah efisien. Tapi kalau begitu, maka konsekuensinya adalah tidak akan ada jawaban yang keluar. Bagaimanapun, suasana di antara keduanya sedang terlihat tidak baik-baik saja, seolah ada kabut kesunyian yang menghalangi.
"Kau tidak berniat menjawabnya?"
"Ya."
Anehnya, pada pertanyaan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk bertanya, muncul sebuah jawaban yang sesuai meski bertentangan dengan apa yang diharapkan.
"Sebaiknya kau menjawabnya."
"Tidak."
Karena suatu alasan yang masih ambigu, Crayon mencoba memegang bahu Sherly yang tidak tertutup oleh baju. Di pertengahan sebelum telapak tangannya berhasil mencapai tujuan, itu ditepis meski pada akhirnya malah terlihat seperti dia telah menyakiti tangan dari perempuan di depannya.
Tapi tiba-tiba, merasa ada kesempatan besar yang muncul tepat di depan mata, Sherly menusukkan pisau yang digenggam di tangan kanannya menuju tepat ke area jantung dari Crayon. Sayangnya, ketajaman yang terdapat pada bilah hanya mampu menembus jaket milik Crayon, tidak dengan kulit yang mana menjadi lapisan tubuh terluar.
Itu membuat Sherly membatu karena terkejut.
Di lain sisi, Crayon sendiri hanya perlahan menatap apa yang telah dilakukan perempuan di depannya. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi ketakutan atau apa pun, seperti dirinya yang biasa. Namun, kesannya terhadap Sherly sedikit berubah.
Terbukti saat tangan kirinya mencengkeram lengan orang lain yang terhubung dengan pisau tersebut, kekuatannya sedikit diperkuat sehingga Sherly benar-benar tidak bisa menahan ekspresi pada wajahnya, dan pisau tadi langsung jatuh begitu saja. Meski tak lama berselang dia mulai kembali menurunkan kekuatan cengkeramannya, rasa sakit yang Sherly terima masih sangat membekas.
Setidaknya kembali ada peluang untuk menyampaikan sesuatu, Sherly berkata, "Lepaskan tanganku, dasar menjijikkan."
"Ya, aku memang menjijikkan, jadi cepat katakan apa tujuanmu melakukan semua ini."
"Kubilang lepaskan."
Sherly dengan sebisa mungkin menggunakan tenaganya agar tangannya terlepas dari Crayon. Meskipun hasilnya selalu sia-sia, dia tetap mencoba agar dirinya tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang berada tepat di depannya sekarang.
"Sudahlah, menyerah saja." Crayon bahkan sudah bosan menyaksikan apa yang dilakukan perempuan di depannya. "Aku tidak tahu apa yang menjadi tujuanmu menyerangku, tapi sepertinya kau salah memilih lawan."
"Angkuh sekali."
Bukan sebuah pujian, jelas, tapi bukan itu bagian pentingnya, karena pada saat yang bersamaan tiba-tiba serbuk putih mulai menghiasi sekitar sehingga menutupi pandangan. Keberadaan serbuk tersebut, adalah bagian dari rencana yang Sherly lakukan. Bukan untuk melarikan diri, sebab tangannya masih terkunci, melainkan untuk tujuan lain yang kemungkinan besar tidak bisa dilihat oleh orang lain yang berada di luar maupun jangkauan serbuk.
Sebenarnya sebelumnya saat dia terpikirkan untuk menjadikan rasa sakitnya sebagai bagian dari rencana, dia mengambil setumpuk serbuk yang sudah tersimpan pada alat khusus di pahanya. Serbuk yang dimaksud dalam hal ini masih lebih ringan daripada tepung, serta dapat dengan mudah lenyap di udara setelah beberapa detik peluncuran dan tertabrak angin sepoi.
Sherly membungkusnya menggunakan plastik tipis yang mudah robek jika mendapat tekanan yang berada di luar batas ketentuan. Sehingga setelah dia menggunakan tangan kirinya untuk mengambil benda tersebut dari balik titik buta yang seharusnya tidak bisa dijangkau oleh pandangan mata milik laki-laki di depannya, pada saat itu juga dia langsung melepaskannya dan rencananya dimulai ketika sebungkus serbuk tersebut menghantam permukaan.
Sayangnya, meski terdengar seolah rencananya sangatlah bersih, sebenarnya Crayon hanya sedang berpura-pura termakan umpan.