~The Witch and The Prince (part 11)~
Berjalan menyusuri jalanan kota, Ring Valion melihat betapa mengerikannya keadaan kota Kashmyr saat ini. Ibukota kerajaan Üdine itu kini telah porak poranda dan terlihat puing-puing bangunan berserakan di mana-mana.
"Ternyata seburuk ini ya dampak serangannya. Padahal itu serangan yang menghantam tanah. Bagaimana jadinya kalau diarahkan langsung?" komentar Ring yang terus berjalan menuju ke arah kuil Aquoz.
Terlihat beberapa orang prajurit penjaga dan beberapa relawan sipil yang bekerja mengumpulkan orang-orang yang terluka. Namun yang paling jelas adalah mereka yang menggotong jasad-jasad manusia menggunakan tandu. Lalu jasad itu dijajarkan di sebuah lapangan dan ditutup dengan kain.
"Jika begini, bukankah sama artinya kerajaan ini telah runtuh? Ratu mereka menghilang, pangeran mereka juga telah— ah, sepertinya hanya ada keputus-asaan di masa depan negeri ini" gumam Ring sambil kembali murung.
Ring melihat ke belati di tangannya. Belati tua yang berkarat.
"Apa anak itu juga ada di sekitar sini? Apa dia masih ada di kota ini? Atau dia sudah pergi?" ucap Ring terlihat sedikit khawatir.
Sambil terus berjalan, tak terasa akhirnya ia sampai di depan kuil Aquoz. Ia mengangkat tangan berniat untuk mengetuk pintu kuil itu.
"Ah, nona Valion! Bukan di sana! Kemarilah! Semuanya sedang berkumpul di sini!" panggil biarawati Lenys dari arah kuil Windtar.
Ring menoleh dan melihat biarawati itu keluar dari pintu kuil Windtar.
"Sedang apa kamu di sana?" tanya Ring heran.
"Kami sedang menghubungi kuil pusat untuk berkonsultasi. Jadi kemarilah. Kami butuh bantuan anda saat ini!" jawab biarawati Lenys.
"Baiklah. Kebetulan aku juga ingin melaporkan sesuatu ke kuil pusat" balas Ring lalu berlari memutar melalui gerbang pagar kuil.
Ring sampai di hadapan biarawati Lenys.
"Mari kita masuk. Semuanya sudah menunggu" ajak biarawati Lenys.
"(Aku harus berkata apa untuk melaporkan itu? Apa aku harus jujur saja dan mengatakan kalau Aruthor telah—)" gumam Ring sambil menunduk lalu mulai melihat ke depan.
Ketika melihat ke depannya, Ring pun terkejut. Ia terkejut karena melihat sesuatu yang tidak mungkin kini ada tepat di hadapannya.
"Aruthor!!??" ucap Ring dengan wajah syok.
"Y—ya?" sahut Aruthor dengan nada bingung.
Ring masih tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Pasalnya ia percaya kalau Aruthor sudah mati. Apalagi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Aruthor ditembak dengan napas badai oleh Dragon King Daiasmo Dalus.
"I—ini cuma ilusi kan?" ucap Ring tersenyum kecut.
"Ilusi???" balas Aruthor semakin bingung.
"Aku tak bisa membuktikannya saat ini, tapi kamu pasti semacam ilusi tingkat tinggi kalau sampai bisa merespon seperti itu. Ini pasti ulah dari ‹Spirit Lord of Storm› kan?" tukas Ring tampak yakin meski tanpa bukti.
[ "Kamu kira aku ini pesulap jalanan ya? Maaf saja, aku tak punya waktu untuk melakukan hal semacam itu." ]
Mendengar suara itu, Ring pun kaget. Tak lama kemudian sesosok peri berpakaian hijau dan berambut hijau muncul di atas mimbar kuil. Lalu peri itu terbang menghampiri Ring dan menatap Ring sambil bersila tangan.
"S—siapa!?" tanya Ring.
[ "Kamu tidak tahu siapa aku!??" ]
Ring menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku tidak tahu sama sekali. Kamu siapa? Peri penjaga kuil ini?" terka Ring.
[ "Kamu serius tidak mengenaliku!? Kamu pasti bercanda! Lihat baik-baik! Apa sekarang kamu masih tidak mengenaliku?" ]
Peri hijau itu terbang dan mendarat di pundak patung Sylphid.
"Oh, begitu rupanya!" ucap Ring seolah mengerti.
[ "Nah, kamu sudah mengenaliku sekarang?" ]
"Jadi kamu adalah peri anak buahnya Sylphid ya! Aku mengerti sekarang!" lanjut Ring dengan dugannya dan terlihat sangat yakin dengan itu.
Wajah peri itu pun berubah jengkel dan kesal karena jawaban Ring.
[ "Mengerti palamu kopong! Kamu tidak memgerti sama sekali! Tidak bisakah kamu melihat? Aku ini adalah Syphid Storm yang agung! Lihat yang benar lain kali! Padahal aku sudah maju ke dekat patungku tapi kamu tidak sadar juga, ya ampun…" ]
"(Mana mungkin aku sadar kalau penampilannya sebeda itu!)" protes Ring dalam hatinya.
"Nona Valion, syukurlah anda selamat" sapa Baluztar yang datang dari samping.
"Kamu, jenderal Würgar guru berpedangnya Aruthor kan? Jadi kamu juga selamat? Jadi Aruthor di sana bukanlah ilusi!?" sahut Ring kembali terkejut.
"Ya, saya selamat. Begitu pula dengan yang mulia pangeran" balas Baluztar.
"Tapi bagaimana caranya? Aku melihat jelas kalau kalian masih ada di tempat kalian berdiri ketika napas badai raja naga itu ditembakkan!" tanya Ring.
"Sebenarnya kami juga melihat itu. Kami melihat napas itu ditembakkan ke arah kami. Dan kami tak mungkin bisa menghindarinya mau seberapa keras pun kami berusaha" ungkap Baluztar.
"Lalu bagaimana?" tanya Ring mengulangi pertanyannya.
"Entahlah. Kami juga tidak tahu. Kami tiba-tiba saja berada di depan kuil Aquoz" jawab Baluztar.
"Hah? Bagaimana bisa? Kalian berpindah secara instant dari halaman istana ke depan kuil Aquoz dalam sekejap? Itu sudah seperti konsep sihir teleportasi yang paling diidam-idamkan oleh semua penyihir di muka bumi! Katakan padaku, bagaimana caranya kalian melakukannya?" ujar Ring penasaran.
"Kami tidak tahu" jawab Baluztar dengan singkat.
"Tidak tahu!?" sahut Ring terkejut.
"Nona Ring, tenang lah! Kami benar-benar tidak tahu! Kami tidak menggunakan sihir apapun saat itu. Ditambah mana mungkin kami menggunakan sihir yang kami tidak tahu konsep dan cara kerjanya kan?" ujar Aruthor masuk ke pembicaraan itu mencoba menenangkan Ring.
"(Benar yang dikatakan Aruthor. Tanpa mengetahui konsep maupun cara kerjanya, sihir takkan bisa diaktifkan. Kalau begitu maka sekarang pertanyaannya bukan "bagaimana", melainkan "siapa")" gumam Ring.
[ "Menurut dugaanku, mereka pastilah dipindahkan oleh seseorang. Tapi siapa dia, aku juga tidak tahu. Aku tak menemukan jejak aneh apapun di udara." ]
Semua orang terkejut mendengar yang dikatakan oleh Sylphid.
"Jadi ada orang yang bisa lolos dari pengawasan anda, dewi? Jika begitu, itu artinya dia orang yang sangat hebat" duga pendeta Gündirk.
[ "Kamu benar, pelayanku. Dia pasti penyihir yang sangat hebat. Aku menduga kalau dia adalah ‹Magic King›, tapi aku tak mendeteksi bekas mana besarnya di tempat ini. Lagipula aku tak merasakan dia berpindah sama sekali dari istananya. Dan juga tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan sihir jarak jauh. Jadi aku ragu kalau itu ulahnya." ]
"Anda mengatakannya seolah anda selalu mengawasinya saja, Spirit Lord" komentar Ring.
[ "Bukan seolah lagi, aku memang selalu mengawasinya. Dan dia juga pastinya sadar kalau dia selalu diawasi olehku. Aku tak boleh melepaskan pengawasanku padanya walau sedetik pun. Lagipula dia adalah individu yang bisa bertarung setara dengan Spirit Lord dan Dragon King. Dia orang yang berbahaya." ]
"Kalau bukan ‹Magic King›, bagaimana dengan ‹Hero of Magic›?" tanya Ring.
[ "‹Hero of Magic› Leivan Crimson. Tidak, kurasa bukan dia juga. Lagipula dia nampaknya sudah kembali ke negaranya. Dia tak memiliki kemampuan aktivasi sihir jarak jauh seperti ‹Magic King›. Dan tentunya dia juga tak mungkin memiliki pengetahuan tentang sihir teleportasi. Karena kalau iya, dia pasti takkan pulang dengan cara terbang." ]
"Jadi bukan juga ya. Kalau begitu siapa?" keluh Ring.
"LALU BAGAIMANA DENGAN DEWI UNDYNE?" ucap pendeta Alfred mengangkat tangannya.
[ "Undyne? Aku memang merasakan bekas kehadirannya." ]
Sylphid lalu terbang mendekat lagi ke arah Ring.
[ "Dan aku merasakannya darimu, nak. Begitu rupanya, kamu melakukan penyatuan spirit ya. Tapi jika dia sampai bersedia masuk ke dalam tubuhmu, bukankah itu artinya kamu sudah dipilih olehnya jadi ‹Messenger Maiden›-nya? Ini benar-benar diluar dugaan. Padahal dia bisanya tidak tertarik dan tidak mau melakukan hal-hal semacam ini. Terlebih lagi kamu terpilih tanpa perlu menemukan kuil utamanya yang tersembunyi di lautan. Aku perlu mengucapkan selamat atas keberuntunganmu." ]
Sylphid bertepuk tangan untuk Ring.
"Undyne!? Masuk ke dalam tubuhku!? Kapan?" tanya Ring yang kebingungan.
Tapi tak ada yang menjawabnya. Ia menoleh ke arah pendeta Alfred dan biarawati Lenys, namun mereka berdua malah terlihat sedang berlutut dan menundukkan kepala mereka kepadanya.
"Hormat kami kepada yang mulia ‹Messenger Maiden›!!" ucap pendeta Alfred mewakili biarawatinya juga.
""Yang mulia"? Kenapa kalian memanggilku begitu? Dan kenapa kalian berlutut ke arahku? Apa maksudnya ini, Spirit Lord?" gerutu Ring lalu bertanya pada Sylphid.
[ "Kamu sepertinya tidak tahu, tapi posisi ‹Messenger Maiden› itu lebih tinggi daripada ‹Arcpriest›. Hanya satu tingkat lebih rendah dari Spirit Lord itu sendiri. Jadi bersyukurlah, gadis manusia!" ]
"Haaahh!!!??? Tidak-tidak-tidak! Aku tak menginginkan posisi itu! Aku tak mau terlibat dengan urusan-urusan kuil dan hal merepotkan lainnya!" tolak Ring.
[ "Tidak usah khawatirkan itu, gadis manusia! Berbeda dengan kependetaan, ‹Messenger Maiden› tidak punya kewajiban untuk mengurus kuil atau mengurus urusan keagamaan. Malahan ‹Messenger Maiden› dibebaskan untuk bergerak kemanapun dan kapanpun. Karena tugas mereka adalah sebagai ‹Messenger› yang menghubungkan Spirit Lord dengan semua orang." ]
"Beneran? Aku tak perlu terkurung di dalam kuil pusat?" tanya Ring.
[ "Kuil pusat atau kuil manapun, tak ada yang diperbolehkan mengurung ‹Messenger› Spirit Lord." ]
"Begitu ya. Sekarang aku bisa lebih tenang kalau gitu" ujar Ring.
Ring bernapas lega.
"Jadi, apakah ‹Spirit Lord of Flood› yang memindahkan pangeran Aruthor dengan jenderal Würgar ke depan kuil Aquoz?" tanya Ring kembali ke topik.
[ "Aku rasa bukan. Undyne tak memiliki kemampuan menggunakan teleportasi. Begitu pula denganku dan Spirit Lord yang lain. Kami para Spirit Lord tidak memiliki kemampuan untuk berteleportasi. Karena itulah kami membutuhkan ‹Messenger› untuk mendatangi suatu tempat yang ingin kami lihat yang kami tak bisa ke sana sendiri." ]
"T—tapi kalau gitu, bagaimana caranya Spirit Lord bisa ke sini? Bukannya itu teleportasi?" tanya Ring kebingungan.
[ "Tidak. Itu bukan teleportasi. Itu metode yang berbeda. Aku menggunakan medium elemen untuk memindahkan tubuhku kemari dengan menggunakan angin. Dengan mengubah tubuhku menjadi partikel udara, aku bisa berpindah bersama angin ke tempat yang sangat jauh, selama tempat itu tak tertutup dan angin bisa masuk atau melewatinya." ]
"Tunggu, itu artinya Spirit Lord bisa berpindah kemana pun Spirit Lord mau kan? Bahkan ‹Spirit Lord of Flood› juga kan? Kalau begitu kenapa kalian membutuhkan ‹Messenger Maiden›?" tanya Ring lagi.
[ "Sudah kubilang, ada tempat yang kami tak bisa datangi sendiri kan? Salah satunya adalah Magic Kingdom Al-Syahir. ‹Magic King› menghalangi udara dari luar wilayah kerajaannya untuk masuk ke dalam sehingga angin tak ada yang masuk ke dalam. Jadi aku tak bisa berpindah ke sana. Begitu pula dengan air dan tanah. Semuanya tak ada yang bisa masuk dan tercampur ke dalam. ‹Magic King› berniat membatasi kami untuk masuk ke dalam kerajaannya." ]
"Hebat sekali ‹Magic King› itu ya sampai terpikirkan hal itu" ujar Ring.
[ "Hei, kamu adalah ‹Messenger Maiden› Spirit Lord, kenapa kamu malah memuji ‹Magic King›?" ]
"Sebagai sesama manusia dan sesama pengguna sihir, tentu wajar kalau aku kagum dan merasa simpati kepada kemampuan ‹Magic King›, kan?" ungkap Ring.
[ "Aku ragu dia masih bisa disebut manusia setelah melakukan semua hal absurd itu." ]
"Tapi kalau begini, itu artinya kita benar-benar tak punya petunjuk sama sekali siapa yang telah memindahkan pangeran Aruthor dan jenderal Würgar ke depan kuil Aquoz kan? Kita telah menemui kebuntuan" ujar Ring kembali ke topik.
[ "Benar sekali." ]
Lalu mereka pun sama-sama berpikir mencoba untuk memproses fenomena aneh itu dengan kecerdasan mereka masing-masing.
"Ngomong-ngomong, nona Ring. Kemana tongkatmu? Daritadi aku tidak melihatmu membawanya" tanya Aruthor.
"Tongkatku sebenarnya hilang. Aku pikir itu jatuh ke kolam kubangan kawah bekas tembakkan napas Dragon King. Tapi karena kawah itu terlalu dalam dan curam, aku tak bisa turun ke sana tanpa rencana. Jadi aku tadinya ke sini untuk meminta bantuan kepada orang-orang kuil Aquoz untuk mengambilkan tongkatku" ujar Ring menjelaskan.
"AKAN SEGERA KAMI LAKSANAKAN!" tegas pendeta Alfred dan biarawati Lenys dengan sigap.
Lalu mereka pun bergegas keluar dari kuil.
"Eh, apa mesti seburu-buru itu?" komentar Ring.
[ "Itu permintaan dari ‹Messenger Maiden›, mau bagaimana lagi kan? Lagipula Undyne pasti belum pernah memunculkan diri di depan mereka, jadi tidak heran mereka semangat ketika mendapat permintaan dari "orang yang menghubungkan manusia dan Spirit Lord", kan." ]
"Apa mulai sekarang aku akan menemui hal-hal semacam ini kalau aku berkunjung ke kuil Aquoz?" keluh Ring.
[ "Kuatkan dirimu, gadis manusia. Lalu, bagaimana kalau sekarang kita langsung masuk ke urusan kita?" ]
"Urusan kita???" sahut Ring bingung.
[ "Ya, bukankah kamu diutus oleh kuil pusat di Brightion untuk mencari kandidat pahlawan di kerajaan ini?" ]
"Ya, itu benar. Lalu apa hubungannya itu dengan Spirit Lord sampai menyebut kalau itu urusan kita?" tanya Ring.
[ "Itu karena ternyata orang yang mengajukan ini semua adalah ‹Arcpriest› kuil Windtar, kuilku. Jadi aku pun harus ikut terseret dalam masalah ini karena ia mengajukannya dengan membawa nama kuil dan namaku." ]
"Begitu kah? Kupikir mereka melakukannya atas nama rakyat, ternyata mereka berkonspirasi di belakang" gerutu Ring.
[ "Lupakan masalah itu, kita kembali ke pokok utama. Masalah pencarian kandidat pahlawan itu, aku akan menganggapnya sukses besar karena kamu berhasil menemukan anak yang memiliki kemampuan sihir elemen cahaya yang berdiri di sana itu." ]
Sylphid menunjuk ke arah Aruthor, dan Aruthor pun bereaksi dengan menunjuk wajahnya sendiri dengan ekspresi bingung.
[ "Karena itu, aku mewakili seluruh kuil pusat 4 spirit, memintamu untuk segera kembali ke Brightion dan membawa kandidat pahlawan itu bersamamu." ]
"Kembali ke Brightion!? Sekarang?" sahut Ring terkejut.
[ "Tidak perlu berangkat sekarang juga sih, tapi kalau bisa secepatnya. Itu karena para ‹Arcpriest› itu sudah tak sabar ingin melihat kandidat pahlawan yang akan mendapatkan titel ‹Hero of Light› dengan mata kepala mereka sendiri. Jujur saja mereka berisik sekali karena selalu menggerutu dan mengeluh hingga aku tak bisa tidur di kuil. Aku sampai harus tidur di gunung supaya bisa tidur nyenyak!" ]
"B—begitu, ya" sahut Ring.
[ "Lagipula dilihat dari mana pun, negara ini sudah tamat, kan? Jadi akan lebih baik jika kalian segera pergi dari sini karena mungkin akan mulai datang agresi dari luar yang akan segera datang untuk mencaplok wilayah "kosong" ini. Daripada terlibat dengan hal itu, bukankah akan lebih baik jika datang ke Brightion?" ]
"Tunggu sebentar! Aku menolak! Aku tak mungkin pergi meninggalkan negara ini! Aku adalah pangeran kerajaan Üdine! Aku harus berada disini ketika negara ini sedang mengalami kesulitan! Itu adalah kewajibanku sebagai seorang pangeran!" protes Aruthor dengan tegas.
"Itu benar! Yang mulia pangeran adalah satu-satunya pewaris tahta saat ini setelah yang mulia ratu menghilang! Beliau tidak boleh pergi dari sini!" tambah Baluztar.
[ "Kamu yakin dengan itu, kandidat pahlawan? Mau seberapa kerasnya pun kamu berusaha? Kamu takkan bisa memulihkan negara ini. Kamu sudah tak punya apa-apa lagi. Negara kalian itu miskin. Tak ada aset berharga lagi yang bisa kalian jual. Satu-satunya yang kalian miliki hanyalah wilayah, yang itu pun hanya tinggal kota ini dan sekitarnya saja. Kalian sudah tamat!" ]
"Tidak! Itu salah! Aku— aku akan memulihkan negara ini!" tegas Aruthor.
[ "Oh? Bagaimana caranya?" ]
"Itu—" ucapan Aruthor berhenti.
Ia tak bisa mengatakan apapun. Ia tak terpikirkan satupun jawaban yang masuk akal di kepalanya saat ini.
[ "Lihat? Kamu tidak menyanggahnya kan? Itu karena yang aku katakan adalah sebuah fakta. Karena itu, mencoba untuk memulihkan negara ini hanya sia-sia saja. Akan lebih baik jika kamu jadi pahlawan, kandidat pahlawan." ]
"T—tidak" ucap Aruthor.
[ "Kenapa kamu begitu keras kepala? Mencoba mempertahankan negara yang sudah bangkrut adalah sebuah kebodohan. Maksudku, coba pikirkan, memangnya ada cara kalian membangun lagi kota ini tanpa biaya? Terlebih dengan banyaknya korban jiwa dan korban luka. Sumber makanan minim, sumber daya nihil. Rakyat serta pemimpinnya hanya seperti menunggu kematian. Bagaimana coba memperbaiki semua itu? Terlebih lagi jika sampai ada agresi dari negara sebelah, kalian yang kekurangan sumber daya takkan bisa mempertahankan diri sama sekali." ]
"T—tapi justru karena itu aku harus ada di sini! Aku harus melindungi negara ini, kan?" tegas Aruthor.
[ "Apa kamu bodoh?" ]
"Apa!?" sahut Aruthor heran.
"Pangeran, aku tahu kamu sangat menyayangi negara ini. Kamu sangat menyayangi rakyatmu. Tapi mau ada dirimu di sini atau tidak, itu sudah tidak ada gunanya lagi. Secara ekonomi dan pertahanan, negara ini sudah bisa dikatakan runtuh" ungkap Ring mengatakannya dengan wajah serius.
"Nona Valion, beraninya kau—" ucap Baluztar mulai geram.
Baluztar mencoba untuk meraih Ring, namun tiba-tiba saja tubuhnya terdorong oleh angin yang sangat kuat hingga terpental membentur dinding.
"Argh!" jerit Baluztar menghantam dinding.
[ "Mundur manusia! Menyerang seorang ‹Messenger Maiden› adalah sebuah dosa besar, ingat itu! Apalagi bukannya kamu adalah pemuja Undyne? Apa yang kamu pikirkan menyerang utusan dewimu sendiri!" ]
"B—berisik! Memangnya apa yang dilakukan Undyne? Apa yang dilakukannya ketika negara krisis? Apa yang dilakukannya ketika kota ini diserang naga? Apa yang dilakukannya ketika perang yang menewaskan raja kami, ayah pangeran Aruthor? Mana dia!?" tegas Baluztar melampiaskan kekesalannya.
[ "Kalian rupanya hanya orang-orang bodoh! Kalian bodoh semuanya! Apa kalian lupa kalau selama ini kalian krisis air tawar, dan alasan ditemukannya penyebab krisis itu adalah ‹Messenger Maiden› yang di sana? Lalu kalian lupa yang telah mengusir Dragon King juga adalah Undyne yang masuk ke tubuh ‹Messenger Maiden› itu juga? Sementara untuk masalah perang, kalian kira kami mau ikut campur pada ego kalian para manusia untuk berebut wilayah? Jika kami semudah itu ikut campur dengan perang manusia, maka akan terjadi ketidak-seimbangan kekuatan militer dunia, bahkan mungkin akan terjadi bentrok antar Spirit Lord! Dunia bisa hancur jika sampai Spirit Lord saling bertarung satu sama lain!" ]
Diceramahi oleh Sylphid sang ‹Spirit Lord of Storm› membuat Baluztar tak bisa berkata-kata. Ia tak punya hal apapun untuk membantahnya. Karena semua yang Sylphid katakan adalah fakta.
"L—lalu anda meminta kami diam saja melihat negara kami runtuh?" tukas Baluztar sambil menunduk.
[ "Diam? Kata siapa? Yang aku minta adalah Aruthor untuk ikut dengan ‹Messenger Maiden› kembali ke Brightion. Dari sana, jika Aruthor berhasil menjadi ‹Hero of Light› maka dia akan bisa mengklaim kembali wilayah kerajaan ini. Bahkan jika wilayahnya sudah dikuasai negara lain, Aruthor bisa menggunakan wewenangnya sebagai pahlawan untuk membebaskannya. Jadi karena itu aku mengatakan kalian bodoh sejak tadi! Kalian ini tolol sekali! Aku tawarkan jalan keluar tapi kalian malah menolaknya!" ]
Aruthor dan Baluztar pun terdiam dengan mata terbelalak.
"Yang dikatakan oleh Spirit Lord adalah benar. Bahkan menurut sejarah, negara yang menjadi musuh kalian dalam perang sebelumnya, kerajaan Pashqua itu wilayahnya dibebaskan oleh pahlawan di masa lalu yaitu Minato Natsumi" ungkap Ring.
"Apa? Kenapa tidak katakan itu sebelumnya?" protes Aruthor.
"Benarkah? Aku ingat aku sudah menjelaskan keutamaan dan keuntungan menjadi pahlawan sebelumnya. Ya meski aku memang tak pernah mengatakan apapun tentang kerajaan Pashqua dan masa lalunya itu" sahut Ring dengan tenang.
[ "Jadi karena itu, ikutlah bersama ‹Messenger Maiden› ke Brightion, Aruthor Salazar Üdine. Dari sana kamu akan bisa membangkitkan kembali negaramu. Kamu akan bisa menghukum orang-orang yang telah bersikap tidak adil pada negaramu. Dengan menjadi pahlawan, kamu akan bisa melindungi orang-orang yang lemah. Bukan hanya yang ada di negaramu, tapi juga yang ada di seluruh dunia. Karena itu, apa lagi yang membuatmu ragu, Aruthor?" ]
"Yang mulia pangeran…" panggil Baluztar.
Aruthor kini di bawah kebimbangan. Ia belum pernah berada dalam tekanan seperti ini sebelumnya. Itu karena keputusannya saat ini akan memutuskan nasib negaranya juga. Namun meski begitu, ada satu hal yang ia yakini. Yaitu, ia harus melindungi negaranya. Itu kewajibannya sebagai pangeran negeri itu.
"Baiklah, aku akan ikut" jawab Aruthor.
"Pangeran!?" ucap Baluztar terkejut.
"Tak apa, guru. Aku akan berusaha menjadi pahlawan agar bisa melindungi negara ini dari keruntuhan. Karena itu, selama aku pergi, tolong lindungi kota ini untukku, jenderal" ungkap Aruthor dengan pasrah.
"Yang mulia pangeran, apa anda yakin?" tanya Baluztar.
"Ya. Aku tak boleh ragu dengan keputusanku sendiri. Karena jika aku ragu, maka hasilnya pun akan meragukan, kan?" jawab Aruthor.
Mendengar jawaban itu, Baluztar pun menangis.
"Pangeran… anda sudah tumbuh dewasa dengan cepat~" ujar Baluztar.
"Eh, tapi aku baru 14 tahun lho!" sahut Aruthor dengan wajah heran.
"Maksudnya bukan usia fisikmu, pangeran" ujar Ring memberi tahu.
"Lah, kalau gitu usia apa?" tanya Aruthor.
[ "Usia mentalmu maksudnya, Aruthor." ]
"Usia mental? Mental punya usia berbeda?" tanya Aruthor lagi makin bingung.
"Sepertinya akan sulit menjelaskannya padanya saat ini" keluh Ring.
[ "Aku setuju." ]
****
Sementara itu, di kawah bekas tembakan napas badai Dragon King, pendeta Alfred dan biarawati Lenys sedang berusaha mencari tongkat Ring yang jatuh ke dalam kolam air di tengah kawah. Terlihat sebuah tali tambang terikat ke pasak yang ujungnya ada di dalam air di kawah tersebut. Di dekat pasak, berdiri biarawati Lenys yang memperhatikan ke dalam kawah.
"Bagaimana? Apa sudah ketemu?" teriak biarawati Lenys.
Pendeta Alfred muncul ke permukaan air kolam kawah tersebut.
"Fuah! Airnya keruh banget!! Lantainya licin banget!! Sulit aku mencarinya!!!" jawab pendeta Alfred yang terlihat wajah dan rambutnya kotor oleh air berlumpur.
"Lalu sekarang bagaimana? Apa rencana pendeta?" teriak biarawati Lenys bertanya lagi.
"Lemparkan tombakku kemari!!!" pinta pendeta Alfred.
"Baik!" sahut biarawati Lenys.
Lalu biarawati itu menghampiri tombak Alfred yang tergeletak tak jauh darinya dan tas peralatannya. Lalu ia mengambil tombak itu dan membawanya ke tepi mulut kawah.
"Ini! Tangkap!!" teriak biarawati Lenys.
Biarawati itu pun melemparkan tombak itu sekuat yang ia bisa. Tapi tombak itu hanya mendarat di seperempat jalan ke kolam di tengah kawah.
"…"
"…"
Terjadi keheningan yang canggung saat itu.
"Tangkap apanya!? Sampai saja tidak!!!" protes pendeta Alfred.
"Maafkan aku! Maafkan aku!" sahut biarawati Lenys.
"Terus sekarang bagaimana coba caraku mengambilnya? Itu jauh dari tali buat manjat!" gerutu pendeta Alfred.
"Aku akan mengambilnya!" ujar biarawati Lenys lalu melompat turun ke dalam kawah.
"Tunggu, ja— ngan…" ucap pendeta Alfred, namun telat.
Biarawati itu meluncur turun membuat pakaian biarawatinya kotor oleh tanah berlumpur. Akhirnya ia sampai ke tempat tombak itu tergeletak dan mencoba mengambilnya. Namun tombak itu tertabrak oleh kakinya dan terpental ke samping. Dan ketika tangannya mencoba untuk meraihnya, ternyata tombak itu terlalu jauh.
"Eh? Eh!? Kenapa!!??" keluh biarawati Lenys yang gagal melakukan niatnya.
"Haa~" hela napas pendeta Alfred.
Akhirnya tubuh biarawati Lenys pun ikut tercebur ke kolam kawah.
"Fuahh~ Tcuih! tcuih! Airnya kotor sekali banyak lumpurnya~" keluh biarawati Lenys muncul kembali ke permukaan.
"Sekarang kita harus bagaimana coba? Aku tak mungkin memanjat ke sana! Talinya jauh dari sana!!" tanya pendeta Alfred dengan suara keras seperti biasanya.
"Maafkan aku! Maafkan aku!" sahut biarawati Lenys.
"Tapi aku harus memuji orang yang memanjat hingga menimbulkan bekas itu! Dia kelihatannya menolak untuk menyerah meski nyawa taruhannya! Meskipun tak ada nyawa yang dipertaruhkan sih kalau cuma sekedar memanjat!!" komentar pendeta Alfred melihat bekas memanjat yang terlihat jelas di lereng kawah.
"Mungkin itu bekas memanjat nona utusan!" tukas biarawati Lenys.
"Ya, benar juga! Itu menjelaskan alasan beliau bilang kalau tongkatnya mungkin ada di kolam kawah ini!!" balas pendeta Alfred.
"Lalu sekarang bagaimana, pak pendeta?" tanya biarawati Lenys.
"Terpaksa kita harus mencari dengan menyelam lagi! Tapi sekarang kita berdua! Jadi mungkin akan sedikit lebih mudah dari sebelumnya!!!" jawab pendeta Alfred.
"Di saat seperti ini aku akan senang jika aku bisa berpikir positif sepertimu, pendeta" gerutu biarawati Lenys.
"Ayo menyelam!!!" teriak pendeta Alfred.
Lalu pendeta Alfred menghilang menyelam ke dalam kolam air keruh itu. Biarawati Lenys juga kemudian ikut menyelam juga. Dan proses pencarian pun berlanjut.
****
Malam hari datang, langit malam menutup luasnya angkasa. Tapi saat ini bukan langit itu yang dilihat oleh Ring dan Aruthor. Yang mereka lihat adalah langit-langit kuil Aquoz yang terlihat memiliki gambar-gambar lukisan yang mengisahkan kelahiran Undyne dan awal mula terbentuknya lautan.
"Zaman dahulu kala, ketika belum ada menusia dan hanya ada Dragon Emperor dan Ibu Bumi, lautan belum ada. Begitu pula sungai dan danau. Permukaan dunia hanya ada tanah tandus dan langit yang tampak selalu berasap. Ibu Bumi lalu menurunkan hujan. Hujan yang deras dan sangat banyak. Hujan itu membasahi tanah dan mengisi lembah-lembah. Menciptakan sungai, rawa, danau, dan lautan" ujar Ring bercerita.
"…" Aruthor hanya diam dan mendengarkan.
"Dari lautan luas itu mulai muncul berbagai makhluk lain. Dan bersamaan dengan lahirnya mereka, muncul cahaya dari dasar lautan. Itu adalah cahaya seorang gadis mungil yang menekuk tubuh dan mulai naik mengambang ke permukaan. Di permukaan empat sayapnya yang indah terbuka dan ia pun mulai terbang ke angkasa. Dia adalah Undyne, peri muda yang naif dan baik hati" lanjut Ring.
"Jadi dewi Undyne lahir dari lautan?" tanya Aruthor.
"Ya. Itulah yang aku baca dari buku di kuil Aquoz yang ada di Brightion" jawab Ring.
Saat ini, Ring dan Aruthor sedang tiduran di bangku panjang di aula kuil Aquoz. Mereka tiduran di bangku yang berseberangan terpisahkan oleh jalan di tengah antara kedua bangku itu.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya Aruthor penasaran.
"Bab kelahiran hanya sampai sana. Tidak ada kelanjutannya" jawab Ring.
"Eehh… tapi aku ingin dengan kelanjutannya" keluh Aruthor.
"Tidak ada. Seperti yang kukatakan bab kelahiran berhenti sampai di sana. Bab selanjutnya dimulai jauh sekali setelahnya" ungkap Ring.
"Ahh… padahal kelihatannya seru kalau tahu apa yang terjadi setelahnya" ujar Aruthor terdengar kecewa.
"Tapi anda kelihatannya penasaran sekali ya, pangeran. Apa yang mulia ratu belum pernah menceritakan kelahiran Undyne kepada anda sebelumnya? Padahal itu sering dijadikan dongeng oleh umat kuil Aquoz lho" tanya Ring.
"Tidak, tidak pernah! Ibu tak pernah menceritakan cerita apapun tentang dewi Undyne atau dewi lainnya. Jangankan tentang dewi, tentang naga dan pahlawan saja tidak. Ibu malah sering bercerita tentang The Creator of All Creations. Lalu juga kisah kehancuran manusia bersayap atau apalah itu. Kemudian cerita tak masuk akal tentang ‹True King› yang akan muncul di masa depan yang akan menyatukan kembali dunia dalam satu bendera, katanya. Cerita-cerita tak masuk akal yang tidak aku mengerti dan orang lain tidak pernah mendengar sebelumnya" keluh Aruthor panjang lebar.
"(The Creator of All Creations!? Jadi ratu juga pemuja The Creator? Aku tak tahu beliau memiliki pemahaman itu juga. Dan lagi kisah manusia bersayap? ‹True King› yang menyatukan dunia? Ya aku juga tak pernah mendengar itu sebelumnya)" gumam Ring sedikit terkejut mendengar keluhan Aruthor itu.
"Lalu selain itu, cerita apa yang nona Ring punya?" tanya Aruthor penasaran.
"Sudah, ayo kita tidur! Besok kita harus melakukan perjalanan jauh!" ujar Ring.
"Eehh… s—setidaknya satu cerita lagi—" bujuk Aruthor.
"Tidak boleh! Cepat tidur!" tegas Ring memotong.
"Yaahh~" sahut Aruthor dengan nada kecewa.
Tapi Aruthor menurutinya meski terlihat sedikit menolak. Aruthor memejamkan matanya, dan tak perlu waktu lama akhirnya Aruthor pun terlelap.
"(Sepertinya ia sudah tidur. Baguslah, sekarang aku bisa latihan dengan tenang. ‹Mana›-ku juga sudah pulih sekitar 30%. Aku bisa mencoba sesuatu yang sedari tadi muncul dikepalaku)" gumam Ring lalu mengangkat lengannya ke atas wajahnya karena saat ini ia sedang tiduran.
"[Waterball]" rapal Ring.
Bola air pun tercipta di atas telapak tangannya.
"Sekarang aku hanya tinggal memanipulasi bentuknya, [Form]" lanjut Ring merapal lagi.
Bentuk bola air itu pun berubah. Kini bola air itu mulai membentuk seekor ikan. Ikan emas yang bening tembus pandang karena memang itu hanyalah air. Namun bentuk ikan itu terlihat cukup sederhana dan tidak terlalu detail.
"Tak kusangka aku bisa mengubahnya semakin detail saat ini. Mungkin jika aku melatihnya terus aku akan bisa semakin detail membentuknya" ujar Ring sambil menggerak-gerakan ikan itu menggunakan ayunan jari telunjuknya.
Merapalkan dua spell itu, membuatnya teringat pada anak yang terpenjara di penjara bawah tanah bersamanya. Saat itu banyak hal konyol yang terjadi karena anak itu menolak untuk bicara walau hanya sepatah kata. Tapi pada akhirnya ia bisa mengerti yang anak itu maksud.
Ring berhasil keluar dari penjara bawah tanah hingga bisa bertemu secara tak sengaja dengan Aruthor adalah karena dirinya. Anak itu banyak berjasa untuknya.
Lalu Ring terbayang saat ia digendong oleh anak berambut hitam.
"Ah!" Ring kehilangan konsentrasinya dan ikan emas air yang sedang ia kendalikan pun pecah dan langsung membasahi wajahnya.
Ring langsung dengan sigap bangkit dan duduk. Ia lalu mengusap wajahnya untuk membersihkan air yang membasahi mukanya.
"Benar juga, rambut anak itu juga berwarna hitam kan? Apa yang menggendongku waktu itu juga memang anak itu?" ujar Ring lalu meremas pakaiannya di bagian dada.
Jantungnya berdegup kencang dan pipinya mulai memerah.
"Kalau begitu, itu artinya… dia menyelamatkanku lagi?" lanjutnya sambil menundukkan kepalanya.
"(Tunggu, perasaan apa ini? Rasa bahagia apa ini? Rasa tersentuh apa ini? Rasanya aku seperti dipenuhi kebahagiaan. Jantungku berdetak cepat sekali hampir terasa seperti hendak meledak, tapi anehnya aku merasa nyaman dan senang merasakannya. Aku benar-benar tak mengerti perasaan apa ini?)" pikirnya sambil sedikit membungkuk.
Ring menoleh ke arah belati yang terselip di antara celah kayu bangku yang sedang ditempatinya itu. Lalu ia pun tersenyum dan mencabut belati itu dari sandaran bangku tersebut.
"Aku akan menyimpan ini. Sampai kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti. Baru saat itulah aku akan mengembalikannya padamu" ujar Ring tanpa sadar mendekap gagang belati itu ke dadanya.
****