~Burning Noblewoman (part 2)~
Aruthor sedang berlatih pedang di samping halaman mansion. Seperti biasanya ia berlatih mengayun pedang karena saat ini ia tak punya seorang pelatih yang bisa membimbingnya untuk berlatih jurus pedang atau semacamnya. Namun terlihat setiap ayunannya adalah ayunan yang kuat dan ayunan yang stabil.
"Sedang berlatih pedang, dek?" sapa seorang laki-laki muda yang terlihat memakai kaos yang memiliki motif indah.
"Ya! Maaf— anda— ini— siapa— ya?" sahut Aruthor sambil mengayun pedang.
"Kamu tidak mengingatku? Aku adalah kapten pasukan pengawal Marquess Agnis, Dargain Ernim. Ya, aku tak segagah sewaktu aku memakai zirahku sih saat ini" jawab laki-laki muda itu yang nampak memanggul pedang kayu.
"Dargain Ernim? Maaf, saya tidak mengingat anda. Nama saya Aruthor Salazar Üdine. Salam kenal" balas Aruthor memperkenalkan dirinya dan menghentikan latihannya.
"Begitu ya, sayang sekali. Salam kenal juga kalau begitu" sahut Dargain.
Dargain kemudian mulai menurunkan pedang kayunya yang berukuran seperti sebuah Long Sword atau pedang panjang itu. Pedang yang cukup berat dan biasanya butuh dua tangan untuk mengayunkannya.
"Bagaimana kalau kita latih tanding, Aruthor?" tawar Dargain lalu mulai berkuda-kuda.
"Latih tanding?" sahut Aruthor.
"Ya, hanya mengayun begitu takkan menjadikanmu pendekar pedang, dek Aruthor. Kamu harus banyak melawan manusia dan monster untuk bisa mengasah kemampuan berpedangmu dengan benar" jelas Dargain.
"Jadi karena itu anda menawarkan latih tanding?" terka Aruthor.
"Ya. Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Dargain.
"Baiklah! Aku akan mencobanya!" jawab Aruthor.
"Bagus! Laki-laki memang harus begitu!" sahut Dargain.
Aruthor kemudian berkuda-kuda menghadap ke arah Dargain.
"T—tunggu, memang tidak apa jika hanya saya yang pakai pedang asli?" tanya Aruthor.
"Kamu terlalu banyak bicara! Hiaa!!" pekik Dargain maju dengan cepat.
Lalu Dargain mengayunkan pedangnya dengan tebasan vertikal. Aruthor tak sempat merespon dengan pedangnya, jadi ia pun melompat mundur menghindari tebasan tersebut.
"Keputusan bagus, tapi itu masih belum cukup!" tegas Dargain.
Dargain kini bergerak memutari Aruthor. Aruthor berusaha berputar mengikuti gerakan Dargain. Namun Dargain menambah kecepatan larinya sehingga lolos dari penglihatan Aruthor. Aruthor tak tinggal diam dan menambah kecepatan putarnya namun ia tersentak kaget karena mendapati sosok Dargain sudah berada di sampingnya.
Tebasan Dargain tepat mengenai perut Aruthor dan mementalkan tubuh Aruthor ke belakang dengan tebasan diagonal ke atas. Tubuh Aruthor pun terguling-guling di tanah.
"Kamu lengah, Aruthor. Saat aku memutarimu cobalah untuk tak terbiasa mengikuti gerakan memutar lawan. Apalagi jika ia tiba-tiba menambah kecepatan, jangan langsung mengira dia ada di arah kamu mengira dia berada akibat gerakan memutarnya. Karena bisa jadi ia ada di sebelahmu karena ternyata dia maju ke arahmu. Selalu waspada!" tegur Dargain.
Aruthor terlihat menggeliat di tanah karena merasa sakit di perutnya yang mendapat tebasan pedang kayu yang begitu kuat dari Dargain.
"Ayo bangun, kita lanjutkan latihan kita!" ujar Dargain mengacungkan pedangnya ke arah Aruthor lalu kembali berkuda-kuda.
"B—baik" sahut Aruthor sambil berusaha berdiri lagi.
"Aruthor, meski terasa sakit, kamu harus bisa bangkit dengan gesit. Atau kalau tidak, lawanmu akan memanfaatkannya untuk menyerangmu. Misalnya seperti ini!" tegur Dargain lalu melesat maju dengan sangat cepat.
Larinya sangat cepat hingga sekilas ia seolah tiba-tiba sudah berada di depan Aruthor. Terkejut, reaksi Aruthor tertunda. Namun ia tetap berusaha untuk menebas Dargain yang berada tepat di depannya. Tapi sosok Dargain tiba-tiba memburam lalu menghilang. Aruthor terkejut lagi dan serangannya hanya menebas bayangan sisa gerakan atau after-image saja. Rupanya Dargain sudah berada di belakang Aruthor dan menebas punggung Aruthor tanpa ragu. Tebasan itu menghantam punggung Aruthor dengan kuat dan mementalkannya cukup jauh sejauh 4 sampai 5 meter.
"Kamu telah terpancing oleh umpan lawan, Aruthor. Kamu membuang satu seranganmu secara sia-sia. Ini membuktikan kurangnya pengalamanmu dalam pertarungan asli. Jika kamu sudah berpengalaman, kamu akan tahu kalau yang pertama itu hanyalah sebuah pancingan agar kamu menyerang dan membuang satu gerakanmu, sehingga kamu tak bisa menahan serangan yang akan dilancarkan ke arahmu" ujar Dargain.
Dargain kembali menaruh pedangnya ke pundak.
Aruthor kali ini buru-buru berdiri tanpa perlu disuruh. Ia langsung berusaha berlari balik menerjang ke arah Dargain.
"Oh, maju sini, Aruthor!" ucap Dargain langsung bersiap menerima serangan dalam sekejap.
"Haaaaaa...!!!" teriak Aruthor sambil berlari ke arah Dargain.
Aruthor kemudian mencoba untuk menebas Dargain, namun Dargain dengan santainya menghindar dengan berputar. Lalu sambil berputar itu ia mengayunkan pedangnya dan menebas punggung Aruthor dengan tebasan horizontal. Aruthor kembali terpental dan berguling-guling di tanah.
Tapi Aruthor langsung berguling dan berbalik menghadap Dargain kembali. Kini Aruthor berjongkok sambil menggenggam pedang dengan kedua tangannya.
"Bagus! Sekarang kamu sudah lebih cekatan, Aruthor!" ucap Dargain memujinya.
Aruthor tak menjawab dan malah langsung berlari lagi ke arah Dargain.
"Ayo sini, Aruthor! Keluarkan serangan terbaikmu!" tantang Dargain.
"Rasakan ini! [Lightblade]!" pekik Aruthor menebaskan pedangnya secara vertikal.
Tebasan itu pun menciptakan sebuah sabit cahaya. Sabit cahaya itu melesat ke arah Dargain.
"Apa!?" ucap Dargain terkejut.
Dargain melompat ke samping menghindari sabit cahaya tersebut.
"[Lightblade]! [Lightblade]! [Lightblade]!" ucap Aruthor menebaskan pedangnya berkali-kali.
Dari setiap tebasan itu melesat sabit cahaya. Dargain terus melompat dan berguling untuk menghindari setiap sabit cahaya itu.
"Kali ini pasti kena! [Lightblade]!!!" pekik Aruthor melakukan tebasan horizontal.
Sabit cahaya yang melesat pun juga horizontal. Tapi terlihat Dargain malah berbelok dan berlari ke arah sabit cahaya itu. Lalu ia meluncur melalui bawah sabit cahaya itu. Aruthor pun terkejut dengan keputusan Dargain yang tak ia duga itu. Dargain menyabet kedua kaki Aruthor dengan pedangnya sambil berputar dan kembali berdiri. Aruthor jatuh terduduk di tanah. Dargain lalu memanfaatkan itu dan langsung menendang Aruthor. Aruthor jatuh terlentang dan kini Dargain sudah di atasnya sambil menahan tubuhnya dengan lutut dan menodongnya dengan pedang yang mengarah ke wajahnya.
"Tak kusangka kamu bisa menggunakan elemen cahaya, Aruthor. Tapi caramu menggunakannya masih belum bagus. Karena itu lah kamu kalah saat ini" ujar Dargain.
"T—terima kasih, tuan Ernim" sahut Aruthor.
"Tak usah berterima kasih. Dan tak usah pakai bahasa formal" balas Dargain lalu berdiri melepaskan tubuh Aruthor.
"B—baik" sahut Aruthor lagi sambil mulai mendudukkan tubuhnya.
"Dan panggil aku kak Dargain, hehe..." tambah Dargain.
"H—hah?" sahut Aruthor jadi bingung.
"Ayolah, tak usah sungkan. Panggil aku kak Dargain!" bujuk Dargain.
"K—kak Dargain?" ucap Aruthor.
"Bagus. Anak baik!" sahut Dargain sambil berjongkok di sebelah Aruthor dan menepuk kepalanya.
"(Kenapa semua orang bertingkah sok akrab padaku?)" keluh Aruthor.
"Elemen cahayamu barusan, sebaiknya jangan terlau bergantung pada mereka" tegur Dargain.
"M—memangnya kenapa?" tanya Aruthor.
"Itu memang elemen yang kuat, tapi karena kekuatannya, bisa dibilang itu berbahaya jika digunakan sembarangan" jawab Dargain meliha ke arah halaman mansion.
Terlihat halaman mansion yang terbelah-belah akibat terkena sabit cahaya yang dilesatkan oleh Aruthor sebelumnya. Taman bunga pun jadi rusak dan pagar mansion jebol. Beruntung itu tak terus memanjang hingga ke rumah atau mansion lainnya.
Melihatnya tentu saja membuat Aruthor panik.
"A—apa yang telah kuperbuat!?" ucap Aruthor terkejut.
"Haha... tenang saja. Yang Mulia Marquess bukanlah orang yang mudah emosi. Lagipula kerusakan segini bukanlah masalah bagi beliau" ungkap Dargain.
"B—be—benarkah!?" sahut Aruthor masih panik.
"Ya, percayalah padaku" balas Dargain sambil menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jarinya.
"A—a—a—apa yang terjadi di sini!?" ucap Ring yang keluar melalui pintu samping mansion.
Ia terkejut ketika ada bekas sayatan raksasa di tanah yang memanjang hingga ke halaman depan. Dan bukan hanya satu, melainkan ada empat layaknya bekas sebuah cakaran tangan.
"Apa tadi ada monster menyerang tempat ini atau semacamnya?" tukas Ring.
"Nona penyihit tenanglah. Tidak ada monster atau apapun di sekitar sini. Jika memang ada monster di sini tentunya sudah terjadi keributan besar di kota, kan?" ungkap Dargain.
"Itu memang benar. Lho, tunggu, kamu ini siapa ya?" tanya Ring.
"Bahkan nona penyihir juga tidak ingat aku!? Apa kehadiranku selemah itu ya?" keluh Dargain.
"Tunggu sebentar, suara itu... jangan bilang kamu ini kapten pasukan pengawal yang mengawal kereta kuda Marquess Agnis?" terka Ring menggali ingatannya.
"Ya, itu benar! Tapi kenapa mesti dari suara sih. Memangnya wajahku sepasaran itu ya?" tukas Dargain terus mengeluh.
"Tidak, kok. Kupikir wajahmu cukup bagus. Ya, hanya saja..." sanggah Ring.
"Hanya saja?" sahut Dargain.
"Hanya saja... aku seperti sudah sering melihat wajahmu dimana-mana hingga aku sulit membedakanmu dengan yang lain yang ada di ingatanku" ungkap Ring.
"Ya itu namanya pasaran, neng! Ya ampun dah!" gerutu Dargain.
"Tapi kalau ini bukan bekas monster raksasa, maka apa ini bekas serangamu, Aruthor?" duga Ring memeriksa bekas sabit cahaya Aruthor di tanah lalu menoleh ke orangnya.
"M—maafkan aku..." sahut Aruthor dengan wajah menunduk menyesal.
"Jangan meminta maaf padaku, minta maaflah pada pemilik mansion" jawab Ring.
Ring kemudian berbalik kembali ke mansion.
"Cepat mandi dan datanglah ke kamarku setelah mandi. Ada yang ingin kubicarakan denganmu" ujar Ring sambil berjalan pergi.
Sosok Ring pun telah masuk kembali ke dalam mansion.
"Oho~ Aruthor sepertinya hari ini kamu akan menaiki tangga kedewasaan ya" ujar Dargain.
"Hah? Tangga kedewasaan? Apa maksudnya?" sahut Aruthor dengan wajah bingung.
"Lah, kamu tidak tahu itu? Ya sudahlah, nanti kamu juga tahu setelah ini" balas Dargain.
Dargain kemudian masuk ke dalam mansion duluan, meninggalkan Aruthor yang masih duduk bengong di tempat itu.
"Apa maksudnya itu? Aku benar-benar tidak mengerti sama sekali" komentar Aruthor.
****
Aruthor yang sudah selesai mandi kini berjalan di lorong dengan pakaian biasa miliknya dan sebuah handuk menggantung di lehernya. Rambut pirangnya tampak masih basah dan sekilas seperti mengeluarkan uap.
Berjalan melewati sebuah jendela besar, Aruthor berhenti sejenak dan menoleh ke arah jendela itu. Terlihat olehnya langit malam yang indah berbintang, namun bagian barat langit masih terlihat warna merah keunguan tanda kalau matahari baru saja terbenam belum lama. Namun dari itu ia mengetahui kalau ini hampir masuk waktu makan malam.
"Apa sebaiknya aku ke ruang makan dulu? Tapi nona Ring menyuruhku untuk pergi ke kamarnya setelah mandi. Hmm..." gumam Aruthor bimbang.
"Kalau aku boleh usul..." ucap seseorang dari sebelahnya.
Aruthor terperanjat kaget dan melompat berbalik ke arah datangnya suara itu.
"...prioritaskan menepati janjimu itu lebih penting. Apalagi jika itu janji dengan perempuan" lanjut orang itu yang ternyata adalah Mellin.
"Nyo— maksudku Mellin!? Sedang apa di sini?" sahut Aruthor yang tak jadi memanggilnya nyonya karena tiba-tiba ia ditatap tajam oleh Mellin saat hendak mengatakannya.
"Apa aku tidak boleh jalan-jalan di mansionku sendiri?" tanya Mellin.
"B—bukan begitu maksudku! A—aku hanya penasaran saja" bantah Aruthor.
"Begitu ya, kamu penasaran padaku..." tukas Mellin sambil menatap ke arah Aruthor dengan senyuman yang sensual.
Wajah Aruthor panik dan bingung mencari kata-kata untuk merespon.
"Aku hanya bercanda. Tapi memangnya tak apa menghabiskan waktumu di sini? Bukankah kamu ada janji dengan gadis penyihir itu?" tukas Mellin.
"Be—benar juga. Maaf, kalau gitu aku pamit dulu" sahut Aruthor kemudian buru-buru pergi dari situ.
Aruthor pun pergi meninggalkan Mellin yang masih berdiri di dekat jendela besar itu.
"Masa muda ya~" gumam Mellin lalu tersenyum menatap ke luar jendela.
Di dalam kamarnya, Ring saat ini sedang menunggu sambil duduk di kursi yang berada di sebelah meja laci yang berada di sebelah ranjang. Ia menunggu sambil membaca salah satu buku yang diambilnya dari rak buku di kamar itu.
"Cerita pahlawan legendaris, Minato Natsumi. Namanya kebalik woy. Dan rekan-rekan seperjalanannya berpetualang ke seluruh penjuru negeri. Rekan pertamanya adalah seorang elf cantik yang merupakan seorang pemanah misterius. Nama aslinya tak disebutkan di sini, hanya dia dipanggil si cantik di sini. Lalu seorang penyihir berambut biru yang disebut sebagai titisan dewi Undyne, Rain. Kemudian satu lagi adalah seorang petarung dari timur yang selalu berpakaian hitam, Qi Gong. Mereka berpetualang bersama mengasah kemampuan dengan menjadi pemburu monster. Berburu monster ya, itu ide yang bagus. Mungkin aku bisa melatih Aruthor dengan cara itu" ungkap Ring sambil membaca buku itu.
Saat sedang asik membaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ring pun menutup bukunya dan meletakannya di atas meja laci di sebelahnya.
"Ya, sebentar..." ucap Ring sambil bangkit dari kursinya.
Ring berjalan menghampiri pintu dan mulai membuka pintu tersebut. Rupanya itu adalah Aruthor yang memang sudah ditunggunya sejak tadi.
"Akhirnya datang juga. Kenapa lama sekali? Ayo masuk!" gerutu Ring mempersilakannya masuk ke dalam sambil memberi jalan.
"M—maaf. Kalau gitu, permisi..." sahut Aruthor kemudian masuk.
Setelah Aruthor masuk, Ring menutup pintu kamarnya.
"Silakan duduk dimana pun kamu mau, kecuali di ranjang tentunya" ujar Ring.
Aruthor kemudian duduk di bangku panjang yang menyender di dinding dan menghadap ke ranjang. Sementara Ring memilih untuk duduk di tempatnya duduk sebelumnya.
"Baiklah, apa kamu tahu alasanku memanggilmu kemari?" tanya Ring seolah sedang menginterogasi.
"A—apakah itu tentang menaiki tangga kedewasaan?" terka Aruthor.
"Hah?" sahut Ring terkejut dan bingung.
"Hah?" ucap Aruthor sama bingungnya.
Ring pun memegangi keningnya dan lalu melirik ke arah Aruthor.
"Itu menjijikan, Aruthor. Tak kusangka kamu memikirkan hal-hal semacan itu dikepalamu" gerutu Ring dengan sorot mata kecewa.
"Hal-hal semacam itu?" sahut Aruthor.
"Sudahlah, biar kutegaskan padamu aku sama sekali memiliki ketertarikan itu padamu. Jadi maaf. Alasanku mengundangmu kemari adalah untuk membicarakan yang terjadi di antara kita sebelumnya" ungkap Ring.
"Yang sebelumnya?" tanya Aruthor.
"Aku memintamu kemari adalah untuk minta maaf masalah yang waktu itu. Sepertinya aku kurang sensitif tentang keadaanmu dan perasaanmu saat itu" jawab Ring.
Aruthor sedikit terbelalak karena baru sadar hal yang dimaksudkan oleh Ring.
"Ah ti—tidak, harusnya a—aku yang minta maaf kan? Aku sudah berbuat hal yang seenaknya dan egois padamu. Aku menghabiskan makanan itu sendiri. Aku melampiaskan kekesalan dan kesedihanku padamu, nona Ring. Harusnya aku tak melakukannya karena kamu sama sekali tak ada hubungannya dengan masalahku..." ungkap Aruthor sambil berdiri.
Ring terkejut dengan pernyataan Aruthor.
"A—aku minta maaf!" lanjut Aruthor sambil bersujud kepada Ring.
Melihat itu Ring pun tersenyum sambil menghembuskan napas lega.
"Tak kusangka kamu juga akan minta maaf seperti itu. Kupikir kamu hanya lah orang yang egois. Sudah, bangunlah. Angkat kepalamu, aku sudah memaafkanmu" balas Ring sambil bangkit dari duduknya dan menghampiri Aruthor yang bersujud di hadapannya.
Ring pun membangunkan Aruthor.
"Lagipula, kamu sendiri, apa kamu memaafkanku?" tanya Ring kemudian.
"Memaafkan nona Ring? Tapi kan nona Ring tidak—" sahut Aruthor.
"Apa kamu memaafkanku?" potong Ring mengulangi pertanyaannya.
"Y—ya" jawab Aruthor.
"Baiklah, sekarang kita sudah saling memaafkan, masalahnya sudah beres, kan? Apa kamu lapar?" tanya Ring lagi sambil berjalan menghampiri meja laci.
"Y—ya..." jawab Aruthor.
"Kebetulan aku membeli makanan saat berbelanja sebelumnya. Apa kamu suka ayam bakar pedas?" ungkap Ring kemudian menyerahkan satu bungkus makanan ke arah Aruthor.
Itu adalah makanan yang dibeli Ring sebelumnya. Ia menyerahkan yang memiliki bungkus biasa yang memiliki satu tusukan lidi. Sementara miliknya yang merupakan pesanan khusus dibedakan dengan cara diberi dua tusukan lidi di bungkusnya.
"Ayam bakar pedas!? Sudah lama aku tak memakannya! Selama ini aku hanya makan dengan lauk ikan asin. Akhirnya aku bisa memakan daging ayam lagi" jawab Aruthor sambil menerima bungkusan daun berisi ayam bakar tersebut.
"Baguslah, sepertinya aku tak sia-sia membelikannya" sahut Ring tersenyum senang.
"Lalu yang satu lagi itu untuk siapa?" tanya Aruthor yang melihat ada satu bungkus lagi di atas meja laci itu.
"Oh, itu. Itu untuk penguping kita. Bukankah anda lapar juga, nyonya Marquess?" jawab Ring lalu beralih berbicara ke arah pintu kamarnya.
"Nona Ring, kamu berbicara kepada siapa?" tanya Aruthor.
"Ayo jangan malu-malu. Saya tahu anda ada di sana? Saya punya kemampuan merasakan ‹mana› jadi, tak ada gunanya anda berpura-pura tak mendengar saya" lanjut Ring.
Pintu kamar Ring pun secara perlahan terbuka, dan lalu sesosok perempuan masuk ke dalam ruangan. Itu adalah Mellin yang masih menggunakan gaun yang sama seperti ketika berpapasan dengan Aruthor sebelumnya.
"Nyo— Mellin!? An— kamu mengikutiku!?" tukas Aruthor kaget.
"(Hm? Kenapa Aruthor memanggilnya dengan nama depan dan menggunakan bahasa non-formal dengan nyonya Marquess??)" gumam Ring heran.
"Maafkan aku, pangeran Aruthor. Aku hanya penasaran bagaimana jadinya proses baikan kalian. Jadi aku sedikit menguping kalian, tidak apa-apa kan?" balas Mellin.
"(Apanya coba yang sedikit menguping? Dia sudah ada di sana sejak awal pembicaraan kami)" gerutu Ring sambil menatap sayu pada Mellin.
"Y—ya, aku rasa begitu..." jawab Aruthor pada Mellin.
"Kembali ke topik, nyonya Marquess, apa anda lapar? Saya telah membelikan makanan untuk anda. Maaf jika ini makanan biasa dan murah, apa anda tak apa makan ayam bakar pedas? Anda tidak membenci makanan pedas kan?" ujar Ring menyodorkan sebungkus ayam bakar pedas kepada Mellin.
Diserahkan itu, Mellin secara reflek menerimanya begitu saja.
"Ayam bakar pedas? Apa itu hanya pedas saja? Aku tidak benci makanan pedas sih, malah aku menyukainya. Tapi jika itu hanya pedas saja sih..." keluh Mellin.
"Tenang saja, saya sudah melihat sendiri bagaimana mereka memasaknya. Mereka menggunakan bumbu dengan campuran rempah-rempah. Jadi itu takkan hanya terasa pedas saja, tentu saja akan ada rasa lainnya. Tapi jangan terlalu berharap juga sih, karena pastinya mereka juga takkan mampu menggunakan rempah mahal untuk menekan biaya modal dan harga jualnya supaya tak jadi terlalu mahal. Perbungkusnya hanya dijual seharga 20 Shine soalnya" jelas Ring.
"Sebungkus sebesar ini hanya 20 Shine ya? Tapi aku jadi penasaran. Aku belum pernah makan makanan rakyat jelata soalnya" ujar Mellin.
"Kalau begitu, mari duduk dan kita coba bersama saja" ajak Ring lalu duduk kembali di tempat duduknya sebelumnya.
Aruthor juga kembali duduk di bangkunya. Sementara Mellin duduk di tepi ranjang. Mereka sama-sama membuka bungkusan daun itu dan nampaklah daging ayam bakar dengan bumbu yang memiliki kesan warna pedas manis melumurinya. Aromanya juga sedap sekali membuat mereka tidak sabar untuk segera memakannya.
"Mari kita makan! Ah, jangan lupa untuk berdoa dulu sebelum makan ya!" tambah Ring kemudian meletakan bungkusan itu di pangkuannya.
Mereka bertiga pun berdoa dalam hati menurut kepercayaan mereka masing-masing.
"Selesai. Baiklah, selamat makan!" ucap Ring.
"Selamat makan!" sahut Aruthor dan Mellin bersamaan.
Mereka bertiga pun mulai memakan daging ayam bakar pedas itu. Potongan daging yang mereka pilih pertama tentu saja adalah daging paha. Karena bagian itu adalah ciri khas daging ayam yang paling menegaskan kalau itu adalah daging ayam.
"Uwah! Pedas!" komentar Aruthor.
"Rasa pedasnya dominan, tapi ada rasa manisnya juga. Rasa yang sederhana namun entah kenapa aku menyukainya" komentar Mellin yang memakannya dengan anggun.
"Yang penting bagiku adalah harganya murah. Rasa yang enak hanyalah bonus" ungkap Ring yang memiliki pandangan berbeda.
Mereka menghabiskan potongan pertama dengan cepat. Dilanjutkan potongan kedua dan ketiga. Lalu saat hendak memakan potongan yang terakhir, mereka terkejut dengan potongan daging yang ada di tangan Ring.
"Itu bentuk yang unik. Kalau boleh tahu itu daging bagian mana?" tanya Mellin penasaran.
"Oh ini? Ini adalah bagian leher dan kepala!" jawab Ring dengan polosnya.
"Leher..." ucap Mellin.
"...dan kepala?" tambah Aruthor.
"EEEHH!!??? LEHER DAN KEPALA!!!????" Mellin dan Aruthor pun terkejut berbarengan.
"Kalian berisik! Aku sedang makan saat ini" protes Ring lalu mulai melanjutkan memakannya lagi.
"Aku tak menyangka nona penyihir ternyata punya selera yang unik ya" ujar Mellin.
Aruthor mengangguk setuju.
Ring memalingkan kepalanya dengan ekspresi cemberut.
****
Di dalam hutan yang gelap, terlihat beberapa orang berkuda yang kebingungan.
"Tch, kemana perginya elf itu!"
"Aku tak lagi melihat jejaknya. Sepertinya kita kehilangan jejaknya."
"Tapi jika kita pulang dengan tangan kosong, kita pasti akan dimarahi oleh boss."
"Siapa peduli! Yang penting kita sudah berusaha!"
"Ya, itu benar. Ini bukan sepenuhnya salah kita, kan?"
"Ya. Yang salah di sini adalah mereka yang lengah dan membiarkan elf itu lepas sejak awal. Elf itu terkenal tangkas dan mahir menggunakan sihir. Kita bukanlah tandingannya dalam hal kejar-kejaran!"
"Bisa dibilang ini misi mustahil sejak awal ya."
"Ayo kita kembali!"
"Ya!"
"Ya!"
Mereka pun memacu kuda mereka kembali menuju ke kota. Tanpa mereka ketahui elf yang mereka cari saat ini sedang mengintip di atas salah satu pohon yang tak begitu jauh.
"Akhirnya mereka menyerah juga. Melelahkan sekali aku harus terus berlari dalam keadaan perut kosong seperti ini. Mungkin aku harus berburu sesuatu untuk mengisi perutku" ujar elf itu kemudian melompat turun dari pohon.
Elf itu kemudian berjalan menjauh kota menyusuri hutan yang cukup lebat tersebut.
"Tapi kira-kira siapa yang menembakkan panah itu ya? Terlebih lagi sampai bisa mengimbuhkan sihir angin ke panahnya. Dia pasti seorang yang sangat handal" komentar elf tersebut sambil terus berjalan.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang membuatnya berhenti seketika. Matanya terbuka lebar seolah terkejut.
"Ada hawa busuk mendekat kemari. Arahnya dari utara!? Tch, kenapa mesti di saat seperti ini? Aku bahkan belum menemukan apapun untuk dimakan! Aku harus segera pergi menjauh dari sini!" gerutu elf itu kemudian berlari ke arah barat daya, menjauhi arah utaranya saat ini.
Di arah utaranya, dengan jarak sekitar 1 kilometer.
"Hmm... hamba mencium bau elf, tuan Bandhel" ucap sesosok makhluk berwajah mengerikan dan bertubuh kecil.
"Abaikan saja. Saat ini kita sedang memiliki misi penting dari Yang Mulia Arcduke. Jadi bagaimana keadaan kotanya?" tanya makhluk humanoid lain yang terlihat lebih mirip manusia namun memiliki 3 tanduk di kepalanya.
"Tepat seperti yang kita harapkan, tuan Bandhel. Mereka lengah dan banyak celah masuk untuk kita. Kita bisa menyusup masuk kapanpun yang kita inginkan melalui rute yang sudah saya temukan" ungkap makhluk mirip seperti pencampuran goblin dan undead itu.
"Kerja bagus. Aku akan segera menyiapkan pasukan" balas Bandhel.
"Hehehe... terima kasih. Saya yang hanya Imp ini merasa tersanjung atas pujian anda pada saya, tuan Bandhel" sahut makhluk yang mengaku sebagai imp itu, yang merupakan salah satu jenis demon tingkat rendah.
Sementara yang diajak bicara oleh imp itu juga adalah seorang demon. Demon tingkat tinggi yang merupakan seorang kapten pasukan khusus milik Arcduke Clausolas Collosalus. Dan saat ini ia sedang menghampiri pasukannya yang duduk di tanah menunggu perintah. Jumlah mereka ada sekitar 12 orang dengan armor dan senjata lengkap. Armor mereka pun terlihat memiliki desain yang mengerikan. Bagian badan armor itu terlihat seperti wajah monster yang menakutkan. Armor yang sangat mengintimidasi. Apalagi semua armor mereka berwarna hitam dengan paduan warna merah. Seakan mereka ingin mempertegas kalau mereka adalah mimpi buruk yang berjalan.
"Kita akan menyusup ke kota malam ini. Apa kalian sudah siap?" tanya Bandhel pada para bawahannya itu.
"Tentu saja kami siap."
"Kami sudah lama menunggunya, kapten."
"Akhirnya saatnya datang juga ya."
Semua bawahannya tampak semangat menyuarakan kesiapan mereka.
"Bagus. Ayo kita mulai bergerak. Gunakan sihir kamuflase kalian" ujar Bandhel.
Semua demon itu pun menjadi tembus pandang, termasuk kapten mereka. Kemudian mereka menghampiri imp yang sedari tadi sudah menunggu.
"Ayo berangkat!" ajak Bandhel.
"Siap, tuan Bandhel" sahut imp itu.
Kemudian imp itu berubah wujud menjadi seekor tikus dan tikus itu pun berlari memandu pasukan demon tak kasat mata itu menuju ke kota Agness. Tikus perwujudan imp itu berlari menuju ke sebuah gubuk tua tak terurus.
"Kenapa kau membawa kami kemari?" tanya Bandhel.
"Hehehe... tuan Bandhel mungkin tidak tahu, tapi ini adalah salah satu rute rahasia saya untuk menyusup ke kota yang paling mungkin untuk bisa digunakan oleh tuan dan pasukan tuan" jelas imp yang kini berwujud tikus itu.
Tikus itu masuk ke gubuk tersebut dan turun ke ruang bawah tanah gubuk itu.
"Ayo masuk, tuan-tuan" ajak tikus itu.
Pasukan tak kasat mata itu pun masuk ke dalam gubuk dan turun ke ruangan bawah tanah mengikuti tikus yang memanggil mereka.
"Oh, tak kusangka ada tempat semacam ini di bawah gubuk reyot itu. Biar kutebak, ini jalan rahasia untuk rute pelarian bangsawan di kota itu?" terka Bandhel.
"Bukan, tuan Bandhel. Ini adalah jalan rahasia khusus walikota dan keluarganya. Para bangsawan tidak tahu hal ini. Malahan sebelumnya ini adalah rute keluar masuk serikat pencuri, namun setelah pemimpin mereka berhasil terpilih menjadi walikota melalui pemilihan umum, bekas markas rahasia mereka dijadikan kediaman mansion walikota. Dan semua anggota serikat mereka menjadi berbagai macam penjabat kota. Bahkan mereka melegalkan lelang budak saat ini karena izin walikota yang baru" jelas imp itu mengungkapkan.
"Hmm... begitu rupanya. Apa terpilihnya walikota itu adalah karena kau?" tukas Bandhel.
"Hehehehe... tentu saja, tuan Bandhel. Tak mungkin seorang pimpinan serikat pencuri bisa menjadi walikota begitu saja kan? Dan berkat itu, saya bisa mengamankan rute ini untuk menjalankan rencana kita. Hehehehe…" jawab imp yang masih berwujud tikus itu.
"Kerja bagus! Kerja bagus! Jadi bagaimana cara membuka pintu ini? Apa kamu punya kuncinya? Tapi aku tak melihat lubang kunci di pintu ini. Perlukah aku mendobraknya untukmu?" tanya Bandhel penasaran.
"Tolong jangan, tuan Bandhel. Jika pintu ini didobrak paksa, maka akan menghidupkan sistem alarm yang akan memberi peringatan ke kediamann walikota. Pergerakan kita bisa ketahuan jika itu terjadi. Alasan pintu ini tak punya lubang kunci adalah karena pintu ini hanya bisa dibuka dari dalam. Sebentar…" jelas imp itu.
Lalu tikus perwujudan imp itu masuk ke dalam lubang di sebelah pintu, lalu tak lama kemudian terdengar suara kunci yang dibuka.
"Sudah selesai, tuan Bandhel. Silakan didorong pintunya" pinta imp tadi suaranya terdengar dari balik pintu.
Bandhel mendorong pintu itu dan pintu itu pun terbuka dengan mudahnya. Di balik pintu terlihat tikus yang tampak berdiri menunggu.
"Silakan ikuti saya lagi!" ajak imp berwujud tikus itu.
Mereka pun pergi menyusuir lorong panjang itu. Lorong yang gelap tanpa penerangan sedikit pun. Namun mereka adalah demon, mereka memiliki penglihatan malam yang baik. Meski minim cahaya, tidak sulit bagi mereka untuk melihat sekitarnya.
Di dalam kediaman walikota, terlihat saat ini walikota sedang menikmati pemandangan kota sambil menikmati segelas wine.
"Hmm… tak ada yang lebih baik daripada menikmati pemandangan kota di malam hari sambil ditemani segelas wine" ungkap walikota itu seolah sangat menikmati hidupnya.
Setelah meminum habis wine di gelasnya, dia kemudian mencoba untuk menuangkan wine untuk mengisi gelasnya kembali. Namun terlihat botol itu ternyata kosong jadi tak ada setetes pun yang tertuang ke gelasnya.
"Tch, sudah habis ya! Pelayan!!! Cepat kemari!!!" panggil walikota dengan emosi.
Seorang butler lalu masuk ke dalam ruangan dan membungkuk kepada walikota.
"Ya, apa yang bisa saya bantu, tuan" ucap butler itu.
"Bawakan aku satu— tidak, dua botol wine lagi kemari. Cepat!" suruh walikota.
"Saya laksanakan, tuan" sahut butler itu kemudian bergegas pergi meninggalkan ruangan.
Walikota itu pun kembali menghadap ke jendela menikmati pemandangan.
"Malam masih panjang, kenapa aku harus terburu-buru untuk meninggalkan hal ini hanya untuk tidur? Hahahaha! Tidur hanya untuk orang lemah!" tegas walikota itu.
Namun setelah sekian lama menunggu butler-nya kembali, butler itu tak kunjung kembali juga. Sampai gelas ditangannya benar-benar mengering saat ini, pelayan yang diminta untuk membawakannya dua botol wine itu tak lagi kelihatan batang hidungnya.
"Mana nih, kok tidak balik lagi tuh pelayan?" gerutu walikota itu.
Semakin lama ia semakin kesal menunggu. Lalu ia pun membanting gelas di tangannya itu ke lantai hingga menimbulkan suara pecah yang cukup keras. Namun meski begitu nampak tidak ada yang datang padanya.
"Pelayan! Kemana kalian!? Mendengar suara gelas pecah kenapa kalian diam saja? Kalian aku upah untuk melayaniku! Pelayan! Woy!" panggil walikota itu sambil menggerutu.
Saat baru lah terdengar sebuah ketukan di pintu.
"Akhirnya ada yang datang juga. Kenapa pakai ngetuk pintu segala! Harusnya kalian bergegas menemuiku, tak perlu mengetuk pintu. Masuk!" suruh walikota itu.
Pintu itu pun terbuka, namun yang datang bukanlah pelayan.
"Maaf membuat anda salah paham, tapi saya bukan pelayan anda, walikota" ujar sosok laki-laki muda yang berwajah tampan.
"Gottz, sedang apa kau di kediamanku jam segini? Kalau ada urusan, buatlah proposal pertemuan dahulu. Jangan asal masuk saja!" protes walikota heran.
"Hehehe… sepertinya anda mulai tak tahu diri, walikota. Yang membuat anda bisa ada di sini pun itu karena saya. Jadi terserah saya mau kapanpun saya bertemu dengan bawahan saya, kan?" tukas sosok laki-laki muda berpakaian mewah itu.
"Tch, jangan mencoba beromong kosong, aku jadi walikota adalah karena karismaku. Jangan hanya karena tampan sedikit kau jadi sok ya!" bentak walikota mulai kesal.
"Sepertinya anda memang terlalu bodoh untuk menyadarinya ya…" ujar laki-laki tampan itu.
Kemudian perlahan wajahnya mengalami suatu perubahan. Kulit wajahnya bergerak-gerak dan mulai berubah. Wajahnya yang tampan itu kini menjadi mengerikan. Wajah yang mirip perpaduan goblin dan mayat hidup. Sementara tinggi tubuhnya juga berubah bersamaan dengan warna kulitnya yang jadi gelap pucat. Bukan gelap kulit manusia namun lebih ke gelap seperti daging yang hangus.
Sosok imp pun menunjukkan wujud aslinya dan mengagetkan walikota itu.
"Sekarang saya akan menagih jiwa anda, walikota" lanjut imp itu.
"Demon!? Bere—" ucap walikota namun terpotong.
Benar-benar terpotong secara harfiah. Tubuh walikota itu terbelah menjadi dua tepat di bagian tengah. Darah pun muncrat menyemprot membasahi ruangan itu. Ke dinding, ke karpet bahkan ada yang sampai lampu hias di atasnya juga. Tubuh walikota yang sudah terbelah dua itu pun jatuh di tanah.
Di belakang walikota itu berdiri sebelumnya pun muncul sosok demon ber-armor yang tak lain adalah Bandhel. Dengan kaptennya melepaskan kamuflasenya, para bawahannya pun juga melakukan hal yang sama. Dan ternyata mereka semua sudah berada di dalam ruangan membentuk lingkaran di sekeliling tubuh yang sudah terbelah dua itu.
"Dasar manusia bodoh. Bahkan dia tidak sadar kalau dia sudah kita kepung."
"Mau bagaimana lagi, kita adalah makhluk yang lebih tinggi dari mereka."
"Kapten, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Terlihat Bandhel saat ini sedang menatap kota melalui jendela.
"Tidak menyenangkan kalau langsung memporak-porandakan kota ini. Kita akan menciptakan kekacauan terlebih dahulu di dalam kota ini. Baru setelah itu kita berikan pada mereka hadiah kejutan mereka" ungkap Bandhel sambil tersenyum jahat.
"Oh itu ide yang sangat bagus sekali kapten!"
"Kapten memang jenius!"
Mendengar pujian itu, Bandhel pun tertawa. Bawahannya pun ikut tertawa bersama kapten mereka itu.
"Para manusia bodoh itu takkan menyadarinya sebelum akhirnya semua akan terlalu terlambat bagi mereka" ucap Bandhel dengan tersenyum yakin.
****