Part 2

Aku membenamkan diriku di atas sofa yang ada di ruang apartemenku. Sebuah selimut mengerubuti tubuhku, sedangkan sepasang mataku memandang nanar layar LED yang tertanam pada tembok di depanku.

Tanpa sadar mataku menatap shopper bag kulit yang semalam aku letakkan begitu saja di atas meja kerja yang ada di sudut ruang apartemenku. Benakku bisa melihat surat wasiat yang terlipat di dalam sana berubah wujudnya menjadi sosok sahabatku.

Aku membayangkan Amelia duduk di kursi yang ada di belakang mejanya. Kepalanya tergeleng sedih melihat bagaimana kondisiku saat ini. Terpuruk di atas sofa dengan wajah sedikit membengkak. Aku seperti onggokan karung pasir yang tak berdaya setelah semalaman menenggak champagne bergelas-gelas sembari menangis sendirian di apartemen.

Meski semalam aku sudah minum hampir dua liter air putih, dilanjut dengan pagi harinya makan sarapan yang banyak, tetap saja kepalaku terasa berat hingga sekarang. Beruntung hari Sabtu sudah menyelamatkanku hingga aku tak perlu datang ke kantor dengan kondisi seperti saat ini.

Aku menyadari, bukan hanya awan alkohol yang menutupi benakku sekarang, tetapi juga sosok Amelia.

"Kamu jahat, Amelia! Melemparkan semuanya padaku, lantas kamu memilih untuk mati!" Gumamku memandang Amelia yang membalas tatapanku dengan lembut dari kursinya. "Mengapa kamu tega melakukan ini padaku? Kamu tahu, kan? Satu hal yang tak pernah ingin kulakukan adalah menikah!"

Wajahku berkerut kesakitan. Permintaan Amelia seperti menggarami kembali luka yang pernah kurasakan bertahun-tahun yang lalu. Ketika papa memutuskan pergi dari rumah dan pada akhirnya kedua orang tuaku bercerai. Meski mamaku berulang kali menyatakan kalau semua ini adalah keputusan mereka berdua, tetap saja aku tak pernah bisa memaafkan apa yang sudah dilakukan papa kepada mama, aku dan Joycelin--kakak perempuanku.

Hingga mamaku meninggal dunia, dan beberapa bulan kemudian papa menikah lagi, itulah titik terendah dalam hidupku. Aku tak pernah menginginkan kehadiran papaku lagi dalam hidupku, jiwaku jatuh dari atas tebing dan hancur berserakan di tanah.

Menerima peristiwa semacam ini, apalagi yang bisa direkam dalam benak gadis muda berumur 17 tahun selain kemarahan dan kebencian? Aku membenci laki-laki dan menganggap mereka semua tak lebih baik dari papaku.

Kalau aku tidak memiliki Amelia dan kedua orang tuanya sebagai tempat pelarianku, mungkin aku sudah mengakhiri hidupku untuk menyusul mama. Dan, Evangeline hanya akan tinggal sebuah nama yang tercetak di atas batu nisan.

Berbulan-bulan aku hidup di rumah keluarga Amelia. Mereka tidak hanya memberiku makan dan tempat tinggal, tetapi juga membantu merekatkan kembali jiwaku yang berkeping-keping. Perlahan aku bisa bangkit, melanjutkan kuliahku dan bekerja hingga sekarang.

Apa yang sudah Amelia dan keluarganya lakukan begitu besar artinya dalam hidupku. Tak terkira. Bahkan aku tak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikan mereka.

Hingga saat ini.

Ketika Amelia memohon padaku lewat surat wasiat yang ia tulis dengan tangannya sendiri.

Ya Tuhan.

Aku akan melakukan apapun demi Amelia, demi baby Juna. Tetapi tidak dengan cara menikahi Max! Pria dingin dan minim ekspresi, begitu menurutku ketika tiga tahun yang lalu Amelia menanyakan pendapatku tentang pria yang dijodohkan orang tuanya dengan dirinya.

"Max sangat baik dan penuh perhatian, Eva. Aku harus mengenal Max lebih jauh untuk bisa melihat kepribadian dirinya yang sebenarnya." Aku ingat bagaimana kedua bola mata Amelia berbinar.

Ya, Amelia jatuh cinta pada Max sejak pertama kali melihatnya. Amelia sangat mencintai Max, hingga rela mengorbankan nyawanya sendiri demi memberi pria tersebut seorang keturunan.

Sial. Sayangnya, aku tak pernah melihat di mana sisi kebaikan seorang Max. Di mataku, Max hanyalah pria yang kebetulan dikaruniai wajah tampan tetapi sikapnya dingin dan sedikit angkuh padaku.

Dan sekarang, Amelia menjodohkannya denganku!

"Mengapa kamu memberiku sebuah pilihan yang teramat sulit, Amelia?"Sepasang manik mataku kembali memandang Amelia. Tatapanku penuh tuntutan padanya.

Namun, Amelia tak menjawab. Ia hanya memberiku senyuman dengan sorot mata teduhnya. Aku merasa kesulitan membaca apa yang hendak ia katakan melalui matanya. Apalagi, perlahan sosoknya memudar, dan terus memudar.

"Amelia, jangan pergi! Jangan pergi! Amelia!"

Aku gelagapan. Dering ponsel dari atas meja di depan sofa sudah memaksa kedua kelopak mataku terbuka.

Oh. Shit. Ternyata aku tertidur di sofa dan lagi-lagi, aku memimpikan Amelia.

Sedikit enggan, tanganku menyibak selimut dan membawa tubuhku beringsut dari sofa untuk meraih ponsel. Dahiku mengernyit sesaat melihat nomor tak kukenal mengambang di atas layarnya.

Apakah aku punya janji dengan salah seorang customer-ku sekarang? Kalau benar aku sudah melupakan janjiku, maka tamatlah riwayatku sekarang!

Sial.

Dengan dada berdebar dan punggung menegak di atas sofa, aku menggeser layar dan menekan speaker-nya.

"Halo?" Suaraku meluncur hati-hati.

"Eva?" Terdengar suara rendah dan berat. Aku mengernyit. Customer-ku tidak mungkin memanggilku sepribadi ini, kecuali..

"Ya?" Shit. Bukan. Bukan. Bukan.

Aku memejamkan mata, merasakan bagaimana dadaku merenyut tak karuan. Kegelisahan perlahan menggelenyar di sekujur punggungku.

"Aku Max." Sial! Aku terlonjak dengan mata kelopak mata terbuka lebar karena gugup. Ponselku nyaris meloncat dari telapak tanganku.

Sejak Amelia koma di rumah sakit, beberapa kali aku berbicara dengan Max, tetapi komunikasi kami sangat terbatas. Aku sengaja mengunjungi Arjuna di rumah mereka saat Max tidak ada di rumah. Begitu juga, aku akan menjenguk Amelia di rumah sakit saat Max tidak sedang menunggui istrinya tersebut.

Sekarang, kuduga Max menghubungiku kali ini pasti ada hubungannya dengan surat wasiat Amelia, meski aku tidak meyakini sepenuhnya.

"Ya?" Nah, sekarang aku benar-benar menjadi Eva yang bodoh.

"Maafkan aku. Apakah aku sudah mengganggumu? Suaramu terdengar.. lelah." Suara berat Max terdengar hati-hati. Sedikit mengherankan di telingaku, ternyata Max masih memiliki perasaan juga. Dia pasti menangkap suaraku yang terdengar serak khas bangun tidur.

"Tidak apa-apa, Max. Aku hanya tertidur di kursi. Mm.. Arjuna baik-baik saja?" Aku membuat suaraku terdengar ringan, dan menekan dalam-dalam kegugupanku. Aku sangat merindukan baby Juna. Terakhir aku mengunjungi baby Juna empat hari yang lalu, di sela-sela pekerjaan usai aku bertemu salah seorang customer-ku di luar kantor.

Sejak Amelia meninggal, entah perasaan itu datang darimana, aku merasa tak nyaman berada di dekat Max. Sebisa mungkin aku menghindar dari Max dan tak bertemu dengannya.

Sekarang, surat wasiat Amelia membuat situasi kami semakin canggung. Setidaknya bagiku, entah bagi Max..

"Juna baik-baik saja. Hanya sedikit rewel karena giginya mau tumbuh." Balas Max dengan tenang.

"Oh?" Aku mengangguk seolah Max bisa melihat anggukan kepalaku. Aku salut dengan perhatian yang diberikan Max pada putranya meski kuduga, Max pasti orang yang sangat sibuk sekali. "Maafkan kesibukanku, Max. Minggu depan aku akan coba meluangkan waktu untuk mengunjungi Juna."

"Aku mengerti. Terima kasih, Eva. Juna pasti senang sekali kamu kunjungi." Max sengaja menciptakan keheningan membentang di antara kami, membiarkanku berkubang dalam kegelisahan menantikan kalimat yang sebentar lagi akan meluncur dari mulutnya. "Tentang Juna.. aku sudah menghubungi Tuan Jeff. Apakah kamu sudah membaca isi surat wasiat Amelia?"

Tuhan. Akhirnya kami tiba di sana.

"Ya." Balasku kaku. Telingaku belum mendengar balasan dari Max, mungkin ia merasa canggung sama sepertiku. Sebelum akhirnya aku mendengar desah suara beratnya.

"Bisakah kita berdua bertemu? Mengobrol tentang ini? Terserah padamu kapan waktunya, aku akan menyesuaikan."

Mulutku terkatup dalam bimbang. Aku belum siap untuk bertemu Max, apalagi membicarakan tentang surat wasiat Amelia.

"Maafkan aku, Max. Jujur saja, aku.. baru membacanya kemarin sore dan sekarang masih sedikit shock. Aku.. aku butuh waktu untuk mencerna surat wasiat Amelia. Mungkin.. dalam beberapa hari atau satu minggu, aku akan memberitahumu nanti."

"Aku mengerti, Eva. Surat Amelia pasti sangat mengejutkanmu. Dan.. agar kamu tahu kalau aku tidak membutuhkan jawaban darimu segera. Kumohon, jangan salah paham dan mengira aku mendesakmu. Kupikir, saat ini pasti banyak pertanyaan di benakmu sekarang tentang surat wasiat itu dan aku ingin membantumu. Itulah tujuanku mengajakmu untuk bertemu."

Giliranku membiarkan keheningan menjerat kami berdua. Aku menangkap maksud Max, tetapi pernyataannya tidak cukup menghalau kabut yang melingkupi benakku saat ini.

Otakku benar-benar tak bisa diajak bekerjasama sekarang.

"Baiklah, Max. Akan aku pikirkan di sepanjang minggu ini." Suaraku mendesah lelah. Aku kewalahan dengan kejadian kemarin dan sekarang panggilan Max.

"Okay. Terima kasih, Eva. Aku berharap dalam satu minggu ini kamu bisa berpikir dengan tenang."

"Tentu, Max. Aku juga berharap begitu."

Kami saling mengucapkan selamat tinggal. Aku segera mematikan ponsel dan membanting kembali tubuhku di atas sofa.

Tuhan. Bayangan Amelia, Arjuna, Max dan surat wasiat itu terus berputar-putar di dalam rongga kepala. Membuatku pening.

Aku berdiri terhuyung-huyung dan menyeret kakiku dengan susah payah kembali ke kamar. Tidur panjang adalah solusi terbaik untuk saat ini. Aku berharap Amelia tidak datang berkunjung dalam mimpiku kali ini.

Semoga.