Part 3

Mataku fokus mencermati kertas-kertas berisi appraisal contract yang diserahkan oleh credit officer padaku. Aku masih memiliki tumpukan dokumen lainnya yang harus aku pelajari sebelum menyerahkannya kembali ke bagian kredit.

Aku tidak memiliki jadwal untuk bertemu customer hari ini. Dalam dua hari kemarin aku menghabiskan waktuku di luar untuk bertemu dengan para calon customer potensialku. Membuat diriku sesibuk mungkin dengan harapan aku bisa mengeluarkan surat wasiat Amelia sejenak dari kepalaku sehingga aku bisa berpikir dengan lebih jernih.

Alih-alih berpikir jernih, Amelia selalu mengikuti ke mana pun aku pergi. Tertanam dalam benakku seperti akar pohon, makin dalam dan semakin dalam. Aku gelisah dan tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan dengan surat wasiat Amelia tersebut.

Seolah memahami situasiku, Max belum menghubungiku kembali sejak terakhir panggilannya pada hari Sabtu yang lalu. Seperti yang laki-laki itu katakan padaku, ia sengaja memberiku ruang dalam satu minggu ini untuk berpikir dengan tenang. Walaupun setiap detik yang aku lewati adalah bom waktu bagiku.

Take it or leave it.

Ya atau tidak.

Ya Tuhan. Aku dikelilingi tembok di mana-mana, berjalan di tengah labirin yang aku tak tahu arahnya.

Take it. Aku mengambil resiko menerima Max sebagai suamiku, meski aku sama sekali tak mengenal laki-laki tersebut apalagi mencintainya.

Tetapi cinta bisa datang setelahnya. Sayangnya, aku tak tahu kapan akan terjadi. Bisa saja tak pernah terjadi mengingat trauma yang sudah dijejakkan begitu kuatnya oleh papaku sendiri.

Or Leave it.

Mengabaikan isi surat wasiat itu, tetapi aku akan kehilangan kesempatan untuk membesarkan baby Juna seperti yang dikehendaki Amelia, dan-- kemungkinan besar, setelahnya aku akan terus dikejar oleh rasa bersalah.

Tanpa kusadari, satu tanganku sudah naik dan memijit kecil-kecil pelipisku. Mentalku tidak siap andai pada akhirnya aku akan mengambil keputusan salah satunya.

"Eva! Eva! Ya ampun. Apa sih yang sedang kamu pikirkan sampai tak mendengar aku memanggilmu berkali-kali dari kursiku."

Mendengar namaku dipanggil, aku menegakkan kepala dengan cepat tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku mendapati Agnes, rekan sesama divisi marketing tengah berjalan ke arahku. Tangannya berkacak pinggang saat tiba berdiri di depan mejaku.

"Kamu ada masalah apa? Sepertinya serius banget, sampai kepalamu harus dipijit-pijit begitu." Bola mata Agnes menatapku ingin tahu. Aku menggeleng dan melemparkan senyum seringan mungkin. Tak menduga kalau keresahanku sudah sangat terlihat dari luar.

"Tidak. Tidak ada yang serius. Thanks untuk perhatianmu."

"Tadi telepon di meja Zeline berbunyi, ternyata reseptionist sudah salah sambung. Seharusnya ia ingin bicara denganmu. Eh, bukannya telepon lagi dengan nomor extension yang benar, dia malah titip pesan kalau kamu ada tamu. Tidak sopan." Agnes berdecak kesal.

"Maaf, jadi merepotkanmu, Agnes. Thanks juga sudah menyampaikannya padaku." Aku memberikan senyum tulus sebagai permintaan maafku.

Aku tak bisa menebak siapa yang datang mengunjungiku di kantor siang-siang begini. Customer biasanya tak pernah mau bila harus datang ke kantor, kecuali benar-benar terpaksa. Mereka lebih menyukai menghubungi ponselku langsung dan kami membuat janji bertemu di luar.

Siapa yang datang?

Aku beranjak dari kursi. Tak ketinggalan tanganku menyambar buku catatan yang selalu aku bawa ke mana pun serta ponselku. Sebelum berlalu, aku menyempatkan menepuk lengan Agnes lembut agar wanita tersebut tidak keki-kaki amat padaku.

"Hari ini aku masih ikut pulang bersamamu, bisa? Mobilku masih di bengkel." Wajah cemberut Agnes berubah menjadi penuh harap.

"Tentu saja boleh." Bergegas aku membawa tubuhku menuju ke guest room di lantai satu.

"Thanks, Eva!" Suara Agnes bergema di belakangku yang kubalas hanya dengan mengangkat satu tanganku.

Setelah bertanya pada receptionist di mana mereka menempatkan tamuku yang katanya seorang wanita, kakiku bergegas menuju small guest room di lantai dua dengan benak dipenuhi pertanyaan.

Di lantai dua ini hanya terdapat satu big meeting room, dua small meeting room dan empat small guest room. Biasanya tamu-tamu pribadi dan dalam jumlah kecil, oleh receptionist selalu ditempatkan di small guest room. Seperti tamu misteriusku sekarang.

Tanganku mendorong salah satu pintu kayu small guest room yang terletak paling ujung. Aroma manis dan segar dari parfum brand terkenal langsung menyambut lubang hidungku. Mataku mendapati seorang wanita berambut bob sebahu warna dark brown tengah duduk di salah satu sofanya.

Tampaknya wanita bob ini sibuk dengan ponsel di tangannya sehingga tak menyadari kedatanganku di belakang kursinya. Kepalanya yang menunduk sedikit menyulitkanku untuk menebak siapa gerangan dirinya.

"Selamat siang." Sapaku dengan suara akrab dan hangat standar seorang marketing. Mungkin saja wanita ini adalah salah satu calon pundi-pundi bonus akhir tahunku.

"Selamat siang." Akhirnya wanita tersebut mengangkat kepalanya. Suaranya secantik penampilannya yang terlihat glamor dan berkelas. Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Oh. Crap.

Aku pernah melihat wanita anggun ini beberapa kali di rumah sakit tempat Amelia dirawat dalam keadaan koma. Sejak pertama kali melihatnya, aku langsung bisa menebak kalau dia adalah..

"Halo, Eva. Aku Pamela. Kamu pasti pernah mengenalku. Aku adalah mamanya Max, tepatnya mama tiri." Pamela berdiri dan mengulurkan tangannya ke arahku. Untuk wanita yang kutaksir berusia sekitar lima puluhan, Pamela terlihat sangat menarik. Celana hitam ketat dengan blus warna dogger blue yang menonjolkan kesempurnaan tubuhnya yang pasti sangat terawat.

Aku menyambut tangannya dengan sedikit kaku.

Tentu saja aku shock dengan kunjungan wanita bergaya ningrat ini. Setelah surat wasiat Amelia, panggilan dari Max, sekarang adalah kemunculan wanita ini.

Apa yang diinginkan wanita ini dariku? Ketegangan menjeratku tiba-tiba. Jangan katakan Max yang meminta mama tirinya untuk ikut campur dalam masalah ini!

"Senang berjumpa dengan anda, Nyonya Pamela." Aku mempersilahkan wanita cantik ini duduk kembali, sedangkan aku membawa tubuhku duduk di depan sofanya. "Silakan diminum."

Dia menyesap sedikit air putih yang tadi sudah dihidangkan oleh receptionist kami. Lantas meletakkannya dengan gaya elegan sembari berucap.

"Tak perlu formal begitu, cukup panggil aku dengan Pamela saja. Max juga melakukannya." Pamela menyahut dengan tenang. Aku berkedip tak mengerti. Oke-- aku akan mencatatnya di kepalaku.

"Baiklah, Pamela." Terasa tak sopan di lidahku, mengingat aku berbicara dengan wanita yang usianya dua kali lipat dariku. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Sebenarnya kedatanganku tidak terlalu penting sekali. Dan--sebelumnya aku ingin mengatakan kalau aku ikut berduka atas kehilangan yang kamu rasakan pada sahabatmu. Kalian pasti sangat menyayangi, layaknya saudara." Pamela menyibakkan rambut bob sebahunya yang berkilap di bawah cahaya lampu ruangan.

"Oh, terima kasih." Aku tersenyum, menyembunyikan benakku yang berusaha menerka ke mana arah pembicaraan wanita ini. Rasanya tidak mungkin ia datang hanya untuk menyatakan duka cita padaku. "Ya benar. Aku dan Amelia memang sangat dekat, seperti saudara. Kami sudah bersahabat sejak SMA."

"Ya. Aku bisa melihatnya. Bagaimana kamu begitu perhatian dengan Arjuna. Merawat anak itu, meski tidak setiap hari kamu mengunjunginya. Padahal kamu masih gadis, tetapi kamu sudah menganggap Arjuna seperti anakmu sendiri." Pamela tersenyum. Sebaliknya denganku, aku mengernyit dalam hati. Darimana dia bisa mengetahuinya? Aku mulai tak nyaman dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir tipis Pamela.

Apakah ia benar-benar menyanjungku atau justru bermaksud menyindirku?

"Amelia memang memintaku untuk merawat anaknya, Pamela. Dia memintanya dengan sungguh-sungguh. Berkali-kali. Well, perhatian yang kuberikan pada Juna merupakan bagian dari komitmen pada sahabatku."

Tubuhku bergerak sedikit gelisah. Apakah Pamela merasa terganggu kalau aku sering mengunjungi baby Juna? Apalagi statusku masih single, mungkin Pamela berpikir aku sengaja ingin menggoda Max. "Tetapi kamu tak perlu khawatir. Sejak Arjuna lahir, aku sudah meminta izin pada Max kalau aku akan sering mengunjungi putranya, karena apa yang kulakukan semata-mata atas dasar permintaan Amelia. Dan, Max tidak keberatan."

Aku berusaha menekankan kata-kataku kalau apa yang aku lakukan bukan atas kehendakku, tetapi Amelia.

"Ya. Ya. Aku mengerti, Eva. Aku tidak mempermasalahkan hal itu." Pamela melambai kecil tangannya ke arahku. "Justru sebaliknya, aku sangat prihatin dengan keadaanmu setelah Arjuna lahir. Kamu seorang gadis dan masih single, tetapi hanya karena rasa sayangmu pada sahabatmu hingga kamu rela untuk melakukan ini."

Aku berkedip tak mengerti, ke mana sejatinya Pamela ingin membawa pembicaraan kami sekarang?

"Aku tak keberatan melakukannya, Pamela. Walaupun aku harus berbagi waktu dengan pekerjaan, juga waktu untuk diriku sendiri, karena aku ingin Amelia beristirahat dengan tenang dan bisa menyaksikan dari surga kalau anaknya ada yang merawat dan memperhatikannya."

"Namun, apakah tidak terlalu berlebihan--menurutmu--apabila Amelia sampai memintamu untuk menikah dengan Max? Menurutku, Amelia sudah menuntut terlalu banyak darimu."

Aku terhenyak mendengar kalimat Pamela. Arah angin pembicaraan kami mulai terlihat. Pamela ingin membahas surat wasiat Amelia.

Aku jadi bertanya-tanya, dari mana Pamela tahu isi surat wasiat Amelia padaku?

"Apa.. Max menceritakan semua padamu?" Aku akan sangat terkejut kalau memang dugaanku ini benar. Pastinya akan menjadi bahan pertimbanganku nantinya saat aku harus memutuskan apakah menerima atau menolak Max masuk dalam hidupku.

"Tidak. Tidak. Tidak. Aku mengetahui semua yang terjadi di dalam keluarga kami, Eva. Termasuk dengan Max, meski aku mengetahuinya bukan dari Max. Statusku memang mama tiri, tetapi hubungan kami cukup dekat. Dan--well, untuk masalah pribadi, Max jarang terbuka padaku."

Okay. Hubungan ibu--tiri dan anak ini cukup dekat. Meski tidak keluar dari mulut Max sendiri, tetapi Pamela merasa punya hak untuk mengeluarkan kalimat-kalimat membingungkan tadi padaku.

Terus terang, aku merasa terganggu.

"Maafkan dengan kebodohanku, Pamela. Bisa kamu perjelas lagi, sebenarnya apa maksud pembicaraan kita tadi?"

Aku melihat Pamela seolah mengeret oksigen sebagai isyarat keprihatinan, walaupun aku kupikir rasa simpatinya kali ini terasa tidak pada tempatnya.

"Aku hanya kasihan padamu, Eva Sayang. Kamu masih muda, cantik dan karir serta pekerjaanmu sepertinya cukup bagus di sini. Aku tak tahu apakah Max sudah menemuimu atau belum. Tetapi menurutku, sayang sekali kalau kamu harus mengorbankan dirimu demi menikah dengan seorang duda beranak satu seperti Max. Sementara aku yakin sekali, kamu bisa meraih apapun dalam hidupku. Tentu saja dengan dirimu yang sekarang, aku pikir kamu bisa memilih pria manapun yang benar-benar menarik perhatianmu. Benar, bukan?" Pamela melipat tangan di atas pangkuan dengan sikap anggun.

Aku tercengang di kursiku. Terbaca sudah apa yang menjadi tujuan Pamela datang menemuiku. Dengan cara simpati dan sangat elegan, rupanya Pamela ingin agar aku menjauh dari Max.

"Terima kasih, Pamela. Apakah alasanmu hanya karena kasihan padaku?" Tanyaku hati-hati.

"Tentu saja." Ia tampak tersinggung, tetapi aku tak tahu apa sebenarnya isi di dalam hati Pamela. Bisa saja ia berbohong padaku.

Aku mengedikkan bahu.

"Well, kalau begitu aku merasa sangat senang atas perhatianmu, Pamela. Terus terang, permintaan Amelia memang menjadi beban tersendiri bagiku. Kami berdua--aku dan Max, belum bertemu dan membicarakan khusus tentang ini. Namun, dalam keputusanku nanti, tentu saja aku harus mempertimbangkan Amelia dan Arjuna, bahkan Max juga. Mungkin yang kamu khawatirkan tentang apa yang aku korbankan apabila aku memutuskan menikah dengan Max, bagiku malah menjadi nomor sekian yang menjadi pertimbanganku." Aku melemparkan senyum tulus ke arah Pamela.

"Aku hanya tidak ingin kamu menyesal nantinya, Eva. Seandainya kamu benar-benar memutuskan untuk menikah dengan Max."

Aku merasa mendengar suara Pamela tak lagi ramah seperti sebelumnya. Hal ini menciptakan sebuah tanda tanya yang makin besar dalam benakku.

"Tentu saja aku harus berterima kasih padamu, Pamela. Mm.. kupikir semua kekhawatiranmu itu akan menjadi bagian dari resiko yang harus aku tanggung apabila menikah dengan Max. Aku sudah menyadari itu sejak awal, tetapi aku belum memikirkan apakah mentalku siap untuk itu. Namun, satu hal yang menjadi sangat menyenangkan bagiku adalah aku bisa ikut menjaga baby Juna dan melihat perkembangan dia mulai dari bayi hingga menjadi dewasa." Aku kembali tersenyum.

Sejujurnya, bila benakku mengingat wajah mungil baby Juna, hatiku menjadi hangat dengan sendirinya.

"Yeah, aku mengerti. Aku hanya ingin membantu agar pemikiranmu lebih terbuka dengan memberimu sedikit pencerahan. Tetapi, semua terserah pada keputusanmu, bukan?" Pamela meraih tas Hermes coklat yang sedari tadi ia letakkan di samping sofa, lantas dengan cekatan ia memasukkan ponsel kedalamnya. "Kalau begitu, sudah waktunya aku harus segera pergi, Eva. Masih banyak yang harus aku lakukan hari ini."

Pamela berdiri. Aku mengekor gerakannya.

"Selamat tinggal, Eva. Good luck untukmu." Pamela memberikan senyum manis padaku. Sayangnya, lekukan bibir Pamela malah mengundang kewaspadaan dariku. Aku menangkap nada peringatan di dalamnya, tetapi aku berharap kalau itu hanya telingaku saja yang salah.

"Terima kasih untuk kunjunganmu, Pamela." Balasku mencoba tampil tulus.

Tanpa memberiku waktu untuk membukakan pintu untuknya, Pamela sudah menarik handelnya sendiri dan melesat dengan cepat. Meninggalkanku termangu bersama ketukan suara tumit sepatunya yang beradu dengan lantai marmer di bawah kakinya.

Aku baru menyadari kalau kami berpisah tanpa berjabatan tangan lagi.