Part 4

Gara-gara kunjungan Pamela pada hari Rabu yang lalu, akhirnya malam ini aku berada di sini. Di dalam HRV dengan moncongnya meluncur ke sebuah cafe di daerah Kemang.

Semua kalimat yang keluar dari mulut Pamela menciptakan pusaran pertanyaan yang menggulungku terus menerus hingga pada akhirnya aku menyerah dan menghubungi Max.

Terdengar aneh di telingaku ketika aku menangkap suara kelegaan dari pria tersebut saat aku mengatakan tujuanku menghubunginya. Seolah sudah dipersiapkan sebelumnya, Max langsung mengajakku bertemu pada hari Sabtu pukul tujuh malam di tempat ini.

Awalnya Max hendak menjemputku di apartemen, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku butuh mobilku seandainya nanti aku ingin melarikan diri secepatnya dari sana, dan aku menyimpan alasan ini sendiri dalam hatiku.

Selebihnya aku merasa siap dengan kencan pertama kami, kalau bisa dibilang pertemuan kami sebagai kencan. Meski aku sendiri tidak yakin akan hal itu.

Mengenakan shirt dress merah maroon sepanjang lutut dan mengikatnya dengan sebuah pita pada pinggangku, malam ini aku tampil kasual. Apalagi aku sengaja hanya mengenakan sandal wanita bertali emas dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Kupikir penampilanku cukup baik dan sopan untuk bertemu dengan Max.

Seorang laki-laki berseragam hitam membawaku memasuki lift dan terbang menuju lantai lima saat aku menyebutkan nama Max padanya. Begitu aku menjejakkan kakiku keluar dari lift, aku langsung menyadari rupanya Max memesan tempat kencan tidak formal kami di sebuah rooftop cafe.

Aku bisa menyimpulkan kalau outdoor area cafe ini sangat romantis, apalagi aku mendapati sebagian besar mereka yang menempati kursi-kursi di sini adalah berpasang-pasangan.

Meski aku berusaha mengabaikannya, perasaan gugup yang begitu kental langsung menguasai diriku. Selama ini aku tak benar-benar memperhatikan Max, karena pria tersebut sepertinya bukan sejenis pria yang terbuka dengan orang lain. Meski belum sepenuhnya berhasil, surat wasiat Amelia sudah memaksaku untuk melihat suaminya dengan kacamata berbeda.

Max berdiri menyambutku saat aku tiba di bawah gazebo, membuatku lumayan terlindungi dari terpaan angin di atas gedung berlantai lima ini. Syukurlah, shirt dress yang aku kenakan menutupi separuh lenganku.

"Eva. Apa kabar?" Max mengulurkan tangannya padaku dan aku menggenggam telapak tangannya yang terasa hangat di kulitku. Sebaliknya, aku yakin Max pasti bisa merasakan betapa dingin permukaan kulit telapak tanganku.

"Baik. Halo, Max." Aku melemparkan senyum sederhana ke arah Max yang malam ini hanya mengenakan kemeja lengan pendek warna putih yang dikeluarkan pada ujungnya, celana jeans dan sepasang sepatu sport. Mataku sempat melirik penampilan Max sekilas ketika pria tersebut berdiri dari kursinya untuk menyambut kedatanganku. Untunglah, Max berpakaian sama kasualnya denganku.

"Tempat yang menyenangkan." Tanggapku saat tubuhku sudah mendarat dengan nyaman di depan Max. Sekali lagi, mataku melirik sekilas situasi di sekitarku. Tempat ini bernuansa putih, begitu juga dengan kain yang melindungi gazebo kami, dan cahaya lilin di mana-mana. Di setiap meja, juga di atas tembok-tembok rendah yang ada di seputaran kami.

"Menurutku, tempat ini romantis." Max menanggapi dengan tenang. Aku melabuhkan kembali mataku pada Max kembali dan menemukan pria tersebut tengah menatapku dengan senyum tipis tersungging padaku.

Aku mengangguk dan mengiyakan pendapatnya. Sebenarnya aku tadi ingin mengatakan hal itu, tetapi untuk saat ini aku masih menjaga lidahku agar percakapan kami nantinya tidak berubah menjadi canggung.

"Maaf, aku terlambat lima belas menit. Aku lupa memperhitungkan kalau malam minggu seperti ini, jalanan menuju ke daerah sini lumayan macet." Ujarku merujuk pada segelas red wine yang sudah ada di depan Max. Pria ini pasti sudah mengantisipasi keterlambatanku dengan segelas anggur untuk menemaninya sementara waktu.

"Tidak masalah, Eva. Kamu mau? Aku bisa memesan satu gelas untukmu." Max kembali melemparkan senyum tipisnya lagi padaku.

Aku menanggapi tawaran Max dengan sebuah gelengan kuat.

"Tidak. Terima kasih. Max. Aku harus menyetir. Aku tidak mau celaka gara-gara mabuk."

Tak menanggapi jawabanku, Max malah melambai ke arah pria berseragam yang tadi mengantarku ke tempat ini.

"Silakan dipesan, Eva. Lebih nyaman kalau kita bicara dengan perut terisi."

Oh. Aku mengerti maksudnya dan mengangguk. Sebenarnya aku memang lapar, tetapi ketegangan yang merambat hingga ke otot-otot perutku sudah melenyapkan hampir separuh rasa laparku.

Aku segera memesan menu yang kuperkirakan mudah kuhabiskan. Penne dengan spicy tomato sauce serta segelas ice tea dengan potongan buah leci. Aku mendengar Max memesan sirloin steak dan segelas minuman yang sama denganku.

Setelah pria tadi pergi dari meja kami, tahu-tahu Max mengelukkan punggungnya ke depan dan menatapku tajam. Aku membalas tatapan matanya dengan waspada.

"Mengapa kamu menolak kujemput ?" Desak suara Max ingin tahu. Kedua bola matanya bersorot seolah ingin menembus jauh ke dalam diriku. "Sehingga, kamu tak perlu mengkhawatirkan masalah kemacetan di jalanan atau mabuk karena anggur. Aku bersama seorang sopir saat ini."

Ternyata ia masih menyimpan ucapanku yang tadi. Kepalaku lagi-lagi menggeleng kuat dan melirik gugup ke arah Max.

"Well, aku.. hanya.. merasa nyaman saja." Hanya itu alasan yang terlintas di kepalaku. Aku tak mungkin mengatakan pada Max, kalau aku kurang pandai berdekatan dengan seorang pria yang masih kuanggap asing di luar urusan pekerjaan. Ditambah pula, sosok pria di depanku ini terkadang memberikan kesan berkuasa dan mengintimidasi sejak pertama Amelia mengenalkannya padaku. Sehingga, dengan mobil di tanganku, aku merasa aman jika ingin pergi sewaktu-waktu darinya.

"Apakah hanya itu alasanmu, Eva? Merasa nyaman saja?" Kedua bola mata Max masih bertahan dan mencoba mengunci mataku.

"Maksudmu?" Tanyaku balik. Apakah Max menyadari kalau aku merasa canggung dan tak nyaman berada di dekatnya?

"Aku berpikir, mungkin alasan penolakanmu karena kamu memang tak ingin berada dekat denganku, Eva." Max kembali mengendurkan punggungnya. Dengan bibir yang menggaris dan terkatup rapat, aku bisa merasakan kedua sorot matanya mempelajariku.

Aku pernah memperkirakan kalau Max pasti bisa merasakan keenggananku dekat dengan dirinya. Meskipun demikian, aku tetap terkejut mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Max barusan.

"Aku tidak nyaman karena.. sebenarnya kita masih belum mengenal satu sama lain, bukan?"

Max tergeleng. Sepertinya balasan dariku kurang memuaskan dirinya. Terdengar ia mendesah pelan, dan segera terhenti oleh kedatangan dua gelas minuman pesanan kami.

Max kembali melanjutkan kalimatnya setelah pria berseragam tadi benar-benar berlalu.

"Sebenarnya aku sudah melihatmu sejak lama, Eva. Sejak Amelia meminta pendapatku untuk menyebut namamu di dalam surat wasiatnya, tepatnya satu bulan sebelum Arjuna lahir." Max bergeming sesaat untuk mengukur reaksiku yang pastinya sangat terkejut. Tetapi, aku ingin mendengar kelanjutan kalimatnya, sehingga aku berusaha menekan keterkejutanku dalam-dalam. Selama ini aku terus bertanya-tanya apakah Max mengetahui isi surat wasiat Amelia sebelumnya? Sekarang pertanyaanku langsung terjawab.

"Maafkan aku kalau kamu merasa tak nyaman mendengarnya. Aku tahu kamu begitu terpukul dengan isi surat Amelia. Tetapi percayalah, Amelia punya alasan kuat mengapa ia menulis surat wasiat itu untukmu. Salah satu alasannya adalah ia percaya sepenuhnya padamu untuk membesarkan Arjuna."

Aku termangu menatap butiran-butiran air dingin yang menempel pada gelasku dan membiarkan keheningan membentang di antara kami. Begitu banyak pertanyaan yang berjejalan di dalam otakku, layaknya benang kusut yang harus diselesaikan segera. Aku bingung harus memulainya dari mana. Namun, saat ini aku membutuhkan penjelasan Max tentang sesuatu hal yang paling menggangguku saat ini.

Ketika aku hendak membuka mulut, aku melihat pesanan kami tiba. Aku memutuskan untuk menarik kembali pertanyaanku hingga kami berdua selesai makan.

"Sebaiknya kita makan dahulu, Eva. Selamat makan."

"Sama-sama, Max. Selamat makan." Aku menusuk beberapa potong penne sekaligus dengan garpuku dan membawanya ke mulutku. Beruntungnya aku, pasta ini rasanya sangat Enak. Nafsu makanku sedikit terangkat ketika rasa keju yang gurih, sedikit asam dan pedas langsung menyebar di lidahku.

Kami berdua makan dalam diam. Petikan piano yang lembut mengisi atmosfer di area ini, mengiringi api dari lilin-lilin kecil yang menari karena tertiup oleh lembutnya angin.

"Bagaimana makanannya?" Tiba-tiba suara Max menyapaku. Aku mendongak dan melirik sekilas pada isi piringnya yang hampir kosong. Astaga. Aku kagum dengan kecepatan makannya.

"Lumayan." Aku menjawab sembari melarikan kembali mataku pada potongan-potongan penne di atas piringku yang isinya masih separuh.

"Ya. Steak ini juga sangat enak" Angguknya setuju. Piring Max benar-benar sudah kosong sekarang. Saat ini ia tengah menyesap ice tea dari gelasnya.

Sementara aku masih harus berjuang menghabiskan seperempat porsinya lagi.

"Maaf. Aku sangat kenyang, tak bisa makan lagi." Aku tersenyum meminta maaf ke arah Max. Lantas meraih gelas ice tea milikku dan menyesapnya pelan.

"Aku mengerti. Kamu terlihat begitu tegang sejak duduk di depanku." Ujar Max tenang seraya mengelap mulutnya.

Oh. Aku tidak mengira kalau aku sebegitu mudah dibaca olehnya.

"Memang. Sedikit tegang." Aku menunduk untuk melarikan mataku sejenak dari pandangan Max yang terus mengawasiku. Lantas buru-buru mengelap mulut dan berdeham sebentar untuk melonggarkan tenggorokanku yang dadakan terasa ada menyangkut di sana. "Bisa kita lanjutkan pembicaraan kita tadi?"

"Tentu saja." Max meletakkan kedua tangannya di atas meja, siap mendengarkan.

"Aku ingin tahu apakah salah satu alasan yang kamu sebutkan tadi, mama tirimu ada di dalamnya, Max?"

Max menyipitkan kelopak matanya, seolah berusaha memahami ke mana arah ucapanku barusan.

"Pamela, maksudmu? Mengapa kamu bertanya demikian?"

"Karena beberapa hari yang lalu mama tirimu, Pamela, datang menemuiku di kantor." Aku menegakkan kepala dan membalas tatapan Max sama tajamnya. "Sedikit aneh bagiku, Pamela memintaku menjauh darimu."

Aku ingin melihat reaksi Max, tetapi permukaan wajahnya terlalu tenang untuk kubaca.

"Pamela memang suka mencampuri urusan pribadiku. Aku sendiri tak pernah berbicara tentang urusan pribadiku padanya. Lebih baik abaikan saja semua ucapannya. Aku yang akan mengurus Pamela."

Kelopak mataku berkedip pelan. Sejak kedatangan Pamela, aku terus berpikir tentang wanita tersebut. Sayangnya, aku tidak menemukan referensi apapun tentang Pamela dari Amelia. Aku ingin tahu apakah Pamela suka mencampuri urusan rumah tangga mereka sejak dulu atau sikap itu hanya ditujukan padaku saja?

"Setelah apa yang Pamela katakan, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, Max. Kamu belum menjawab pertanyaanku, selain karena Arjuna apakah Pamela juga jadi salah satu alasan Amelia menulis surat wasiat itu untukku?"

"Eva, lupakan apa yang pernah Pamela katakan padamu. Memang begitulah Pamela. Apa yang sedang kita diskusikan sekarang, tidak ada urusan dengan dirinya. Okay? Kalau kamu merasa terganggu, aku berjanji akan bicara dengan mama tiriku tersebut." Aku melihat permukaan wajah Max mengeras.

"Max, masalahku bukan karena terganggu atau tidak terganggu. Aku sedang mempertaruhkan masa depanku, apa yang kulakukan saat ini adalah mencoba menyelami apa yang ada di kepala Amelia saat ia memutuskan menulis surat wasiat itu untukku. Itulah mengapa kita berdua duduk di sini, bukan?" Tanpa kusadari, suaraku mulai sedikit naik.

"Ada hal-hal yang tidak bisa kukatakan padamu sekarang, karena kamu belum menjadi bagian dari keluarga kami, Eva." Max menjawab dengan tenang, mengabaikan reaksiku yang menatapnya dengan mata membulat tak percaya.

Ya Tuhan. Apa yang menjadi kekhawatiran Max dariku? Takut aku akan membawa berita apapun isinya--mungkin skandal keluarganya--ke sebuah kantor penerbitan koran, begitu?

"Apa maksudmu? Kamu memintaku untuk berjalan maju, sementara aku tak tahu sama sekali resiko apa yang ada di depanku dan kamu tak mau mengatakannya?" Astaga. Apakah nantinya aku harus membiasakan diriku menghadapi drama kerumitan kehidupan orang-orang kalangan terbatas seperti pria di depanku ini? Kepalaku tergeleng sendiri. "Tadinya tujuanku kemari untuk mendengar penjelasan darimu tentang keluargamu, terutama tentang alasan mama tirimu. Well, aku bisa mencoba memahami mungkin penjelasanmu nantinya secara tidak langsung akan menyangkut kehidupan pribadi keluargamu yang seharusnya tidak untuk kuketahui. Aku masih orang asing, bukan?"

Aku menarik serbet dari pangkuanku dan meletakkannya di atas meja.

"Eva____."

"Baiklah. Kalau begitu tidak ada lagi yang bisa aku dapatkan darimu, sebaiknya aku pergi. Terima kasih untuk makan malam yang sangat enak ini." Syukurlah. Keputusanku untuk membawa mobil sendiri ternyata sudah sangat tepat. "Selamat malam, Max."

Aku beranjak dari kursi, ketika tiba-tiba Max menahan pergelangan tanganku.

"Eva, please. Maafkan ucapanku."

"Untuk apa minta maaf, Max? Aku tidak marah padamu. Tenang saja, lupakan saja pertanyaanku tadi." Hei, aku tidak bermaksud menyindir Max dengan kalimatku barusan.

"Duduklah, Eva. Please." Bisik Max memandangku. Tajam dan memohon sekaligus memerintah. Aku kagum bagaimana dia bisa melakukannya dalam satu ekspresi di permukaan wajahnya. Seperti terkena mantra, aku kembali duduk di atas kursiku tadi. "Terima kasih."

Menarik tanganku kembali dari cengkeraman Max, kedua bola mataku menatap bertanya ke arahnya. Max mengeret oksigen lebih banyak masuk paru-parunya.

"Maafkan kata-kataku. Percayalah, aku tidak bermaksud menyakiti hatimu." Max memejamkan kelopak matanya sejenak seolah menyingkirkan sesuatu yang mengganggunya sebelum kembali menatapku tajam. "Mungkin jawabanku tidak memuaskanmu, Eva. Aku ingin mengatakan padamu bahwa sebenarnya ada satu hal penting di mana antara aku dan Amelia tidak pernah mencapai titik kesepakatan. Menurutku, hal penting ini tidak menyangkut Pamela. Saat itu Amelia terus mendesakku dan keras kepala. Namun, apakah alasan Amelia menulis surat itu ada hubungannya dengan Pamela, aku tidak yakin. Bisa ya, bisa juga tidak."

Aku menunduk dan tergeleng. Semua berubah menjadi menjadi begitu rumit bagiku, padahal aku hanya ingin tahu mengapa Amelia memintaku merawat baby Juna dengan cara menikah dengan Max?

"Aku bisa memahami kalau semua begitu membingungkan, Eva. Tetapi satu hal yang aku yakini, Arjuna adalah satu-satunya prioritas Amelia saat ia menulis surat wasiat tersebut. Apa yang menurut Amelia terbaik untuk Arjuna, aku pasti mengatakan hal yang sama."

Nafasku terhela lelah.

"Aku ingin menceritakan sesuatu tentang diriku yang mungkin tidak kamu ketahui, Max. Aku adalah produk keluarga broken home, kamu tahu?" Aku memandang Max untuk melihat reaksinya. Max menggeleng dengan tenang.

"Aku juga bukan dari keluarga yang sempurna, Eva. Setidaknya aku jadi tahu kalau ternyata kita memiliki kemiripan."

Kepalaku menggeleng beberapa kali dengan penuh keyakinan.

"Tidak. Tidak, Max. Kita berbeda. Luka yang ditinggalkan papaku sudah menciptakan lubang besar di dalam sana hingga aku membuatku tidak pernah berpikiran untuk menikah. Hingga aku menerima surat wasiat Amelia." Aku bisa melihat Max menyembunyikan keterkejutannya. Tetapi dengan bijak pria tersebut tak membuka mulutnya. "Saat ini aku harus berjuang memenangkan diriku sendiri untuk menemukan alasan mengapa aku harus menikah denganmu."

Kegelisahan membentang di antara kami. Pelan-pelan Max mengeluarkan kata-katanya.

"Apakah permintaan Amelia untuk merawat Arjuna tidak cukup kuat menjadi alasan bagimu menerima surat wasiat itu?"

"Max, aku pernah berada di posisi Arjuna sebelumnya. Orang-orang dewasa di sekitarku terlalu sok tahu dengan apa yang terbaik bagiku juga bagi kakakku. Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan sudah merusak keluarga kami. Aku tidak mau apa yang aku rasakan juga dialami oleh Arjuna. Belum tentu akulah yang terbaik untuk bisa merawat dan membesarkan Arjuna, seperti yang diinginkan Amelia." Aku membuang mataku jauh ke arah langit Jakarta yang berwarna kelam. Bagaimana aku bisa merawat Baby Juna kalau aku sendiri memiliki begitu banyak kekurangan?

"Apa yang harus aku lakukan untuk merubah pemikiranmu itu?" Suara Max terdengar hati-hati. Aku menggeleng.

"Tidak ada, Max. Maafkan aku. Aku hanya butuh waktu lebih lama untuk berpikir, itu saja. Sekiranya kamu berpikir aku sudah membuang waktumu untuk menunggu hal yang tidak pasti, kamu bisa merubah pikiranmu kapan saja. Kupikir, kita berdua tidak harus mengikuti apa yang diinginkan oleh Amelia, bukan?"

Gantian Max menggelengkan kepalanya dengan kuat.

"Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk Arjuna." Max menatapku kukuh.

Kalau itu keinginan Max, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dari sisi diriku, yang terpenting adalah aku sudah mengatakan sebelumnya kalau aku tidak bisa menjanjikan apapun padanya.

"Aku hanya meminta padamu, selama kamu dalam proses berpikir, maukah kamu tetap mengunjungi Arjuna seperti biasa? Akhir-akhir ini Juna seperti gelisah dan sering rewel. Biasanya anak itu tidak menangis saat aku tinggal, tetapi beberapa hari ini ia terus menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi tidak tega meninggalkan dia."

Ya ampun. Sudah lebih dari satu minggu aku memang belum mengunjungi baby Juna lagi. Apakah bocah lucu itu merindukanku?

"Baiklah. Minggu depan aku pasti mengunjunginya." Anggukku. Mungkin aku bisa meluangkan waktu khusus dan agak lama untuk bertemu Arjuna.

"Dan-- satu lagi, Eva. Sabtu depan, sepupuku Adele akan menikah. Adele adalah anak kedua dari Paman Tito, adik laki-laki papaku. Maukah kamu menemaniku?"

Aku menemukan binar harap kecil menyala di kedua bola mata Max. Aku berpikir kalau aku ikut menghadiri acara tersebut, bisa dipastikan aku akan bertemu Pamela dan seluruh anggota keluarga besar Max yang lain.

Apakah artinya ini adalah kesempatanku untuk lebih mengenal keluarga Max? Sehingga aku bisa lebih mudah untuk mengambil keputusan apakah aku harus memenuhi surat wasiat Amelia atau tidak.

Sepertinya aku setuju dengan pemikiranku baru saja.

"Baiklah. Aku akan menemanimu, Max."

"Terima kasih, Eva." Senyum tipis mengembang dari bibir Max.

Aku hanya mengangguk dan berharap kalau di pesta tersebut aku bisa menemukan apapun yang berarti untuk diriku dan tentu saja, aku tidak ingin bertemu dengan Pamela-pamela yang lain.