Tahu-tahu masuk seorang wanita cantik dengan rambut coklat terang dan bergelombang, menggendong Arjuna yang menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam dekapan tangannya. Sedangkan Sarah mengekor di belakang mereka dengan wajah panik.
Aku tidak tahu siapa wanita cantik berambut coklat ini dan mengapa dia memaksakan dirinya menggendong Arjuna yang terus menangis, tetapi sepertinya aku sudah bisa membaca ke mana arahnya.
"Pamela! Anak ini tak pernah menyukaiku sejak awal!" Seperti ingin mengalahkan kerasnya suara tangisan Arjuna wanita ini berujar kencang ke arah Pamela yang langsung berpaling ke arah mereka.
"Elena!" Hardik Pamela tak kalah keras, tetapi detik berikutnya suara Pamela sudah melembut. "Anak kecil memang begitu, Elena. Kamu hanya harus sabar menghadapinya"
Aku tak bisa melihat ekspresi wajah Pamela, mungkin di balik suara lembutnya, bola mata Pamela melotot penuh peringatan karena wanita yang dipanggil Elena tersebut langsung cemberut dan menatap kesal ke arahku.
"Anak kecil itu bereaksi dengan apa yang ia rasakan. Kalau Juna menangis, artinya ia tidak mau kamu gendong, mengapa harus memaksanya? Tenggorokan Juna bisa sakit, apa kamu tidak merasa kasihan padanya?" Aku hendak melangkah mendekati Arjuna yang menangis makin keras. Hatiku tidak tega melihat kedua lengan kecilnya terjulur ingin meraih Sarah yang kebingungan harus berbuat apa.
"Kamu tidak diterima di sini. Pulang saja." Tandas Pamela sembari mencoba menghalangiku. Aku menggeleng kuat bercampur dengan kesal.
"Aku tak peduli apa yang kamu katakan, Pamela. Prioritasku sekarang adalah Arjuna. Telepon saja Max, minta padanya agar aku menjauh dari Arjuna sekarang juga!" Balasku tak kalah keras.
Tak mempedulikan tanggapan Pamela, kakiku bergerak cepat hendak mengambil alih baby Juna dari tangan wanita bernama Elena tersebut.
"Elena! Serahkan bocah itu pada pengasuhnya!" Perintah Pamela cepat sebelum kedua kakiku tiba di depan Elena dan Arjuna.
Dengan wajah menyorot lega, Elena buru-buru menyerahkan Arjuna ke tangan Sarah. Anak kecil itu langsung mendekap erat leher Sarah dan menumpahkan sisa tangisnya di sana.
Aku tiba di dekat baby Juna yang masih terus menangis dalam gendongan Sarah. Telapak tanganku mengelus punggungnya lembut, naik turun untuk menyalurkan ketenangan. Sebenarnya aku ingin segera menggendong baby Juna, tetapi sepertinya bocah mungil ini masih terlalu shock dengan kejadian barusan. Tangisnya masih terdengar sedangkan wajah lucunya terbenam di bahu pengasuhnya.
Pamela mendengus melihat kedekatanku dengan Arjuna. Wanita tersebut segera memutar tubuhnya sembari berujar pada Elena.
"Mari kita pergi, Elena. Masalah ini biar aku yang akan mengurusnya dengan Max. Kamu tenang saja." Tanpa perlu mengucapkan kata-kata selamat tinggal padaku lagi, Pamela dan Elena membawa kaki mereka keluar dari ruang keluarga dengan terburu-buru.
Telingaku masih sempat mendengar kalimat Elena kepada mama tiri Max.
"Siapa wanita itu, Pamela?"
Sayangnya, aku sudah tak bisa mendengar lagi apa balasan dari Pamela karena mereka berdua sudah terlalu jauh dari ruang keluarga.
"Apa mereka berdua sering datang kemari, Sarah?" Aku ingin tahu apa tujuan mereka berdua sebenarnya datang ke rumah Max dan memaksa Arjuna.
Pengasuh Juna tersebut hanya menggeleng pelan.
"Sejak Nyonya Amelia meninggal, mereka baru datang tiga kali. Selalu bersama-sama, Nyonya Pamela dan Nona Elena. Kedatangan mereka selalu siang saat Tuan Max bekerja, Nona Eva. Mereka datang hanya untuk menggendong Juna dengan paksa dan membuatnya menangis. Sebenarnya saya kurang menyukai cara mereka mendekati Juna. Kalau memang mereka ingin mendekati Juna tidak boleh dengan paksaan, karena anak ini jadi trauma."
Mendengar penuturan Sarah, aku mengernyit tak mengerti. Mengapa Pamela ingin agar Juna dekat dengan Elena?
Sayang sekali, aku tak pernah bertemu mereka saat aku datang mengunjungi Juna
Tadinya dugaan-dugaan yang hanya melintas di benakku, kini arah anginnya semakin jelas dan kuat. Well, sepertinya Pamela ingin menjodohkan Max dengan Elena.
Benarkah karena latar belakang inilah yang membuat Pamela tidak menyukaiku?
Apakah Max tahu semua hal ini? Apa yang sedang direncanakan dan sudah dilakukan oleh mama tirinya?
Aku pikir urusan surat wasiat Amelia hanya melibatkan aku dan Max saja. Tak pernah aku duga sama sekali kalau para pemainnya makin bertambah saja setiap hari--setelah Pamela, kini bertambah satu lagi, Elena.
"Saya juga kasihan dengan orang tua Nyonya Amelia, Nona Eva." Rupanya Sarah masih ingin melanjutkan beritanya.
"Mengapa?" Ada apa lagi?
"Saat Nyonya Amelia masih di rumah sakit, orang tua Nyonya Amelia memang sering datang untuk mengunjungi cucunya. Kejadiannya beberapa hari setelah Nyonya Amelia meninggal. Mereka berdua datang bersamaan waktunya dengan kedatangan Nyonya Pamela dan Nona Elena. Oleh Nyonya Pamela, orang tua Nyonya Amelia disuruh pulang sambil mengatakan tak boleh dekat-dekat dengan anak Tuan Max lagi. Saya melihatnya sendiri, Nona."
"Apa?! Jahat sekali." Tuan dan Nyonya Glen justru lebih berhak bersama Juna daripada Pamela! Karena Juna adalah darah daging mereka langsung bukan sekedar cucu tiri!
Ini tak bisa dibiarkan! Aku harus bicara dengan Max.
"Mengapa kamu tak pernah mengatakan ini padaku sebelumnya, Sarah?" Aku tak bermaksud menegur Sarah karena ini bukan kesalahannya, hanya saja membayangkan perlakukan Pamela pada orang tua Amelia sudah menyakiti hatiku juga.
"Maafkan saya, Nona Eva. Saya pikir Nona Eva tidak terlalu memperhatikan masalah ini." Suara Sarah terdengar merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Sarah. Kedua orang tua Amelia sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri, aku sedih saja mendengar perlakuan Pamela pada mereka." Balasku menenangkan.
Tiba-tiba pemilik punggung mungil yang sedari tadi aku usap-usap mulai bergerak pelan. Kepalanya menegak pelan dan bola mata beningnya menemukanku sedang menatapnya lembut.
"Halo, Jagoan Kecilku." Bisikku mendekatkan wajah dengan senyum lebar. Segera saja aku dihadiahi tawa lebar nan menggemaskan. Aku mengulurkan tanganku untuk menggendong Juna, untunglah Juna tidak menolakku. Syukurlah.
Tak cukup sampai di situ, bibirku sudah maju dan menciumi kedua pipinya yang gemuk. Baru beberapa hari tidak bertemu, aku sudah sangat merindukan baby Juna.
"Jagoan kecil tante sudah mandi?" Tanyaku di sela-sela ciumanku. Aku ingin memandikannya.
"Sudah, Nona." Sarah yang menjawab. Aku melenguh kecewa. "Tetapi, Juna sekarang sudah mulai makan juga."
"Oya?" Aku mengangkat wajahku dan menatap Sarah yang langsung membalas dengan anggukan. Mataku kembali memandang Juna dengan gemas. "Sekarang waktunya makan bersama tante. Okay, baby Juna?"
Laki-laki kecil ini hanya membalas dengan bubbling dan mulut penuh ludah.
"Ajari aku caranya, Sarah." Aku berpaling ke arah Sarah dengan antusias.
"Tentu, Nona." Angguk Sarah.
Kami bertiga berjalan menuju dapur dengan Juna ada dalam gendonganku. Mungkin urusan Pamela dan Elena bisa aku singkirkan terlebih dahulu, karena mendengar celotehan tak jelas yang keluar dari mulut Juna adalah obat dari segala kekesalanku.