Aku kembali menatap bayangan yang memantul dari cermin di depanku. Rambut tergelung rapi ke atas, gaun halter neck warna pine green sepanjang lutut dan sepasang heels bertali emas sudah membungkus kedua kakiku.
Tidak ada yang berlebihan dari penampilanku saat ini. Untuk make up saja, aku sengaja menyapukan riasan natural pada wajahku. Alasanku sederhana saja, karena aku tidak mau terlihat terlalu mencolok di hari perdana penampilanku di depan keluarga besar Max. Apalagi, jelas-jelas sudah ada yang tidak menyukai kehadiranku dalam keluarga mereka, Pamela.
Getaran kecil dari ponsel di atas meja rias mengeret perhatianku dari pantulan bayangan di cermin. Aku bergegas meraih ponsel dan menemukan pesan dari Max yang mengatakan kalau ia sudah menungguku di lantai basement apartemenku.
Tanpa menunggu waktu lama, aku yang memang sudah siap sejak tadi segera menyambar clutch bag senada dengan sepatuku yang sudah aku siapkan sebelumnya dan mengayunkan kedua kakiku menuju pintu.
Tadinya aku mengusulkan pada Max agar aku saja yang datang ke rumahnya dengan mengendarai taksi karena Max berencana mengajak Arjuna ikut bersamanya.
Aku merasa kasihan saja dengan baby Juna-ku itu kalau harus ikut serta menjemput ke apartemenku.
Namun, pada akhirnya aku mengalah karena Max bersikeras untuk menjemputku di apartemen bersama Arjuna. Satu hal yang aku pelajari dari Max, pria tersebut tidak suka perintahnya dibantah. Oleh siapa pun. Aku mencatatnya baik-baik karena hal ini menjadi berita baru bagiku.
Padahal tadi dalam pesannya Max meminta pengertianku kalau ia tidak bisa naik ke kamarku karena ia tidak tega meninggalkan Arjuna hanya bersama Sarah di dalam mobil di lantai basement.
Ck! Baiklah, Tuan Keras Kepala. Sejak awal aku sudah sangat mengerti kondisimu, bukan?
Pukul sepuluh pagi, aku sudah berada di lantai basement dan mendapati baby Juna dalam gendongan Max.
Ya ampun. Aku menahan napas. Benakku menimbang-nimbang siapa di antara mereka berdua yang lebih tampan. Apakah Max atau baby Juna?
Max mengenakan armani warna kelabu, sementara kemeja putih lengan pendek dengan rompi tuxedo warna coklat tortilla lengkap dengan dasi kupu-kupu membungkus tubuh mungil dalam gendongannya.
Sepertinya penampilan pria muda yang tengah mengoceh sembari memasukkan jari-jari mungil ke mulutnya ini lebih menggiurkan bagiku. Pilihanku jatuh pada Arjuna.
"Halo, Eva." Max menyapa setibaku di depan mereka berdua.
"Hai juga, Max." Balasku pada Max tanpa mengalihkan mata dari pria tampan yang ada dalam rengkuhan lengannya. "Halo, Juna. Hari ini kamu cakep banget, Sayang."
Gemas dengan balasan yang dilontarkan Juna padaku, aku mengambil tangan mungilnya dan menggantikannya dengan ciuman yang aku berikan bertubi-tubi di atas pipinya yang gemuk.
Meski tubuh Juna terbalut tuxedo, tetap saja aroma bayi yang selalu kurindukan menguar dari dirinya.
"Sudah siap, Eva?" Suara Max menyadarkan dari aktivitas favoritku, menciumi pipi baby Juna. Aku mengangkat kepalaku dan memandang Max sekilas.
"Oh. Tentu saja." Aku kembali fokus dengan Arjuna. Jemariku lembut mengusap pipi tempat aku menciuminya tadi. Aku tak mau pipi polos Arjuna tercemar oleh bahan-bahan kimia dari kosmetikku.
"Kalau begitu kita berangkat sekarang." Max bersuara lagi. Aku berpaling dan mengangguk ke arah Max. Aku terpaksa melepaskan tanganku dari pipi Arjuna dan mengekor di belakang Max menuju mercy-nya yang sudah menunggu.
"Selamat pagi, Nona Eva." Sarah keluar dari mobil untuk mengambil Arjuna dari gendongan Max.
"Selamat pagi juga, Sarah. Juna keren sekali hari ini." Balasku pada Sarah sekaligus memuji hasil karya pengasuh Juna tersebut.
"Bukan saya yang mendadani Juna, Nona. Tapi Tuan Max." Sarah menjawab dengan nada berbisik pelan ke arahku sebelum membawa Arjuna duduk di atas baby car seat yang ada di kursi belakang.
"Oh?" Aku mengangguk seraya menyimpan dalam-dalam rasa kekagumanku. Aku tahu kalau Max sangat memperhatikan perkembangan Juna, tetapi aku tak menyangka kalau di balik sikap kaku Max ternyata ia jago membuat Juna tampil stylish seperti sekarang.
Untunglah percakapan kami sepertinya tidak terdengar hingga radius telinga Max. Pria tersebut tengah berdiri membungkuk di samping mercy dan sibuk memastikan kalau Arjuna sudah duduk dengan aman dan nyaman di kursinya.
"Eva." Aku terkejut karena tiba-tiba Max menegakkan punggungnya seraya menutup pintu mobil di samping kursi Arjuna. Tangannya terulur dan meraih pinggangku dengan cepat. Lantas ia membawa tubuhku ke pintu depan dan membukakannya untukku.
"Terima kasih." Suaraku serak bercampur gugup. Aku mengayunkan tubuh dengan sedikit canggung ke dalam mobil. Membawa tubuhku duduk di kursi depan sebelah sopir, aku diliputi perasaan ganjil ketika Max menutup pintunya kembali.
Inilah pertama kalinya aku duduk di dalam mercy milik Max, dikendarai oleh pemiliknya sendiri dengan Arjuna ada di tengah-tengah kami.
Sebuah awal yang bagus untuk hari ini. Aku berharap hal baik ini akan berlangsung juga selama acara berlangsung nanti hingga aku tiba kembali di apartemenku ini.
Semoga
°•°•°•°•°•°•°•°
Aku sudah membayangkan kemewahan yang akan menyambutku dalam pesta kalangan seperti mereka ini. Ballroom super luas yang mampu menampung ribuan tamu undangan, lampu-lampu kristal berukuran besar menggantung anggun di atas ruangan seolah menciptakan suasana bak berada di dalam istana kerajaan. Apalagi pelaminan bernuansa putih dan emas di ujung sana, benar-benar menyerupai singgasana raja dan ratu yang sesungguhnya.
Aku tidak terlalu mengingat dengan baik seperti apa pesta pernikahan Amelia dan Max. Sepanjang ingatanku, keluarga Amelia menggelarnya secara mewah juga, tetapi sepertinya tidak semegah pernikahan ini.
"Kita menyalami Adele dan suaminya dahulu, Eva. Mumpung antriannya belum terlalu panjang." Max berbisik di dekat telingaku ketika kaki kami menjejak di atas karpet merah maroon yang terbentang di bawah kami.
Aku hanya mengangguk tanpa perlawanan. Semua orang tampak asing di mataku, apa yang bisa kukatakan selain mengiyakan ajakan Max, bukan? Lagipula aku setuju dengan pendapat Max kalau antrian belum terlalu panjang. Kasihan baby Juna kalau harus ikut mengantri hanya untuk menyapa sepasang mempelai yang tengah tertawa bahagia di sana.
Aku berdiri dalam antrian bersama Max. Sedangkan Arjuna masih saja berceloteh dalam gendongan lengan Max. Sementara Sarah berdiri canggung di pojok ruangan, menunggu kami bertiga selesai berurusan dengan keluarga Max.
Sambil mengisi waktu, sesekali aku mencubit lembut pipi baby Juna atau sekadar mengelus rambutnya yang halus.
"Itu Paman Tito--adik papa, dan istrinya_______." Tatapan Max menunjuk ke arah sepasang pria dan wanita paruh baya yang berdiri bersisian di sebelah kursi pelaminan. Telingaku tidak terlalu menangkap siapa nama wanita cantik yang kutaksir seumuran dengan Pamela tersebut, karena kami sudah mendekati tempat pelaminan.
"Paman Tito." Max menyapa pria paruh baya yang ia panggil dengan sebutan 'paman'. Ekspresi Max yang biasa saja--tidak selayaknya pertemuan keluarga yang hangat, mengundang kerutan di dahiku.
Okay, setiap keluarga memiliki kisahnya sendiri-sendiri, seperti keluargaku. Rasanya tak adil kalau aku menilai mereka lebih awal. Aku menegur diriku sendiri.
"Max! Paman senang kamu akhirnya datang." Seru Paman Tito. Sebaliknya dengan Max, pria ini tampak bersemangat dan hangat. Saat ia berbicara dan bergerak, auranya memancar kuat dan berkuasa--tanpa perlu ia mengatakannya. Sosoknya mengingatkanku pada Max. "Hai, Arjuna"
Paman Tito hendak mengelus kepala baby Juna, sayangnya laki-laki kecil yang tadinya berceloteh menggemaskan mendadak mesinnya menjadi mogok. Juna menolak disentuh, ia malah memalingkan kepala dan memilih membenamkannya ke dalam jas mahal ayahnya.
"Juna." Tegur Max lembut tetapi tegas seraya mengelus punggung mungil anaknya.
"Tidak apa-apa." Tatapan Paman Tito lalu bergeser padaku yang berdiri di sebelah Max. "Dan--ini pasti.. Evangeline."
Aku tertegun sejenak. Astaga. Bagaimana Paman Tito bisa mengetahui namaku bahkan sebelum kami bertemu? Aku tak pernah menyangka ternyata namaku sudah dikenal di keluarga besar mereka.
Detik berikutnya aku sudah kembali menggenggam kesadaranku. Aku melengkungan bibirku semanis mungkin padanya, meski aku berusaha menekan dalam-dalam rasa keterkejutanku.
"Benar, Tuan Tito. Saya Eva." Aku mengulurkan tanganku dan menggenggam telapak tangan Paman Tito dengan sikap formal.
"Ck. Jangan memanggilku seperti itu. Panggil aku 'paman', toh sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga kami. Benar kan, Max?" Tangan Paman Tito yang bebas menepuk pelan satu lengan Max. Laki-laki tersebut hanya membalas dengan senyum tipis, begitu juga dengan diriku.
Antrian yang terhenti di belakang kami makin panjang, memaksa kaki kami untuk segera bergeser. Setelah menyapa istri Paman Tito yang ternyata sangat ramah--sayang sekali aku tak tahu namanya, kami tiba di depan kedua mempelai yang tengah berbahagia.
Aku memberikan ucapan selamat kepada mereka berdua dan menempelkan sedikit pipiku kepada mempelai wanitanya yang sangat cantik.
"Max, aku doakan kamu dan.. Eva segera menyusul seperti kami." Adele mengedipkan sebelah matanya ke arah Max. "Tetapi, kalian doakan kami segera memiliki momongan seperti Arjuna, Okay?"
Adele tertawa riang seraya mengelus punggung baby Juna yang masih mogok. Kali ini Arjuna menyembunyikan wajahnya di leher Max.
"Tentu, Adele." Max mengangguk cepat dalam upaya agar kami bisa segera pergi dari panggung pelaminan dan tidak menghentikan antrian terlalu lama.
"Thanks, Max. Eva." Balas Adele buru-buru sebelum kami berlalu dari hadapan mereka.
Keadaan di bawah sama riuhnya karena sepertinya tamu undangan mulai berdatangan. Sulit memperkirakan berapa orang yang hadir di ballroom ini karena ramai sekali, sehingga menciptakan hawa di ruangan besar ini mulai terasa panas.