Kami nyaris mengalami sedikit kesulitan hanya untuk mencapai tempat di mana Sarah berdiri menunggu kami sedari tadi. Apalagi beberapa orang menghentikan langkah kami karena rupanya mereka adalah salah satu anggota keluarga besar Max. Mereka tidak hanya saling menanyakan kabar, tetapi juga membicarakan bisnis yang masing-masing tengah mereka jalankan.
Aku sama sekali tidak memahami apa isi pembicaraan mereka, sehingga aku hanya berdiri menahan kebosanan di sebelah Max. Acara ini mulai tidak menarik hatiku lagi, dan aku berusaha menahan diriku agar tidak terlalu memperlihatkan wajah jemu.
Tetapi tidak demikian dengan baby Juna. Laki-laki mungil tersebut mulai rewel dan menggeliat tak nyaman di tangan Max. Aku yakin, Arjuna pasti sama bosannya denganku, apalagi udara mulai panas sehingga membuat Juna jadi lelah juga______.
Ya ampun! Sekarang waktunya Juna makan siang, bukan?
Aku berpaling ke arah Max yang masih mengobrol tentang bisnis, tanpa menyadari kalau sekarang sudah waktunya bagi baby Juna untuk makan siang. Tidak bisakah ia menghentikan obrolan bisnis mereka demi Juna?
"Max? Max?" Aku memberanikan diriku untuk menyela pembicaraan mereka. Tak kupedulikan ekspresi Max yang seketika langsung berpaling ke arahku. Kedua bola matanya memandangku tajam, seolah menegurku.
Entah datang dari mana, tiba-tiba aku dihinggapi perasaan jengkel pada Max.
"Sekarang waktunya Juna makan siang, Max. Biarkan aku membawa Juna ke tempat Sarah untuk makan." Aku mengeluarkan suara dengan nada ringan. Max melirik jam tangannya dan tampak berpikir sebentar, lantas menyetujui pendapatku.
"Baiklah." Setengah hati Max memberikan Juna kepadaku.
"Sayang, kita makan dahulu yuk." Dengan nada sedikit membujuk aku menyambut tubuh Juna ke arahku. Syukurlah, Juna langsung melepaskan tangan mungilnya dari leher Max dan terulur ke arahku. Menghembuskan nafas lega, aku langsung mendekap erat tubuh Juna ke dadaku.
"Maaf, saya harus pergi." Aku mengangguk ke arah teman bicara Max dan segera memutar tubuhku. Baru dua langkah, tiba-tiba suara Max memanggil dari belakangku.
Aku berbalik dan menatap Max bertanya.
"Jangan berpindah-pindah, agar nanti aku mudah menemukan kalian." Max mengatakan demikian dengan wajah datar. Ekspresinya yang tak terbaca membuatku kesulitan mencerna tujuan Max mengucapkan kalimat tersebut barusan. Ucapannya yang mirip dengan perintah seketika meletupkan kembali kejengkelan yang tadi sempat kurasakan padanya.
Tanpa membalas kalimat Max, aku segera berbalik kembali dan berlalu meninggalkan mereka.
Melihatku datang bersama baby Juna, buru-buru Sarah mengambil sesuatu dari stroller Juna yang ada di sebelahnya.
"Sedari tadi saya sudah menunggu, Nona Eva. Karena sekarang waktunya Juna makan."
Sarah mengeluarkan baby feeding set berbentuk termos dan membuka tutupnya dengan cepat. Sebuah celemek makan langsung terikat longgar di leher baby Juna ketika ia melahap makan siang yang disodorkan oleh pengasuhnya. Sembari memangku tubuh Juna, sesekali aku mengelap mulut dan rambut halus yang mulai menempel pada dahi dan kulit kepalanya akibat keringat.
Aku khawatir sebentar lagi baby Juna rewel karena kepanasan, apalagi tubuh montoknya terbungkus kemeja dan rompi tuxedo.
Selesai Juna menghabiskan makan siangnya, aku meminta Sarah untuk makan terlebih dahulu. Aku tidak mau pengasuh Juna tersebut sampai kelaparan dan sakit di tempat mewah ini, apalagi makanan berlimpah di atas meja.
"Saya masih bisa tahan kok, Nona Eva saja yang makan. Saya tidak apa-apa menjaga Juna di sini." Elak wanita itu tak nyaman. Aku menggeleng kuat, menyadari sepenuhnya kalau Sarah pasti takut pada Max. Sarah tidak mau Max menemukan dirinya tengah enak-enak makan sementara Juna malah dijaga olehku.
"Jangan khawatir. Kalau kamu bertemu Max, bilang saja aku yang memintamu. Sekalian saja katakan pada Max kalau aku dan Juna menunggunya di sini! Okay?" Tandasku tegas. Melihatku menyembur keras, akhirnya pengasuh Juna tersebut mengalah dan berlalu untuk mengambil makan.
Well, kejengkelan tadi memang masih berbekas di hatiku hingga kini dan makin menjadi karena Max tak kunjung datang. Malahan sekarang aku sama sekali tak melihat sosoknya di tengah kerumunan manusia di depan sana.
Di mana Max? Apa Max lupa kalau dia datang ke acara ini tidak sendirian?
Seharusnya sekarang waktu Juna untuk tidur siang. Tetapi laki-laki kecil ini hanya bergerak gelisah dalam gendonganku. Walaupun aku sudah mengayun-ayun pelan tubuhnya, baby Juna tak kunjung memejamkan matanya. Aku duga karena hawa panas dan suasana bising yang menyebabkan Juna jadi gelisah.
"Tidur, Sayang." Bisikku menunduk memandang sepasang mata bening yang tampak mengantuk dan lelah. Manik mata Juna sayu memandangku, lantas dari mulut mungilnya keluar rengekan pelan sembari menenggelamkan wajahnya pada bajuku. "Kamu mengantuk kan, Juna? Tidur yuk."
Lenganku mendekap Juna kian erat sembari kembali mengayun lembut tubuhnya. Aku ingin tahu apakah Sarah membawa kipas untuk Juna. Mungkin dengan sedikit hembusan angin bisa membuat Juna tertidur.
Kakiku hendak memeriksa isi tas Arjuna yang Sarah letakkan di belakang stroller, ketika tiba-tiba aku mendapati seseorang sudah berdiri di depanku dengan wajah dingin.
"Kamu benar-benar wanita tak tahu malu, Eva. Apa yang membuatmu berpikir kalau kamu diterima di tempat ini? Kami tak pernah menerimamu, Eva. Ingat itu" Desisnya mengalahkan suara keramaian di atas pelaminan sana.
Oh. Shit! Shit! Shit! Sebelumnya aku sudah memperkirakan bakal bertemu Pamela di sini, tetapi mengapa Pamela harus datang sekarang saat aku tengah menggendong Arjuna?
Dan--di mana Max ketika aku butuhkan?! Masa aku harus memanggilnya melalui ponselku? Konyol sekali!
"Halo, Pamela. Bukan aku yang ingin berada di tempat ini, tetapi Max yang menginginkannya. Ingat itu pula, Pamela." Aku menyahut tak kalah dingin. Tanganku sengaja mendekap kepala Juna lebih erat agar telinganya yang masih polos tak perlu ternodai oleh suara perseteruan di antara orang-orang di sekitarnya.
"Max hanya terlalu malas bergerak untuk mencari yang jauh labih baik darimu, Eva. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Amelia dan kamu, tetapi aku mulai berpikir kalau kamu lah yang sengaja mempengaruhi Amelia untuk membuat surat wasiat itu agar kalian bisa menguasai Max, terutama anaknya. Kamu memang luar biasa cerdik, Eva." Pamela masih saja berdesis penuh permusuhan padaku.
Aku mengernyit tak paham, bagaimana Pamela bisa memiliki pemikiran begitu jahat tentangku? Untuk apa aku ingin menguasai Max, apalagi Arjuna?!
"Tarik tuduhan jahatmu, Pamela. Aku tak segan-segan mengatakan tuduhan konyolmu itu pada Max." Sahutku menahan marah.
"Jangan sok polos. Aku sudah bisa membaca rencanamu itu, hanya Max yang belum menyadarinya. Lihat saja, begitu aku bisa membuktikan kelicikanmu, Max akan segera membuangmu. Sekarang berikan anak itu padaku." Selesai mengatakan demikian, Pamela mengayunkan satu langkah kepadaku.
Refleks, tanganku memeluk tubuh Juna untuk melindunginya.
"Aku tidak peduli dengan omong kosongmu, Pamela. Kamu tidak tahu siapa aku dan apa yang sanggup aku lakukan. Sahabatku Amelia, jelas-jelas menitipkan Juna padaku untuk aku jaga. Sekali saja kamu memaksa Arjuna, aku bersumpah akan mempertahankannya dengan fisikku." Aku bersuara penuh tekanan, menaikkan sedikit daguku dalam upaya membatalkan niat Pamela. "Oh, tentu saja aku berani. Meski kamu adalah mama tiri Max yang seharusnya aku hormati. Tetapi demi Juna, aku tidak keberatan melakukannya sekarang."
Kami saling bertatapan. Tegang, penuh berdaya listrik megawatt.
Aku membayangkan skenario terburuk jika benar-benar terjadi perkelahian di antara kami, orang yang paling bertanggung jawab adalah Max!
Pria itu berjanji akan mengurus mama tirinya, nyatanya wanita ini masih saja turut campur dan terang-terangan mengambil posisi berhadap-hadapan denganku.
Lebih membuatku kesal lagi, di mana Max sekarang?!
Melihat perlawanan yang aku lakukan, Pamela mulai menyurutkan kakinya. Wajahnya mengerut dingin. Aku bisa bernapas lega saat tubuh Pamela yang terbalut gaun mermaid warna merah berbalik dan meninggalkanku.
Aku mengelus lembut kepala mungil yang ada dalam dekapanku dan menunduk. Menemukan sepasang mata bening dengan sorot mata bertanya tengah menatapku sayu.
"Kamu mengantuk, Juna? Ya ampun, sepertinya kemejamu sudah basah." Bisikku. Telapak tanganku menyelinap ke bawah rompi tuxedo yang Juna kenakan.
Pantas saja kelopak mata Juna tak mau terpejam, ia merasakan tubuhnya tak nyaman.
"Nona Eva. Nona Eva." Aku mendengar suara Sarah tergopoh-gopoh mendekatiku. "Dari jauh, saya tadi melihat Nyonya Pamela ada di sini. Saya langsung berjalan kemari, takut Nyonya Pamela menyusahkan Nona Eva."
"Tidak apa-apa, Sarah. Semua bisa aku atasi. Oya, sepertinya Juna harus ganti baju. Kemejanya sudah basah kuyup, kalau tidak diganti bisa-bisa anak ini masuk angin. Kamu pasti membawa baju ganti untuk Juna, kan?"
Sarah bergeming, wajahnya menampilkan kebingungan.
"Tadi yang mendadani Juna adalah Tuan Max, Nona. Saya takut Tuan Max marah kalau saya mengganti baju______."
"Aku yang akan mengganti baju Juna, bukan kamu. Okay? Katakan itu pada Max kalau ia menegurmu." Aku berdecak kesal pada Sarah. "Kalau sampai Juna sakit, Max juga ikut menyesal, kan?"
"B.. baik, Nona Eva. Saya ambilkan tas Juna sebentar." Sarah buru-buru mengambil tas Arjuna dari belakang stroller.
"Kamu ambil tas Juna saja, Sarah. Kita ganti baju Juna di kamar mandi. Stroller-nya kita pindahkan ke sana." Aku menunjuk sebuah ruang kosong dengan daguku. Ada AC portable berdiri di area tersebut. "Udara di sana pasti lebih sejuk, sehingga Juna bisa tidur nyenyak."
"Tetapi, Nona Eva." Sarah ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya. Aku memandang bertanya pengasuh Juna dan seketika berdecak setelah menangkap apa yang ada di benak Sarah.
"Tidak ada orang di tempat ini yang berniat mencuri stroller, kalau itu yang menjadi kekhawatiranmu, Sarah. Lagipula, kita tidak mungkin mendorong stroller di tengah kerumunan orang-orang itu. Kasihan Arjuna." Aku mengerutkan satu alis dan Sarah langsung mengiakan ucapanku.
Benar saja, tidak sampai lima menit kami mengganti seluruh baju Juna dengan bahan katun lembut, bayi montok itu sudah terlelap di atas stroller-nya. Udara sejuk yang berhembus dari AC portable di belakang kami membuat tidur Juna menjadi nyaman.
"Kalau Nona Eva mau minum atau makan, tidak apa-apa kok. Saya bisa menjaga Juna di sini." Kata Sarah kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan, mengingat sedari tadi tiba di sini sama sekali aku belum minum apalagi makan.
"Baiklah. Hati-hati, Sarah. Kalau ada yang ingin mengganggu tidur Juna, usir saja. Tidak perlu takut." Nasihatku.
"Baik, Nona." Sarah hanya mengangguk, meski aku tahu pengasuh Juna ini tidak akan berani mengusir andai Pamela datang selagi aku tidak ada.
Aku mengaitkan tali clutch bag ke atas bahu dan mulai mengayunkan kakiku ke arah meja soft drink. Setelah menandaskan isinya, aku menikmati semangkuk kecil sup krim asparagus di tanganku sembari menyapu pandanganku ke seluruh penjuru.
Dari tempatku berdiri aku mengawasi Elena dengan gaun biru panjangnya dan dua orang teman wanitanya tengah berdiri di dekat stroller. Aku pikir hanya Pamela yang mengenal Elena, ternyata wanita itu lebih dekat dengan keluarga besar Max dari yang aku kira.
Sarah memandang mereka dengan wajah kaku, sementara Elena dan teman-temannya tersebut membungkuk di atas stroller di mana Juna tengah tertidur.
Kalau sampai kelakuan mereka membuat Juna terbangun dari tidur, tak segan-segan aku akan mendekati dan menegur mereka.
Aku menghela napas panjang. Ternyata kejengkelan ini masih berbekas dalam hatiku. Kupikir, mungkin kejengkelanku ini bisa aku tumpahkan dengan makan.
Selesai dengan cream soup, aku meraih dua potong dim sum yang sepertinya lezat dan mudah aku habiskan. Menghabiskan potongan pertama, aku melanjutkan dengan potongan kedua saat kulihat dua orang tengah berbicara nun jauh dari tempatku berdiri.
Ternyata kamu di sana, Max! Laki-laki tersebut sedang berbicara dengan mama tirinya. Kelihatannya pembicaraan mereka penuh ketegangan dan tidak berjalan dengan baik. Aku bisa melihat tangan Pamela sesekali menunjuk ke sebuah arah.
Apakah aku yang sedang mereka bicarakan?
Yeah, aku ingin tahu seperti apa reaksi Max kalau tiba-tiba aku datang di tengah-tengah mereka? Sekalian aku langsung bisa meminta pendapat Max tentang tujuan Pamela mendekatiku tadi.
Aku meletakkan piring dim sum-ku dan melirik ke arah Sarah dan Juna sebentar. Rupanya Elena dan dua orang teman wanitanya sudah pergi.
Bagus. Aku bisa mencari tahu keseruan apa yang tengah terjadi antara Max dan mama tirinya. Kakiku hendak berayun pergi ketika tahu-tahu sebuah suara menegurku.
"Evangeline? Kamu pasti Evangeline yang ada dalam surat wasiat Amelia."
Aku berbalik dan tertegun.