Part 9

Wajahnya tampan, tetapi asing bagiku. Aku belum pernah melihat wajah pria ini sebelumnya, dan aku yakin sekali kalau aku tidak mengenalnya. Di manapun. Namun, yang membuatku langsung tertegun adalah pria ini tahu tentang surat wasiat Amelia!

Dia pasti ada di dalam circle yang sama dengan Max. Siapa dia?

"Ya?" Aku mencoba melemparkan senyum ramah meski aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

Pria ini memandangku seolah tatapannya menerawang-- bukan! Bukan menerawang. Aku memperhatikan dengan saksama. Ya. Pria ini sedikit mabuk!

Sial!

Aku tadi memang melihat di sudut ballroom ini ada meja bar berikut dengan kursi-kursinya. Pria ini pasti baru saja dari tempat tersebut.

Ya Tuhan. Kesialan apa lagi yang akan aku alami? Setelah Max yang menjengkelkan, kemudian Pamela yang sudah menghinaku, berikutnya adalah pria pemabuk ini!

Apa yang dia inginkan dariku?

"Ya. Ya. Kamu pasti tak mengenalku, karena kita sama sekali belum pernah bertemu." Tiba-tiba pria ini mengulurkan tangannya ke arahku. Aku hanya mengamatinya ragu-ragu. "Aku Ryan. Kamu pernah bertemu mama tiri Max? Pamela? Wanita cantik dan ambisius? Nah, dia adalah mamaku."

Ryan menyeringai senang melihatku tercengang menatapnya. Saudara tiri Max!

Demi kesopanan saja aku terpaksa menyambut uluran tangan Ryan dan buru-buru menariknya kembali.

"Aku tadi melihatmu datang bersama Max dan anaknya. Jadi aku langsung berkesimpulan kalau kamu pasti adalah Evangeline, teman yang disebut dalam surat wasiat Amelia." Ryan lagi-lagi mengeluarkan seringainya. "Selamat, Eva. Aku ingin mengatakan kalau kamu adalah wanita beruntung sekaligus paling sial."

Kemudian pria ini terkekeh kecil sendiri, seolah ia baru saja mengeluarkan sebuah lelucon yang sangat menghibur dirinya. Sedangkan aku masih berdiri tercengang mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria di depanku ini.

Sialnya lagi, celetukan-celetukan pria setengah mabuk tersebut sudah menggugah keingintahuanku. Sepertinya pria bernama Ryan ini memiliki banyak informasi penting untukku.

In vino veritas. Di dalam anggur adalah kebenaran!

Bukankah orang yang mabuk akan mengatakan hal yang benar? Aku bisa memanfaatkan momen ini untuk menggali keterangan apapun yang aku butuhkan.

Mataku memandang sejenak ke arah Max. Ia masih berbicara dengan Pamela, dan kali ini ada Elena ikut serta di antara mereka. Aku yakin mereka pasti membicarakan rencana Pamela untuk menjodohkan Max dengan wanita pilihannya, Elena. Wajah kedua wanita tersebut tampak senang, sementara aku kesulitan melihat wajah Max karena tertutup oleh kerumunan orang-orang di depanku.

Daripada menduga-duga, lebih baik aku fokus dengan anak laki-laki Pamela ini.

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau isi surat wasiat Amelia menyebutkan namaku? Aku juga ingin tahu, mengapa kamu mengatakan kalau aku wanita paling beruntung sekaligus paling sial?"

Cengirannya makin lebar, merasa berhasil sudah membuatku tertarik.

"Tentu saja aku tahu, Eva--boleh aku memanggilmu Eva? Kalau aku bisa menghitung dalam beberapa hari terakhir, namamu paling banyak disebut oleh sesama anggota keluarga besar kami." Ryan menelengkan kepalanya, mungkin ia menganggap semua ini seperti permainan.

"Oh, mengapa begitu?" Tanyaku. Aku harus mendapatkan informasi ini. Harus!

"Karena.. kamu akan menjadi calon istri Max. Tepatnya, kamu adalah calon ibu seorang bayi milyuner." Kekehan panjang kembali meluncur dari bibir Ryan.

"Aku tahu kalau Max adalah pria kaya raya." Aku berusaha menyembunyikan kegusaran dalam suaraku karena secara tidak langsung Ryan telah menyebutku seorang gold digger. Wanita yang ingin mendapatkan Max demi uangnya saja. "Asal kamu tahu, Ryan. Kalau aku nanti memutuskan jadi menikah dengan Max, itu bukan karena Max adalah pria kaya raya. Tetapi semata-mata karena aku menghormati isi surat wasiat sahabatku, Amelia."

Mendengar ucapanku, mendadak Ryan tertawa makin panjang. Kepalanya tergeleng entah melecehkan kebodohanku atau kasihan padaku, aku tidak yakin.

"Aku tidak sedang membicarakan Max, Eva! Ck. Kamu benar-benar naif! Aku sedang membicarakan Tomas, kakeknya Arjuna. Ayah kandung Max."

Sialan, aku dibilang naif oleh seorang pemabuk. Aku memandang Ryan tak mengerti. Tomas? Siapa lagi Tomas?

"Kamu lihat pria tua yang duduk di atas kursi roda dekat pelaminan?" Dagu Ryan menunjuk ke suatu arah dan pandanganku langsung mengikutinya.

Ya aku melihatnya. Seorang pria bersetelan lengkap dengan jas hitam, duduk di atas kursi roda. Dari kejauhan aku bisa melihat rambutnya memutih sebagian dengan cambang menyemak di dagunya.

"Dia adalah pria paling berkuasa di antara semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan seluruh gedung ini dan isinya sanggup ia beli, kalau dia mau." Ryan tertawa melihatku memandang dengan wajah tercengang. "Tomas itu orang tua gila, jahat, juga pelit. Dokter sudah memberinya vonis kalau penyakit jantungnya sebentar lagi akan membuatnya mati. Kamu tahu hal gila apa yang orang tua itu lakukan begitu dia tahu bakal mati sebentar lagi?"

Ryan memandangku senang karena aku menggelengkan kepala. Dari caranya bicara, aku menduga kalau Ryan sangat membenci Tomas, ayah Max. Tetapi mengapa?

Ryan mendekatkan wajahnya dan berbisik dengan dramatis.

"Tomas membuat surat wasiat baru yang isinya mewariskan seluruh hartanya yang tak terkira banyaknya untuk bayi yang waktu itu masih ada di perut istri Max. Orang tua gila, bukan?"

Apa?! Aku terhenyak. Bola mataku pasti sudah membola tak percaya dengan pendengaranku sendiri. Maksudnya Arjuna?! Baby Juna-ku?!

"Mm.. maksudnya? Tunggu.. tunggu.. mengapa ayah Max tidak mewariskan seluruh hartanya kepada anaknya saja tetapi malah kepada calon cucunya?" Gila. Ryan benar. Ayah Max benar-benar gila.

"Meski Max adalah anak satu-satunya, hubungan mereka buruk. Sangat buruk. Sejak orang tua Max bercerai, ia tinggal bersama Leoni, ibunya di Belanda. Begitu bercerai, Tomas menikah lagi dengan Caroline. Max sangat membenci Tomas dan Caroline, karena gara-gara wanita itu maka orang tuanya bercerai. Nah, tidak lama kemudian Caroline meninggal karena kecelakaan dan Tomas akhirnya menikahi mamaku, Pamela. Bagaimana? Kisah keluarga mereka sudah mirip drama opera sabun, bukan?"

Aku tergeleng. Bingung. Pusing. Tak mengerti. Begitu banyak nama-nama yang terlibat dalam kisah keluarga kaya raya ini.

Namun, pelan-pelan aku mulai bisa merangkai semua potongan-potongan cerita bak sinetron ini dalam satu cerita yang utuh.

"Max menolak mentah-mentah setiap pemberian Tomas, meski itu warisannya sekalipun. Gila, kan? Ya, dua orang bapak dan anak itu memang gila. Lebih gila lagi ketika Tomas memutuskan memberikan semua miliknya pada Arjuna."

"Bagaimana denganmu? Meski kamu anak tiri, sudah sewajarnya kamu juga memiliki hak untuk mendapatkan warisan tersebut." Balasku ingin tahu.

Mendengar pertanyaanku, tahu-tahu Ryan mendekatkan wajahnya dan menatapku serius. Aku sempat bergidik dibuatnya, apalagi aku tahu kalau pria ini dalam kondisi setengah mabuk.

"Dengarkan aku, Eva. Meski aku tak punya uang, pantang bagiku untuk mengemis pada Tomas. Seandainya aku bisa memilih, aku lebih suka menjual rumah ayah kandungku dan merantau ke luar negeri. Jauh dari orang-orang kaya yang gila oleh harta dan kekuasaan. Tetapi mamaku memang sangat ambisius, dia melakukan apapun demi bisa menikah dengan Tomas. Dia berpikir dengan menikahi Tomas, hidupku akan mudah, usahaku maju, uangku banyak. Ternyata dia salah. Tomas malah mewariskan seluruh kekayaannya pada cucunya. Ironis, kan?"

"Maaf. Aku turut menyesal mendengarnya." Aku mengedikkan bahu. Sekarang aku baru tahu kalau selama ini Pamela menyebutku mengejar Max demi hartanya. Ternyata Pamela sendiri yang melakukannya pada Tomas, ayah Max.

"Tidak perlu kamu berikan kata-kata basi padaku, aku sudah terlalu muak mendengarnya." Ryan meraih gelas yang berisi air putih di atas meja di dekat kami berdiri. Ia menandaskan dalam satu kali teguk. Kemudian berpaling padaku. Jari telunjuknya mengarah padaku.

"Kalau aku jadi kamu, lebih baik menyingkir. Jauhi keluarga ini. Begitu kamu menikah dengan Max, maka kalau Tomas mati, kamu akan menjadi wali dari Arjuna, sampai usianya cukup untuk menerima tanggung jawab ini. Artinya seluruh harta Tomas akan berada di bawah kekuasaanmu. Dan--kamu tahu____." Ryan kembali berbisik dengan cara dramatis seperti tadi. "____banyak yang mengincar posisimu. Kamu adalah wanita beruntung sekaligus paling sial. Hati-hati, Eva."

"Kamu hanya menakui-nakuti diriku saja. Aku tahu itu." Aku memandang dengan wajah tegar ke arah Ryan yang sudah menyeringai padaku. Sekuat-kuatnya aku menahan, toh, bulu kudukku meremang mendengar kalimat terakhir Ryan. Tetapi, tunggu--barangkali anak Pamela mengetahui hal ini. "Apakah kamu mengenal wanita bernama Elena, Ryan?"

Kontan Ryna terbelalak, lantas tertawa keras atau tepatnya mentertawakanku.

"Well, ternyata kamu sudah mengetahui tentang Elena? Kenapa dengan Elena? Mengincar posisimu juga?" Ryan menelengkan kepala dengan gaya menyebalkan. "Dia anak dari teman mamaku, dan kupikir dia adalah.. saingan beratmu."

Amelia tak pernah menceritakan apapun tentang kerumitan keluarga Max. Ya Tuhan. Apa aku nantinya sanggup menghadapinya?

"Sepertinya kamu mulai memikirkan ucapanku, Eva? Oh ya, aku mau menambahkan lagi daftar kerumitanmu. Kamu lihat orang yang duduk di sebelah pelaminan itu?" Dengan sorot mata geli, dagu Ryan kembali menunjuk ke depan.

"Paman Tito." Desisku pelan.

"Tito dan keluarganya ikut membantu membangun bisnis Tomas. Tetapi apa yang dia dapat? Tidak ada, selain bagian saham yang keluarganya miliki sejak dahulu. Sepertinya Tito juga tidak bisa menerima kenyataan kalau ia tidak mendapatkan bagiannya." Sesudah mengatakan demikian, senyum lebar nan penuh kepuasan Ryan berikan padaku.

"Apakah aku harus berhati-hati padamu juga, Ryan?" Aku memandang pria ini dengan tajam.

"Terserah padamu. Aku bisa menjadi lawan, tetapi bisa juga menjadi teman." Ryan tertawa sembari meraih gelas berisi air putih yang lain dari atas meja dan langsung menandaskan isinya. "Bersiaplah, Eva. Welcome to our world."

Ryan meletakkan gelasnya kembali ke atas meja, lantas ia berlalu dari hadapanku sambil membawa kekehan kecil yang terdengar seperti ancaman bagiku. Sialan.

Mataku mencari ke tempat tadi Max dan Pamela berdiri, tetapi aku sudah tidak menemukan sosoknya lagi.

Ke mana lagi Max pergi?

Aku memutuskan kembali bergabung bersama Sarah dan Juna. Sebenarnya perutku masih lapar, tetapi nafsu makanku sudah menguap tak berbekas. Semua berita yang keluar dari mulut Ryan, anak kandung Pamela, begitu mengguncang diriku.

Apakah karena itu Pamela hendak menjodohkan Max dengan Elena, karena ingin memiliki Arjuna? Tepatnya, apa yang dimiliki oleh Arjuna.

Jangan-jangan-- inikah alasan sebenarnya mengapa Amelia menitipkan Arjuna padaku? Amelia menganggap akulah satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

Sejak awal Amelia sudah bersikeras agar aku mengasuh Arjuna. Amelia tahu kalau aku pasti bersedia, karena aku adalah sahabatnya bukan karena harta yang dimiliki oleh Arjuna.

Aku menyesap segelas soft drink dan menghabiskan seluruh isinya. Tak bersisa. Meletakkan kembali gelasku, kakiku kembali berayun menuju ke tempat Sarah duduk menjaga Arjuna

"Evangeline. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu." Seseorang memanggilku. Kelopak mataku terpejam untuk beberapa saat.

Tuhanku. Jangan ada lagi ryan-ryan yang lain. Cukup satu Ryan yang membuatku sakit kepala seperti sekarang.

Aku berbalik. Seperti tadi, aku berdiri dan tertegun..