Seorang pria mengenakan kemeja putih yang terbungkus oleh tuxedo warna hitam serta berbahan sangat halus. Sepasang matanya menyorot tajam ke arahku, tetapi bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang sempurna. Secara keseluruhan pria di hadapanku sekarang menarik--sangat menarik.
Sosoknya mengingatkanku pada Max, hanya saja ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya berbeda dari Max-- dan sepertinya pria ini sangat menyadarinya.
Ya. Aura bad boy memancar kuat dari sana. Ia tampil lebih menggoda, menantang, dan.. berbahaya.
"Ya? Apakah aku mengenalmu?" Dahiku berkerut. Aku yakin pria ini pasti salah satu anggota dari keluarga besar Max, tetapi aku tak punya ide siapa dia.
Dia tertawa renyah, sedangkan aku hanya berdiri menatapnya. Aku tidak mengerti, di mana lucunya pertanyaanku?
"Aku Gerald." Pria yang menyebut dirinya Gerlad ini mengulurkan tangannya padaku. Suaranya berat dan ramah. "Aku adalah kakak dari mempelai wanita yang tengah berbahagia di sana. Sekarang kamu mengenalku, Evangeline."
Ah, sepupu Max! Anak laki-laki Paman Tito.
"Oh. Hai. Senang berkenalan denganmu juga, Gerald. Aku Evangeline, panggil saja Eva." Aku menyambut genggaman telapak tangannya yang hangat seperti sikapnya padaku. "Terus terang aku terkejut karena beberapa orang di sini sudah mengenal namaku, padahal aku belum pernah hadir di acara keluarga besar Max sebelumnya."
Gerald lagi-lagi mengeluarkan tawa renyah andalannya.
"Siapa yang tidak ingin mengenal dirimu, Eva?" Ia menggelengkan kepalanya, bola matanya memandangku tajam dan intens. Senyuman itu tak pernah lekang dari bibirnya. "Wanita cantik, calon istri Maxleon."
Oh, luar biasa sekali keluarga besar ini! Gerald juga sudah mengetahui isi surat wasiat Amelia!
Sekarang aku tidak yakin apakah namaku begitu menarik bagi mereka karena Evangeline adalah calon istri Max, atau karena Evangeline adalah calon wali Arjuna?.
"Terima kasih untuk pujianmu, Gerald. Kepalaku makin terasa berat saja sekarang." Balasku sedikit sarkastis. Mendengar balasanku, pria tampan ini langsung menyemburkan tawanya.
Sebagai marketing bank, bertemu dengan beragam tipe orang tentunya merupakan hal biasa bagiku. Dari pengalamanku, tipe pria dengan mulut manis seperti ini, ucapan yang keluar mulut mereka biasanya hanya sanjungan omong kosong.
"Sepertinya mengobrol denganmu sangat menyenangkan, Eva." Belum sempat mulutku terbuka, Gerald sudah berlalu dengan cepat dan menyambar dua gelas soft drink dari atas meja di dekat kami.
"Bagaimana kalau kita mengobrol denganku di luar sana? Karena, ruangan disini terlalu berisik." Gerald menyodorkan satu gelas soft drink ke arahku. Aku berdecak dan menggeleng sembari menerima gelas dari tangan Gerald.
Aku belum menemukan Max.
Bola mataku sekali lagi menyapu ke segala arah, berharap menemukan sosok Max di antara kerumunan orang-orang di sana. Sayangnya nihil.
"Kalau kamu mencari Max, dia sedang bersama Pamela.. dan Elena, tentu saja. Asal kamu tahu, Max memang bersikap lunak dengan mama tirinya karena hubungan mereka berdua lumayan dekat." Gerald menyesap minumannya pelan, sementara aku membalas tatapan mata Gerald yang tajam dengan menyipitkan mataku. Sialan, ternyata aku terlalu mudah dibaca olehnya. "Jika kamu ingin tahu, dengan senang hati aku akan menjelaskan padamu, Eva. Oh ya, calon anak asuhmu juga masih tertidur nyenyak di ujung sana."
Double sialan. Aku kembali mudah dibaca oleh pria yang tengah berdiri dengan tenang di depanku ini.
Max tengah sibuk dengan urusannya sendiri, sementara Arjuna masih tertidur nyenyak. Ada Sarah menjaga di sana. Apa yang bisa kulakukan?
Aku ikut menyesap soft drink di tanganku, hatiku tergelitik ingin tahu.
"Sepertinya tawaranmu menarik." Kapan lagi aku bisa mengetahui cerita di balik keluarga Max?
Gerald tersenyum lebar, menyilaukan, memperlihatkan barisan gigi serinya yang putih dan rapi. Tanpa mengucapkan kalimat apapun, ia memutar tumit. Lucunya, masih dengan gelas di tanganku, aku mengekor di belakang tubuhnya.
°•°•°•°•°•°•°
°•°•°•°•°•°•°
"Sewaktu orang tuanya dalam proses perceraian, Max dalam kondisi terpuruk dan Pamela datang sebagai teman padanya. Waktu itu Max tinggal bersama ibunya di Belanda. Kalau tidak salah Pamela selalu menjemput Max di bandara setiap kali dia pulang ke Indonesia. Bahkan, ketika ibu kandung Max meninggal dan jenazahnya dibawa ke Indonesia, Pamela yang mengurus semuanya." Gerald membuka ceritanya beberapa saat lalu, sedangkan aku hanya diam mendengarkan. Kami berdiri di luar, tak jauh dari pintu depan ballroom. Meski beberapa orang masih berlalu-lalang di dekat kami, tetapi suara-suara bising dari dalam ballroom tidak begitu terdengar dari tempat kami berdiri.
Gerald menyesap soft drink sampai habis sebelum kembali membuka mulutnya. Telingaku kembali terpasang.
"Aku kira Pamela akan menjadi mama tiri Max berikutnya, ternyata ayah Max memilih Caroline yang merupakan sahabat Pamela. Mungkin karena itu Max makin tidak menyukai ayahnya sekaligus juga Caroline. Tragisnya, pernikahan mereka tidak berlangsung lama karena Caroline meninggal karena kecelakaan. Hingga pada akhirnya, ayah Max menikahi Pamela. Aku tidak tahu persis bagaimana ceritanya. Mungkin Max mendorong ayahnya untuk menikahi Pamela, sebagai balasan karena Pamela sudah begitu baik kepada Max selama ini."
Pantas saja Pamela merasa berhak mengatur kehidupan Max, hingga ke urusan rumah tangganya. Aku berdecak tersamar. Membayangkan saja terasa berat, apalagi menjalaninya.
Namun, aku merasakan ada yang lucu dari kisah keluarga mereka. Kalau memang Max tidak mau menerima warisan dari ayahnya, mengapa tidak dilimpahkan kepada Pamela--sebagai istrinya? Mengapa malah ke Arjuna?
Aku berniat menanyakan hal ini kepada Gerald, tetapi aku urungkan niatku karena kupikir pertanyaanku ini terlalu jauh dan sangat pribadi.
Aku masih calon--belum tentu aku dan Max jadi menikah. Mungkin benar apa yang dikatakan Max saat kami makan malam waktu itu, belum saatnya aku mengetahui alasan terkuat Amelia menulis surat wasiat itu untukku. Masalah warisan belum menjadi urusanku.
Aku menghela napas. Mengapa aku malah ingin langsung berbicara saja dengan Tuan Tomas, ayah Max?
Gila! Pikiranku pasti sudah gila!
Lancang sekali kamu, Eva!
"Sepertinya ceritaku malah membuatmu jadi jemu, Eva?" Oh! Aku terkejut krena tiba-tiba suara Gerald mengeret diriku untuk kembali menginjak bumi.
"Maaf, Gerald. Aku melamun bukan karena bosan, justru sebaliknya malah membuatku jadi makin berpikir." Aku mengedikkan bahu.
"Bagaimana kalau kita berbicara tentang kamu, Eva? Menurutku topiknya lebih menarik. Seperti.. apa aktivitasmu sehari-hari? Kamu bekerja?" Gerald menelengkan kepala sembari memperlihatkan senyum bersinarnya ke arahku.
"Tidak ada yang menarik dari diriku. Aku hanya pekerja biasa sebagai marketing di sebuah bank swasta. Itu saja." Aku menunduk dan menghabiskan soft drink di tanganku.
"Ah. Siapa bilang tidak menarik. Tentunya, aku bisa mengajukan kredit ke tempatmu, bukan?" Senyum itu masih tak lekang dari bibir Gerald.
Mendengar kalimat Gerald, kontan kepalaku menegak menatap matanya. Wah, ada calon debitur potensial!
"Tentu saja bisa, kebetulan itu menjadi bagianku." Balasku jujur.
"Okay. Aku bisa memikirkannya nanti. Apa kamu tidak ingin bertanya padaku, apa pekerjaanku?" Ada senyum geli menyembul di sudut bibir Gerald. Aku mengernyit.
"Tanpa bertanya pun aku sudah tahu apa pekerjaanmu, Gerald. Apalagi kalau bukan pemegang kekuasaan tertinggi di kantormu. Benar, bukan?" Aku menjawab dengan sedikit mendengus dan disambut dengan tawa lepas dari pria di depanku ini.
"Eva!" Aku nyaris terlompat dari kakiku saat tahu-tahu seseorang memanggil namaku. Buru-buru aku berpaling dan menemukan Max berjalan ke arah kami dengan wajah dingin dan kaku.
"Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini." Max bersuara datar. Dalam sekejap aku merasakan atmosfer yang tadinya sedikit menyenangkan kini berubah menjadi panas dan penuh dengan hawa permusuhan. "Gerald."
Max berpaling sejenak ke arah sepupunya sebelum kembali padaku. Suara Max mengundang kerutan di dahiku kian dalam.
"Maxleon." Gerald balas menyapa dengan suara biasa saja. Tak ada nada permusuhan, tetapi juga tidak ada nada persahabatan layaknya keluarga. "Eva, terima kasih untuk obrolannya. Aku harus masuk. Sampai bertemu lagi."
Gerlad meraih gelas soft drink yang sudah kosong dari tanganku.
"Max. Selamat tinggal." Gerald mengacungkan satu gelas kosong di tangannya dan segera berlalu ke dalam ballroom.
"Mengapa kamu tidak menungguku di dalam bersama Arjuna, Eva?" Desis Max sepeninggal Gerald. Permukaan wajah Max yang tampak keruh, memancing kejengkelan yang sebenarnya sudah tidak aku rasakan sejak tadi.
"Bagaimana aku bisa tahan menunggumu di dalam sana, sementara kamu tidak datang-datang. Lagipula apa salahku mengobrol dengan sepupumu?" Semburku berdesis tak kalah garang.
Seandainya tadi Max cepat tiba, tentunya Pamela tidak akan mendekatiku dan aku tidak akan sejengkel ini.
"Aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan Gerald. Dia bukan pria baik-baik. Ingat itu." Max masih saja berdesis padaku, membuat emosiku kian terpancing.
"Apa kamu lupa, selama di dalam tadi kamu terus-terusan mengobrol dengan orang-orang. Aku tidak protes padamu." Aku masih membalas sama kerasnya.
"Kami bicara bisnis, Eva. Bukan sekadar mengobrol."
"Kamu pikir kami tadi tidak bicara bisnis? Kami membicarakan pekerjaanku dan aku bisa mendapatkan customer potesial dari sana."
Kami berdiri berhadap-hadapan, dalam posisi bertempur. Max menatapku kaku dan tanpa ekspresi, sedangkan manik mataku memandang Max penuh luapan amarah. Gelembung ketegangan membungkus kami.
"Ah, sudahlah. Kalau urusanmu sudah selesai, lebih baik kita pulang sekarang. Toh, mamamu juga tak menyukai kehadiranku di sini." Mataku sempat menangkap ada sedikit kilatan terkejut keluar dari wajah Max. Aku menggertakkan gigi, berniat memutar tumitku dengan segera. "Aku bisa naik taksi, kalau kamu masih ingin tinggal di sini. Tolong sampaikan pelukanku untuk Arjuna. Selamat tinggal, Max."
Baru saja kakiku berayun, aku merasakan Max menangkap telapak tanganku dan menggenggamnya erat. Tanpa membuka mulutnya lagi, Max menuntunku ke dalam ballroom.
Tanpa merasa perlu berpamitan dengan siapa-siapa lagi, Max membawa kami pulang saat itu juga.
Suasana benar-benar canggung dan tidak nyaman selama dalam perjalanan pulang. Max mengunci mulutnya, begitu juga dengan aku yang merasa terlalu malas untuk membuka mulutku.
Apalagi Juna masih tertidur pulas, sehingga tidak terdengar celotehan-celotehan lucunya yang mungkin bisa melarutkan atmosfer kaku di tengah kami.
Aku masih merasa segan untuk bertanya, mengapa Max tidak mengantarkanku pulang terlebih dahulu padahal mercy miliknya melewati daerah tempat apartemenku berada. Kuduga karena Arjuna tertidur, sehingga Max merasa perlu untuk tiba di rumahnya dengan segera.
Hingga Max membaringkan tubuh mungil Juna di atas tempat tidur boks-nya, masih tidak ada yang membuka percakapan di antara kami. Aku mencium sebentar kening Arjuna dan bergegas keluar dari kamar Juna.
"Lebih baik aku pulang sekarang, Max. Mm.. kamu tak perlu mengantarku, aku akan memesan taksi saja. Thanks sebelumnya untuk undangan ini. Bye." Akhirnya percakapan terjadi saat kami berada di luar kamar Juna karena aku harus segera pergi dari sini.
"Aku akan mengantarmu pulang." Max menjawab dengan kaku.
"Mm.. tak perlu, Max. Aku bisa pulang sendiri."
"Eva." Cukup satu kata dan aku langsung tersadar untuk segera mengatupkan mulutku. Max tidak suka seseorang membantah perintahnya.
Sekali lagi mulutku terkunci di sepanjang perjalanan menuju ke tempat tinggalku sampai kami tiba di lantai basement-nya, bahkan sampai Max menemaniku naik ke lantai tujuh di mana unitku berada.
"Terima kasih, Max. Untuk semuanya. Selamat sore." Pintu kamarku sudah terbuka. Kami berdiri kaku di depan pintunya. Sebenarnya banyak yang ingin aku tumpahkan kepada Max, tetapi saat ini aku benar-benar malas berurusan dengan pria datar di depanku ini.
Aku memutar tubuhku, tetapi tangan Max menahanku tanganku.
"Maafkan aku, Eva. Mungkin.. ucapanku tadi terlalu keras padamu. Aku tidak bermaksud seperti itu." Max mendesah pelan. Mungkin ia sungguh menyesal dengan semburan kalimatnya tadi kepadaku.
"Okay. Aku akan memahaminya." Aku memandangnya sekilas, mengangguk dan kembali hendak memutar tubuhku. Bahkan untuk menatap matanya saja, aku merasa enggan.
"Eva. Aku juga minta maaf, kalau selama di sana tadi mungkin Pamela mendatangimu dan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan padamu. Seharusnya aku ada di sebelahmu tadi. Aku sudah bicara pada Pamela, dan sayangnya, tidak berjalan dengan baik." Bisik Max sekali lagi. Kali ini Max meremas lembut tanganku.
Aku bergeming dalam tundukku. Maksud Max jelas, artinya Pamela akan terus merongrong hubungan kami berdua. Tiba-tiba aku dilanda kelelahan dan membutuhkan istirahat segera. Aku perlu menyegarkan pikiranku.
"Eva, jangan diam seperti ini. Katakan sesuatu." Desah Max serak. Perlahan aku mengangkat kepalaku dan menemukan sepasang mata tajam sarat kekhawatiran tengah memandangku.
"Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan padamu, Max. Tetapi otakku tak bisa berpikir saat ini. Aku sangat lelah dan butuh istirahat segera. Kita bisa membicarakan hal itu besok, kan?" Balasku dengan suara lemah. Aku membuang tatapan matak ke lantai.
"Aku mengerti, Eva. Kamu bisa menghubungiku kapan pun." Aku merasakan Max kembali meremas tanganku. "Sekarang istirahatlah. Aku pulang sekarang. Sampai jumpa lagi, Eva."
"Sampai jumpa, Max."
Tahu-tahu bibir Max menanamkan ciuman singkat di kedua pipiku sebelum berlalu meninggalkanku. Berikutnya, aku menutup pintu apartemen dan berdiri tertegun di belakangnya.
Apa yang sudah dia lakukan?