Aku dikepung pekerjaan. Hampir satu minggu ini, aku seperti kesulitan bernapas. Jadwal survei ke beberapa calon customer, menyusun repayment capacity dari seorang debiturku yang mengalami kredit macet, belum lagi tumpukan dokumen appraisal contract dan analisa kredit yang menunggu diperiksa dan harus segera diajukan ke komite kredit.
Tentunya para calon customer tidak mau kerja kami lamban, bisa-bisa mereka lari ke bank lain kalau pengajuan kredit mereka tak kunjung disetujui.
Padahal aku memiliki jadwal pribadi yang lain, tetapi tak kalah pentingnya. Bertemu dengan orang tua Amelia.
Dua hari yang lalu aku sudah membatalkan kunjunganku ke rumah mereka karena mendadak Lucy--pimpinan cabang yang baru di kantorku--mengajak meeting sepulang kerja hingga pukul sembilan malam.
Meski aku sudah menyampaikan permintaan maafku dan mereka memahaminya, tetapi aku tahu kalau aku sudah mengecewakan dua orang yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri.
Akibatnya, aku bertekad kalau tidak hari ini atau besok, aku harus bisa mengunjungi rumah mereka. Alhasil, aku tak memiliki sisa waktu lagi untuk mengunjungi baby Juna meski aku sangat merindukannya.
Sejak acara pernikahan sepupu Max pada hari Sabtu lalu--yang berakhir tanpa ada komitmen apapun di antara kami, aku dan Max belum saling bertukar pesan lagi. Kebisuan membentang di antara kami. Kami seperti dua orang yang sedang marahan, saling mendiamkan dan tidak bertegur sapa.
Mungkin saja, pria tersebut jauh lebih sibuk daripada aku sehingga tak sempat memikirkan hubungan kami yang sepertinya tidak berkembang ke arah yang lebih baik, tetapi malah mengarah ke hal yang lebih rumit bahkan bisa saja menjadi buruk.
Aku sendiri sampai saat ini tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan isi surat wasiat Amelia. Semua masih terlihat gelap. Kelabu di mana-mana. Satu-satunya harapanku sekarang adalah kedua orang tua Amelia, sedangkan untuk bertemu mereka saja aku tak punya waktu.
Bertekad harus menemui keduanya, sore itu aku memaksakan diri untuk pulang tepat waktu. Merasa sedikit beruntung karena Lucy tidak memanggilku seharian tadi, apalagi diajak meeting dadakan hingga malam. Tak kuhiraukan lagi tumpukan pekerjaan yang memanggil dan melambai marah ke arahku.
Sedikit bernapas lega, karena pada akhirnya aku bisa mengarahkan moncong Honda HRV-ku menuju ke Jakarta Selatan di mana kedua orang tua Amelia tinggal.
Tuan Glenn dan Nyonya Sylvi menyambut kedatanganku di beranda depan ketika roda mobilku menggilas halaman rumah besar mereka.
Rumah ini pada jaman dahulu begitu akrab bagiku. Atas permintaan mereka karena melihat kondisiku, selama berbulan-bulan aku bisa tinggal dengan nyaman di dalamnya. Hingga aku lulus SMA dan pada akhirnya aku memaksakan diri tinggal sendirian di apartemen sampai aku lulus kuliah.
"Evangeline Sayang."
"Mama Sylvi. Papa Glenn." Sejak awal, mereka sudah mengizinkanku memanggil dengan sebutan papa dan mama. Aku memeluk Tuan Glenn, sebelum memeluk Nyonya Sylvi dan mencium kedua pipinya.
Amelia berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Seperti yang dikatakan Amelia, ayahnya adalah pejabat BUMN besar, sedangkan ibunya adalah seorang sekretaris utama dari sebuah perusahaan pertambangan asing. Keduanya sudah pensiuan saat ini, dan tinggal menikmati kemakmuran yang sudah mereka raih selama ini.
Adik Amelia satu-satunya mengambil studi master di bidang bisnis di Amerika Serikat. Ia menikah dan tinggal di sana hingga kini.
Sementara aku dan Amelia lulusan dari universitas negeri terbaik di Indonesia. Namun, kami berbeda jurusan. Amelia mengambil jurusan Hubungan Internasional, sementara aku lulusan Ekonomi.
"Kami sudah lama menunggu-nunggu kedatanganmu, Eva. Kenapa baru datang sekarang? Kami sangat merindukanmu, apalagi Amelia sudah tidak ada lagi." Ada kilatan air di ujung mata Nyonya Sylvi. Penuh haru, aku kembali memeluk tubuhnya dan memohon maaf.
"Maafkan kesibukanku, Mama Sylvi, Aku berjanji akan sering datang ke sini. Aku janji." Kepalaku menegak kembali, kedua bola mataku memandang tulus ke arah keduanya dan terasa memanas akibat luapan perasaan dari dadaku.
"Kalau begitu, kita melanjutkan obrolan di dalam saja. Mama, ajak Eva masuk." Kali ini suara Tuan Glenn menengahi di antara kami. Istrinya mengangguk.
Sembari melingkarkan lengannya pada lenganku, Nyonya Sylvi membawaku masuk ke rumah.
Kami duduk di sofa besar yang ada di ruang keluarga. Sebuah layar LED berukuran besar tengah menayangkan gambar berita tetapi tanpa suara. Mungkin Tuan Glenn tak ingin suara yang keluar dari televisi akan mengganggu percakapan kami.
"Ternyata sekarang sudah hampir jam tujuh malam, bagaimana kalau kita makan malam dahulu, Eva? Papa juga pasti sudah lapar. Tadi mama memasak gudeg, nanti kamu bawa pulang juga ya?"
Tuan Glenn mengiyakan ucapan istrinya. Sebenarnya aku tidak begitu lapar, tetapi melihat antusiasme Nyonya Sylvi aku tidak tega menolak ajakannya.
Belum ada pembicaraan apapun di antara kami, akhirnya aku mengalah dan pasrah saja ketika lengan Nyonya Sylvi menyeretku kembali menuju ruang makan.
Aroma gurih langsung menyambut kedatanganku di meja makan. Gudeg dengan segala atribut masakan lainnya. Ayam goreng, telur, tahu dan sambal goreng krecek sudah tersaji dengan rapi di atas meja. Gudeg adalah makanan favorit Amelia--dan konon masih kata Amelia, Max juga menyukainya.
Aku tidak berhasil mengingat dengan baik, sepertinya dahulu Nyonya Sylvi sering memasak gudeg spesial untuk Amelia dan Max. Sampai-sampai Amelia rela belajar bagaimana cara membuat gudeg berikut dengan atributnya demi Max.
Aku tak pernah berpikir apakah lintasan ingatan masa lalu ini bisa aku referensikan andai aku memenuhi isi wasiat Amelia dengan menikahi Max. Aku tak yakin, karena hasil dari hidup sendirian selama bertahun-tahun membuatku tumbuh menjadi manusia yang praktis. Kepuasan isi perut tidak masuk dalam daftar prioritas yang aku harus pelajari secara khusus.
Well, setiap manusia berbeda-beda, bukan?
Selama di meja makan, kami membicarakan topik yang ringan dan umum, seperti bagaimana pekerjaanku saat ini dan kondisi ekonomi dan politik saat ini. Sebagai keluarga kelas menengah dan berpendidikan seperti mereka, topik-topik seperti ini sangat mereka gemari. Hingga kami menyelesaikan makan malam dan berpindah kembali ke ruang keluarga.
Aku memilih menyesap segelas teh tawar hangat untuk melarutkan lemak yang rasanya memenuhi perutku saat ini. Meski perutku kekenyangan, tetapi aku mendapati hatiku menghangat.
Sejak dahulu, aku menyukai aura kebapakan dan keibuan yang dipancarkan oleh orang tua Amelia. Berada di dekat mereka, aku seperti ikut merasakan memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan sempurna. Kehadiran seorang ayah dan ibu secara utuh yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya dalam hidupku.
Setelah melalui obrolan yang ringan, aku merasa sekarang saatnya aku menceritakan apa yang menjadi kegundahan, kegalauan, kebingungan, yang pada akhirnya hanya membuatku sulit tidur dan dada menjadi sesak sejak aku menerima surat wasiat dari Amelia, putri mereka.
Aku tidak terlalu berharap mereka nantinya bisa memberiku sebuah kesimpulan yang menenangkan diriku, tetapi setidaknya dengan menumpahkan isi separuh kepalaku saja, aku yakin perasaanku pasti akan menjadi lebih ringan.
"Papa dan mama, sebenarnya aku punya maksud tertentu mengapa aku datang ke sini. Aku sudah berpikir lama, menimbang segala kemungkinan, tetapi sayangnya aku belum menemukan jalan terbaik yang harus aku ambil." Aku menunduk dan bergeming. Mataku termangu menatap isi gelas teh tawar hangat yang isinya masih separuh.
"Eva." Tiba-tiba suara ayah Amelia mengoyak kebisuan yang melingkupi kami bertiga. "Sebenarnya kami juga ingin menceritakan sesuatu padamu. Itulah mengapa kami terus menunggu-nunggu kedatanganmu ke rumah ini."
Aku tertegun sejenak, lantas menegakkan kepalaku.
"Maksudnya?" Kelopak mataku berkedip memandang mereka berdua bertanya-tanya.
"Kami sudah tahu, Eva. Amelia memintamu menjaga Arjuna dan menikah dengan Max, bukan? Dan, maksud kedatanganmu kemari pasti ingin mendengar tanggapan dari kami tentang isi surat wasiat Amelia. Benar, Eva?" Tuan Glenn tersenyum dan menatapku hangat layaknya seorang ayah.
Seketika rasa haru menggulungku dengan cepat. Ternyata aku tidak sendirian, aku masih memiliki kedua orang tua Amelia yang bisa menjadi sandaranku saat ini.
"Ya Tuhan. Darimana kalian bisa mengetahuinya? Apakah Max yang mengatakannya? Benar sekali, Papa Glenn. Setelah menerima surat wasiat Amelia, aku.. aku bingung apa yang harus lakukan?" Suaraku serak menahan luapan emosi yang perlahan naik dari dada ke tenggorokan. Membentuk benjolan yang membuat mataku seketika memanas. Buru-buru ujung jari telunjukku menahan sudut-sudut mata yang mengancam akan mengalirkan airnya.
Nyonya Sylvi mengulurkan tangannya dan mengambil gelas dari tanganku lantas meletakkannya di atas meja. Ia menggantinya dengan genggaman tangan yang hangat di atas jari-jariku.
"Kami sudah mengetahuinya sejak awal, bahkan mungkin sebelum keluarga Max atau Max sendiri tahu. Karena, Amelia meminta pendapat kami saat ia memutuskan ingin membuat sebuah surat wasiat yang ditujukan padamu. Kalau mama tidak salah ingat, saat itu usia kandungannya enam bulan."
Aku tercenung mendengarkan. Apakah mereka tahu alasan sebenarnya mengapa Amelia memintaku merawat Arjuna? Haruskah aku memberitahu mereka?
"Waktu kami mendengar rencana Amelia, perasaan papa dan mama hancur, Eva. Tetapi keputusan Amelia sudah bulat ingin melahirkan Arjuna meskipun nyawa sebagai taruhannya. Dan--akhirnya kami hanya memintanya untuk memikirkan baik-baik dan mempertimbangkan dengan matang keputusan yang ia ambil karena menyangkut masa depan kalian. Maksud mama, masa depan Max, Arjuna dan terutama kamu." Nyonya Sylvi mengusap kelopak matanya, aku menggenggam tangannya makin erat. "Hingga satu bulan sebelum Arjuna lahir, kami menanyakan sekali lagi pada Amelia tentang surat wasiat itu. Ternyata surat wasiat itu sudah selesai, bahkan sudah diserahkan kepada notaris. Kami tak tahu persis apa isinya, hanya menduga-duga saja. Makanya kami senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Eva."
Aku menunduk. Merenungkan setiap kata yang keluar dari bibir Nyonya Sylvi
"Mengapa Max tidak mencegah Amelia, Mama? Mengapa Max membiarkan Amelia mengorbankan dirinya, demi ambisi Max ingin memiliki______." Aku tersedak oleh kalimatku sendiri. Aku sudah terbawa emosi, tidak seharusnya aku mengatakan ini kepada mereka. "Maafkan aku, Papa. Mama. Maafkan ucapanku."
Aku melihat kepala Nyonya Sylvi tertunduk dan tergeleng sedih
"Kami bisa memahami perasaanmu, Eva. Sebenarnya waktu itu Max juga sudah mencegah Amelia. Bahkan, Max sendiri sampai menemui kami dan meminta kami untuk membujuk Amelia. Kami sudah melakukannya, tetapi kami gagal. Amelia tetap ingin mempertahankan Arjuna."
Oh. Ternyata Max tidak seburuk yang aku duga. Dan--kupikir mereka harus tahu alasan Amelia sebenarnya.
"Aku memiliki dugaan yang bisa saja salah. Aku pikir.. kalian sudah mengetahuinya mengapa Amelia ingin mempertahankan Arjuna, karena.. ayah Max mewariskan seluruh hartanya kepada bayi yang waktu itu ada di perut Amelia." Aku berkata pelan tetapi aku yakin suaraku cukup tertangkap dengan jelas di telinga mereka.
Seketika Nyonya Sylvi melepaskan tangannya dan berpaling menatap suaminya. Tuan Glenn memandangku. Ada kebingungan dan luka yang sulit dimengerti memancar di kedua bola matanya.
"Kamu.. kamu yakin, Eva? Maksudnya.. semua karena harta itu? Darimana kamu tahu? Kami malah tidak tahu mengenai ini." Tuan Glenn tergeleng pelan. "Setahu kami hubungan Max, Amelia dengan ayah Max kurang harmonis. Max dan ayahnya tidak akur. Bagaimana bisa ayah Max malah mewariskan hartanya pada calon cucunya, sedangkan dia dan Amelia sepertinya tidak akrab satu sama lain."
Mereka berdua menatapku dengan sorot bertanya.
"Mungkin berita ini tidak menyenangkan buat kalian. Maafkan aku, Papa. Mama. Aku juga tidak tahu bagaimana kakek Arjuna bisa mewariskan semua harta pada cucunya. Aku mengetahuinya dari saudara tiri Max yang secara tidak sadar menceritakan semuanya padaku. Rupanya kalian tahu kalau hubungan Max dengan ayahnya tidak akur." Aku membalas tatapan mereka penuh penyesalan. Kabar ini pasti sedikit banyak memukul perasaan mereka.
"Tentu saja, Eva. Di hari pernikahan mereka, ayah Max--papa sampai lupa namanya. Tomas.. ya namanya Tomas--dia datang hanya sebentar lalu pergi lagi. Malahan, ibu tirinya tidak datang sama sekali." Tuan Glenn menunduk dengan wajah muram.
"Aku tidak mengerti. Kalau Max dan ayahnya tidak akur, bagaimana ia bisa menjodohkan Max dengan Amelia, Papa?" Pertanyaan ini memang sedikit menggangguku beberapa hari ini.
Tuan Glenn menengadah dan menggeleng pelan.
"Kamu salah mengerti, Eva. Mungkin Amelia mengatakan padamu kalau ia sudah dijodohkan, sebenarnya kata itu tidak tepat. Papa dan Max bertemu secara tak sengaja saat kami sama-sama bermain golf. Waktu itu papa benar-benar dibuat kagum pada Max, dia sangat menarik perhatian papa. Masih muda, sukses dengan bisnisnya sendiri dan cerdas. Max terlihat pendiam serta tidak genit dengan para caddy. Beberapa kali kami bertemu dan mengobrol hingga papa tahu tenyata Max masih single dan papa berniat mengenalkannya pada Amelia. Dan-- akhir ceritanya kamu sudah tahu, Eva. Kami baru tahu belakangan kalau Max dan ayahnya tidak akur juga latar belakang keluarga Max yang sangat tidak biasa, tetapi karena Amelia sudah mencintai Max sehingga kami tak bisa mencegahnya dan hanya bisa merestui saja."
Aku menghela napas panjang dan menunduk. Ya, aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi Amelia ketika bercerita tentang Max, calon suaminya.
Pelan-pelan aku merasakan hangatnya telapak tangan Nyonya Sylvi di atas punggung tanganku.
"Sejak Amelia meninggal, kami sudah tidak bisa lagi mengunjungi Arjuna. Mama tiri Max namanya Pamela, sudah melarang kami pergi ke rumah Max untuk melihat Arjuna." Nyonya Sylvi menunduk dan berusaha menyembunyikan betapa mendung hatinya saat ini. Hatiku serasa diremas melihat kesedihannya. "Mama dan papa pasti mengharapkan yang terbaik untuk Arjuna. Saat Amelia memilihmu, pasti ia sudah mempetimbangkannya, Eva. Apalagi Arjuna mewarisi seluruh harta kakeknya, mama yakin Amelia pasti tidak mau Max menikahi wanita yang hanya mengejar harta Arjuna saja."
Nyonya Sylvi terdiam sesaat, kepalanya menegak menatapku sungguh-sungguh.
"Kami tidak ingin terdengar egois dengan memintamu menikah dengan Max demi Arjuna, cucu kami, Eva. Tetapi, seandainya pada akhirnya kamu memutuskan untuk menikah dengan Max, kami berharap kalian memang saling mencintai dan bersungguh-sungguh dalam pernikahan ini, tidak hanya karena wasiat Amelia saja. Sehingga keluarga kalian kelak berbahagia selamanya."
Aku bergeming dengan mata nanar memandang tangan kami yang saling berkait. Sanggupkah aku?
"Berjanjilah pada kami, Eva. Tidak hanya memperjuangkan kebahagiaan Arjuna, kamu juga harus memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri. Ingatlah, kamu tidak sendiri. Ada kami di sini yang selalu mendukungmu dari belakang."
Nasihat Nyonya Sylvi terus berdengung di telingaku dalam perjalananku pulang kembali ke apartemen.
Harapan orang tua Amelia jelas, mereka menginginkan aku dan Max menikah demi Arjuna.
Sanggupkah aku memenuhi harapan mereka?
Aku tiba di depan pintu apartemen dan mendorong pelan pintunya ketika merasakan ponselku bergetar dari dalam shopper bag-ku. Tanganku mengaduk cepat isinya dan menarik keluar ponselnya. Mataku menemukan nama Max mengambang di atas layarnya.
Ah, rupanya pria ini masih ingat diriku. Jemariku menggeser pelan dan menempelkan benda pipih ini ke telingaku.
"Halo?"
Suara berat dan rendah milik Max langsung memenuhi telingaku.
"Selamat malam, Eva. Maaf, aku menelponmu pukul setengah sepuluh malam. Kamu sudah tidur?"
"Selamat malam juga, Max. Aku baru saja tiba di apartemen." Suaraku pasti terdengar lelah di telinganya.
"Kalau begitu aku ingin mengatakan maksudku dengan cepat agar kamu cepat pula istirahat. Kira-kira apa kamu ada waktu kalau hari Sabtu ini.. kita bertemu?" Aku bisa menangkap ada nada keraguan dalam pertanyaan Max.
Apa tujuan Max kali ini? Kalau Max ingin mendengar jawabanku atas isi surat wasiat Amelia, aku belum siap.
"Max, sepertinya aku_____" Aku kebingungan bagaimana mengatakan kalimat yang tepat kepada Max.
"Juna akan senang sekali kalau kamu mau menemaninya, Eva." Potong Max cepat.
Oh?
"Maksudmu.. pergi bersama Juna?" Oke--aku merasa Max sedang menggunakan anaknya sebagai senjata untuk menghadapiku, meski aku berusaha menepis anggapanku ini.
"Benar. Aku belum pernah mengajak Juna jalan-jalan ke luar selain ke mall."
Aku menakar ajakannya dengan cepat. Baiklah. Toh, kami hanya ingin mengajak baby Juna jalan-jalan saja, kan?
"Okay. Aku akan ke tempatmu, Max. Pukul berapa aku harus tiba?"
"Tidak, Eva. Aku dan Juna yang akan menjemput di apartemenmu, kira-kira pukul sembilan pagi." Balas Max tegas. Aku tahu, artinya aku tidak boleh membantah.
"Hanya kalian berdua? Tidak mengajak Sarah untuk menjaga Juna?" Nah, ini sedikit mengejutkanku. Tidak seperti Max yang biasanya.
"Tidak, Eva. Hanya kita bertiga." Max menegaskan sekali lagi. Kupikir tidak ada alasan lagi bagiku untuk memperpanjang urusan 'hanya kita bertiga' ini.
"Oh. Baiklah, Max. Aku akan siap sebelumnya." Apalagi yang bisa kukatakan?
"Terima kasih, Eva. Juna pasti sangat senang. Sampai jumpa hari Sabtu. Selamat malam, Eva. Istirahatlah."
"Sama-sama, Max. Selamat malam juga."
Aku menutup ponselku dengan kepala dipenuhi pertanyaan. Apakah ini salah satu cara Max mendekatkan kami?