Part 12

Angka yang mengambang pada layar ponsel di atas meja dapur menunjukkan masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi sebelum Max dan Juna tiba untuk menjemputku. Aku duduk di kursi dapur sembari menghabiskan secangkir kopi dan selapis roti panggang berlapis coklat dan berita ringan dari televisi.

Membalut tubuhku dengan blus katun berlengan pendek model terompet dan jeans, aku tinggal merapikan rambut yang masih aku cepol asal-asalan. Hanya butuh waktu tidak sampai lima menit untuk menyisir rambut dan aku akan siap.

Aku nyaris terlonjak dari kursi ketika telingaku mendengar dering halus yang berasal dari pintu depan apartemenku. Benakku bertanya-tanya sendiri, siapa yang berdiri pagi-pagi di depan pintu kamarku?

Tidak mungkin Max. Seperti acara minggu lalu, pria tersebut pasti akan mengirimkan pesan terlebih dahulu kepadaku dan mengatakan kalau mereka menungguku di basement apartemen. Apalagi sekarang ia bersama baby Juna.

Aku berharap yang datang hanya tetangga di sekitar kamarku, sehingga saat pukul sembilan nanti, aku tidak mengalami kesulitan saat meminta mereka untuk pergi.

Kakiku beringsut dari kursi dan berayun cepat menuju pintu. Mataku mengintai melalui door viewer dan menemukan diriku terkejut bukan main. Tak perlu pikir panjang, buru-buru tanganku memutar kunci dan menarik daun pintunya segera.

"Juna?!" Bola mataku seketika membulat kaget mendapati baby Juna tengah mengoceh dan bergerak-gerak riang dalam gendongan lengan Max di depan pintu kamarku. "Mengapa tak memberitahu kalau mau langsung naik kemari? Aku bisa siap-siap segera."

"Selamat pagi, Eva." Tak menghiraukan keterkejutanku, Max menjawab dengan tenang seperti biasa.

"Selamat pagi." Aku membalas sapaan Max sejenak sebelum mataku beralih ke arah pria kecil yang tampil menggemaskan di depanku sekarang. Spontan lenganku terulur untuk meraih Juna, dan betapa senangnya karena tubuh mungilnya langsung condong ke arah tanganku. Dengan segera Juna berpindah ke dalam gendonganku. "Halo, Sayang. Selamat pagi."

Aku menciumi pipi gemuk Juna beberapa saat. Aroma bayi favoritku nyaris membuatku lupa kalau kami masih berdiri di depan pintu apartemenku. Aku baru tersadar saat Max berdeham kecil.

"Oh. Ya ampun. Silakan masuk." Buru-buru aku mendorong pintu dengan tubuhku karena kedua tanganku sibuk menggendong Juna. Max membantuku menutup pintunya kembali. "Duduklah, Max. Kamu ingin minum apa? Kopi? Teh?"

"Tidak perlu, Eva." Sambut Max pendek. Ia menempatkan tubuhnya di salah satu sofa yang ada di depan televisi.

"Okay." Dengan baby Juna ada dalam gendonganku, aku melangkah menuju dapur. Sembari menggoyang-goyang kecil tubuh Juna, kepalaku celingukan mencari sesuatu yang bisa dimakan oleh sahabat kecilku ini. Hanya ada roti panggang dan selai coklat di atas meja dapur, tak mungkin aku memberi Juna makanan orang dewasa. "Duh, tante tidak punya makanan bayi di sini."

"Juna sudah membawa bekal biskuit bayi, Eva. Lebih baik aku gendong dia, jadi kamu bisa bersiap-siap sekarang." Tahu-tahu Max sudah berdiri di belakangku. Kedua tangannya terulur untuk mengambil alih Juna dari gendonganku. Dengan sedikit terpaksa, aku mengembalikan Juna ke dalam gendongan ayahnya setelah sebelumnya mencuri sebuah ciuman di pipi kirinya.

Aku bergegas masuk ke kamar tidur dan membuka cepolan rambutku dengan cepat. Menyisir sebentar, lantas menarik sedikit rambut bagian atas dan menjepitnya.

Beres

Telingaku bisa menangkap pekikan kegirangan dari Juna mengisi ruang tengah apartemenku. Pasti Juna sedang bercanda dengan ayahnya. Seketika sensasi hangat mencubiti dadaku, meski telingaku masih terasa asing mendengar ada suara bayi di dalam apartemenku.

Sembari menyambar sling bag yang tergantung dekat lemari baju, kakiku berayun cepat keluar kamar. Mataku mendapati kepala Max bersandar nyaman di belakang sofa dengan kedua tangannya memegang Juna di bawah ketiaknya. Tubuh baby Juna berayun-ayun ke atas dan ke bawah, sementara kedua kaki mungilnya menjejak-jejak perut Max. Rupanya pekikan kegirangan tadi karena ini.

"Aku sudah siap." Suaraku menginterupsi kemesraan bapak dan anak ini. Max berpaling ke arahku sebentar, lantas beringsut bangun dengan mendekap Arjuna di dadanya.

"Okay. Kita berangkat sekarang." Ajak Max. Aku mengangguk. Kakiku mengekor langkah Max, setelah sebelumnya mengunci pintu apartemenku. Kami berjalan berendeng menuju lift yang akan membawa kami ke basement.

-oOo-

Aku mengira kami hanya akan jalan-jalan di seputaran Jakarta, mungkin ke taman rekreasi anak-anak atau semacamnya. Ternyata dugaanku salah. Max membawa kami jauh hingga ke Bogor.

Sebuah restoran alam yang berada di puncak bukit menjadi pilihan Max. Mereka menyajikan pemandangan hijaunya gunung dan lembah yang luar biasa cantik. Apalagi udara sejuk khas Bogor berhembus lembut di seputaran tempat ini.

Kami duduk di atas gazebo sehingga dengan leluasa mata kami mencecap panorama indah dibawah sana. Menunggu pesanan minuman dan makanan tiba, kami mengobrol hal-hal umum sembari mengawasi baby Juna yang sudah bangun dari tidurnya selama perjalanan. Kini pria kecil tersebut sibuk merangkak ke sana kemari sehingga beberapa kali tangan Max harus mengangkat tubuh mungilnya mendekat agar ia tidak terjungkal dari atas gazebo.

Dari mulutnya terus keluar ocehan mirip kata 'papa', kendati kadang-kadang harus terhenti oleh bekal makan siang yang aku suapkan padanya. Jika ada orang lain yang melihat kebersamaan kami, pasti mereka mengira bahwa kami adalah satu keluarga yang harmonis.

Juna begitu gembira, dan aku sedikit merasa prihatin dengan kondisinya.

Max pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga sedikit sekali waktu yang bisa ia berikan untuk membawa baby Juna sekadar jalan-jalan ke luar. Kalaupun Max punya waktu, pasti hanya mengajak Juna keluar ke mall saja.

Pesanan kami tiba bersamaan dengan Juna selesai menghabiskan makan siangnya. Aku membawa Juna duduk di atas pangkuanku sementara Max mengelap mulut Juna dari sisa-sisa makanan dan cipratan minuman dengan tisu basah, membuka celemeknya, lantas membereskan tempat makannya kembali ke dalam wadah termos seperti yang pernah aku lihat dibawa oleh Sarah.

Aku duduk memperhatikan bagaimana Max melakukannya dengan sangat detail dan telaten.

Sempat terlintas dalam benakku, berapa lama Max belajar semua ini? Karena Max tampak sudah sering melakukannya. Semua terlipat dengan rapi dan kembali ke tempat semula dengan benar dan tanpa cela.

"Makanlah dulu, Eva." Kepalaku terangkat terkejut saat suara berat Max tiba-tiba mengoyak kebisuan yang beberapa saat lalu membentang di antara kami. Max pasti sempat melihatku duduk tertegun memperhatikan tangannya yang cekatan. "Biar Juna bersamaku."

Aku memandang Max sedikit ragu. Dari suaranya aku bisa menduga kalau ini adalah perintah, artinya Max tidak suka dibantah.

"Oke." Balasku akhirnya. Biarpun sebenarnya aku belum merasakan lapar, tetapi aku sedang tidak ingin bersitegang saat ini.

Max mengambil baby Juna dari pangkuanku, lantas aku meraih piring fettuccine chicken dan gelas ice blended cream pesananku. Aku sengaja memesan makanan yang mudah aku habiskan, tetapi sebaliknya dengan Max. Selain memesan sebotol bir tanpa alkohol, ia juga memesan beberapa menu makanan sekaligus. Sepanci kecil tom yum, sepiring cumi goreng tepung dan coklat sponge cake sebagai desert.

Di mana Max menyembunyikan lemak di tubuhnya?

Aku berusaha makan dengan cepat. Sembari menggulung fettuccine beberapa kali dengan garpu, diam-diam aku melirik cemburu ke arah tubuh Max yang tetap tegap tanpa ada lemak yang menggelambir dari balik t-shirt berlengan panjang warna biru tua yang ia gulung hingga siku. Ternyata di balik kesibukannya, Max masih menyempatkan diri untuk membakar lemak-lemak di tubuhnya. Luar biasa.

"Minggu depan aku harus pergi untuk melakukan business trip ke beberapa negara asia." Suara Max menarik bola mataku untuk berpaling kembali memandang wajahnya. Pria tersebut menunduk fokus dengan Juna yang tengah menggigit-gigit mainan di atas pangkuannya. Sesekali tangan mungil Juna menggoyang mainannya sehingga menimbulkan suara gemerincing. "Bisakah kamu menolongku untuk menjaga Juna, Eva?"

Max menoleh ke arahku, pandangan kami bertemu untuk beberapa saat sebelum kepalanya kembali pada Juna. Ekspresinya sulit terbaca. Benakku berusaha meraba ke mana arah ucapan Max kali ini.

"Maksudmu?" Akhirnya aku menyerah dengan ketidaktahuanku. Max tampak tercenung ragu sebelum mengeluarkan suaranya.

"Selama ini aku tidak pernah meninggalkan Juna sampai bermalam, ini untuk pertama kalinya. Kalau kamu tidak keberatan, sementara aku pergi kamu bisa bermalam di rumahku untuk menjaga Arjuna."

Apa?!

Max memindahkan tatapan matanya dari Juna kepadaku yang nyaris tersedak oleh ucapannya. Untungnya, gulungan fettuccine terakhir sudah aku gelontorkan masuk ke kerongkonganku.

Kupikir permintaan Max kali ini terlalu berlebihan padaku. Meskipun Max tidak ada di rumahnya, tetapi apa yang akan dikatakan keluarga Max, terutama Pamela, andai mereka mengetahui aku sudah bermalam di rumahnya.

Aku menggeleng pelan. Bukan aku tidak kasihan pada baby Juna, tetapi aku belum sanggup melakukannya.

"Maafkan aku, Max. Sepertinya.. aku belum bisa." Aku mengelap mulutku, lalu menghela nafas sebentar, tanganku terulur untuk mengusap pelan pucuk kepala Juna. Merasa ada yang menyentuh kepalanya, laki-laki kecil tersebut berpaling dan memberiku senyum lebar. Aku membalas senyumnya dengan sayang. "Saat kamu malam-malam menghubungiku dan mengajakku ke tempat ini, sebenarnya aku baru saja pulang dari rumah orang tua Amelia. Mereka mengeluh kalau sekarang tidak bisa lagi menjenguk Juna karena mama tirimu melarangnya. Sama seperti yang ku alami. Kamu tahu?"

"Ya. Tuan Glenn sudah mengatakan padaku tentang hal ini. Aku sudah meminta mereka untuk datang kapan pun mereka inginkan dan menegur keras Pamela untuk ini. Termasuk sikap Pamela padamu, Eva. Kamu juga bisa datang kapan pun kamu inginkan." Permukaan wajah Max tampak muram. Aku merasakan ada pertanyaan menggelitik di benakku.

"Mengapa kamu tidak terima saja wanita yang disodorkan Pamela padamu? Elena, bukan? Dia cantik dan diterima oleh keluargamu. Kalaupun dia masih kaku dengan anak-anak, kupikir itu wajar. Lama-lama dia akan terbiasa." Hei. Mengapa nada suaraku berubah seperti cemburu? Aku menunduk dengan pura-pura menyesap minumanku agar Max tidak bisa membaca mataku. Sesungguhnya dalam hati kecilku tidak rela, membayangkan Arjuna diasuh oleh wanita lain, apalagi seperti Elena.

Aku merasakan kedua bola mata Max menyapu sisi wajahku dengan tajam, sebelum ia menarik napas panjang.

"Aku tidak hanya memikirkan kesenangan diriku sendiri saja, Eva. Tetapi juga Arjuna. Dalam posisiku sekarang, sulit bagiku untuk membedakan mana yang benar-benar menyayangi Juna atau hanya karena faktor lain." Suara Max sudah mirip keluhan sekarang.

Aku ingin menyeletuk, apakah faktor lain maksudnya adalah harta warisan Arjuna? Tetapi pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahku tersebut aku telan kembali. Bukan hakku untuk menanyakan hal itu pada Max.

"Sebagai laki-laki, aku tidak memiliki sisi romantis yang bisa membuat wanita bertahan berhubungan denganku. Apalagi kalau Gerald sudah mulai masuk dan mengambil kesempatan dariku." Max menunduk dan menciumi pucuk kepala baby Juna. Aku bisa melihat Max begitu menyayangi Juna

"Gerald? Maksudmu sepupumu itu?" Dia terlihat baik dan ramah padaku.

"Benar. Aku dan Gerald selalu satu sekolah sejak kecil hingga aku kuliah dua semester. Entah apa yang ada di balik otak Gerald, dia selalu menganggapku sebagai saingan dan berusaha merebut apapun yang berharga dariku."

Oh? Berita ini mengejutkanku.

"Amelia?" Jangan-jangan sahabatku tersebut juga digoda oleh sepupu Max yang tampan ini!

"Kecuali Amelia. Karena saat kami mulai pacaran hingga menikah, keluargaku tidak ada yang tahu. Tetapi sepertinya Gerald memang tidak ada niat untuk menggoda Amelia." Aku mengeret napas lega mendengar cerita tentang Amelia.

Dari cerita Max barusan, aku bisa meraba mengapa keluarga Max tidak ada yang tahu hubungan Max dengan Amelia hingga mereka menikah. Mengacu dari cerita anak laki-laki Pamela, karena memang Max hidup dengan ibunya di Belanda dan sepulangnya dari sana ia tidak mau berhubungan dengan keluarga ayahnya lagi.

Max memegangi Juna yang berdiri di atas pangkuannya. Rupanya Juna sudah bosan dengan mainan gigit-gigitannya, sekarang jari-jarinya yang masuk ke mulut Juna yang sesekali keluar celotehan menggemaskan.

"Berikan Juna padaku, Max. Kamu belum makan, kan?" Aku melirik makanan Max yang masih utuh. Max mengangguk dan berbisik pada putranya yang masih berceloteh riang. Kata-kata papa atau mama meluncur lucu dari mulut Juna.

"Juan, mau ikut mama? Ma-ma? Ma-ma?" Bisik Max di dekat telinga Juna, tetapi cukup tertangkap di telingaku. Mendengar suara Max, spontan Juna mengikuti kata-kata ayahnya dengan riang.

Max mengangkat tubuh Juna dan menyerahkannya padaku.

"Aku belum memutuskan apapun, Max." Tegurku halus seraya mengambil Juna dari tangan Max. Seolah baru tersadar dari pingsan, wajah Max memerah. Ia mengelus belakang kepalanya dengan malu.

"Aku tahu. Tadi spontan mengikuti Arjuna. Tetapi, tolong pertimbangkan permintaanku untuk minggu depan, Eva." Max menyeringai ke arahku saat aku melirik dan mengangguk ke arahnya. Baru kali ini aku melihat wajah Max tampak lepas dan tidak kaku seperti biasanya.

Max mulai menyendok tom yum dengan cepat, sementara aku bermain dengan Arjuna.

"Eva, aku memesan desert ini untukmu. Aku tidak tahu apa kesukaanmu, biasanya wanita menyukai coklat." Di sela-sela makan, Max menyodorkan piring coklat sponge cake ke arahku.

Aku menggeleng pelan karena sudah kenyang. Lagipula, desert berupa coklat sama sekali bukan kesukaanku.

"Maaf, Max. Desert coklat terlalu berat untukku." Tolakku halus.

"Oh? Kamu lebih suka desert buah segar? Tunggu, aku bisa menanyakannya pada mereka, apakah mereka menyediakan desert buah segar." Max mulai menjulurkan kepalanya mencari seseorang pegawai restoran yang bisa membantunya.

"Tidak perlu, Max. Sungguh. Aku sudah kenyang." Aku menggeleng kuat kali ini. Aku tidak ingin makan apapun sekarang. Lebih menyenangkan bermain dengan Arjuna daripada makan. Sayangnya, Juna tampaknya sudah kelelahan dan mulai mengantuk. Ia mulai menyandarkan tubuh mungilnya padaku.

"Max, sepertinya Juna mengantuk." Aku membetulkan letak tubuh mungil Juna sehingga ia bisa tertidur dengan nyaman dalam tanganku.

"Tunggu. Aku harus mengganti pakaiannya." Tanpa memedulikan makanannya lagi, dengan cepat Max berdiri dan bergerak cepat menuju stroller yang tergeletak di samping gazebo. Tubuh Max melesat kembali secepat kilat sambil membawa tas Juna di tangannya.

Aku mengagumi kecekatan Max mengganti baju lengan pendek Juna dengan lengan panjang. Sekejap saja, laki-laki kecil tersebut sudah berganti pakaian dengan yang lebih nyaman, dan bersiap dengan tidurnya.

Aku mendekap dan menggoyang kecil tubuh mungil Juna. Hanya butuh beberapa saat saja, kedua kelopak mata Juna sudah terpejam rapat.

"Aku selesaikan makananku dahulu, Eva. Setelah itu kita bisa pulang." Max menjelaskan padaku tanpa ditanya. Aku hanya mengiyakan saja.

Dalam satu jam, roda mobil Max sudah meluncur kembali ke arah Jakarta.