Surat Izin Mengemudi (Caramel)

Libur semester telah tiba. Aku kembali ke kampung halamanku. Semester ini aku pulang sendiri.

Hubunganku dengan Dito memang belum berakhir atau lebih tepatnya aku yang tidak ingin hubungan kami berakhir. Aku masih belum rela melepaskannya, pria yang sudah kudaulat akan menjadi pendamping seumur hidupku.

Terkadang Dito masih menghubungiku bahkan menemuiku walaupun hanya saat dia perlu saja. Tapi bagiku itu tidak apa-apa dari pada tidak sama sekali.

Libur kali ini aku punya misi tersendiri yaitu mengurus surat izin mengemudiku. Hal ini didasari peristiwa naas yang menimpaku sekitar tiga bulan yang lalu.

Tiga bulan yang lalu....

Aku menatap arloji yang melingkar di tanganku. Sudah pukul 08:55 yang membuatku panik seketika. Pukul sembilan tepat aku ada ujian dengan pak Agus dan sekarang aku baru sampai setengah perjalalan.

“Duuh... kenapa ujiannya harus di kampus 2 sih,” gerutuku dalam hati.

Kampus 2 memang cukup jauh dari tempat tinggalku, sekitar 13 kilometer dan sekarang aku baru menempuh setengah perjalanan.

Aku segera melajukan motor maticku dengan kecepatan 100. “Ah sial lampu merah lagi,” aku kembali menggerutu, setelah lagi-lagi perjalananku terganggu karena lampu merah.

Kulihat sekeliling tidak terlalu ramai, “Nggak apa-apa ah sekali-kali nerobos, yang penting nggak telat, lagian jalanan juga nggak terlalu ramai,” ucapku berbicara dengan diriku sendiri.

Dari pada aku telat dan tidak bisa mengikuti ujian, rasanya tidak apa-apa jika sekali ini aku melanggar lampu merah, lagi pula biasanya aku ini adalah pengendara yang taat aturan.

Dan segera kupacu saja motorku menerobos lampu merah. Tak lama kemudian kulihat dua orang polisi mengikuti atau lebih tepatnya mengejarku dari belakang.

Perasaanku jadi tambah panik, segera kupacu motorku lebih kencang lagi. Namun apalah dayaku berpacu dengan pak polisi yang lebih berpengalaman, aku berhasil disergap dan diintrogasi di tempat.

“Bisa tunjukkan kelengkapan surat-surat kendaraannya,” ujar pak polisi.

Seketika kurasakan panas dingin di sekujur tubuhku, dengan tangan gemetar aku mengeluarkan STNK dari dompet.

“SIM-nya mana Dek?” tanya pak polisi lagi.

"Belum punya Pak,” jawabku gemetar.

“Kenapa belum punya?”

“Nggak sempat ngurusnya Pak.”

“Kalau tidak ada SIM motornya terpaksa kami tahan dulu,” ujar pak polisi.

“Jangan Pak saya mohon, saya ada ujian sekarang Pak, saya mohon Pak motor saya jangan ditahan,” ujarku memohon agar motorku tidak ditahan.

Namun, nasibku memang agak sial permohonanku tidak dikabulkan. Akhirnya aku terpaksa ke kampus menggunakan ojek. Sementara motorku dibawa pergi oleh pak polisi dan aku diminta segera mengurus proses tilang setelah pulang nanti.

Pukul 09:30 aku sampai di kampus 2. Aku sedikit lega sekaligus khawatir melihat beberapa anggota kelasku masih berada di luar kelas.

“Rin, kenapa? Kok nggak masuk kelas?” tanyaku pada Ririn.

“Ujiannya per kelompok Ra, kelompok yang belum dipanggil disuruh nunggu di luar,” jawab Ririn.

"Alhamdulillah,” ujarku bersyukur.

“Jadi kelompok kita belum dipanggil ya Rin?” tanyaku lagi.

“Belum Ra, mungkin habis ini,” jawab Ririn. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setidaknya aku bisa mengikuti ujian hari ini.

Beberapa saat kemudian tibalah giliranku dan teman-teman kelompokku. Saat hendak memasuki pintu ruang ujian kurasakan perbedaan atmosfer yang sangat tinggi disini yang membuatku agak sedikit sesak.

Setelah kuperhatikan ternyata dua AC yang menempel di dinding ikut andil dalam meningkatkan tekanan udara di ruangan ini.

Tertera angka 17 derajat celcius di kedua AC itu. Menurut ilmu geografi semakin rendah suhu maka tekanan udara akan semakin besar.

Satu hal yang sedikit mengangguku, apakah Pak Agus tidak merasa kedinginan di ruangan dengan dua AC menyala dengan suhu 17 derajat celcius? Tapi sesaat kemudian aku teringat kembali pertanyaanku waktu SD, kenapa beruang kutub tidak merasa kedinginan? Jawabannya karena beruang kutub memiliki lapisan lemak yang tebal yaitu sekitar 10 sentimeter.

***

Aku keluar dengan perasaan cukup bangga dari ruang ujian. Alhamdulillah aku bisa menjawab semua pertanyaan Pak Agus, hal ini karena aku sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Dengan senyum yang masih mengembang aku berjalan ke tempat parkir.

“Loh, dimana motorku?” ucapku berbicara sendiri.

“Astagfirullah, aku 'kan kesini naik ojek,” gumamku lagi.

“Kenapa Ra?” tanya Vita yang tiba-tiba menghampiriku.

“Eh, nggak apa-apa Vit, kirain aku kesini bawa motor, eh aku baru ingat motorku ditahan polisi,” jawabku.

“Kok bisa ditahan polisi Ra, gimana ceritanya?” balas Vita. Dia adalah teman yang juga satu kelas denganku.

“Tadi pagi karena buru-buru aku nerobos lampu merah, eh taunya ada polisi, aku kena tilang.”

“Aduuh Ra.. Ra.. ya udah yok, sama aku aja ke kantor polisinya."

“Nggak apa apa nih Vit, nggak ngerepotin?” tanyaku.

“Nggak apa-apa, kan searah juga Ra,” balas Vita.

Aku sampai di pos polisi dengan diantar Vita. Setelah diberi pengarahan agar segera mengurus surat izin mengemudi dan membayar denda tilang akhirnya motor kesayanganku dibebaskan.

Sampai saat ini membayangkan peristiwa itu masih membuatku gemetar. Sebenarnya aku adalah salah satu orang yang agak phobia terhadap polisi.

Waktu kecil dulu aku adalah anak yang jahil, tiada hari yang kulewati tampa menjahili saudara-saudara sepupuku. Untuk meredam tingkah jahilku nenekku sering mengatakan aku akan ditangkap polisi jika aku terus berbuat jahil.

Sejak saat itu polisi menjadi sosok yang sangat menyeramkan bagiku. Bahkan terkadang aku masih merasa tegang disertai panas dingin ketika melihat polisi lewat di jalan, padahal polisinya memang hanya lewat tidak ada niat ingin menangkap orang apa lagi menangkapku.

Awalnya aku berniat ingin segera ke kantor polisi untuk mengurus SIMku setibanya di kampung halaman. Namun karena niat dan keberanianku belum terkumpul, hingga sampai ke minggu ketiga liburan aku masih tak kunjung mengunjungi kantor polisi.

Sampai hari ini, minggu keempat sekaligus minggu terakhir liburanku, karena desakan dari Ibu aku memberanikan diri dan tentunya karena Ibu yang menemaniku. Aku melajukan motor ke kantor polisi bersama Ibu.

“Ra, kok bawa motornya pelan amat? Nanti tutup lo kantor polisinya,” ujar ibuku protes karena aku mengendarai motor dengan kecepatan dibawah dua puluh lima kilometer per jam.

“Ya Allah Bu, baru juga jam sembilan,” balasku.

“Kan prosesnya lama Ra, belum lagi kalau antri, udah ayo naikin lagi kecepatan motornya,” desak ibuku.

“Iya Bu,” ujarku menurut perintah Ibu. Aku tidak mau jadi anak yang durhaka hanya karena kecepatan motor.

Setelah beberapa menit aku dan Ibu sampai di kantor polisi. Saat hendak masuk gerbang keringat dinginku sudah bercucuran karena melihat banyak sekali polisi.

“Ra ayo!” seru Ibu menarik lenganku.

“Ya Bu,” balasku, dan berjalan di belakang Ibu.

Ibu mengambilkanku formulir pendaftaran. Setelah mendaftar kami diharuskan langsung melakukan pembayaran di bank. Setelah itu barulah aku bisa mengikuti tes. Ada dua tes yang harus kulewati, yang pertama adalah tes tertulis dan yang kedua adalah tes praktek mengemudi.

Aku tidak menemui kesulitan yang berarti saat tes tertulis, karena aku sudah cukup paham mengenai rambu lalu lintas. Hingga pada saat namaku dipanggil untuk mengikuti tes praktek mengemudi, seketika aku merasa gemetar dan panas dingin. Ini adalah ujian yang teramat berat selama hidupku, aku harus mengemudi melewati rintangan di depan polisi.

“Caramel Putri Azmi,” aku tersadar dari lamunanku, setelah namaku dipanggil dengan suara yang cukup keras.

“Sa,, saya Pak,” ujarku berusaha mengendalikan rasa gugup.

“Mari ikut saya kelapangan, kita akan melakukan tes praktek mengemudi,” ujar pak polisi.

Aku mengikuti pak polisi itu. Di lapangan aku melihat beberapa traffic cone yaitu kerucut seperti topi berwarna orange. Sepertinya aku harus mengemudi melewati traffic cone itu. Aku meyakinkan diriku, bahwa aku bisa melewatinya. Namun, hal itu sangat bertentangan dengan logikaku yang sangat yakin aku tidak bisa melewatinya. Huft.. Aku menghela nafas panjang.

“Caramel Putri Azmi,” ujar pak polisi tadi setelah menyusun traffic cone agar benda orange itu tepat pada posisinya.

“Ya, saya Pak,” balasku.

“Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya,” ucap pak polisi.

"Hah," ucapku refleks karena kaget.

Aku menengadahkan wajahku untuk melihatnya karena tinggi badanku memang terpaut jauh darinya. Aku memang merasa pernah bertemu dengannya, hanya saja aku sedikit lupa kapan dan dimana.

“Oh, iya kita pernah satu mobil,” jawabku. Aku baru ingat ternyata dia adalah pria yang duduk di sebelah Dito saat perjalanan dari Kerinci ke Jambi sekitar enam bulan yang lalu. Pria yang aku tertawakan karena tidak punya teman makan. Semoga saja dia tidak tahu atau tidak ingat aku pernah menertawakannya.

“Iya,” balasnya.

Kemudian dia langsung menjelaskan peraturan tes praktek mengemudi padaku. Katanya aku harus mengemudikan motor melewati lintasan zig-zag, melewati traffic cone tampa boleh menyenggol benda orange itu, dan tidak boleh meletakkan kakiku di tanah.

Mendengar penjelasannya aku sudah yakin 100% aku akan gagal. Namun setidaknya aku harus mencoba.

Setelah dicontohkan, tiba giliranku untuk unjuk kemampuan. Seperti dugaanku sebelumnya, selama melewati tantangan aku sering sekali menurunkan kakiku menginjak tanah dan beberapa kali menyenggol traffic cone.

Sekilas aku melihat dia sempat mentertawakanku, kemudian mengembalikan ekpresinya seperti semula. Setelah turun dari motor aku kembali menghapiri polisi itu untuk mendengar hasilnya walaupun aku sudah tahu dan yakin dengan dugaanku.

Dia melihat kertas yang dipegangnya.

“Sudah tahu ya hasilnya,” tanyanya, dengan ekpresi seperti menahan tawa.

“Ya Pak,” jawabku tertunduk lesu.

“Kapan berangkat ke Jambi?” tanyanya lagi. Pertanyaan yang membuatku kaget. Karena kurasa tidak ada hubungannya dengan tesku hari ini.

“Tiga hari lagi Pak,” jawabku.

“Seharusnya kalau gagal hari ini, dua minggu lagi baru bisa tes kembali. Tapi nggak apa-apa besok datang saja dan langsung temui saya ya,” ucapnya.

Aku merasa sedikit senang karena polisi itu membuat pengecualian untukku. Aku merasa diistimewakan walaupun itu hanya perasaanku. Tapi tetap saja mau besok atau besoknya dan besoknya lagi aku tetap tidak yakin bisa lulus ujian mengemudi.

Besoknya.....

Aku kembali datang ke kantor polisi untuk melanjutkan ujian mengemudiku. Perasaanku masih merasa gugup, aku merasa melawan medan magnet yang sangat kuat berada di tempat ini. Apa lagi hari ini aku datang sendiri tampa ditemani Ibu.

Aku langsung mencari polisi yang kemarin. Aku memang tidak tahu siapa namanya tapi aku ingat dengan wajahnya. Kuperhatikan satu persatu polisi yang bertugas di ruang tes mengemudi. Tapi aku tidak menemukan polisi yang kemarin.

“Jangan-jangan dia tidak masuk hari ini,” gumamku dalam hati.

Aku terus saja mondar-mandir menunggunya. Kemudian dari luar jendela aku melihat polisi yang kutemui kemarin sedang berada di lapangan. Akupun segera bergegas keluar menuju lapangan. Dia masuk ke mobil polisi. Awalnya kukira dia akan pergi dan melupakan janjinya denganku kamarin, tapi ternyata dia hanya ingin memindahkan mobil.

Aku menelepon ibuku untuk menghilangkan rasa gugupku.

Aku merasa semakin gugup saat polisi itu turun dari mobil dan berjalan ke arahku.

“Udah siap?” tanyanya menghampiriku. Aku hanya menjawab dengan senyuman.

“Masih sama kayak kemarin ya Pak?” tanyaku walaupun sudah tahu jawabannya.

“Iya, masih ingatkan?” balasnya. Aku hanya mengangguk pelan. Setelah mendapat aba-aba aku langsung melajukan motorku melewati rintangan seperti hari kemarin. Namun ternyata, hari ini lebih buruk dari kemarin, bahkan aku sempat hampir jatuh. Dengan langkah tertunduk aku menghampiri polisi itu.

“Kenapa?” tanyanya.

“Nggak apa-apa,” jawabku. Rasanya air mataku ingin keluar kalau tidak menyadari banyak orang yang melihat di sekelilingku. Lama aku menunggu respon darinya, entah apa yang sedang ia pertimbangkan.

“Berarti lusa udah mau berangkat ke Jambi ya?” tanyanya lagi.

“Iya Pak,” balasku singkat.

“Hm, ini karena gagal biaya pendaftarannya dapat dicairkan kembali ya,” ucapnya sambil menyerahkan slip bukti pembayaran padaku.

“Baik Pak, terima kasih,” ucapku menerima kertas bukti pembayaran itu dengan lemas dan tak berselera. Walaupun demikian aku tetap datang ke bank untuk mencairkan uang pendaftaranku. Uang tetaplah uang, bagaimanapun suasana hatiku.

Kukira dia akan meluluskanku, tapi ternyata tidak, sia-sia saja aku datang hari ini, gerutuku dalam hati. Tapi kalau kuingat-ingat lagi dia polisi yang baik. Dan yang paling membuatku terkesan dia mengingatku.

Aku jadi penasaran tentang dirinya. Aku bahkan mencoba mencari tahu tentangnya menggunakan kecanggihan teknologi saat ini.

“Ah, tapikan aku nggak tahu siapa namanya,” aku membatin sendiri.

Tiba-tiba aku mengingat satu hal, di seragamnya tertulis “M. H. Ardhana,” pasti itu namanya. Dengan menggunakan kata kunci itu aku segera mencarinya di segala penjuru dunia maya.

Namun hasil yang keluar tak ada yang sesuai. “Mungkin namanya kurang jelas, M itu kurasa Muhammad, lalu H itu apa ya?” ujarku menganalisa dan berbicara dalam hati. Ah, sudahlah aku menyerah. Sadarlah Kara kamu itu sudah punya Dito, gumamku lagi.

Libur sebulanku berakhir. Aku kembali ke kota Jambi. Sudah kuputuskan aku tidak akan mengurus SIM lagi. Lagi pula jarak dari kampus dan rumahku di Jambi cukup dekat. Tidak ada lampu merah atau pun polisi yang sedang razia. Hanya ada polisi tidur. Semoga di semester ini tidak ada mata kuliah yang mengharuskan aku pergi ke tempat yang jauh.