Chapter 11 - Tekad Haruka

Festival budaya, itu adalah semacam Festival yang digelar tahunan sebagai ajang untuk memberikan siswa siswi dorongan kreativitas untuk berkarya maupun mempererat ikatan satu sama lain dan mengerti akan pentingnya sebuah kerja sama.

Yah seperti itulah, karena kemarin guru tiba-tiba mengumumkan bahwa akan diadakan festival budaya dalam kurun waktu satu bulan kedepan. Pada murid mulai membahasnya. Dan tentu saja aku tidak akan terlibat dengan mereka karena aku hanyalah salah satu dari karakter sampingan yang tidak penting.

Sekarang mau tidak mau aku masih berada disekolah setelah pulang sekolah, dimana para murid juga masih disini. Aku duduk disamping Haruka dengan tampang bosan seolah mengatakan 'cepatlah selesai dan segera pulangkan aku' tentu saja itu hanya perumpamaan.

"Sekarang dengarkan! Festival budaya akan segera diadakan satu bulan dari sekarang. Dan kita sebagai kelas satu harus memenangkan sebagai kelas kreatif agar mendapatkan hadiah utama dalam festival ini, yaitu uang sebesar 5.000 Yen."

"Whooa!"

"Nah, untuk itu mari kita pikirkan. Apa yang kita buat untuk membuat kelas kita menjadi se kreatif mungkin, bagi yang memiliki saran silahkan berpendapat."

Kaito yang merupakan seorang ketua kelas mengatakan itu semabri berdiri didepan papan tulis. Dia memegang kapur sambil menulis seolah bertingkah sebagai seorang guru.

Salah satu murid perempuan mengangkat tangannya. Dia Mia, teman masa kecilku.

"Ya Mia?"

"Bagaimana dengan rumah hantu? Selain kreative kita bisa mengumpulkan dana dari itu."

"Itu ide yang menarik, sementara ini aku akan menampungnya terlebih dahulu." Kaito menuliskannya pada papan tulis. "Ada saran lagi?"

"Bagaimana dengan kafe maid?"

"Bagaimana kalau anak laki-laki yang menjadi maid?"

"Aku ingin mengadakan pameran!"

Beberapa murid mengangkat tangan mereka sambil memberikan saran. Terlebih lagi saran yang kedua itu seharusnya tidak diperlukan, jika anak laki-laki menjadi maid itu hanya akan menyebabkan rasa mual dan jijik kepada orang yang melihatnya. Aku hanya bisa diam sambil menunggu hingga acara tidak berarti ini selesai.

"Aku sudah menulisnya, apakah ada lagi yang lain?" Kaito bertanya.

Suasana kelas menjadi hening, hingga ada satu orang lagi yang mengangkat tangannya. Itu adalah ... Haruka?

Kedua mataku terbuka lebar karena terkejut, apa dia serius? Aku bisa merasakan bahwa tatapan banyak orang mengarah padaku. Tidak, maksudku adalah Haruka.

"Apa kau memiliki saran, Haruka?"

Haruka mengangguk, sambil menuliskan sesuatu pada bukunya dan menunjukkannya pada seisi kelas.

" Pameran Karya sastra?"

Tentu saja, semua orang akan terkejut dengan apa yang baru saja Haruka tuliskan. Karya seni adalah sesuatu yang bagi anak muda adalah, membosankan. Peluang diterimanya saran tersebut kurang dari 10% namun daripada itu, aku lebih penasaran tentang apa yang membuat Haruka mengajukan pameran karya sastra.

"Y-Yah, kita akan tetap menulisnya." Jawab Kaito lalu menulis. "Apakah ada lagi?"

Tidak ada yang menjawab, sepertinya hari ini cukup sampai disini saja.

"Kalau begitu cukup sampai disini, hari sudah sore. Kita akan melanjutkannya besok sepulang sekolah." ucap Kaito.

"Ya!"

Dengan begitu, semua murid mengambil tas punggung mereka begitupun denganku. Mereka segera berbondong-bondong keluar dari kelas untuk menuju ke rumah mereka masing-masing. Tentu saja, seperti biasa aku menunggu lebih lama untuk menghindari mereka, namun entah kenapa Haruka juga mengikutiku.

***

Sekarang aku sedang berjalan pulang bersama dengan Haruka, kami menjaga jarak  satu meter jadi orang lain tidak akan salah paham saat melihat kami berdua. Arah rumah kami berdua kebetulan sama hingga persimpangan depan yang akan memisahkan jalan kami berdua, dan sekarang aku terjebak dalam posisi ini.

Ini adalah pertama kalinya aku berjalan pulang bersama dengan teman sekelas, aku sedikit senang, tidak melainkan aku bingung apakah aku ini senang atau tidak. Selama hidupku ini aku jarang merasakan apa itu yang dinamakan sebagai 'Kebahagiaan' jadi aku mulai bertanya-tanya apakah Tuhan terlalu membenciku.

Tapi yah lupakan itu, aku lebih penasaran dengan Haruka yang menyarankan untuk mengadakan 'Pameran karya sastra' disaat rapat kelas sebelumnya.

"Hei Akira, apakah saranku tadi aneh?"

Haruka yang berjalan di depanku tiba-tiba berbalik sambil menunjukkan tulisannya di buku. Lebih baik arahkan pandanganmu ke depan karena kau bisa saja menabrak seseorang jika berjalan mundur seperti itu.

"Tidak."

Haruka menuliskan kembali pada bukunya. "Tapi kenapa teman sekelas kita memandangku dengan aneh?"

"Aku tidak tahu."

Aku tidak ingin tahu dan tidak ingin terlibat dengan masalah, itulah yang kupikirkan. Sebenarnya aku mengerti alasan kenapa semua orang melihat dengan aneh Haruka. Pertama-tama, kami tidak terlalu dekat dengan semua orang dikelas, tapi tiba-tiba mengusulkan saran yang kebanyakan tidak diminati oleh siswa/i SMA tentu saja akan berdampak buruk.

"Selain itu, kenapa kau mengusulkan 'Pameran karya sastra' bukankah itu terdengar membosankan?"

"Itu tidak membosankan!" Haruka menjawab dengan tegas setelah beberapa detik. Aku terkejut dengan perubahan sikapnya. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut."

"Jangan dipikirkan, jadi apa yang membuatmu tertarik dengan 'pameran karya sastra'?"

Haruka mengeluarkan buku dari tas miliknya, itu adalah sebuah novel. Novel yang memiliki sampul bertema malam dengan ribuan bintang, aku mengingatnya dengan jelas, novel itu ... Novel itu adalah novel yang muncul dalam mimpiku. Novel yang pernah menggerakkan hatiku, namun tiba-tiba saja ingatan tersebut mulai kabur.

Haruka menunjukkan novel itu padaku dengan wajah yang antusias. Kemudian, dia menulis sesuatu pada buku tulisnya.

"Aku ingin membuat sebuah novel!"

"Novel?"

"Ya, aku ingin menjadi pahlawan. Meski tidak langsung, aku ingin tulisanku ini dapat menyelamatkan seseorang. Memberi mereka harapan, dan menunjukkan kepada mereka tentang seberapa luas dan indahnya imajinasi, membawa cahaya pada kegelapan yang menyelimuti hati dan menariknya keluar. Akira, aku ingin menjadi Pahlawan yang seperti itu!"

"...."

Aku terdiam, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tahu persis apa yang dimaksud oleh Haruka karena aku sendiri pernah mengalaminya sendiri, aku pernah diselamatkan sekali oleh sebuah novel yang berjudul 'Ai no Koe' dan sejak itu aku mulai tertarik dengan dunia per-novelan.

Sekarang Haruka ingin menjadi seseorang yang seperti itu, menyelamatkan orang lain melalui tulisannya. Aku bisa melihat tekad yang kuat dalam hatinya yang menyala dengan terang. Tidak seperti milikku yang redup.

"Ya, semoga berhasil."

Kemudian, kami berdua berpisah di persimpangan.