"El, kenapa sih? Bete banget mukanya?" Harsh membantu Ellora untuk berbaring kembali di tempat tidurnya. Ellora baru saja pulang dari Rumah Sakit untuk fisiotherapy. Harsh yang menemaninya.
Selama hampir tiga bulan, mereka tinggal di Los Angeles untuk melakukan pengobatan agar Ellora bisa berjalan kembali setelah Ellora mengalami patah tulang belakang akibat kejadian waktu Ellora memutuskan untuk bunuh diri tempo hari.
Di apartemen milik Om Harsh tersebut, mereka hanya tinggal berdua. Orang tua mereka yang menyuruh agar mereka bisa semakin akrab. Meskipun sesekali ada asisten rumah tangga dari Om nya Harsh yang datang untuk membantu Harsh beres-beres di apartemen yang mereka tempati.
Seminggu sekali baik Ahana-Malik dan Aditi-Omar selalu berkunjung untuk sekedar menjenguk mereka dan memastikan mereka baik-baik saja. Mereka selalu datang bersamaan. Mereka berempat memang begitu rukun. Seakan sudah benar-benar menjadi besan.
"Nggak apa-apa." Ellora tampak tak senang dengan pertanyaan Harsh. Terlihat jelas kalau dia tak nyaman. Entah apa yang membuatnya begitu. Yah, meskipun memang dia selalu bersikap seperti itu selama Harsh bersamanya. Namun kali ini agak terlalu berlebihan. Raut wajahnya mengatakan seakan dia sudah bosan.
Dia awalnya menolak jika Harsh yang harus menemaninya untuk berobat keluar negeri. Harsh pun sama. Dia tak enak dan merasa canggung jika harus berdua bersama dengan Ellora. Apalagi semenjak dia datang ke Jakarta, perlakuan Ellora kepadanya sering kali tak mengenakkan.
Kadang Ellora bersikap baik dan menjadi penurut. Namun tak jarang juga Ellora begitu galak, seakan tak suka jika Harsh ada di dekatnya. Ellora juga kadang begitu dingin. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Harsh saja, Ellora tampak enggan.
Harsh mengerti. Mungkin Ellora memang sedang dalam masa depresi dengan apa yang sedang dia hadapi. Untuk itu, Harsh masih terus bersabar dan terus berusaha untuk tetap mengerti tentang perlakuan Ellora kepadanya.
Meskipun demikian, Harsh tetaplah manusia biasa. Dia juga punya hati. Hatinya sering kali terluka. Dan perasaannya kerap tak baik-baik saja. Tapi untuk Ellora, dia siap melakukan apa saja.
"Ya udah. Kamu istirahat ya. Aku ambilin sesuatu buat kamu makan." Harsh begitu manis tersenyum. Senyum yang tulus.
Ellora tak menjawab. Dia membuang wajahnya. Seperti tak ingin melihat Harsh.
"Tunggu ya." Harsh masih mampu menjaga senyumnya. Kemudian dia membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya, berniat menuju ke dapur.
"Kak Harsh." Ellora memanggilnya. Dia baru beberapa langkah. Bahkan belum sampai keluar dari pintu kamar Ellora.
"Ya El?" Harsh bergegas berbalik. Dan kini dia sudah berdiri di samping tempat tidur Ellora kembali.
"Besok, aku mau Mamah sama Papah aku aja yang di sini nemenin aku. Aku nggak enak ngerepotin Kakak. Kakak pulang aja." Harsh kaget. Namun dia masih terap berusaha bersikap biasa.
"Aku nggak ngerasa di repotin kok El. Santai aja."
"Tapi Kakak kan kuliah. Nggak bener kalau Kakak ninggalin kuliah Kakak demi jagain aku di sini. Udah tiga bulan Kakak nggak masuk kuliah kan? Takutnya kalau Kakak ketinggalan pelajaran."
"Aku udah cuti El. Kamu nggak usah khawatir soal kuliah aku."
"Kakak nggak capek jagain aku? Jagain orang lumpuh kayak aku?"
"El, kamu ngomong apa sih. Kamu nggak lumpuh. Kamu pasti sembuh. Sabar ya."
"Kapan aku sembuh Kak? Kapan? Aku lumpuh Kak. Tiga bulan therapy nggak ada hasilnya kan? Gini-gini aja."
"Ello. Sabar. Jangan putus asa. Kita akan terus berusaha."
"Biar aku aja yang berusaha Kak. Kakak nggak usah. Kakak udah kelihatan capek banget nemenin aku."
"Aku nggak pernah capek El. Dan ini juga bukan pekerjaan yang berat kok. Lagipula ada asisten Om aku juga yang kadang bantu-bantu kita kan? Tugas aku cuman nganterin kamu ke Rumah Sakit buat therapy aja. Udah. Nggak masalah buat aku."
"Tapi aku capek Kak. Aku capek bertahan selama ini tinggal berdua sama Kakak. Jujur aku capek pura-pura bersikap baik sama Kakak. Kakak nggak ngerti juga ya? Kakak nggak ngerasa kalau selama ini aku bersikap kasar ke Kakak agar Kakak sadar kalau aku ingin Kakak pergi dari sini?" Ellora menatap tajam ke arah Harsh. Dia tampak benar-benar tak suka dengan Harsh. Matanya merah seakan menahan amarah. Entah marah karena apa. Karena selama ini Harsh tak pernah berbuat salah.
"El..."
"Pokoknya aku pengen Kakak cepet pergi dari sini. Kita nggak ada hubungan apa-apa. Saudara bukan, pacar juga bukan. Kita hanya sahabat masa kecil. Dan semenjak aku besar, aku juga ngerasa terpaksa jika setiap hari harus teleponan sama Kakak. Aku lakuin semua karena Mamah, bukan karena keinginan aku sendiri. Jadi berhenti berbuat baik sama aku Kak. Maaf kalau aku terlalu jujur, tapi aku beneran nggak butuh Kakak. Aku lebih butuh orang tua aku ada di sini nemenin aku daripada orang asing kayak Kaka. Jadi Kakak pergi aja kalau Kakak masih punya malu dan harga diri."
Harsh tercengang. Dia tak menyangka kalau Ellora setega itu kepadanya. Perkataan Ellora menyakiti hatinya.
"Oke. Nanti biar aku bilang sama Mamah Papah kamu ya El. Kamu tenang aja. Maaf kalau selama ini kehadiran aku bikin kamu nggak nyaman. Sebenarnya akupun sama El. Aku juga ngerasa asing sama kamu semenjak kita ketemu. Kamu nggak sama dengan Ellora yang aku kenal dulu. Kamu berbeda. Namun bagaimanapun juga, aku tetap tak mampu menolak permintaan tante Ahana yang sudah aku anggap sebagai ibu aku sendiri. Lagipula, tante Ahana lagi sibuk-sibuknya. Jadi ya udah aku iya-in. Dan aku juga tahu kalau kamu terpaksa. Aku tahu kamu nggak suka sama aku. Kamu tahan semuanya selama ini, hingga akhirnya kamu ngomong kayak gini. Ya udah aku keluar dulu ya El. Kamu istirahat ya. Tenang aja. Aku pasti bakalan pergi kok." Harsh masih saja mampu tersenyum manis kepada Ellora.
Ellora diam saja. Dia hanya melirik ke arah Harsh. Kemudian membuang mukanya kembali.
Harsh melangkahkan kakinya keluar dari kamar Ellora dan berjalan menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Harsh menutup dan mengunci pintu kamarnya. Dia menghela napas panjang sekali lagi.
Kemudian dia duduk di tempat tidurnya. Tatapannya kosong. Ada guratan kekecewaan dari raut wajah Harsh.
Bagaimana mungkin dia tak kecewa. Ternyata selama ini pengorbanan Harsh sia-sia. Semuanya tak ada artinya. Ellora bukannya semakin menyadari kehadirannya, malah semakin memperburuk hubungannya dengan Ellora.
Tak terasa air mata menetes. Dia segera menghapusnya. Bagaimanapun juga dia lelaki. Dia tak ingin menangis.
Sekali lagi dia menghela napas panjang. Di ambilnya ponsel yang ada di dekatnya. Dia ingin segera menelpon Ahana. Dia ingin segera pergi dari Ellora. Wanita yang sebenarnya ingin sekali dia jaga.
Tak lama, Harsh mampu meyakinkan Ahana yang awalnya bersikeras menolak dengan apa yang Harsh katakan. Namun pada akhirnya Ahana menyetujuinya.
Harsh meletakkan ponselnya kembali. Dia berjalan menuju balkon rumahnya dan duduk di kursi kayu yang ada di sana. Lagi-lagi dia menarik napasnya panjang-panjang.
Harsh menatap kosong ke arah jalanan kota Los Angeles yang begitu padat. Banyak orang berlalu lalang di jalanan. Ada yang tertawa, ada juga yang hanya diam sambil terus berkonsentrasi dengan langkah kakinya.
Tiba-tiba Harsh tersenyum kecil. Senyum kesedihan. Senyum yang menyiratkan bahwa dia telah menyerah. Dan senyuman itu membuatnya seakan mengerti kalau dia memang harus pergi. Pergi sejauh mungkin dari Ellora. Dan berusaha keras untuk melupakannya.
***