BAB 10

"Ahhhh..." Ellora mengerang kesakitan. Dia membuka matanya pelan-pelan. Kemudian dia menutup matanya kembali. Dia menyeringai. Menahan rasa sakit. Sakit di sekujur tubuhnya. Dan sakit yang teramat sangat di hatinya karena dia gagal merenggut nyawanya sendiri.

Ellora ada di rumah sakit. Entah siapa yang sudah membawanya ke rumah sakit ini. Tak ada siapa-siapa yang menungguinya. Dia sendirian.

Seketika rasa takut menyerang relung hatinya. Dia teringat dengan orang tuanya.

Apakah mungkin orang tuanya yang sudah menyelamatkannya? Mungkinkah orang tuanya sudah tahu tentang keadaannya dan meninggalkannya seorang diri?

Ah, nggak mungkin. Nggak mungkin kalau mereka setega itu kepadanya. Dia anak satu-satunya. Orang tuanya begitu menyayanginya. Bahkan sekalipun mereka tak pernah marah kepadanya.

Tapi, bagaimana kalau memang benar? Bagaimana kalau memang mereka sudah benar-benar marah kepadanya? Bagaimana jika memang orang tuanya tak mau mengakuinya lagi?

Ellora menangis lagi. Dia ingin mati karena dia tak mau orang tuanya malu. Namun kenapa Tuhan bahkan tak mengabulkan niat baiknya itu?

Ellora menatap langit-langit. Dia membayangkan betapa marahnya orang tuanya seandainya mereka tahu kalau Ellora sedang mengandung saat ini.

Dia membayangkan seandainya ibunya yang menyayanginya itu tiba-tiba tak mau menatap wajahnya lagi. Ayah yang selalu berusaha melindunginya itu bahkan tak ingin menggenggam tangannya kini.

Sungguh menyakitkan. Bahkan Ellora tak mampu membayangkannya.

'Kretek...' pintu kamar Ellora terbuka.

Tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke ruangan Ellora. Ellora segera melihat ke arahnya. Seketika dahinya mengkerut. Dia melihat seseorang. Seseorang yang tak pernah dia temui, namun juga tampak tak begitu asing.

"Kak Harsh?" Ellora tercengang. Dia tak berkedip. Memastikan apakah benar itu Harsh. Lantas dia mengusap matanya berkali-kali. Antara percaya dan tidak kalau Harsh ada di hadapannya saat ini.

"Kamu udah bangun El? Ah, syukurlah." Harsh segera menghampiri Ellora. Dia meletakkan bungkusan yang tampaknya berisi makanan, di meja dekat tempat tidur Ellora.

Ellora berusaha untuk bangun. Dia ingin duduk. Mungkin lelah karena terlalu lama berbaring. Namun dia tak bisa melakukannya. Badannya terasa kaku. Dia tak bisa bergerak.

"Jangan bergerak El. Kamu belum boleh bergerak." Harsh menahan Ellora.

"Badan aku kenapa ini Kak? Kenapa nggak bisa di gerakin?" Ellora menangis. Dia takut. Tubuh bawahnya terasa mati. Dia tak bisa bergerak.

"Kamu tenang ya El. Kamu yang sabar." Harsh menggenggam tangan kiri Ellora dengan begitu erat. Ah. Seandainya dia bisa memeluk wanita itu.

"Aku kenapa Kak? Kenapa Kak!" Ellora meninggi. Dia tampak putus asa. Terang saja. Dia ingin mati, bukan ingin menjadi cacat.

"Kamu tenang dulu. Aku jelasin ya." Harsh masih berusaha membuat Ellora tenang. Dia bingung. Dia seakan tak tega menjelaskan kondisi yang kini sedang Ellora alami.

"Kak Harsh, please. Kasih tahu aku, aku kenapa Kak?"

"Iya, tapi kamu tenang dulu ya."

"Mana bisa aku tenang Kak. Jelasin Kak."

"Kamu... Kamu..."

"Aku kenapa Kak? Ayo jelasin kak!"

"Kamu... Patah tulang belakang El." Harsh menunduk. Suaranya lirih. Dia gemetar.

Ellora tak menjawab. Tangisnya seketika pecah mendengar apa yang Harsh katakan.

"Sabar ya El. Aku di sini buat kamu. Aku akan jagain kamu. Kamu nggak perlu takut. Kita semua sayang sama kamu. Aku, Tante Ahana, Om Malik, Papah Mamah aku, semuanya sayang sama kamu." Harsh semakin erat menggenggam tangan Ellora. Dia meneteskan air matanya. Dia begitu mencintai Ellora. Dia pasti ikut merasakan apa yang Ellora rasakan.

"Kenapa aku nggak mati aja sih Kak?" Tangis Ellora semakin memilukan. Hati Harsh serasa di sayat-sayat mendengarnya.

"Jangan ngomong gitu El. Sabar."

"Kak Harsh gampang ngomong sabar. Kak Harsh nggak ngerti apa yang aku rasain kan?" Ellora terlihat begitu hancur. Dia menghempaskan tangan Harsh dengan begitu kuat.

"Aku tahu bagaimana perasaan kamu El. Aku juga bisa rasain gimana sakitnya kamu ketika kamu hamil dan orang yang udah bikin kamu kayak gini malah pergi dari kamu." Harsh menatap tajam ke arah Ellora. Ellora terkejut. Ellora membelalakkan matanya. Dia menatap Harsh. Seolah tak menyangka kalau Harsh tahu tentang apa yang sudah menimpanya.

"Kak Harsh tahu?" Ellora bertanya ragu. Di tatapnya Harsh dengan tatapan keheranan.

Harsh mengangguk pelan. Dia memalingkan wajahnya. Kemudian menghela napas dan menghembuskannya kasar-kasar.

"Aku yang udah bawa kamu ke sini kemaren malam El. Aku sengaja mau buat kejutan dengan nggak ngasih tahu kamu kalau aku mau dateng. Tante Ahana dan Om Malik tahu. Dan mereka memutuskan untuk tak pulang malam itu agar aku bisa punya banyak waktu sama kamu buat ngobrol. Aku tiba pukul tujuh malam. Dari luar pagar kamu, aku lihat kamu yang sedang berdiri dan menangis di balkon. Aku khawatir dan bergegas masuk ke dalam. Dan tepat setelah aku mau masuk ke dalam pintu rumah kamu, aku melihat kamu mau melompat dari balkon. Untung aku berhasil menyelamatkan kamu. Namun bayi kamu, dia tak selamat. Aku sempat syock saat mendengar dari dokter bahwa kamu hamil. Tapi. Apa yang bisa aku perbuat?" Harsh kembali menarik napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Tampak jelas ada cinta yang sedang terluka di sorot matanya.

"Bayi ini mati Kak?" Ellora seolah tak percaya. Ada guratan kelegaan dalam ekspresinya. Ya. Bayi itu masalahnya. Dan kini dia sudah menghilang. Ellora bagaikan mendapat angin segar.

"Iya." Harsh menunduk. Dia masih memalingkan wajahnya. Seakan tak mau Ellora tahu kalau dia sedang menahan air matanya.

"Papah Mamah?" Ellora berharap kalau hanya Harsh yang tahu. Dia benar-benar tak siap jika kedua orang tuanya tahu tentang kehamilannya. Dia tak punya muka jika harus bertemu dalam keadaan orang tuanya tahu yang sesungguhnya tentang dia.

"Aku nggak segila itu untuk ngasih tahu hal ini ke mereka El." ucap Harsh lembut. Kini dia menatap dalam ke arah Ellora. Tatapan yang begitu tulus.

Ellora menangis. Dia memeluk Harsh. Erat.

"Makasih ya Kak. Makasih kakak udah mau jaga rahasia aku. Aku nggak tahu harus gimana lagi kak. Aku takut bikin malu keluarga aku. Itulah kenapa aku memutuskan untuk bunuh diri kak." Ellora terisak. Dia semakin erat memeluk Harsh.

"Iya." tak banyak yang mampu Harsh katakan. Ini pertama kalinya setelah perpisahan lama itu, Ellora memeluknya.

Namun dia tak tahu harus bahagia atau sedih saat wanita yang selalu di mimpikannya kini ada di pelukannya. Karena di hatinya saat ini bukan hanya ada cinta, namun juga luka.

Harsh memejamkan matanya. Mencoba meyakinkan dirinya. Dan akhirnya dia tersenyum getir. Senyum yang semu. Ekspresi kecewa karena luka.

Sambil memejamkan matanya, Harsh merasakan getaran tubuh Ellora yang terisak. Tubuh itu bergetar karena sedang menangis.

Sedangkan jantungnya, jantungnya hanya berdebar dengan sangat wajar. Membuat Harsh semakin sadar. Tak ada dia di hati Ellora.

***