BAB 9

Tangan Ellora gemetar. Dunia yang kini di pijaknya seakan runtuh. Hidupnya seolah sudah berakhir. Dia sudah tamat. Benar-benar sudah tamat.

Di lemparnya alat pengecek kehamilannya itu sekuat-kuatnya. Tepat mengenai kaca di depannya. Kemudian terlempar kembali kepadanya. Dan berakhir di wastafel yang ada di bawah kaca.

Strip dua. Strip dua yang menghancurkannya. Ellora hamil. Dia mengandung bayi seorang bajingan yang sudah merenggut kesuciannya. Bajingan yang sempat di cintainya dengan dalam, dan kini yang sudah merusak hidupnya.

Ellora terduduk di bawah shower. Di nyalakannya shower di kamar mandinya yang mewah. Dia menangis. Menangis sejadinya. Meratapi nasibnya yang tak beruntung ini. Dia ingin memaki. Namun siapa yang akan dia maki? Dareen? Di mana dia? Jangankan memakinya. Seandainya dia ada di depannya kini, Ellora pasti sudah membunuhnya. Dia membencinya. Membenci lelaki itu sebenci-bencinya.

Belum sembuh luka trauma karena kejadian pemerkosaan malam itu. Kini dia juga harus menanggung akibat dari perbuatan bejad mantan kekasihnya tersebut. Lelaki biadab yang pergi begitu saja setelah menanamkan benih kepadanya.

Ellora menundukkan kepalanya di antara kedua lututnya. Dia begitu menderita. Dia begitu menyesal. Seandainya dia tak berpacaran dengan Dareen. Seandainya dia tak mencintai Dareen. Dan seandainya Tuhan tak mempertemukannya kepada Dareen. Semuanya tak akan seperti ini.

Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Kemana dia akan mengadu? Apakah akan ada yang menolongnya? Atau sekedar untuk mendengarnya?

Semenjak kejadian tersebut, dia bahkan tak pernah leluar dari kamarnya. Dia tak mau bertemu dengan teman-temannya dan juga masuk ke sekolah. Bertemu dengan kedua orang tuanya pun dia enggan. Dia memilih untuk menutup dirinya di kamar saja. Merasakan sakit yang membuatnya ingin mati sendirian saja.

Orang tuanya yang mengkhawatirkannya memang menyangka kalau Ellora sedang sakit. Karena memang selama satu bulan ini, badan Ellora sering panas naik turun. Dia juga selalu mengalami mual dan muntah secara terus menerus. Orang tuanya selalu memaksanya untuk mau di periksa. Namun dia masih bersikeras tak mau di periksakan ke Rumah Sakit ataupun klinik. Dia takut. Dia takut kalau kedua orang tuanya tahu kalau dia sudah hancur. Dia tak mau membuat orang tuanya terluka. Dia ingin menanggung beban ini sendiri.

Namun itu dulu. Sebelum dia tahu kalau dia hamil. Dia bisa menanggung rasa sakitnya sendiri kalau dia tak hamil. Tapi sekarang? Apakah dia akan mampu untuk menanggungnya sendiri? Apakah orang tuanya tak akan tahu kalau dia mengandung? Apakah tak akan ada yang curiga kalau perutnya membesar? Apakah dia akan mampu untuk terus menutupinya? Sampai kapan?

Lantas kalau dia mau menggugurkannya. Kemanakah dia akan pergi? Dengan siapa dia akan pergi? Apa yang akan di katakan kepada orang tuanya ketika dia meninggalkan rumah untuk beberapa hari? Apakah dia akan sanggup menanggung rasa sakit itu seorang diri tanpa di temani siapapun? Jelas tidak.

Dan kalau dia jujur kepada kedua orang tuanya, apakah orang tuanya akan percaya kepadanya? Akankah mereka akan percaya kalau dia di perkosa? Akankah mereka akan tetap mrmaafkannya? Apakah mereka akan tetap menyayanginya?

Lantas bagaimana kalau semua orang tahu kalau dia sedang mengandung? Bagaimana orang tuanya akan menanggung malu? Sanggupkah ia mendengar cemoohan semua orang? Sanggupkah ia melihat orang tuanya yang di permalukan? Dia tak akan sanggup.

Ellora menangis semakin keras. Dia tak tahan. Pikirannya buntu. Hatinya pilu. Lelaki biadab itu sudah menaburkan garam di atas lukanya yang masih menganga.

Ellora memejamkan matanya. Dia tak bisa berpikir. Dia merasakan tubuhnya seakan tak berguna. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Dia memegang perutnya dengan lembut. Mengelusnya sambil menangis. Lalu dengan begitu keras, dia meremasnya. Dia ingin mengeluarkan benih lelaki laknat itu dari dalam tubuhnya. Dia ingin menghancurkannya saat ini juga. Meleburnya menjadi serpihan kecil, kemudian meluruhkannya dan menghanyutkannya bersama aliran air yang mengalir.

Namun apa yang di lakukannya itu malah menyakiti dirinya. Dia seakan mau pingsan karena merasakan sakit akibat remasan tangannya di perutnya.

Ellora bangkit. Di matikannya shower yang sedari tadi menyala. Dia beranjak. Membuka pintu kamar mandi dan melangkahkan kakinya keluar.

Dia berjalan kearah balkon kamarnya. Di luar sedang hujan. Hujan yang begitu deras. Membuat suasana hatinya yang sedang sedih semakin terasa menderita.

Di liriknya jam dinding yang ada di dalam kamarnya yang terlihat dari pintu balkonnya yang terbuka. Pukul tujuh malam. Orang tuanya belum datang. Ayahnya yang seorang kontraktor, memang selalu pergi keluar kota. Sedangkan ibunya sekarang memiliki sebuah salon kecantikan dan selalu menghabiskan waktunya di salon itu. Ellora selalu sendirian di rumah. Hanya bersama Mbok Marti, pengasuhnya, dan juga Pak Bambang, penjaga rumahnya.

Ellora menatap langit yang sedang menumpahkan berkahnya itu ke bumi. Berkah bagi semua orang yang menyambut turunnya hujan. Namun bagi Ellora, hujan malam ini semakin mengiris hatinya. Langit malam yang gulita. Gelap. Tak berbintang. Hujan yang deras menghalangi pandangannya untuk menatap keindahannya.

Dia kembali menangis. Membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Di bayangkannya wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Ahana yang begitu menyayanginya dan Malik yang begitu memanjakannya. Meskipun mereka sangat jarang untuk menghabiskan waktu bersama, namun dia begitu menyayangi orang tuanya. Dia tak mau menyakiti hati keduanya. Apalagi jika harus membuat kedua orang tuanya malu.

Ellora terdiam. Dia bahkan tak akan sanggup untuk menatap wajah mereka berdua. Meskipun ini bukan kesalahannya, namun tetap dia yang harus bertanggung jawab. Ellora tak mungkin mendatangi Dareen dan meminta pertanggung jawabannya. Dia bisa di bunuh saat itu juga jika membuat Dareen malu dengan menuntut lelaki itu untuk menikahinya. Lagipula dia sudah tak sudi untuk bertemu dengan lelaki kurang ajar itu.

Ellora menatap hujan yang semakin deras. Hujan yang tenang. Tanpa angin, tanpa petir. Seandainya dia tak sedang dalam masalah, hujan seperti ini pasti begitu indah. Namun sayangnya, saat ini dia sedang di selimuti oleh penderitaan. Penderitaan yang tampaknya tak akan sanggup dia bagi dengan siapapun.

Ellora memanjat pagar di balkonnya. Tak akan ada yang bisa dia lakukan selain mengakhirinya. Mengakhiri penderitaannya. Mengakhiri rasa sakitnya. Mengakhiri kehamilannya. Dan mengakhiri dirinya. Dia ingin mengakhiri semuanya.

Ellora menarik napas panjang berkali-kali. Dia terisak kembali. Dia takut melihat ke bawah. Jantungnya berdetak kencang. Namun ini jalan satu-satunya. Dia meyakinkan kembali hatinya. Dan keputusannya sudah bulat. Dia akan mengakhirinya.

Dia menarik napasnya sekali lagi. Lebih panjang. Mungkin ini akan menjadi akhir dari napasnya. Ellora memejamkan matanya. Dan... Ellora melompat dari balkon kamarnya di lantai tiga. Melompat dengan senyuman.

Akhirnya segalanya sudah berakhir. Dia tak perlu menanggung derita lagi. Dan orang tuanya tak perlu menanggung malu karenanya.

Dia merasa bebas. Dia bebas. Bebas sebebas-bebasnya. Dan akhirnya, dia mendarat. Mendarat dengan begitu nyaman. Dia mati.

***