Bab 1

Di sebuah rumah sakit swasta yang terletak di sebuah kota, dengan fasilitas lengkap. Membuat orang-orang percaya, jika rumah sakit yang memiliki nama Medichal Utama itu mampu menyembuhkan penyakit yang di deritanya.

Seperti pada ruangan yang bernama Anggrek. Kamar inap kelas tiga yang memiliki Hospital Bed sebanyak delapan, dan semuanya terisi.

Mawar Renjana, seorang dokter umum yang saat ini memiliki tugas untuk memeriksa semua pasien, yang berada di ruangan Anggrek. Dengan telaten, dan ramah tamah Mawar mencoba untuk memeriksa pasien satu per satu.

"Keadaan bapak sudah mulai membaik, sepertinya hari ini bisa pulang. Nanti tolong diurus, ya," kata Mawar. Tersenyum ramah, kemudian berlalu menuju pasien berikutnya

Mawar terkejut, melihat pispot di bawah ranjang pasien itu penuh, dia bergidik di balik masker medisnya.

"Itu pispot-nya kenapa tidak dibuang?" Mawar mencoba untuk memberitahu kepada seorang yang menjaga pasien renta di depannya.

Orang itu langsung, mengambilnya dan membuangnya di kamar mandi. Melihat itu, Mawar geleng-geleng kepala seraya mendesah.

Mawar sendiri sangat benci hal-hal kotor. Dia sangat mencintai kebersihan. Maka melihat, apa pun yang kotor dan menjijikan Mawar akan merasa tidak nyaman.

"Bapak, tekanan darahnya masih tinggi. Tolong istirahat yang cukup, ya pak. agar bisa cepat kembali pulih," kata Mawar, setelah melihat bapak itu mengangguk. Mawar berlalu, bersama seorang perawat yang merupakan sahabatnya juga.

Begitu kakinya keluar dari ruangan Anggrek, Mawar menghembuskan napasnya di balik masker medis. Terkadang pekerjaannya membuat Mawar mendapati hal-hal yang tidak disukainya, dan itu membuat Mawar rasanya lelah. Karena harus senantiasa profesional menjadi seorang dokter umum.

"Mawar!"

Seseorang memanggilnya. Dan itu adalah Dhani –dokter bedah yang memiliki lisensi terbaik di rumah sakit ini.

Saat tubuh Dhani sudah berada di depannya. Mawar bisa mencium aroma segar dari parfumnya.

"Nih," laki-laki itu menyodorkan Mawar sebuah kertas yang dilipat. Mawar lantas mengerutkan alisnya.

"Apa ini?" tanyanya, seraya menerima kertas itu dari tangan Dhani.

"Aku dapet dari Celine, katanya suruh kasih ke kamu. buka aja, aku yakin itu penting," kata Dhani dengan wajah yang tenang seperti biasa.

Mawar merasakan perasaannya yang mencuat tidak enak, lantas dia melihat Rose –sahabatnya. Rupanya Rose juga sangat penasaran.

"Buka dulu aja!" kata Rose

Mawar pun segera membuka lipatan itu, dan membacanya dengan seksama. Setelah membaca semua tulisan yang tertera pada kertas itu. Mawar memekik terkejut, bahkan dia sampai menutup mulutnya.

"Apa-apaan ini!"

Rose yang semakin dibuat penasaran lantas dia mengambil alih kertas itu, dan membacanya sendiri.

"Wah! Celine licik banget, tuh orang!"

"Apa?" Dhani yang belum tahu, lantas dia bertanya

"Celine menyerahkan tugas relawannya ke Mawar. Dan ini sudah ditanda tangani oleh direktur," tutur Rose menjelaskan. Karena Mawar sendiri masih terkejut dengan hal yang tidak berdasarkan persetujuannya itu.

"Itu, berarti. Mawar sudah tidak bisa menolak lagi," kata Dhani. Yang dibalas anggukan lemah dari Rose

"Ini gak bisa dibiarin!" Mawar marah, dia lantas langsung berjalan dengan langkah yang berdentum-dentum menuju ruangannya Celine.

Rumah sakit, memang secara rutin selalu menugaskan para dokter umum untuk mengabdi di salah satu desa yang terpencil. Semua dokter umum pasti akan menjalani tugas itu, sesuai jadwal yang diperintahkan oleh rumah sakit.

Tapi jika dengan cara seperti ini, Mawar enggan menerima. Ini bukan utusan langusng dari pihak rumah sakit, tapi dari Celine.

Mawar tahu, bagaimana liciknya Celine. Wanita itu pasti tidak ingin mengabdi di desa terpencil, maka dari itu Celine menyerahkannya kepada Mawar.

Dengan gerak membabi buta, Mawar membuka pintu ruangan Celine tanpa ketukan terlebih dahulu. Sehingga membuat Celine mencibir.

"Tidak sopan sekali, kamu!"

Mawar mendengus, kemudian melempar kertas itu ke hadapan Celine, "Dokter macan apa kamu, hah? Membuat keputusan sendiri!"

Celine bangkit dari duduknya, dan tersenyum sarkas. "Mawar, ini sudah waktunya kamu mengabdi."

"Tidak. Bukan waktunya giliran aku! Tapi kamu! kenapa. Kamu tidak mau mengabdi? Dokter macam apa kamu, yang menghindari tanggung jawabnya."

Celine mengeraskan rahangnya. Mendengar Mawar menghinanya seperti itu, jelas dia tidak terima.

"Kamu menghinaku?" tanya Celine, dengan tatapan mata yang menghunus tajam. Tapi hal itu tidak sama sekali membuat Mawar merasa tersulut.

"Ya! Kamu bahkan tidak pantas, disebut dokter!"

BRAKK!!!

Mawar membanting pintu ruangan Celine. Membuat orang-orang yang berada di sekitarnya memperhatikannya. Mawar tidak peduli, keadaan hatinya terlalu caruk maruk. Membawa kekesalan yang disebabkan oleh Celine.

Langkah kakinya menggebu menuju ruangan kepala rumah sakit. Dia ingin mengajukan protesnya, karena hal ini sangat tidak berada di jalurnya.

Celine telah curang, karena memberikan sebuah keputusan tanpa membicarakannya terlebih dahulu.

Setelah membuka pintu ruangan kepala rumah sakit. Mawar berjalan mendekati, pak kepala itu sepertinya tahu maksud dari kedatangan Mawar itu untuk apa.

"Anda, mendatangani surat, tanpa persetujuan saya terlebih dahulu. Saya, tidak mau menerimanya!" kata Mawar, langsung pada intinya

Kepala rumah sakit itu, berdehem satu kali kemudian menjawab

"Kalau kamu dokter yang baik, kamu tidak akan protes begini."

"Apa?!" Mawar terkejut dengan jawaban pak kepala, dia sangat tidak habis pikir

"Sebagai dokter, seharusnya kamu bersedia menjalani tugas apapun."

"Iya, tapi ini. Tanpa persetujuan saya, pak!"

"Begini, kamu dokter atau bukan? Jika kamu dokter, itu tandanya tugas ini adalah yang wajar. Sudah, saya sibuk. Tidak ada waktu untuk mendengar protes-mu itu!" pak kepala itu bangkit dari kursinya, dan berjalan berlalu dari ruangannya. Meninggalkan Mawar yang masih mematung tidak habis pikir.

Ini sangat tidak adil. Kenapa Mawar tidak diberikan izin untuk menolak. Jika begini, namanya perbudakan! Mawar tidak rela. Maka dia pun berbalik badan, menatap kepala rumah sakit itu yang masih berjalan menuju pintu ruangannya.

"Apa karena Celine kekasih, anda? Sehingga pak kepala tidak berperilaku adil, seperti ini?!"

Pak kepala itu, menoleh cepat. Memandangi Mawar dengan tatapan yang tajam seperti akan menerkam. Tapi, tidak. Karena pak kepala itu memilih untuk pergi dari ruangannya tanpa menjawab apa pun.

Hal itu membuat Mawar mengerang prustasi.

Sepajang koridor rumah sakit, setelah kepergiannya dari ruang kepala rumah sakit itu. Mawar tidak ada henti-hentinya mendesah prustasi. Dia sangat tidak menerima keputusan ini, tapi dia juga tidak bisa untuk menolak.

"Bagaimana ini ...," rutuknya, mengacak rambutnya yang rapih bergelombang itu. Lalu tubuhnya ia dudukan di atas kursi besi tak jauh dari keberadaannya.

Kemudian tangannya, memukul-mukul pelan tembok, seraya merutuk tidak jelas.

"Mawar! Kamu tidak apa-apa?" Rose datang menghampiri dengan wajah paniknya.

Mawar mengangkat kepalanya, menatap Rose dengan pandangan nanar, kemudian tangisnya pecah membuat Rose bingung harus bagaimana menghentikan tangis sahabatnya itu

"Bagaimana ini Rose ..., aku tidak bisa menerimanya. Ini mendadak! Aku belum siap!"

Rose menepuk-nepuk punggung Mawar, setidaknya itu bisa membuat Mawar sedikit merasa tenang.

"Tapi tetap saja, kamu juga akan melakukan hal ini juga. Jadi tidak apa-apa. Lakukan saja, aku akan dukung kamu."

"Tidak bisa!" Mawar berteriak prustasi. Rose sampai dibuat terkejut karenanya

"Kamu tahu, kemana aku akan mengabdi?"

Rose menggeleng

Mawar sudah mendapati informasi dari kordinator yang mengurusi kegiatan pengabdian yang selalu rutin rumah sakit lakukan, tadi sebelum dia melancong tidak jelas di sepanjang koridor.

"Di desa terpencil. Jarak tempuh ke kota saja memakan waktu dua jam. Aaaa ..., bagaimana ini. Aku tidak bisa hidup di sana."

Rose menghela napasnya. Dia menyadari, jika kebiasaan Mawar yang terbilang sangat mewah itu akan terasa sulit untuk beradaptasi di lingkungan desa yang jauh dari kota. Dan, ini merupakan masalah utama yang dirasakan Mawar. Hidupnya akan berantakan di sana.

"Hanya tiga bulan. Kamu pasti bisa!" Rose mencoba untuk meyakinkan. Tapi kelihatannya itu tidak berhasil, karena Rose melihat Mawar yang semakin mendesah

"Tiga bulan waktu yang lama, Rose! Aku bisa mati, hidup tanpa Mall, dan Restoran."

Mendengar keluh kesah itu. Rose melengos malas. "Kamu bisa pergunakan waktu itu, untuk menabung. Soal makanan, kamu bisa masak sendiri bukan?"

Mendengar penuturan Rose, Mawar dibuat makin prustasi. Hal itu adalah sesuatu yang sangat tidak bisa Mawar lakukan.

"Celine! Dasar bajingan!" umpat Mawar. Dia masih merasakan kesalnya kepada Celine. Ya bagaimana tidak, gara-gara dia. Mawar harus terpaksa menjalani sesuatu hal yang sangat melawan arus kebiasannya. Dan itu, sanga sulit.

Tetapi, karena jiwa profesionalnya sebagai Dokter. Itu mampu membuat Mawar akhirnya mau menerima. Tapi, melihat caranya. Mawar tidak akan pernah menerima sampai kapan pun!