7 tahun berlalu, Narai tumbuh menjadi seorang anak kecil yang sehat. Sosok Narai kecil mengingatkan semua orang yang melihat kepada sosok Leo saat masih kecil. Hanya saja warna rambut Narai sama seperti ibunya yang berwarna putih.
Seperti biasanya, Narai kecil hanya menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Tempat favorit Narai untuk membaca bukunya berada dibawah pohon besar yang bagian atasnya terlihat sudah habis terbakar. Hanya tersisa bagian tengah dan bagian bawahnya saja. Namun, itu cukup untuk membuat pohon tersebut nyaman.
Narai membaca lembar demi lembar dengan sangat enjoy. Waktu ini merupakan waktu yang berharga bagi Narai kecil. Namun, waktu santai bagi Narai kecil ini hanya berlangsung sebentar. Soalnya, Karra, Mira, dan Maki datang kepada Narai dengan maksud untuk menggangu Narai.
" Hey anak Narai. Baik-baik saja?" Karra memulai pembicaraan.
"Hey Karra, sudah pasti kan? Narai pasti sedang bermesraan dengan bukunya itu." Mira membalas dengan maksud mengejek Narai.
"Ahahahahha, apakah kau tidak punya teman Na...ra...i.." (Maki)
"Hey, kenapa kau diam saja hah?!!" Karra mulai kesal dengan Narai karena Narai hanya diam saja.
Karena kesal, Karra mulai menarik paksa pakaian Narai.
"Ahahahah, lihat! dia diam saja hahahah. Memangnya dia tidak bisa bicara kah?" (Mira)
"Kamu seperti yang tidak tahu saja kalau anak ini itu terkutuk." (Maki)
Disaat itu pula, Karra merasa tubuhnya tersetrum. Dan benar saja, Karra terpental lumayan jauh dari tubuh karena sengatan listirik. Mira dan Maki pun kaget dan langsung mendatangi Karra yang telah terkapar di tanah. Karra mulai menangis dan langsung pergi dari sana.
"Mwewewewe, awas saja kamu Narai, akan kuadukan pada papaku." Karra mengancam Narai sambil pergi berlari menjauhi Narai. Mira dan Maki pun ikut mengejek pada Narai, berkata bahwa Karra tidak bersalah apa-apa tapi Narai menyerang mereka. Serta mengatakan bahwa Narai benar-benar anak yang dikutuk.
Narai hanya bisa terdiam, Narai tau bahkan jika ia mencoba untuk membela diri, tidak akan ada orang yang akan menerima dirinya, bahkan jika itu ayahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya terdalam, Narai mengidamkan semua orang menerima dirinya sama seperti orang pada umumnya. Karena kutukan yang ia terima saat ia dilahirkan, semua hal menjadi serba sulit. Karena kutukan listrik yang berada pada seluruh tubuhnya lah yang membuat hidup Narai menjadi sengsara.
Saat hari sudah mendekati malam, Narai pergi menuju rumahnya. Saat di tengah-tengah perjalanan tersebut, Seluruh warga terlihat menghindari dirinya. Anak terkutuk, Anak pembawa kesialan, Anak iblis, semua hal tersebut sudah menjadi perbincangan normal dikalangan warga. Bahkan warga sudah tidak malu lagi untuk mengatakan hal tersebut secara terang-terangan. Narai sampai dirumahnya, dan disambut hangat oleh pembantu dia yang bernama Revi. Revi adalah satu-satunya orang yang memperlakukan dirinya sebagai manusia normal. Hal yang tidak ia terima dari ayah kandungnya sendiri.
"Selamat datang Narai. Ahhhh, baju mu terlihat kotor, sini saya bersihkan. Narai bisa membersihkan badan dengan air yang saya sudah siapkan."
"Terima kasih kak Revi, maaf bikin repot hari ini juga."
"Iya, tidak apa-apa kok."
Ekspresi wajah Narai yang tadinya murung berubah menjadi senyuman. Sebenarnya Narai tidak enak terus menerus membuat kak Revi kesulitan. Narai bertekad bahwa suatu hari nanti Narai akan membuat banyak teman dan membuat warga mengakui dia. Narai yang berjalan menuju kamar mandi, ia berpapasan dengan ayahnya, Leo. Narai mulai bergetar ketakutan dan berusaha untuk mengatakan selamat malam.
"Se...se..selamat malam ayah." Narai akhirnya dapat mengucapkan kata tersebut.
"Selamat malam." Leo membalas Narai sambil melewatinya begitu saja dengan tatapan yang dingin.
Narai tahu, kalau ia tidak bisa mengharapkan hal mustahil seperti yang ia harapkan. Narai tahu kalau dirinya lah alasan kematian istri yang Leo cintai meninggal dunia. Kemudian, Narai pergi kembali menuju kamar mandi. Saat sedang merendam dirinya pada air hangat, tetes air mata mulai terjatuh dari mata anak tersebut. Narai menangis dengan wajah yang datar. ia tidak ingin tangisannya diketahui oleh kak Revi dan ayahnya. Hal tersebut hanya akan membuat masalah lebih rumit saja. Narai lebih memilih untuk menyembunyikannya daripada mengungkapkannya.
.
.
.
.
Satu bulan kemudia, Narai kecil masih saja menghabiskan waktunya untuk membaca buku dibawah pohon tersebut. Seperti biasa, Karra dan temannya tetap saja merundung Narai dengan ejekan yang sama. Narai sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan yang setiap hari ia dengarkan. Tapi....
"Orang tuamu pasti kesulitan dengan kehadiran dirimu." (Maki)
"Hahahaha, pasti berat membesarkan anak terkutuk sepertimu." (Mira)
"Hey hey, Jika seperti itu, bukankah ayah anak ini lebih baik 'MATI SAJA'?" (Karra)
Perkataan Karra kali ini terasa berbeda, ejekan yang membuat amarah Narai menjadi meluap-luap. Walaupun ayahnya memperlakukan dirinya dengan dingin, Narai masih sangat menghormati sosok ayahnya itu. Narai tahu kalau ayahnya itu selalu berusaha untuk menghidupi keluarganya. Amarah Narai tidak dapat dihentikan!!
Narai kemudian dengan cepat meraih pakaian Karra dan menariknya.
"HEY, TARIK KATA-KATA ITU SEKARANG!!" Desak Narai kepada Karra.
Karra, Mira, dan Maki pun terkejut dan mulai panik.
"Ka..ka..kata yang mana?" Tanya Karra dengan ketakutan.
"Hey, jangan pegang karra seperti itu anak terkutuk!" (Maki)
"Benar, kau akan dalam bahaya karena berbuat kasar pada Karra" (Mira)
"Lebih baik mati saja? jangan bercanda! ayahku itu merupakan orang terhebat. Ia berusaha keras lebih dari siapapun. Ia adalah orang baik kepada siapapun walau ia punya anak terkutuk seperti aku!" Karena amarah yang tidak terkendali tersebut, Narai mengalirkan listrik ke tubuh Karra.
"Iya, iya, maaf.. tolong lepaskan akuuuuuuuu........" Karra memohon kepada Narai yang akhirnya Karra pingsan karena listrik tersebut.
Narai sadar Karra sudah pingsan dan segera melepaskan Karra. Ia melihat pada Maki dan Mira yang sudah menangis karena melihat perilaku Narai yang berbeda dari biasanya. Maki dan Mira pun berlari ketakutan, bahkan sampai meninggalkan Karra yang pingsan disana. Narai mulai meraih bukunya dan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Narai langsung pergi menuju rumahnya untuk bersembunyi.
Kak Revi yang sedang menjemur pakaian pun merasa aneh dengan kedatangan Narai yang tidak seperti biasanya. Revi mendatangi Narai yang sudah mengunci kamarnya.
"Hey Narai, ada apa? kok pulang tidak seperti biasanya?"
"....."
"Dek Narai?"
"....."
"Hmmm, baiklah, kalau ada apa-apa bilang ya, kakak mau menjemur pakaian terlebih dahulu."
Narai tidak ingin menjawab pertanyaan kak Revi. Ia tidak ingin mengecewakan kak Revi lagi. Ia tahu kalau apabila ia memberi tahunya, hanya akan menambah beban kak Revi saja.
Malam pun tiba, Narai masih saja mengeram dirinya. Narai bahkan melewati makan malamnya. Hal tersebut membuat kak Revi lebih khawatir lagi. Saat makan malam sudah berakhir, tiba-tiba terdengar suara salah satu warga. Suara tersebut terdengar penuh oleh amarah. Leo pun membuka pintu, dan melihat pak Toni dihadapannya.
"Hey pak Leo, disini saya ingin protes padamu!"
"Protes mengenai apa?"
"Anakmu ituloh, sudah berani mencelakakan anak saya. Anak saya sampai pingsan kena setrum anak kamu itu!"
"Apakah benar seperti itu?"
"Saksinya adalah teman anak saya, Maki dan Mira. Mereka berdua melihat dengan jelas perlakuan anak kamu pada Anak saya, Karra."
"Saya sampaikan permohonan maaf dari saya sebegai orang tua Narai. Kedepannya, saya akan lebih keras lagi untuk mendidik anak saya."
"Hmmmm. Baguslah kalau begitu. Dan juga saya minta uang ganti rugi untuk biaya berobat anak saya."
"Baiklah, saya akan bayar."
Leo dan pak Toni sudah selesai berbicara. Pak Toni pergi dari rumah Leo dengan membawa uang yang ia minta dari Leo. Setelah pak Toni sudah tampak jauh, Leo berjalan dengan cepat menuju kamar Narai, dan Duaarrrrr..... Leo menendang pintu kamar tersebut sampai rusak. Seisi rumah kager dibuat oleh tindakan Leo tersebut. Leo dengan cepat mendatangi Narai dan menjewer telinga Narai sambil menyeratnya. Narai yang diperlakukan seperti itu, menangis dan memohon maaf kepada ayahnya tersebut.
"Maaaafff ayaaahhh, Narai janji tidak akan mengulangi lagi, Narai janjiiii." Narai memohon kepada ayahnya sambil menangis kesakitan.
"DIAMMMM!!" Leo marah pada Narai. Leo yang biasanya selalu terlihat di peduli pada Narai, kini bertindak kasar pada anaknya tersebut. Narai berulang kali mengatakan hal yang sama, yakni memohon maaf. Namun, Leo nampaknya tidak peduli dengan perkataan anaknya tersebut. Leo menyeret dan menjatuhkan Narai di luar rumah. Revi yang melihat hal tersebut segera untuk membantu Narai, namun Leo melarang Revi untuk membantu anaknya itu dengan ancaman akan memecatnya.
"3 Hari mulai sekarang, kamu jangan pernah masuk ke rumah ini lagi." Leo berkata pada Narai dengan tatapan dingin sekaligus menahan amarahnya.
"AHHHHHHH." Narai hanya dapat menangis menahan rasa sakit dan fakta bahwa ayahnya sangat marah kapadanya.
To be Continued...