prolog & pertemuan

Sebuah insiden yang membuat Zidny kehilangan keperawanannya. Bertekad mencari laki-laki brengsek yang telah merenggut mahkotanya. Namun, karena suatu hal, Zidny tiba-tiba menikah dengan Zidan. 

Aku adalah satu orang yang kau anggap dua orang berbeda. Tanpa kau sadari, kau sudah menikahiku dan kau juga sedang selingkuh denganku. -Zidny Sandika 

Aku yang bodoh atau memang telah kau bodohi. Kenapa aku lebih memilih selingkuh denganmu, daripada mencintaimu sebagai istriku?  -Zidan Leonli .

-Pertemuan

Kelap-kelip lampu discotik sangat menyilaukan bersamaan dengan musik yang memekakkan telinga. Baik wanita maupun pria asyik berjoget ria. Salah satunya adalah seorang gadis berumur delapan belas tahun yang bernama Zidny Sandika. Namun, di sini ia dikenal bernama Sansan. Gadis itu menarik pria tua hidung belang yang sering datang ke sini. Sansan meraba jakun pria tua itu,mengusapnya pelan. Tampak pria tua itu sangat menikmati elusan tangan Sansan. 

"Om David, malam ini harus bayar lebih, ya," ucap Sansan dengan suara menggoda. 

"Kamu tenang aja, Cantik. Nanti Om transfer dua kali lipat." Pria tua yang bernama David itu meraba bagian dada Sansan yang menonjol. Sesekali David mencubit pelan area itu. Sansan tetap tersenyum lebar. Ia mengusap pipi David, lalu menempelkan bibirnya ke pipi kanan David dengan lembut. 

David lalu mengajak Sansan duduk di sofa. Ia menikmati setiap elusan yang diberikan Sansan. Bir sudah tersedia si hadapannya. Gadis itu memberikan gelas yang sudah ia isi 

dengan bir kepada David. 

"Terima kasih, Sayang. Kamu gak minum?" 

"Nggak, Om." 

Sansan memang tidak pernah meminum minuman keras seperti itu. la hanya datang untuk menghibur dan melayani pria hidung belang yang berdompet tebal. Sansan juga akan menolak jika mereka mengajaknya berhubungan ranjang. Sansan belum siap untuk itu. 

Sansan melayani David sampai pria tua itu tertidur akibat terlalu banyak mabuk-mabukan. Gadis itu melirik alroji yang melingkar di tangannya. 

Sudah pukul sebelas malam. Sansan harus segera pulang. Setelah memastikan David tertidur pulas. Ia beranjak dari situ menuju ruangan pribadinya. 

"Bagaimana Sansan, lancar?" tanya Dewi—salah satu teman Sansan yang sering datang ke sini.

 "Lancar, Sist." 

"Mau pulang sekarang? Gak nginap di sini aja?" tawar Dewi mengingat sudah terlalu larut. Club ini terdapat kamar di lantai atas yang bisa digunakan untuk menginap. 

"Pulang aja, deh, Sist. Takut nenek aku nyariin."

"Ya udah, hati-hati." 

"Iya, Sist." 

Sansan menarik ranselnya, lalu masuk ke toilet. Ia akan berganti baju di sana. Baju yang awalnya dipakai oleh Sansan sangat terbuka, ketat, dan pendek. Sekarang berganti dengan baju gamis dan hijab yang melilit di kepalanya menutup dada. Tak lupa Sansan mencuci muka, menghapus semua make up di wajahnya. 

Sangat berbeda dengan penampilannya yang tadi. Ya, mungkin sekarang jika ditanya siapa namanya, maka Sansan menjawab namanya 

adalah Zidny, bukan Sansan. 

Setelah selesai berganti pakaian. Sansan atau bisa disebut sekarang Zidny berpamitan dengan Dewi untuk pulang. Ia lalu keluar dari pintu belakang. 

"Sampai kapan lo mau kayak gini terus, Zid?" 

Sebuah suara langsung menghentikan langkah Zidny yang hendak masuk ke dalam mobilnya. Ia menoleh singkat, menatap sang pemilik suara. Ternyata suara itu milik Alvian, mantan kekasih Zidny. 

"Bukan urusan lo," jawab Zidny singkat, segera masuk ke mobilnya. 

Zidny langsung menghidupkan mobilnya dan pergi meninggalkan Alvian yang masih berdiri mematung di sana. 

"Sebenarnya gue masih cinta sama lo, Zid. Andai lo gak kayak gini. Gue pasti akan balikan lagi sama lo." Alvian menghela napas gusar, lalu menggeleng. Kisah cintanya dengan Zidny di bangku SMA terlintas di pikiran Alvian membuat rasa rindu membendung di hatinya. 

Setelah sampai rumah. Zidny membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Lampu masih menyala menandakan jika Ninu ,Nenek Sansan belum tidur. 

"Kenapa baru pulang, Nak?" tanya Ninu yang duduk di sofa. Zidny segera menghampiri wanita paruh baya itu, lalu mencium punggung tangannya. 

"Ehm, biasa, Nek. Ada banyak kerjaan di kantor, jadi aku lembur lagi." 

"Kasihan sekali cucu Nenek. Ya udah, jangan lupa bersih-bersih, 

setelah itu tidur. Istirahat ya, Nak." 

"Iya, Nek. Nenek juga tidur, gih." 

"Iya, Nak." 

Zidny mengantarkan Ninu ke kamarnya. Setelah neneknya itu berbaring di ranjang. Zidny berlalu dari situ menuju kamarnya yang berada di lantai dua. 

Mata Zidny tak sengaja menatap figura yang terpajang di dinding menuju kamarnya. Tampak sebuah keluarga lengkap yang ia rindukan. Namun, detik selanjutnya Zidny menggeleng. Untuk apa merindukan orang tua yang tak menganggap dirinya ada di dunia. Foto itu hanya sandiwara saja. Zidny bergegas menaiki tangga. Besok ia akan memindahkan foto itu agar tak terlihat lagi olehnya. 

Malam ini adalah malam paling buruk bagi pria bernama lengkap Zidan Leonli. Bagaimana tidak? Ia melihat sang kekasih selingkuh dengan mata kepala sendiri. Reni berselingkuh dengan sepupunya sendiri,Doni. 

Zidan duduk di balkon kamarnya sembari merenung. Mengingat-ingat apa kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga membuat Reni berpaling darinya. 

"Kamu terlalu memaksa aku menikah cepat. Aku masih berumur dua puluh tahun, aku mau menikmati masa mudaku dulu, bukan nikah mudah dengan kamu." Perkataan Reni yang selalu ia lontarkan saat Zidan mengajak Reni ke jenjang lebih serius 

terngiang-ngiang oleh Zidan. Apa karena itu alasannya? 

Zidan sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Memang sudah sepatutnya ia menikah. Tak bisa disalahkan jika Wanti,lbu kandung Zidanselalu mendesak Zidan agar cepat menikah. Wanti sangat malu ketika teman-temannya bertanya mengenai cucu, sedangkan anak semata wayangnya tak kunjung menikah. 

"Mama pasti terus mendesak gue," ucap Zidan mengembuskan napas gusar. 

Zidan bangkit, lalu menutup pintu balkonnya, beralih menaiki kasur dan berbaring di sana. la mencoba menutup mata agar bisa tertidur. Berharap apa yang ia lihat hari ini hanyalah mimpi. 

Pagi menyambut dengan cerah. Matahari tampak tak malu-malu menampakan dirinya. Namun, cerahnya pagi ini tak secerah muka Zidan yang tampak lesu. 

"Ada apa denganmu?" tanya Wanti.

 "Nggak pa-pa, Ma." 

"Kamu pasti ada masalah, cerita aja sama Mama." 

"Aku baik-baik aja kok, Ma." 

"Terus, kapan kamu bisa kabulin permintaan Mama? Ingat, Zi, umur kamu segitu harusnya udah punya anak dua. Mama malu kalau ditanya terus sama teman-teman Mama." 

"Mama aja sana yang nikah lagi. Cari istri ga semudah itu, Ma." 

"Sulit sekali bagi kamu cari istri? 

Kamu memiliki wajah tampan dan berkecukupan untuk berumah tangga, pacar kamu saja yang sok jual mahal." 

"Ma, jangan salahin Reni terus." 

"Lalu Mama harus salahin siapa? Kayaknya Mama harus cariin kamu istri secepatnya." 

Inilah yang paling tak disukai oleh Zidan jika berdebat dengan Wanti. Apalagi perdebatan itu terjadi pada pagi hari, membuat Zidan kehilangan nafsu saja.