Hari berganti hari. Siang dengan cepat berganti dengan malam dan begitu seterusnya. Tidak terasa tinggal satu hari lagi waktu yang diberikan oleh Wanti untuknya.
Di balik itu, tanpa sepengetahuan Zidan. Wanti sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan ia sudah memiliki calon istri dan melengkapi semuanya.
Bahkan Wanti sudah mengurus sidangnya mereka, tidak terlalu sulit karena paman Zidan ada yang bekerja di pengadilan agama. Semua sudah siap dan bersih oleh Wanti yang mengurusnya bersama seseorang tentunya. Seseorang yang menyetujui kesepakatan mereka berdua.
"Siap-siap ya, Sayang. Dua hari lagi kamu akan menikah," ucap Wanti tersenyum kemenangan.
Zidan hanya mengabaikan dan berjalan keluar rumah. Sepertinya ia harus pasrah dan mengikuti saja keinginan mamanya.
Tiba-tiba ponsel Zidan berdering menandakan adanya panggilan masuk. Ia segera mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Bisa ketemuan sekarang di kafe, ada yang mau aku katakan."
"Oke." Zidan menutup panggilannya dan langsung masuk ke mobilnya. Ia menjalankan mobil menuju kafe.
"Ada apa?" tanya Zidan menarik kursi di depannya dan langsung duduk.
"Mau pesan makanan dulu?"
"Nggak usah. Langgsung aja. Mau ngomong apa?"
Gadis di hadapan Zidan adalah Reni. Untuk apa ia menyuruh Zidan datang kemari? Bukankah ia mengatakan tidak ingin bertemu
dengan Zidan lagi?
"Ak-aku menyesal," ucap Reni terisak. Air mata sudah jatuh dari pelupuk matanya.
"Ak-aku sudah salah meninggalkan kamu. Seharusnya aku memilih kamu."
"Kenapa ngomong gitu?"
Reni menarik tangan Zidan dan menggenggamnya erat.
"Nikahi aku, Mas."
Zidan membelalakkan matanya tak percaya mendengar ucapan Reni.
Apa ia tidak salah dengar?
"Kamu mau menikahi aku, kan? Aku sudah siap. Kamu ingin menikahi aku, kan? Sekarang waktunya, Mas."
Zidan menatap mata Reni yang berkaca-kaca. Sepertinya gadis itu benar-benar menyesali sikapnya kemarin.
"Bagaimana? Kamu mau nikahi aku, kan?" tanya Reni mengulang.
Zidan benar-benar mati kutu sekarang. Apa jawaban yang terbaik diberikannya? Apakah ia akan memilih Reni untuk menikah dengannya?
Lalu, bagaimana dengan Sansan?
----
Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru.
Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis.
"Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan.
"Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma."
"Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!"
"Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma."
"Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar.
Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan.
Siapa, ya? tanya Zidan dalam hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon.
"Hallo?"
"Hallo, Brother. Apa kabar?"
Mata Zidan melebar mendengar suara itu. "DONI!" teriak Zidan terkejut. Dikabarkan sepupunya itu menghilang dan sekarang Doni meneleponnya.
"Ke mana aja lo? Buat susah semua orang," tanya Zidan.
"Nggak penting gue ke mana. Gue dengar, lo mau nikah ya, Bang?"
"Pulang, Don! Lo nggak kasihan apa sama orang tua lo?" Zidan mencoba menasihati Doni agar segera pulang.
"Lo mau nikah sama Reni?" tanya Doni tak menghiraukan ucapan Zidan.
Kening Zidan mengkerut, ia bingung harus menjawab apa.
"Asal lo tau, Bang. Reni itu milik gue, di dalam rahimnya ada benih yang gue tanam."
Tangan Zidan tiba-tiba terkepal. "Apa maksud lo!" bentak Zidan.
"Nggak nyangka lo sebodoh ini. Reni minta Io nikahin dia, supaya ada yang menggantikan tanggung jawab gue. Haha.
" PRANG!
Emosi Zidan memuncak, ia tak memedulikan HP-nya yang sudah dibanting tidak bisa hidup lagi. Jadi, ini alasan Doni menghilang? Lari dari tanggung jawab. Lalu, ini pula alasan Reni agar bisa menutupi apa yang telah diperbuat.
"ARGH!"
Seharusnya Zidan tidak sebodoh itu hanya karena cinta. Ia terlalu mudah mempercayai orang seperti Reni yang tidak ada bedanya dengan Doni. Buru-buru Zidan keluar kamar, ia akan membatalkan pernikahan ini.
Untung saja ijab kabul belum dimulai.
"Kan, sudah Mama bilang, Sayang. Reni nggak baik. Kenapa kamu tetap aja keras kepala," ucap Wanti setelah Zidan mengadukan semuanya. Kerabat Zidan pun sudah mengkonfirmasi pada keluarga Reni agar pernikahan itu dibatalkan. Walaupun sempat menolak, akhirnya keluarga Reni menerima keputusan itu,
karena memang putri merekalah yang salah.
"Kalau kamu tidak jadi menikah. Mama yang akan malu sama teman-teman Mama. Pokoknya pernikahan ini tetap dilanjutkan!" ucap Wanti.
"Tapi, Ma. Aku nggak mau nikah sama Reni, Ma," ucap Zidan.
"Siapa bilang kamu akan menikah dengan Reni. Kamu menikah dengan calon istri pilihan Mama. Bilang ke penghulu tunda ijab kabulnya dua jam lagi."
Wanti tersenyum. Ia yakin jika Zidan memang berjodoh dengan gadis pilihannya.
Zidan hanya pasrah, lagipula ia sudah terlanjur patah hati oleh Reni untuk kedua kalinya. Zidan sekarang hanya menuruti keinginan Wanti. Walaupun ia tidak tahu siapa calon istrinya, bagaimana wajah dan bentukannya, Zidan pasrah. Terpenting ia menikah dan itu membuat ia lega dari semua tuntutan Wanti padanya.
Zidan hanya berdoa semoga ia mendapatkan istri yang baik. Sudah itu saja.
Dua jam berlalu dengan cepat. Zidan sudah duduk di hadapan sang penghulu untuk melangsungkan ijab kabul. Wanti sudah memberitahu nama calon istri yang akan ia sebutkan nanti. Namanya saja begitu asing bagi Zidan.
Saatnya pengantin wanita berjalan masuk ke ruang itu. Zidan langsung menatap sang calon istri. Wanita itu memakai gaun putih tulang yang panjang. Kepalanya terbalut hijab dan mukanya tertutup oleh cadar bewarna putih. Badannya langsing dan tidak terlalu tinggi. Kulit gadis itu putih, karena terlihat dari punggung telapak tangannya. Sholehah, itulah kesan pertama yang diberikan oleh Zidan.
Sang pengantin wanita dipersilakan duduk di samping Zidan. Tak sengaja mata mereka bertatapan sebentar. Mata yang indah, ucap Zidan dalam hati.
"Bagaiamana? Apakah saudara Zidan siap?" tanya penghulu.
"Baik. Mari kita mulai, ya." Penghulu itu mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Zidan.
"Bismillahirrohmanirrohim. Saudara Zidan Leonli bin Zaki Leonli, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Zidny Sandika binti Darmawan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan cincin emas TUNAI...."