Manis dan miris

"Apa?" tanya Zidan heran.

"Hijab saya, Pak. Ketinggalan di ruangan Pak Zidan," ucap Sansan menggigit bibir bawahnya.

Zidan menghela napas pelan, lalu mengeluarkan HP-nya. Zidan lalu menghubungi satpam dan menyuruhnya mengantarkan hijab Sansan yang berada di ruangannya.

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk kaca mobil Zidan. Ternyata bukan satpam yang mengantarkan hijab Sansan, melainkan Ragib.

Sansan menurunkan kaca di sebelahnya, menampakkan muka Ragib.

"Ini hijab lo," ucap Ragib.

"Makasih, Ra."

"Lain kali jangan ribut lagi sama itik semok kayak gitu."

"Iya-iya."

"Ya udah, gue masuk lagi. Ehm, Pak, saya izin ke dalam," ucap Ragib menyapa Zidan yang dibalas

anggukan oleh pria itu.

Setelah itu, mobil Zidan pun melaju meninggalkan parkiran. Seperti permintaan Sansan, ke kafe terlebih dahulu untuk mengisi perut.

Sansan memakai hijabnya, terpaksa Sansan hanya mengikat hijabnya ke belakang, karena tidak ada

pentul. Dalam hati Sansan waswas, apakah Zidan mengenalinya saat tidak memakai hijab tadi? Semoga saja Zidan tidak peka, karena untung saja

Sansan pun tidak memakai make up.

"Pak ...."

"Hm?"

"Pak Zidan punya mantan?" tanya Sansan, yang sebenarnya sudah tahu. Namun, Sansan belum pernah bertemu dengan mantannya Zidan.

Sansan tidak tahu saja jika Reren itu adalah Reni-—mantan Zidan.

"Kenapa nanya itu?" tanya balik Zidan

"Mau nanya aja, emang nggak boleh?"

"Nggak."

"Ish, gimana, sih," dengkus Sansan.

"Ehm ... tipe cewek Pak Zidan itu seperti apa, sih?" tanya Sansan berusaha mencari topik.

"Tidak ada."

"Ah, masa, sih, Pak? Bohong, nih, pasti!"

"Yang pasti nggak bawel kayak kamu," ucap Zidan santai. Sansan mencebik kesal.

Bibir Sansan tersenyum miring, sebenarnya ia tahu Zidan tertarik dengannya sewaktu berpenampilan seperti Sansan di club. Zidan menginginkan wanita dewasa nan menggoda.

"Saya nggak bawel, Pak, cuma doyan ngomong aja."

"Sama aja."

"Tau, ah. Pak Zidan nggak asyik, diajakin ngomong malah gitu." Sansan hendak merajuk. Zidan menoleh sebentar ke arah Sansan, kenapa istrinya itu tampak lebih menggemaskan ketika merajuk seperti itu?

Zidan mengulurkan sebelah tangannya, lalu menggenggam tangan Sansan pelan. Tentu saja membuat Sansan terkejut. Zidan menatapnya sebentar, tanpa ekspresi apa pun, Zidan kembali menghadap ke depan fokus menyetir dengan sebelah tangan masih menggenggam Sansan.

Wanita itu menggigit bibir bawahnya, ia tak kuasa menahan senyum. Mungkin bagi orang lain, perlakuan Zidan biasa saja, tetapi menurut Sansan, perlakuannya tadi sangat manis, karena seorang yang dingin seperti Zidan memang jarang

berbuat yang manis.

Sansan membiarkan tangannya digenggam oleh Zidan. Tangan Zidan yang hangat dan lebih besar darinya dapat membungkus tangan mungil

Sansan.

Zidan membawa Sansan ke Kafetheria. Mereka duduk di pojok. Pengunjung sedang ramai.

"Permisi, mau pesan apa?" tanya sang pelayan memberikan menu.

Sansan menatap Zidan, mengangkat alisnya seolah bertanya Zidan mau memesan apa.

"Terserah," jawab Zidan cepat.

"Dih, biasanya cewek yang ngomong terserah, ini malah cowok," ucap Sansan kesal.

"Saya pesan burgernya satu, sama ice lemon teanya satu, Mbak."

"Baik, Mbak. Masnya mau pesan apa?" tanya pelayan itu kepada Zidan.

"Terse-"

"Samain aja, Mbak," sela Sansan cepat. Kata terserah itu tidak diketahui maksudnya apa.

"Baik, pesanannya disamakan saja dengan adiknya ya, Mas. Totalnya jadi segini," ucap pelayan itu dengan santai menyebut Sansan adik Zidan.

"Adik?" tanya Sansan.

"Dia istri saya," ucap Zidan cepat, lalu mengeluarkan dompernya. Kepala pelayan itu terasa mengembang, karena malu sudah beranggapan bahwa Sansan adalah adik pria itu. Jelas sekali beda umurnya. Apa mungkin karena Sansan baby face? Zidan pun belum terlihat tua.

"Ma-maaf, Pak." Pelayan itu menunduk malu.

Zidan lalu memberikan uangnya, pelayan itu langsung mengambil uang Zidan dan bergegas pergi.

Sansan memanyunkan bibirnya yang malah tampak menggemaskan.

"Kenapa?" tanya Zidan.

"Masa aku disangka adik Pak Zidan, sih. Emangnya aku kecil banget?"

"Iya.

Mata Sansan melebar mendengar jawaban Zidan.

"Ih, Pak Zidan!"

"Apa, anak kecil?" cibir Zidan membuat Sansan semakin mencebik kesal.

Tak lama kemudian pesanan pun datang, mereka pun langsung memakannya. Sansan tampak sangat suka dengan burger. Ia tak berhenti menggigit burger itu sampai habis. Zidan yang melihat istrinya itu melahap burger sudah kenyang saja. la menggigit sedikit burgernya, lalu memberikan kepada Sansan.

Wanita itu menatap bingung. Kenapa Zidan memberikan burgernya? Namun, karena burger miliknya sudah habis, Sansan pun langsung menggigit burger itu dari tangan Zidan.

Seolah-olah sedang disuapkan. Laki-laki itu menghela napas saja, ia pun menyuapi Sansan sampai burger itu habis.

"Terima kasih, Pak Zidan. Burgernya enak banget!" ucap Sansan dengan mulut yang sudah belepotan. Zidan mengambil tisu, lalu memberikannya pada Sansan, tetapi wanita itu diam saja.

"Nih, ambil!" suruh Zidan,

"belepotan, tuh."

Sansan menggeleng, ia pun memegang tangan Zidan dan mengarahkan langsung tisu yang

dipegang Zidan ke mulutnya.

"Harusnya Pak Zidan aja langsung yang ngelapin biar romantis gitu," ucap Sansan masih mengelap mulutnya dengan tangan Zidan yang ia gerakkan.

"Kamu kan sudah gede, bisa ngelap sendiri," ucap Zidan.

"Lah, tadi katanya masih kecil," ucap Sansan memeletkan lidahnya meledek Zidan. Pria itu tak habis pikir bisa mempunyai istri ajaib seperti

Sansan.

Setelah selesai mengelap bibirnya. Sansan lalu berdiri.

"Pak Zidan, aku kebelet, mungkin juga pengen BAB. Tungguin, ya!" ucap Sansan memegang perutnya.

"Iya.

Sansan pun pergi ke belakang mencari toilet. la sebenarnya sudah kebelet sejak tadi, tetapi Sansan harus melanjutkan makannya terlebih

dahulu.

Zidan memainkan HP-nya, sembari menunggu Sansan yang katanya 'mungkin juga pengen BAB' dan dipastikan bukan mungkin lagi, tetapi memang gadis itu sedang BAB, karena sudah sepuluh menit Sansan belum juga kembali.

Merasa sudah bosan dengan benda pipih itu, Zidan pun menatap sekitar. Matanya tak sengaja menatap seorang wanita yang tak asing baginya.

Tatapan mata Zidan tak sengaja bertemu dengan mata wanita yang sedang ia perhatikan. Tertangkap basah! Zidan pun langsung

membuang muka, mengalihkan tatapannya ke arah lain. Namun, wanita itu karena sudah melihat Zidan, ia pun berniat menghampiri pria itu. Wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Reni itu akhirnya menghampiri Zidan, ia menarik kursi di hadapan Zidan—yang diduduki oleh Sansan tadi

lalu duduk di sana.

"Apa kabar, Mas Zidan?"

"Kenapa kamu duduk di situ?"

"Emangnya tidak boleh?"

Zidan menghela napas, bagaimana jika nanti Sansan kembali dan melihat ia sedang duduk dengan wanita lain.

"Aku masih nggak nyangka, kamu membatalkan pernikahan kita. Bukannya kamu sangat mencintaiku?"

"Sudahlah. Aku tidak ingin berbicara lagi denganmu," ucap Zidan bangkit, tetapi Reni pun ikut bangkit dan menahan lengan Zidan.

"Aku hanya ingin minta pertanggungjawaban sepupu kurang ajarmu."

"Ya sudah, minta sama dia. Bukan urusanku!"

"Segitu bencikah kamu denganku, sampai kamu tidak mau lagi menatapku?" lirih Reni. Zidan pun akhirnya menatap mata Reni. Ia sangat sulit lari dari masa lalu.

Bayang-bayang tentang Reni masih

dalam ingatan Zidan. Namun, apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Ia dan Reni tidak berjodoh.

Reni menggenggam tangan Zidan pelan. "Aku tahu, kamu masih amat mencintaiku," ucap Reni menampilkan senyum gulanya yang sangat manis di mata Zidan. Reni lalu tanpa aba-aba berjalan mendekati Zidan dan memeluk pria itu erat. Zidan awalnya terkejut, tetapi tangannya pun tergerak

untuk membalas pelukan Reni.

"Aku rindu," ucap Reni merengek manja. Namun, di balik itu ada senyum Sinis yang tergambar di muka Reni.

Senyum pertanda apakah itu?

Sansan yang baru saja keluar dari toilet segera kembali tuk menemui Zidan. Ia sudah setengah jam di toilet. Namun, saat sampai di tempat tadi, mata Sansan melebar menatap penampakan di hadapannya. Miris!

BERSAMBUNG