"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Yonaa? Apakah ada kesulitan?" Suara bariton pemilik perusahaan Samudra Seafood memecah keheningan ruang makan.
Yonaa mendongak. Ia menoleh ke arah tuan Jatmiko. Seketika Yonaa menghentikan gerakan menyuapkan benda pipih panjang ke mulutnya. Spagheti adalah menu kesukaan Yonaa. Nyonya Carissa sengaja menyediakan menu kesukaan untuk Yonaa.
Suasana makan malam terasa begitu menenangkan. Entah apa karena sudah lama sekali ia tak lagi merasakan makan malam bersama ayahnya ataukah ada hal yang lain. Di meja makan hanya ada mereka bertiga. Gea, anak kedua tuan Jatmiko sangat sulit jika diajak bergabung makan malam. Ada saja yang menjadi alasannya menolak acara makan malam keluarganya sendiri.
"Tidak ada, ayah. Semua urusanku lancar karena dibantu oleh kak Gibran," sahut Yonaa lalu kembali berkonsentrasi dengan menu makan malamnya.
"Kak Gibran?" tuan Jatmiko mengerutkan dahi.
Yonaa kembali mendongak.
"Iya, Kak Gibran. Sekretaris pribadiku," jelasnya.
"Kau memanggil Gibran dengan sebutan kak, kenapa?" tanya tuan Jatmiko penasaran.
"Ah, itu hanya panggilanku saja. Aku merasa tak enak memanggil orang yang usianya lebih tua dariku," jelas Yonaa.
Tuan Jatmiko hanya mengangguk pelan ta da mengerti. Ia tak mempermasalahkan lagi. Yang terpenting adalah kenyamanan Yonaa dalam bekerja.
"Malam ini, kau menginap saja di sini. Mama rindu mengobrol denganmu sebelum tidur."
Kali ini nyonya Carissa mengambil alih perhatian Yonaa.
Yonaa nampak berpikir. Awalnya ia hanya ingin menikmati makan malam, lalu kembali ke apartemen dengan diantar supir. Tapi, melihat wajah penuh harap dari mamanya, ia jadi tak tega untuk menolak permintaan nyonya Carissa.
'Ah, tak aplah menginap malam ini. Toh aku sudah lama sekali tak tidur di rumah ini,' batin Yonaa.
"Baiklah, ma. Aku akan menginap," jawab Yonaa sambil menyunggingkan senyum tulus.
Senyum mengembang bersambut di wajah nyonya Carissa.
"Makasih sayang. Mama rindu sekali padamu. Oh, iya. Setelah makan, kau sebaiknya menghubungi kakakmu. Dia sangat hawatir padamu," ujar nyonya Carissa sambil menjawil pipi mulus Yonaa. Nyonya Carissa tiba-tiba teringat dengan pesan Zico.
"Kak Gea?" terka Yonaa asal. Meski sebenarnya ia tahu siapa yang dimaksud oleh mamanya, ia hanya berharap kakaknya yang satu itu menghawatirkannya sama dengan Zico yang menghawatirkannya.
"Bukan, sayang. Zico. Dia menghawatirkanmu. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan padamu. Mama tidak tanya, dia hanya bilang ingin menghubungimu langsung," tutur nyonya Carissa.
Ada sebersit perasaan kecewa di hati Yonaa. Ia berharap Gea-lah ingin menghubunginya.
"Tapi, ponsel Yonaa tertinggal di kantor."
"Haish ... kau ini, masih saja ceroboh. Pantas saja, Zico selalu mengkhawatirkanmu. Nanti kau pakai ponsel milik mama saja. Sekarang, selesaikan makan malammu," titah nyonya Carissa.
"Baik, ma. Nanti Yonaa akan menghubungi kak Zico. Terima kasih, ma," sahut Yonaa.
Nyonya Carisaa menyunggingkan senyum tulus untuk putri bungsunya itu.
Setelah makan malam, sesuai titah ibunya, Yonaa lantas bergegas menuju kamar lamanya yang terletak di lantai atas. Di tangannya sudah menggenggam ponsel pintar milik ibunya.
Segera, setelah mendapat tempat yang nyamn yakni duduk di kursi di balkon kamarnya, ia menekan nomor kakaknya.
Tuut ...
"Halo kak."
Dering pertama, Zico sudah menekan tombol jawab. Tak menunggu lama lagi, Zico mengalihkan panggilan menjadi panggilan video.
"Yonaaa ... kau ke mana saja seharian ini?! Ponselmu tidak aktif, kakak khawatir sekali padamu!"
Zico memberondongi pertanyaan pada Yonaa. Yang ditanya hanya bisa nyengir kuda.
"Maaf kak, aku tadi siang sibuk menghadiri rapat. Ponselku sengaja aku matikan di laci meja kantorku."
"Kenapa ponsel kau tinggal di laci? Memangnya kau tidak bisa cukup mematikan dn menyimpannya di saku jasmu?"
"Hehe ... maaf kak. Aku hanya tidak ingin terganggu oleh kehadiran ponsel. Aku perlu berkonsentrasi penuh pada pertemuan tadi siang. Dan kakak tau tidak? Aku akhirnya menang tender!!! Yeay ... senang rasanya kak," pekik Yonaa di hadapan layar ponselnya.
"Syukurlah kalau begitu, tapi lain kali kau tidak boleh dari ponselmu, Yonaa!"
"Iya ... iya ... " sahut Yonaa.
Yonaa terkekeh melihat tingkah kakaknya yang begitu mempermasalahkan ponselnya yang mati.
"Kakak semalam memimpikanmu. Karena itulah, kakak sangat hawatir padamu."
"Memangnya, di mimpi kakak, aku sedang melakukan apa sampai-sampai kakak mencemaskanku begitu hebat?" Yonaa terkikik mendengar klimatmya sendiri pada kakaknya.
"Di dalam mimpi kakak, kau pergi meninggalkan kakak. Kakak sangat takut ... "
Yonaa terkekeh.
"Bukankah sebenarnya terbalik? Kakak yang malah meninggalkanku di sini. Aku dibebankan tanggung jawab perusahaan oleh ayah karena kakak harus terbang ke London. Harusnya, akulah yang paling sedih. Kakak pasti bersenang-senang di London. Mengencani banyak wanita bule di sana," celoteh Yonaa.
"Ahahaa ... seandainya aku bisa seperti itu."
Terdengar gelak tawa Zico dari ujung panggilan.
"Kakak tidak punya waktu hanya untuk menikmati malam hari di kota London. Serentetan jadwal pertemuan mengikat aku hingga terkadang tak sadar, hari sudah gelap," tutur Zico.
"Kalau begitu, kapan kakak kembali ke Indonesia? Aku rindu kak Zico," rengek Yonaa.
"Kakak sangat sibuk, Yonaa. Mungkin jadwal kakak akan sedikit longgar setelah proyek di London selesai. Kurang lebih sekitar bulan depan," jawab Zico dari balik layar ponsel.
Yonaa memberengut. Bibirnya mengerucut.
"Kak Zico sudah tak sayang lagi padaku!" rajuk Yonaa.
"Haish lucunya adikku yang satu ini jika sedang merajuk. Ingin rasanya menjawil pipimu, tapi sayangnya kakak berada sangat jauh dari sisimu. Tunggulah, kakak pasti akan mrnggelitikimu sampai kau minta ampun."
"Coba saja! Aku pasti akan bersembunyi di balik badan kak Gibran. Dia pasti bisa menjauhkanku dari tangan jahil kak Zico," ujar Yonaa seraya menjulurkan lidahnya bertingkah meledek Zico.
"Kau sangat dekat dengan Gibran akhir-akhir ini?"
Raut wajah Zico mendadak keruh mendengar nama Gibran yang disebut oleh Yonaa.
Yonaa mengangguk. Tangannya menggapai minuman yang sudsh tersaji di meja samping ranjang. Rupanya Yonaa tengah berpindah tempat ke dalam kamar untuk mengambil minuman. Mengobrol dengan Zico selama berjam-jam membuat kerongkongannya kering.
"Kak Gibran selalu membantuku di setiap pekerjaan. Aku merasa mudah mengerjakan semuanya berkat kak Gibran. Ah iya, beberapa hari yang lalu, kak Gibran menemaniku membeli buku. Lalu ... "
"Apa Gibran pernah menginap di apartemenmu?" potong Zico sebelum Yonaa meneruskan ceritanya.
"Uhuk!"
Yonaa tersedak.
"Apa?! Tentu saja tidak! Mana mungkin aku mengijinkan orang luar menginap di apartemenku meski dia adalah sekretaris handal kakak," sergah Yonaa.
"Baguslah kalau begitu. Kau masih bisa kakak percaya sebagai adik yang patuh."
"Hishh ... memangnya aku wanita macam apa sampai mengijinkan laki-laki menginap di apartemenku? Biarpun aku lama hidup di luar negeri, tapi budaya timur menjadi landasan hidupku," tegas Yonaa.
"Baguslah. Ah, uya. Di sana pasti sudah larut malam. Kau seharusnya segera tidur."
Yonaa melirik jam dinding di kamarnya. Hampir pukul tengah malam.
"Astaga, sudah hampir tengah malam! Mama pasti menungguku sejak tadi. Kalau begitu, aku tutup teleponnya ya. Sampai jumpa kakak. I love you ... " ujar Yonaa memutus sambungan telepon.
Ia lantas bergegas keluar kamar mencari nyonya Carissa.