"Yonaa!" teriak Zico.
Seketika ia terperanjat dari tidurnya. Keringat membasahi pelipisnya.
"Astaga ... mimpi apa aku barusan? Kenapa hatiku berdegup kencang? Ada apa dengan Yonaa?" gumam Zico sambil mengusap wajahnya.
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikiran Zico. Ia lantas bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dengan tergesa dan perasaan was-was, Zico menekan tombol panggilan ke nomor Yonaa.
Tuut ...
Ponsel tidak terhubung.
"Haish ... kenapa ponsel Yonaa tidak dapat tersambung?"
Dari ujung telepon tak satupun panggilan yang dijawab oleh pemilik nomer. Zico melirik angka yang bertengger di atas layar ponselnya. Jam tiga dini hari waktu London. Ia memperkirakan waktu Indonesia masihlah siang menjelang sore.
"Apakah Yonaa masih ada di kantor ataukah dia sedang sakit? Kenapa tak mengabariku jika ia sakit?" gumam Zico.
Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Sebuah pemberitahuan agenda hari ini masuk ke dalam ponselnya. Zico membuka isi pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya.
Zico mendesah resah. Ia melihat jadwal yang diberikan sekretarisnya itu hampir tak memiliki waktu senggang. Hanya ada waktu jam makan siang dua jam ia bisa memiliki waktu luang. Sederetan jadwal rapat dan pertemuan dengan beberapa pemilik perusahaan memadati jadwalnya hari ini.
"Kalau jadwalku padat seperti ini, aku tak bisa mengecek keadaan Yonaa," keluh Zico pelan.
Zico mengirimi pesan singkat pada Sasa untuk mengubah sedikit jadwal pertemuannya. Setelah itu, Zico bangkit dari ranjangnya dan keluar dari kamarnya. Rasa kantuknya sudah sirna setelah mendapatkan mimpi yang menurutnya sangat menakutkan. Bukan. Bukan mimpi tentang hantu atau semacamnya, melainkan mimpi yang berhubungan dengan adik kesayangannya, Yonaa.
***
"Nona Yonaa sudah tidak ada jadwal pertemuan lagi hari ini. Tapi, besok pagi, nona Yonaa akan bertemu dengan tuan Kagawa untuk membicarakan kerja sama pemasokan ikan untuk kantor cabang Jepang."
Gibran membeberkan jadwal kegiatan Yonaa yang tertera pada ponsel pintar miliknya.
Yonaa bangkit dari tempat duduknya lalu menggeliat kecil. Ia meregangkn tangannya agar otot-ototnya yang menegang bisa kembali lentur akibat rutinitas yang melelahkan.
"Baiklah, terima kasih untuk kerja samanya hari ini," ujar Yonaa lalu berjalan melewati Gibran ke luar ruangan.
Sesaat kemudian ia menghentikan langkahnya lalu memutar badannya seratus delapan puluh derajat.
"Tunggu apa lagi? Kenapa kak Gibran diam saja? Ayo kita pulang," rajuk Yonaa.
Gibran tersentak. Sesaat tadi pikirannya melayang. Entah kenapa ia menjadi sering melamun. Sejak bekerja di samping Yonaa, pikiran Gibran sering sekali tak terkendali. Terlebih lagi jantungnya sering tak keruan jika tanpa sengaa bersentuhan dengan tangan Yonaa.
"Ba-baik nona. Maaf," sahut Gibran lantas berjalan menyusul Yonaa yang sudah keluar dari ruangan.
Mereka sudah sampai di basement kantor, tempat bagi para penghuni kantor memarkirkan kendaraan mereka.
"Kita langsung ke apartemen nona?" tanya Gibran setelah memastikan Yonaa duduk dengan nyaman di bangku penumpang.
Yonaa menggeleng.
Gibran menunggu, tapi tidak ada jawaban dari sang pemilik paras cantik di belakangnya. Ia akhirnya memutuskan untuk melajukn mobil ke arah apartemen Yonaa.
"Tolong antarkan aku ke rumah mama. Aku mau bertemu dengan mama," desis Yonaa.
Hampir saja suara Yonaa tak terdengar oleh telinga Gibran. Beruntung, mobil mereka tengah berhenti di depan lampu merah.
"Baik nona," sahut Gibran. Matanya sekilas melirik ke arah cermin di atas kepalanya.
Ada raut kesedihan di wajah Yonaa.
Gibran lantas memutar setirnya menuju arah kediaman bos besarnya.
"Astaga!" pekik Yonaa tiba-tiba.
"Ada apa nona?" sahut Gibran ikutan hawatir.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang mencari ponselku di dalam tas. Sepertinya tertinggal di atas meja kerjaku," jawab Yonaa.
"Apakah kita perlu putar arah ke kantor kembali, nona?"
Gibran menawarkan pilihan untuk Yonaa agar lebih baik kembali lagi untuk mengambil ponsel. Bagaimanapun, ponsel adlah benda penting bagi setiap orang, termasuk dirinya.
"Ah, tidak perlu. Saat ini aku merasa sangat lelah. Biar saja di sana," sahut Yonaa setengah malas.
"Baik, nona."
Gibran kembali melajukan mobilnya menuju kediaman nyonya besar Carissa.
Rumah kediaman keluarga Jatmiko sudah berada di jadak pandang Gibran. Rumah besar dengan desain bergaya Eropa terpampang di pelupuk mata. Gibran mengurangi kecepatan mobilnya dan berhenti tepat di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Ia menekan klakson pelan menandakan bahwa ada mobil yang akan masuk ke dalam rumah.
Seorang penjaga keamanan tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang. Mendorongnya hingga mobil bisa masuk dengan leluasa.
Setelah mobil terparkir dengan gagah di garasi. Gibran bergegas keluar mobil membukakan pintu mobil untuk Yonaa.
"Terima kasih, kak."
Yonaa melenggangkan kakinya masuk ke pintu utama kediaman Jatmiko. Rumah yang memiliki banyak kenangan saat dirinya masih kecil.
Ia hendak membuka pintu, tiba-tiba saja tangan Gibran sudah lebih dulu menjulur
"Saya permisi nyonya."
Gibran berpamitan pada nyonya Carissa setelah mengantarkan Yonaa sampai ke dalam ruang tamu.
"Gibran ... kau tidak ikut makan malam dulu bersama kami? Kami akan senang jika kau bisa bergabung dengan kami malam ini," ujar nyonya Carissa.
Senyuman ramah tak pernah hilang dari wajah nyonya Carissa. Itulah yang membuat Gibran sangat loyal dan setia pada keluarga Jatmiko. Dia merasa keluarga Jatmiko tidak pernah merendahkan para karyawannya.
"Terima kasih, nyonya. Mohon maaf dengan segala hormat, saya tidak bisa menerima ajakan makn malam dari nyonya karena ada hal yang perlu saya kerjakan. Mohon agar nyonya tidak merasa tersinggung dengan penolakan saya," ujar Gibran sambil membungkukkan badan, hormat.
"Haish ... kamu tidak usah sungkan seperti itu. Ini bukan di kantor. Santai sedikitlah," sahut nyonya Carissa sambil menepuk bahu Gibran.
Gibran tersenyum tipis.
"Terima kasih atas undangan nyonya. Tapi saya tidak bisa ... "
Gibran belum menyelesaikan ucapannya tiba-tiba, ponselnya berdering.
"Nyonya, mohon maaf. Saya harus mengangkat telepon ini dari tuan Zico."
Gibran meminta ijin dengan sopan agar bisa mengangkat telpon dari bosnya itu.
"Itu telepon dari Zico? Biar saya yang menerimanya," titah nyonya Carissa.
"Silakan nyonya," sahut Gibran sambil menyerahkan ponselnya itu.
"Zico? Ini mama. Ah, Yonaa ada bersama mama di rumah. Ada apa? Suaramu terdengar sangat gelisah. Apa ada masalah?" tanya nyonya Carissa bingung.
Gibran yang masih berdiri di depan nyonya Carissa pun ikut merasa hawatir.
"Itu hanya sebuh mimpi. Kau tidak harus menghawatirkan Yonaa. Gibran selalu berada di dekat Yonaa. Yonaa akan aman bersama Gibran. Baiklah, kau juga harus menjaga kesehatanmu."
Nyonya Carisaa menutup sambungan telepon dan menyerahkan ponsel itu kembalai ada pemiliknya.
Yonaa berlari kecil dari arah belakang nyonya Carissa.
"Tadi telepon dari kak Zico? Apa katanya?" tanya Yonaa.
"Dia menghawatirkanmu. Ponselmu susah untuk dihubungi, kenapa?"
"Ponselku tertinggal di kantor. Aku lupa menyalakan kembali setelah menghadiri dapat," jawab Yonaa.
"Ma, aku sudah lapar. Ayo kita makan," ajak Yonaa sambil menggandeng tangan ibunya.
"Baiklaah ... "
Sebelum mereka beranjak ke dalam, sekali lagi Gibran memohon pamit ada nyonya besar. Ia pun memilih untuk pulang ke rumah.