Manis seperti es krim

"Terima kasih, karena mengantarku sampai pintu apartemen," ujar Yonaa.

"Sudah menjadi tugas saya mengantar nona selamat sampai rumah," sahut Gibran tetap dengan sikap sopan.

"Yeah .. aku senang hari ini karena ada yang menemaniku mencari buku, meski ada juga yang membuatku sungkan," desis Yonaa.

Gibran mendongak, mulutnya sedikit terbuka hendak menyahuti keluhan Yonaa, tapi terputus karea Yonaa sudah bergerak membuka gagang pintu apartemennya dan masuk.

"Selamat malam kak Gibran," ujarnya sepintas alu menutup pintu apartemen tanpa menunggu jawaban dari Gibran.

Selamat malam nona ... Yonaa," lirih Gibran.

***

"Ke mana saja kau? Selarut ini kau baru pulang?" sapa Rio saat Gibran baru saja memasuki ruang tamu.

Gibran melirik sekilas lantas melanjutkan kembali berjalan menuju kamarnya. Ia meletakkan gawainya di atas nakas samping ranjang lalu menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar mandi.

Tak beberapa lama, Gibran menyelesaikan kegiatannya membersihkan badan. Ia lalu bergabung dengan Rio yang tengah menyantap camilan yang dicelupkan ke dalam kopi.

"Lembur di kantor? Bos barumu menyuruhmu kerja lembur di hari pertamanya?" cecar Rio.

Gibran tak menggubris, ia mengambil pengendali televisi dan mengganti saluran acara televisi.

"Hei! Kau dengar pertanyaanku tidak?" sungutnya kesal. Semua pertanyaannya belum mendapat jawaban dari mulut Gibran.

"Iya, aku dengar. Aku tadi pergi ke toko buku," sahut Gibran malas. Matanya tertuju penuh pada layar televisi.

"Toko buku? Untuk apa kau ke tko buku? Buku apa yang kau beli?" tanya Rio semakin penasaran. Ia celingukan mencari buku yang seharusnya dibeli Gibran.

"Aku tak membeli buku," sahutnya lagi.

Bibir Rio tertearik ke awah. Wajahnya berubah menjadi masam. "Astaga! Kau ini kenapa selalu saja menjawab dengan kalimat yang tidak jelas," ujar Rio kesal.

"Bosku yang membeli buku," sahut Gibran sebelum Rio kembali bertanya.

Rio semakin dibuat bingung oleh jawaban Gibran.

Gibran menoleh. "Nona Yonaa memintaku untuk menemaninya ke toko buku," jelas Gibran.

"Nona?" tanya Rio.

"Iya, nona Yonaa, dia atasanku. Kenapa?"

"Atasanmu seorang wanita? Sial betul nasibmu Gib!" ejek Rio.

Kening Gibran berkerut. " Memangnya kenapa jika atasanku seorang wanita? Apa masalahnya?" tanya Gibran bingung.

Rio terkekeh. "Kau ini masih saja tak mengerti urusan wanita. Ku sarankan kau untuk mulai mencari pacar," ujarnya sambil menepuk pundak sahabatnya itu.

"Sialan kau! Kenapa kau membahas status jomloku?" sungut Gibran.

"Dan lagi, atasanku itu bukan seorang wanita yang sudah berumur. Nona Yonaa adalah adik bungsu tuan Zico. Dia baru saja lulus dari kuliahnya dan langsung dilimpahkan tanggung jawab sebagai CEO di kantor pusat," sambung Gibran.

Mata Rio membulat penuh.

"Astaga! Tunggu sebentar, biar ku bayangkan wajah atasanmu itu," ujarnya sambil memutar bola matanya ke atas. Rio bertingkah seolah ia bisa menggambar wajah Yonaa di udara.

"Jika tuan Zico begitu tampan dan nona Gea begitu elegan, pastilah nona Yonaa tak jauh dari mereka. Dia pasti seorang gadis cantik yang anggun," tebak Rio.

"Yeah ... kurang ebih begitu. Tapi aku rasa ada yang berbeda dari nona Gea dan tuan Zico. Wajah nona Yonaa tidak begitu mirip denga tuan besar Tora ataupun nyonya Carissa. Entahlah seperti bagian puzzle dari lukisan yang lain," ujar Gibran.

"Halah! Mana mungkin seperti itu! Mereka adalah keluarga, pastiah ada kemiripan di antara mereka. Kau saja yang kurang jeli melihat persamaan mereka. Ah, iya. Aku tidur duluan. Ngantuk. Kau jangan lupa bereskan sisa makanan yang ada di atas meja itu ya!" tunjuk Rio ke arah meja lalu beranjak pergi meninggalkan Gibran.

"Hei! Ini sampahmu, kenapa aku yang harus membereskan ini semua?" protes Gibran.

Tapi sayangnya Rio tak menggubris dan langsung masuk ke dalam kamar.

"Haish ... Dia yang memakan semua ini, aku yang harus membereskan sampahnya. Dasar pemalas!" keluh Gibran.

Sembari membereskan meja, tiba-tiba saja pikiran Gibran teringat dengan kejadian saat di toko buku.

"Pfft ... "

Gibran menahan tawanya dengan mengulum bibirnya.

"Kau 'kan sudah berjanji tak akan menertawaiku seperti teman-temanku yang lain!" protes Yonaa, merengut.

Gibran segera mentralkan perasaan geli di hatinya.

"Maafkan aku nona. Aku hanya refleks saja," sahut Gibran cepat-cepat meminta maaf. Gibran merasa tak enak hati karena telah melanggar janjinya ada Yonaa.

"Tak mau!" rajuk Yonaa.

'Haish ... kenapa kau membuat adik kesayangan tuan Zico!' rutuk Gibran dalam hati.

"Maaf nona, saya telah lancang menertawakan nona. Apa yang harus saya lakukan agar nona memaafkan saya?" ujar Gibran memelas.

"Baiklah! Aku ada permintaan untukmu," sahut Yonaa.

"Appapun ermintaan nona, akan saya penuhi," sahut Gibran.

"Benarkah? Meskipun permintaanku tidak masuk akal? Jika aku memintamu untuk menyebrangi lautan sekarang juga, apa kau mau melakukannya?" selidik Yonaa.

Tanpa sengaja, bola mata Gibran membulat, lalu segera ia mengendalikan dirinya.

"Baiklah nona. Jika nona mengharapkan itu. Laut mana yang harus kusebrangi?" tanya Gibran serius.

"Ahahaaa ... kau ini selalu saja bersikap serius. Santai saja ... aku tak serus memintamu seperti itu. Aku hanya bercanda," ujar Yona sambil tergelak.

Hati Gibran mencelos. Ada rasa lega dalam hatinya.

"Sebagai persyaratan memaafkanmu, aku hanya ingin makan es krim. Bisakah kau membawaku ke kedai es krim?" pinta Yonaa.

Dan inilah permintaan yang tidak masuk akal menurut versi Gibran. Ia tau saat ini, jarum jam sudah menunjuk pukul sembilan malam. Tak banyak kafe yang menyediakan es krim masih membuka kedainya. Tapi bukan Gibra jika tak berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia selalu dapat melaksanakan perintah atsannya.

"Baiklah. Kalau begitu, setelah nona selesai memilih buku, kita akan pergi mencari es krim," ujar Gibran.

"Benarkah? Sungguh?!" Mata Yonaa berbinar.

Setelah membayar buku yang ia pilih, Yonaa mengikuti Gibran menuju mobilnya. Mobilpun bergerak. Sembari menyeir, Gbran mengirim pesan pada temannya. Ia punya kenalan kedai es krim di dekat toko buku.

Tak lama, laju mobilpun melambat. Gibran memarkir mobilnya di depan kedai kecil yang sudah tutup. Terliat dari tulisan yang terdapat di pinu masuk kedai.

"Silakan nona, kita sudah sampai ... " ujar Gibran sambil membukakan pintu mobil untuk Yonaa.

Dahi Yonaa sedikit berkerut. Ia kebingungan. Kenapa sekretarisnya itu memawa dirinya ke kedai yang sudah tutup.

"Mari nona ... kedai ini selalu buka khusus untuk nona," ujar Gibran mempersilakan Yonaa masuk ke dalam kedai.

Benar saja. Saat Yonaa masuk ke dalam kedai, matanya langsung disuguhkan dnegan pemandangan yang menakjubkan. Lampu-lampu cantik berkerlipan menghiasi langit-langit kedai. Seolah semuanya baru saja ditata ulang.

"Silakan nona," ujar Gibran sambil mempersilakan Yonaa duduk.

Gibran berdiri di samping Yonaa.

"Kenapa kau tak duduk? Aku tak mau duduk sendirian? Temani aku menghabiskan es krim sebanyak ini," ujar Yonaa.

Pelayan kedai yang tak lain adalah teman dari Gibran menyuguhkan satu mangkok besar berisi es krim berwarna warni dengan taburan coklat dan keju, tak ketinggalan juga irisan strawbery menghiasi mangkuknya.

Meski Gibran sudah menolak permintaan Yonaa, tapi tetap saja Yonaa bersikeras meminta Gibran menemaninya menghabiskan es krim di mangkoknya.

'Astaga terjadi lagi! Kenapa lagi dengan jantungku!' rutuk Gibran.

Degupannya semakin kencang seiring suapan sendok yang masuk ke dalam mulutnya. Bagaimana tidak. Ia memakan es krim di mangkok yang sama dengan Yonaa.

'Ini terlalu manis bahkan lebih manis dari es krim yang ku makan,' gumam Gibran dalam hati.