Sudah seminggu Yonaa menjabat sebagai CEO di perusahaan Samudra Seafood. Dengan dibantu oleh Gibran, ia menjalankan semua pekerjaan dengan baik. Negosiasi dengan beberapa klien pun berhasil ia menangkan. Bahkan beberapa tender, ia menangan dengan gemilang. Tentu saja hal itu membuat Zico merasa bangga pada Yonaa.
Yonaa tak pernah absen menghubungi Zico setiap malam.
"Kakak bangga padamu, sayang."
Yonaa tersipu mendapat pujian dari kakak sulungnya itu.
"Ah, iya kak. Tadi siang, mama menelponku. Beliau bilang aku harus mampir ke rumah petang nanti. Mama ingin aku makan malam di rumah," ujar Yonaa.
"Benarkah? Kalau begitu nanti Gibran akan mengantarmu. Yonaa, nanti kita sambung lagi, ya. Kakak harus mengejar jadwal selanjutnya. Miss you ... " ujar Zico lalu menutup panggilan video.
Dari layar Yonaa melihat kakaknya itu sekilas tadi melirk arlojinya. Ia lantas menuruti permintaan kakaknya. Yonaa menutup sambungan telepon meski hatinya belum puas melepas rindu dengan kakaknya.
"Kak Gibran ... tolong masuk ke ruanganku," ujar Yonaa, menelpon Gibran.
Sepuluh detik kemudian, Gibran membuka pintu ruangan.
"Jadwalku sore ini apa, kak?" tanya Yonaa.
"Su-sudah tidak ada kegiatan lagi, nona. Apa ada yang ingin anda lakukan sore ini, nona?" tanya Gibran.
Wajah Yonaa nampak berpikir sejenak. Ia juga melirik jam kecil di atas mejanya. 'Masih ada waktu tiga jam hingga waktu makan malam,' pikirnya.
"Ada! Yuk kita berangkat sekarang," ujar Yonaa riang.
Tanpa sengaja ia menggandeng tangan Gibran.
"Ma-maaf nona."
Gibran perlahan melepas tangan Yonaa sambil tertunduk malu.
"Ah iya! Aku lupa. Maaf ... " ujar Yonaa.
"Silakan nona ... "
Gibran membukakan pintu ruangan untuk Yonaa.
***
"Maaf nona, kita mau ke mana?"
Gibran sedikit melirik kaca spion di atasnya.
"Di depan sana!"
Pandangan Gibran langsung tertuju pada arah tangan Yonaa. Dengan tangkas, Gibran mengendarai mobilnya menuju toko yang ditunjuk tangan Yonaa.
Mobil mereka sudah terparkir di parkiran sebuah toko buku.
"Ayo kak!" seru Yonaa.
"Silakan, nona masuk terlebih dahulu. Biar saya tunggu di mobil saja," sahut Gibran.
"Ah, ayolah ... temani aku mencari buku."
Secara impulsif, Yonaa menarik tangan Gibran.
"Ah, baik nona. Maaf, sebaiknya nona berjalan di depan saya. Maaf, " ujar Gibran.
Yonaa sontak melepaskan gandengan tangannya.
"Baiklah ... tapi kak Gibran tidak boleh jauh dariku saat aku memilih buku," ujar Yonaa.
"Baik nona."
Yonaa melangkah masuk ke dalam toko buku itu dengan di belakangnya diikuti oleh Gibran.
'Haish ... ada apa denganmu, bro! Akhir-akhir ini kau terus saja berdegup kencang,' rutuk Gibran sambil memegangi dadanya.
Yonaa menyusurI lorong rak bagian novel. Ia sangat suka membaca buku. Tentu saja ia sangat meyukai buku. Sejak kecil ia selalu mendnegarkan Zico membaca buku. Zico bahkan mengajari Yonaa membaca buku-buku yang ia baca. Meski terkadang Yonaa sesekali mengelak karena buku yang dibaca Zico adalah buku-buku yang tergolong baasan yang berat. Yonaa lebih menyukai buku cerita atau novel.
Gibran berdiri tak jauh dari Yonaa sambil mengambil satu dua buku untuk ia baca. Karena terau asyik membaca buku, ia tanpa sadar kehilangan ssok Yonaa.
"Astaga! Di mana nona Yonaa ... Haish ... aku bodoh sekali!" rutuknya.
Gibran menoleh ke sana kemari mencari sosok Yonaa. Keringat dingin mulai membasahi dahinya.
"Got you!"
Gibran berjingkat kecil saat sebuah tepukan ringan terasa di bahunya. Ia menoleh dan langsung mendapati Yonaa tertawa terpingkal.
"Kenapa? Panik? Ahaahaa ... " ujarnya sambil terus tertawa.
Hati Gibran mencelos. Tentu saja ia sangat panic. Pikirannya melayang pada sosok tuan Zico. Bagaiman jika ia kehilangan nona Yonaa. Apa yang akan dilakukan oleh tuan Zico padanya.
"Nona … aku mohon jangan seperti itu. Saya bisa dimarahi oelh tuan Zico jika kehilangan nona," ujar Gibran sambil menetrakan hatinya yang panic.
"Haish … kakak terlalu serius sekali. Aku hanya ingin bersenang-senang saja."
"Ah, iya nona … saya mohon untuk memanggil saya dengan sebutan nama saja. Itu lebih baik … "pinta Gibran sopan.
"Kenapa? Kita 'kan sekarang tidak sedang di kantor. Tak apalah jika aku memanggilmu dnegan sebutan kakak. Lagipula, usiaku jauh di bawahmu," sahut Yonaa.
Gibran merasa malu hati. Jika sekali lagi saja Yonaa memanggilnya dnegan sebutan kakak, mungkin ia hatinya akan terbang ke nirwana karena saking senangnya.
"Tetap saja aku merasa tak pantas dipanggil seperti itu, nona."
Gibran menolak sehalus mungkin agar Yonaa tak tersingging.
"Baiklaah … rupanya kakak ingin seperti itu. Meski sebenarnya aku ingin hubungan kita saat di luar pekerjaan adalah teman, tapi jika kakak menginginan seperti itu. Aku menghormatinya."
Yonaa mengulum kekecewaannya dalam hati. Menjadi orang yang dengan kecerdasan di atas rata-rata temannya ditamba lagi ia terlair sebagai anak dari seorang konglomerat terbesar di Indonesia, membuat ia tidak bisa berteman dengan leluasa. Karena itula, saat ia melihat Gibran, ia sanagta antusias. Pikirnya ia bisa berteman dengan Gibran.
Melihat sebersit senyum kecewa di wajah Yonaa, Gibran merasa tak enak hati. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus menjaga jarak dengan gadis itu. Ia tak ingin menjadi orang yang tak tau diri akrab dengan atasannya itu.
"Kau membaca buku apa?" tanya Yonaa memecah pikiran Gibran.
Gibran melirik buku yang ada di tangannya. "Ah, ini hanya buku pengetahuan umum saja," ujarnya lalu melaetakkan kembali buku itu ke atas rak buku.
"Ehm … apakah nona sudah mendapatkan buku yang dicari?" tanya Gibran mengalihkan pembicaraan.
"Belum … aku bingung mau membeli buku apa," ujarnya sambil mengedarkan pandnagannya pad arak-rak buku yang menjulang di sekitarnya.
"Kenapa bingung, nona? Kukira nona ke toko ini karena nona ada tujuan untuk membeli satu atau dua buku yang menjadi favorit nona," sahut Gibran
"Buku favoritku? Kau tau buku favoritku dari kak Zico?" Yonaa balik tanya.
"Tidak nona. Tuan Zico tak pernah menceritakan perihal tentang nona," jawab Gibran tanggap.
"Kau mau tau buku favoritku?"
Gibran mendongak, kali ini ia memberanikan diri menatap bola mata Yonaa.
"Tapi kau harus janji, jangan menertawaiku. Janji?" todongnya.
Yonaa mengacungkan jari kelingkingya menagih persetujuan dari Gibran.
Gibran merasa sangat kikuk disodori jari oleh atasannya itu. Ia bahkan tak menjawab pertanyaan Yonaa sebelumnya. Baginya, mengetahui hal-hal pribadi atasannya adalah bukan sebuah penawaran yang harus ia ketahui.
Tak menunggu lama, lagi-lagi Yona menarik tangan Gibran dan menggaetkan kelingking miliknya pada kelingking Gibran.
"Kau tahu, aku selalu ditertawakan teman-tamanku tiap kali kami pergi ke toko buku," ujar Yonaa murung.
"Nona ditertawakan karena apa?" tanya Gibran penasaran.
Yonaa menghela nafas pelan.
"Mereka menertawai buku yang aku pilih " sahutnya.
Kening Gibran berkerut semakin dalam. Rasanya ia harus extra sabar dengan gadis di depannya itu. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya saja ia harus menunggu kalimat yang akan diucapkan Yonaa.