Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Bandung, seorang laki-laki tampan tengah merapikan tas kerjanya. Di ruangan tak lebih dari 3x4 meter itu ia tak sendiri. Di ranjang susun itu ada seorang lagi yang masih tergolek tidur dengan pulasnya.
"Bro, kau tak masuk kerja hari ini?" cetus laki-laki itu sambil menoleh sedikit ke arah ranjang susun.
"Hmm … hari ini aku shift siang," sahutnya dengan suara setengah sadar.
"Aku berangkat dulu. Jangan lupa, sebelum kau berangkat ke kantor, mampir dulu ke tempat binatu. Pakaian kotormu sudah menumpuk. Aku tak mau udara di rumahku tercemari oleh pakaian kotormu," tandasnya sambil sedikit merapikan kemejanya. Penampilannya sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja.
"Iya … iya … cerewet sekali kau seperti wanita!" ketusnya.
***
"Aduh, aku terlambat!" keluhnya.
Sudah kali ketiga ia melirik arlojinya. Meski waktu belum genap di angka tujuh pagi, tapi jalanan sudah sangat ramai. Bunyi klakson kendaraan beroda empat saling bersahutan. Tak kalah nyaring dengan suara klakson kendaraan beroda dua.
"Haish … sekarang malah macet!" rutuknya frustasi.
Jalanan kota Bandung kini sudah sangat padat. Kemacetan lalu litas hampir menyaingi jalanan ibukota.
"Akhirnya sampai juga," cicitnya.
Ia memarkirkan kendaraan beroda empat itu di parkiran sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Bandung. Laki-laki itu lantas bergegas menuju lift. Setengah berlari ia mengejar lift yang hampir saja mau menutup.
"Huft! Untung saja masih sempat," desisnya.
Tak lama kemudian pintu lift pun terbuka. Ia langsung saja melangkah menuju meja kerja yang ada di ujung lorong itu. Dengan gesit ia mengumpulkan dokumen dan hal-hal yang ia perlukan untuk menghadap pada bos barunya itu.
Malam tadi, tuan Zico sudah mengabarinya melalui pesan singkat di ponselnya bahwa bos barunya itu sudah bisa masuk kantor. Karena itulah, malam --tadi setelah mendapat pesan dari tuan Zico, ia bergegas mempersiapkan segala halnya. Tanpa terasa waktu bergulir hingga pukul dua dini hari.
Tangannya hendak memegang tuas pintu seketika terhenti, ketika telinganya mendengar samar-samar suara melengking dari dalam ruanga.
"Haish … aku benar-benar bodoh," rutuknya.
Ia merutuki diri karena sudah sangat terlambat bekerja. Di dalam ruangan itu, bos barunya sudah datang dan mungkin siap-siap untuk memarahinya.
'Sebaiknya aku tunggu lima menit lagi, sampai suara di dalam mereda. Sepertinya bos sedang dalam sambungan telepon,' pikirnya.
Hingga menit ke lima belas, suara di dalam ruangan masih bergema. Dengan segala keberanian yang ia kumpulkan, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka perlahan pintu yang ada di hadapannya itu.
"Permisi … " ucapnya tertahan.
Ia sedikit terkejut. Ia tak menyangka kalau ternyata suara yang ia dengar samarsamar tadi adalah dari seorang gadis cantik.
"Apa?! Bulan depan?!" seru gadis itu.
Ia meliat gadis itu melakukan panggilan video dengan tuan Zico.
'Apakah bosbaruku adalah kekasih tuan Zico?' batinnya.
Semalam Zico hanya mengatakan padanya bawa yang akan menjadi bos barunya adalah seseorang yang sangat special bagi Zico.
"Kakak pasti mengerjaiku, 'kan?"
'Kakak? Apakah dia adalah adik dari tuan Zico? Sepertinya aku pernah melihat wajahnya. Wajahnya taka sing di ingatanku. Ah iya! Tentu saja aku ingat. Dia adalah gadis kecil yang ada d dalam foto di ruangan tuan Zico,' batinnya.
"Miss you more kakak … "
"Permisi nona, saya mau memberikan beberapa berkas yang diperintahkan tuan Zico untuk nona Yonaa," ujarnya mengawali pembicaraan setelah melihat gadis itu duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya.
"Ah, iya tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah melihat kamu. Di mana ya?" ujar gadis itu sambil memindai wajah tampannya.
Wajahnya langsung bersemu. Jantungnya seketika berdebar saat gadis itu mendekat. 'Haish ... kenapa kau malah berdebar sepert ini?' rutuknya dalam hati. Ia tak pernah merasa sangat malu ditatap oleh gadis manapun. Entah apa yang membuat wajanya bersemu kali ini.
"Ah, maaf nona. Ki-kita pernah bertemu di area toilet. Waktu itu ..." gagapnya.
"Ah iya! Aku ingat! Kau yang menabrakku, eh aku yang waktu itu menabrakmu," seru gadis itu.
"Benar nona. Maaf, aku yang tidak sengaja menabrak anda tempo hari," ujarnya sambil menundukkan kepala, sopan.
"Lalu, ada apa kau ke sini?" selidik gadis itu.
Dengan sigap ia menjawab, "ah, iya nona. Saya mengantarkan beberapa dokumen yang harus nona tandatangani. Lalu saya juga sudah membuatkan jadwal untuk nona Yonaa selam seminggu ini. Silakan diluhat terlebih dahulu."
Ia juga mengirimkan beberapa hal yang perlu diketahui oleh bos barunya itu melalui emailnya.
"Ah, kakak juga memberitahukan email dan nomor ponselku padamu rupanya," gumam gadis itu.
"Benar nona," jawabnya sambil mengangguk sopan.
"Ah, iya aku belum tahu namamu. Siapa namamu?"
Seketika ia mendongak.
"Nama saya Gibran Angkasa, nona."
"Ah, kau rupanya yang akan menemaniku dan membimbingku selama aku bekerja di sini. Kenalkan, aku Yonaa. Aku adik bungsu dari Zico," ujar Yonaa sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Gibran.
Sesuatu yang sangat tak biasa menurut Gibran, karena ia harus menjabat tangan bosnya. Terlebih lagi, ia sudah mendapat pesan tegas dari Zico agar menjaga jarak dengan Yonaa.
"Ah, maaf nona. Rasanya aku tak pantas enjabat tangan nona. Nona adaah atasan saya. Senang nisa bekerja dengan keluarga besar Jatmiko,' ujar Gibran sopan sambil membungkukkan badannya ke depan Yonaa.
"Haish … kau tak perlu sungkan jika kita sedang berdua saja. Baiklah … aku juga menghormati prinsip yang kau pegang. Ah, iya mohon bimbingannya," ujar Yonaa sambil menyunggingkan senyum manis.
Jantung Gibran kembali berdesir. rasanya ada yang menggelitik di bagian perutnya.
"Nona bisa mulai dengan mempelajari beberpa dokumen yang akan kita bawa saat bertemu klien besok," ujar Gibran.
Ia berusaha mengalihkan pikiran aneh yang tiba-tiba saja hinggap. 'Ayolah Gibran … dia adalah bosmu, kau tak layak untuk menyukainya. Seharusnya kau cukup bersyukur karena masih bekerja di perusahaan keluarga Jatmiko,' batinnya.
"Besok nona ada jadwal bertemu dengan klien di café Hijau pukul sebelas siang. Tapi sebelum itu, nona ada waktu satu jam untuk mempelajari dokumen. Ah iya, maaf sedikit catatan dari tuan Zico. Nona harus sarapan di rumah nyonya Carissa. Jadi, besok pagi pukul enam, saya akan menjemput nona ke aparemen," cicit Gibran lugas.
Gibran membeberkan jadwal esok hari untuk Yonaa. Ia juga membantu Yonaa menjelaskan beberapa proyek yang sebeumnya sudah dikerjakan Zico sebelum perpindahan abatan.
"Jam berapa ini? Aku lapar … " ujar Yonaa sambil melirik jam kecil yang ada di aas meja kerjanya.
"Nona mau saya pesankan makan siang di restaurant mana?" sahut Gibran tanpa dimintai tanya oleh Yonaa.
Tanpa terasa mereka bekerja sampai jam makan siangpun tiba.
"Aku mau … "