Sejak pagi buta, Yonaa bolak-balik ke kamar mandi karena gugup. Pasalnya hari ini adalah hari pertamanya masuk kantor. Tapi, bukan itu yang menjadikan Yonaa bolak balik ke kamar mandi karena gugup. Yonaa tak menyangka bahwa hari pertamanya ia masuk kerja, ia langsung dilimpahkan kepercayaan untuk menemui klien projek yang selama ini dikerjakan oleh kakaknya.
"Kakak, bagaimana aku bisa menemui klien itu. Aku sendiri tidak mengerjakan proyek itu dari awal. Itu 'kan proyek impian kakak," keluh Yonaa dari seberang telepon.
Malam tadi Yonaa mengeluh pada Zico perihal rencana Zico yang mendadak mengalihkan proyeknya untuk ditandatangai oleh Yonaa.
"Kau tenang saja. Kakak yakin kau bisa menanganinya. Bukankah saat di perkuliahan hal seperti itu adalah hal biasa untukmu, dear?"
Bola mata Yonaa mendadak mendelik. Sayangnya Zico tak mendapat melihat ekspresi Yonaa saat ini.
"Tentu saja, berbeda kakak. Saat perkuliahan skala kegagalan sangat minim. Lagipula jikapun aku gagal bernegosiasi, tentu yang akan merugi hanyalah aku karena nilai yang diberikan dosen padaku yang sangat di bawah standar kelulusan. Tapi ini … bagaimana aku bisa melakukannya saat hari pertamaku bekerja? Haish …" keluh Yonaa frustrasi.
Ia tak mengira, kakaknya menyikapi kegugupannya dengan sangat ringan. Ia malah menyamaratakan dengan situasinya saat Yonaa berhasil melakukan negosiasi saat perkuliahan. Karena kegemilangannya itu, Yonaa mendapatkan nilai sempurna dari dosennya. Tapi, jelas itu bukanlah hal yang bisa menjadi dasarnya menangani klien untuk perusahaannya. Apalagi, saat ia membaca sekilas file yang dikirim Zico melalui email, bahwa kliennya adalah termasuk golongan orang yang sangat detil dan sulit untuk mendapatkan celah kemenangan.
"Yonaa … kakak percaya pada kemampuanmu. Kau jangan terlalu risau. Gibran akan membimbingmu untuk beerapa langkah. Ah, iya Yonaa. Maaf, kakak tidak bisa berlama-lama telepon. Lima belas menit lagi kakak ada meeting dengan klien. Di tempatmu pasti sudah gelap. Kau sebaiknya tidur, agar besok tidak terlambat bangun."
Seketika Yonaa melirik jam dinding di kamarnya. Pukul sembilan malam. Tentu saja ia tak lupa bahwa saat ini, Zico berada di London. Di sana matahari masih bertengger di cakrawala, dan Zico masih berada di kantor mengurusi pekerjaan.
"Baiklah, kak. Kakak jaga kesehatan ya di sana. Jangan terlalu berlebihan dalam bekerja. Miss you … "
Yonaa menutup sambungan telepon setelah mendapatkan jawaban "miss you more" dari kakaknya.
"Permisi nona, apakah kita bisa berangkat sekarang?"
Yonaa tersentak seketika. Suara dari kursi di depannya menyadarkan dari lamunannya.
"Ah, iya pak. Kita langsung berangkat saja ke kantor," sahut Yonaa.
Sesaat tadi ia berpikir untuk mengubungi Zico terlebih dahulu, tapi kemudian ia ingat bahwa kakaknya itu pasti sedang tertidur pulas. Ia tak tega membangunkan kakaknya. Mungkin saja hari itu kakaknya terlalu lelah hingga tak mengabarinya sebelum tertidur pagi ini.
'Hmm … bagaimana aku bisa mengendalikan hari ini? Coba aku periksa ponselku. Ah, benar! ternyata ada pesan dari sekretaris kakak,' batin Yonaa sambil membuka layar ponselnya.
***
"Selamat pagi Nona Yonaa!"
Sapaan ramah sudah ia dapatkan sejak Yonaa keluar dari mobilnya. Saat ini ia ditemani resepsionis menuju ruangannya. Jantungnya berdebar sangat kencang.
Berbeda dari ruangan Zico. Zico menyiapkan ruangan khusus untuk Yonaa tepat di sebelah ruangan Zico. Zico tak ingin mengubah ruangannya meski ia sudah tidak menjabat sebagai CEO kantor pusat. Ia ingin semua barang-barang di ruangannya tidak bergeser sedikitpun. Karena permintaan ganjil itulah, akhirnya tuan besar Tora memerintahkan pegawai konstruksi untuk membuatkan satu ruangan tambahan di sebelah ruangan Zico. Ruangan itu yang nantinya akan digunakan oleh Yonaa.
Saat ditanya alasan Zico menyediakan ruangan khusus untuk Yonaa dan bukan ruangan miliknya yang terdahulu, Zico hanya bungkam. Tuan Tora tidak ambil pusing dengan permintaan Zico. Baginya, Zico pasti puya alasan yang logis dan baik jika sudah menyangkut segala hal tentang Yonaa.
"Silakan, Nona."
Yonaa terpana pertama kali saat resepsionis membukakan pintu ruangannya. Bagaimana tidak! Ruangan yang akan menjadi tempat kerjanya sangat bersih dan rapi. Belum lagi segala interiornya membuat dirinya merasa nyaman seperti apartemennya di Aussie dulu.
Tiba-tba saja ponselnya berdering.
"Ah, kakak!" serunya dan langsung menekan tombol jawab pada layar ponsel.
"Bagaimana? Kau suka dengan ruangan tempatmu bekerja?" tanya Zico dari seberang telepon.
"Suka kak! Aku suka sekali. Terima kasih. Rasanya saat ini aku ingin sekali memeluk kakak. Kakak kapan balik ke Indonesia?" seru Yonaa.
Zico melakukan sambungan telepon berupa video. Ia bisa dengan jelas wajah gembira dari adik kesayangannya itu.
Beruntung ruangan itu kedap udara, jika tidak, tentulah orang yang bekerja di luar ruangan akan mendengar pekikan Yonaa.
"Hahahaa … kakak baru satu hari di London, kau sudah menanyakan kapan kakak pulang ke Indonesia. Sudah kangen ya, sama kakak?" goda Zico.
"Tentu saja! Aku kangen kakak. Kemarin kita hanya bertemu beberapa jam saja," rajuk Yonaa sambil memasang wajah lesu.
"Kakak janji akan secepatnya pulang setelah proyek di London selesai. Mungkin bulan depan?" sahut Zico.
"Apa?! Bulan depan?"
Zico tertawa melihat ekspresi Yonaa yang tercengang.
"Kakak pasti mengerjaiku 'kan?" sungut Yonaa.
"Baiklah ... baiklah ... kakak akan kembali minggu depan. Kau jaga kesehatan ya. Oh ya, sepertinya Gibran sudah hadir sejak tadi," ujar Zico.
Yonaa sontak menoleh ke belakang. Seorang laki-laki tampan sudah berdiri sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
"Baiklah ... nanti malam kita sambung lagi. Sampai nanti malam ya, sayang. Miss you ... "
Zico menutup sambungan telepon.
"Permisi nona, saya mau memberikan beberapa berkas yang diperintahkan tuan Zico untuk nona Yonaa," ujar Gibran mengawali pembicaraan setelah melihat Yonaa duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya.
"Ah, iya tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah melihatmu. Tapi, di mana ya?" ujar Yonaa sambil memindai wajah Gibran.
Wajah Gibran langsung bersemu. Jantungnya berdegup kencang saat Yonaa mendekat. 'Haish ... kenapa kau malah berdebar sepert ini?' rutuk Gibran dalam hati
"Ah, maaf nona. Ki-kita pernah bertemu di area toilet. Waktu itu ..."
"Ah iya! Aku ingat! Kau yang menabrakku, eh aku yang waktu itu menabrakmu," seru Yonaa.
"Benar nona. Maaf, saya yang tidak sengaja menabrak anda," ujar Gibran sambil menundukkan kepala.
"Lalu, ada apa kau ke sini?" tanya Yonaa.
"Ah, iya nona. Saya mengantarkan beberapa dokumen yang harus nona tandatangani. Lalu saya juga sudah membuatkan jadwal untuk nona Yonaa selama seminggu ini. Silakan dilihat terlebih dahulu," ujar Gibran sambil memberikan beberapa dokumen. Ia juga mengirimkan beberapa hal yang perlu diketahui Yonaa melalui emailnya.
"Ah, kakak juga memberitahukan email dan nomor ponselku padamu rupanya," gumam Yonaa.
"Benar nona," jawab Gibran sambil mengangguk sopan.
"Ah, iya aku belum tahu namamu. Siapa namamu?"
"Nama saya ... "