Jika benar ini cinta ..

"Andai kaki ku tak terkilir saat itu"

"Andai ada orang lain disekitar ku saat saat itu"

"Andai malam itu aku tetap bergabung dalam pesta api unggun"

"Andai sejak awal aku tidak setuju mengikuti perkemahan itu"

Diandra menutup matanya seolah ia tenggelam dalam semua kegelapan yang menyelimuti setiap sudut kamarnya, terhanyut dalam alunan musik ballad yang memenuhi seluruh ruangan.

Ia berandai-andai, kembali larut dalam penyesalan atas apa yang sedang ia rasakan saat ini.

"Andai aku tak pernah mengenalmu"

Dadanya terasa sesak setiap mengingat nama Adrian. Semakin ia berusaha melupakan Adrian, hatinya semakin bergemuruh. Emosinya seakan terhenti tepat disudut hatinya. Tak mampu diungkapkan. Tak mampu pula untuk dihapuskan.

"Aku benci kamu, Diandra." bisiknya memaki diri sendiri.

~***~

Tokk..tokk..tokkkk

Seseorang mengetuk pintu kamar. Diandra sama sekali tak peduli. Ia tetap terdiam dan menutup matanya.

"Baiklah aku masuk." ucap wanita dibalik pintu.

"Sudah kuduga. Kau sedang melakukan hal tak berguna ini lagi dan lagi." lanjutnya.

Winda. Satu-satunya orang yang paham akan semua perasaan Diandra saat ini.

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Diandra pelan.

"Kau lupa sahabatmu ini tukang sulap?" sahut Winda.

"Win, aku sedang tak ingin bercanda." kata Diandra sambil tetap terpejam.

"Aku tahu. Yang ingin kau lakukan saat ini hanyalah menyalahkan dirimu atas semua yang terjadi, bukan?" Winda memandangi sahabatnya dengan tatapan tajam.

"Lalu aku harus bagaimana?" Diandra terbangun dari balik selimut.

"Hiduplah seperti wanita pada umumnya, jangan buat dirimu terlihat menyedihkan seperti ini." Winda menatap mata sahabatnya.

"Aku ingin dia, Win. Tapi aku tau itu tidak mungkin." kata Diandra lirih.

"Yes. Kau tahu itu tidak mungkin, kan? Lalu apa lagi yang kau renungkan? Perasaanmu? Kau cinta dia? Kalau ini benar cinta, kau tak akan merasakan sakit ini selamanya. Percayalah." Winda mengenggam erat tangan Diandra.

"Dee, ayo kita pergi, ke tempat yang menyenangkan, tersenyumlah, berbahagialah. Jangan larut dalam sesuatu yang sudah kau sadari tak mungkin terjadi." lanjutnya.

Diandra mengusap air matanya yang sedari tadi menetes tanpa ia sadari. Perkataan Winda ada benarnya. Diandra sadar, saat ini ia hanya membuang-buang waktu.

"Baiklah, ayo kita pergi. Mau kemana?" kata Diandra penuh semangat.

"Yuda mengajak kita ke kedai kopi di persimpangan dekat kampus." jawab Winda.

"Yuda? Dia menghubungimu?" tanya Diandra.

"Iya dia menghubungiku. Nomor mu tidak aktif. Dia sudah menghubungimu berkali-kali. Makanya aku langsung datang kesini. Aku tau kau pasti sedang bertapa dibalik selimut." gurau Winda.

Diandra tak merespon dan berjalan menuju lemari bajunya. Ia mengambil jeans favoritnya, blus putih dan cardigan berwarna salem. Flat wedges berwarna senada dengan cardigan menghiasi kaki jenjangnya. Ia menambahkan sedikit riasan pada wajahnya yang sedari tadi dibasahi air mata.

"Yuk, berangkat!" seru Diandra.

"Sudah siap tuan putri?" goda Winda.

"Tunggu sebentar, aku pesan taxi online." lanjut Winda.

Lima menit kemudian, taxi online sudah terparkir di depan rumah Diandra. Dua gadis itu berangkat menuju kedai kopi.

~***~

Sesampainya di kedai kopi, Yuda sudah duduk di table sudut dekat jendela, pria jangkung itu mengenakan sweater yang berwarna senada dengan cardigan Diandra.

"Loh, kalian janjian?" tanya Winda.

"Mana mungkin, Diandra bahkan tak bisa ku hubungi sekalipun sejak tadi pagi." jawab Yuda.

"Mau pesan apa?" lanjut Yuda.

"Aku seperti biasa saja." kata Diandra.

"Okay. Ice americano double shot dan sepotong kue red velvet." Yuda memastikan pesanan Diandra.

"Wow." Winda tercengang mendengar betapa fasih Yuda menyebut menu favorit Diandra.

"Aku Ice caramel latte." lanjut Winda.

"Okay." Yuda bergegas menuju meja pemesanan.

"Dee, dia boleh juga." bisik Winda pada Diandra.

"Apanya yang boleh?" Diandra menanggapi datar.

"Dia jelas menyukaimu, Dee!" seru Winda.

"Yaa.. aku tau. Lalu?" Diandra kembali menanggapi dengan wajah datar.

"Kau tak ingin membuka hati untuknya?" Winda kembali berbisik.

"Win, hatiku saat ini sedang bimbang, ada banyak hal didalam dadaku yang tak sanggup aku kendalikan. Aku tak ingin menjadikan Yuda sebagai pelarian semata. Dia teman baik ku." jelas Diandra.

"Baiklah." Winda menanggapi sambil tersenyum.

Ia tak ingin mendesak Diandra dengan masalah perasaannya saat ini.

"Pesanan tibaaa. Kalian membicarakan ku?" Yuda kembali ke meja dengan membawa dua gelas ice americano, satu gelas ice caramel latte dan sepotong kue red velvet.

"Sudah jelas tidak." jawab Diandra ketus.

"Thank you, da." lanjutnya sambil meneguk ice americano favoritnya.

"Weekend kalian ada acara kemana?" tanya Winda.

"Aku free." jawab Yuda dengan cepat. Ia memahami sinyal dari Winda.

"Ada yang mengajak ku makan malam." ucap Diandra.

Winda seketika menoleh kearah Diandra. Ia paham siapa orang yang dimaksud Diandra.

"Dia ingin membicarakan sesuatu." lanjut Diandra.

"Siapa?" Yuda pura-pura tidak tahu.

Ia memang tak pernah mau ikut campur dalam masalah perasaan Diandra pada Adrian. Yuda lebih memilih berdiam diri dan tetap ada di dekat Diandra.

"Biasalah. Siapa lagi." Winda menanggapi pertanyaan Yuda.

Yuda bersikap seolah tak mendengar tanggapan Winda.

"Hey, bukankah itu Nur dan Icha?!" seru Yuda.

Mereka bertiga kompak melempar pandangan keluar jendela. Nur dan Icha melambaikan tangan dari seberang jalan di depan kedai kopi.

Yuda memang sudah akrab dengan ketiga sahabat Diandra. Mereka sering bepergian bersama. Kecuali saat ke Bali tempo hari, Yuda berhalangan karena harus bekerja paruh waktu.

"Bagaimana mereka bisa sampai disini?" tanya Yuda heran.

"Aku yang memanggil mereka." ucap Winda.

Saat lampu penyebrangan sudah menyala hijau, Nur dan Icha segera berlari riang menuju kedai kopi.

"Es coklat, aku mau es coklat!!" seru Icha.

"Aku jus strawberry." kata Nur.

"Okay." seperti biasa Yuda segera beranjak ke meja pemesanan.

"Gimana? weekend nanti jadi kita ke taman hiburan?" celetuk Icha.

Winda mengerutkan keningnya dan melempar pandangan pada Icha.

Mereka memang sudah berencana mengajak Diandra ke taman hiburan akhir pekan nanti. Tetapi Winda belum sempat menceritakan rencananya pada Diandra, ia ingin membuatnya sebagai kejutan untuk ulang tahun Diandra.

"Eh, maksudku aku ingin pergi ke taman hiburan, sudah lama aku tidak kesana, ada yang mau menemani?" lanjut Icha memperburuk kesalahannya.

Namun Diandra hanya terdiam tak bergeming, matanya menyorot lurus ke jalanan, menghitung setiap langkah orang yang lewat di depan kedai kopi.

Ia sebetulnya paham apa maksud teman-temannya. Tapi ia terlanjur berjanji untuk makan malam bersama Adrian.

"Setelah dari sini kita nonton yuk." ajak Yuda yang sudah kembali ke meja membawa pesanan Nur dan Icha.

"Ayoo, ada film horor yang ingin ku tonton, tapi aku tak sanggup menontonnya sendirian." sahut Nur.

"Sudah jelas penakut, kenapa nonton film horor." ledek Winda.

"Ish." Nur cemberut sambil meminum jus strawberry.

~****~

"Aku mau duduk ditengah." Nur sibuk memilih tempat duduk saat memesan tiket bioskop.

"Biarkan dia di pinggir." Winda balas menggodanya.

"Ada yang mau popcorn." perhatian Icha beralih pada counter popcorn.

Tidak ada yang menanggapi perkataan Icha.

"Baiklah aku beli untuk diriku sendiri saja!" lanjut Icha dengan nada kesal.

Sementara itu Diandra menunggu di lorong bioskop. Ia sedang tak ingin mendengar kebisingan teman - temannya.

Dalam sepersekian detik, matanya tertuju pada sosok yang tak asing baginya.

Silvi. Wanita yang sudah dikencani Adrian selama sembilan tahun. Mereka memang tak saling mengenal, tetapi Diandra sering melihat foto Silvi yang di unggah pada sosial media Adrian.

Diandra mematung. Dalam pikirannya "apakah Adrian ada disini juga", "apa aku harus melihat mereka berdua berkencan di tempat ini?".

Yuda yang sedari tadi mengamati Diandra dari kejauhan juga menyadari ada yang aneh pada pandangan Diandra. Mata Yuda melirik kearah pandangan Diandra. Namun yang dilihatnya bukanlah Silvi. Tapi Adrian yang sedang mengantre di tempat pemesanan tiket.

"Dee, kita sudah dapat tiket. Ayo kita tunggu yang lain di dekat teater satu saja." Yuda bergegas menarik tangan Diandra menuju lorong teater satu sebelum ia melihat sosok Adrian.

Diandra hanya menurut dan mengikuti langkah Yuda.

Lima belas menit sebelum film diputar, Icha pamit pergi ke kamar kecil.

"Aku ikut, cha." ucap Diandra.

Yuda memasang wajah khawatir. Bila saja secara kebetulan Diandra bertemu dengan Adrian di perjalanan ke kamar kecil.

Dan benar saja. Dilorong sempit itu Diandra berpapasn dengan Silvi yang sedang menggandeng tangan Adrian. Hatinya kembali bergemuruh. Ditambah lagi Adrian hanya melawatinya seolah ia tak pernah mengenal Diandra.

"Dee, ayo cepat!" seru Icha.

Diandra hanya mematung di lorong sempit itu. Ia merasa semua kekuatan dalam tubuhnya seketika melemah saat itu.

~***~