4. Zhang Wei

8 tahun kemudian ....

Seorang bocah berusia 8 tahunan bersembunyi di belakang pohon besar. Sesekali kepalanya muncul untuk mengamati keramaian yang terjadi di sebuah bangun kayu sederhana, yang dikenal warga setempat sebagai rumah perpustakaan desa. Melihat keadaan rumah perpustakaan masih cukup ramai, bocah kecil itu menghela nafas pelan. Sepertinya kali ini dia masih belum bisa mengunjungi rumah perpustakaan tersebut.

"Zhang gege, apa yang kau lakukan di belakang pohon itu?"

Terkejut bocah laki-laki itu mendengar suara di belakangnya. Lekas dia berbalik dan menemukan seorang bocah perempuan cantik berusia satu tahun lebih muda darinya. Dia mengenal bocah perempuan itu.

"Chyou, kau ... membuatku kaget saja." Bocah itu mengelus dadanya pelan, menetralisirkan deru jantungnya yang masih kacau akibat terlalu kaget. Bocah itu pikir bibinya yang menegurnya.

"Zhang gege ...." Chyou mendekati bocah yang dia panggil Zhang. "Maafkan aku ... aku tidak berniat mengejutkan Zhang gege. Tadi aku melihat Zhang gege menatap rumah perpustakaan begitu serius. Jadi, aku menegur Zhang gege, sekaligus ingin tahu kenapa Zhang gege menatap rumah perpustakaan seperti itu," jelasnya dengan nada bersalah.

Zhang Wei—nama asli dari bocah laki-laki itu—menurunkan tangannya dari dadanya. Menatap Chyou dengan pandangan bersalah. "Tidak-tidak, jangan meminta maaf. Salahku bersikap mencurigakan." Lalu Zhang Wei terkekeh canggung sambil menggaruk kepalanya.

"Zhang gege, kenapa tidak masuk ke rumah perpustakaan saja? Dari pada memandangnya dari jauh. Aku sering memperhatikan Zhang gege menatap rumah perpustakaan, tapi tidak pernah masuk. Apakah ada masalah, Zhang gege?" tanya Chyou dengan raut wajah keheranan. Heran melihat sikap Zhang Wei selama satu bulan ini, terus memperhatikan rumah perpustakaan dari kejauhan, tapi tidak pernah berinisiatif untuk masuk ke dalam.

Zhang Wei tersentak mendapat pertanyaan dari Chyou, tidak dia sangka Chyou memperhatikannya selama satu bulan ini. Memang benar, selama ini Zhang Wei terus mengamati rumah perpustakaan dari jauh dan tidak pernah berinisiatif untuk masuk. Semua karena dia takut ketahuan oleh bibinya. Bibi Xia melarang Zhang Wei mengunjungi rumah perpustakaan dengan alasan yang kurang masuk akal. Hanya karena bibi Xia tidak ingin Zhang Wei menjadi seorang kultivator atau pendekar.

Padahal belum tentu juga Zhang Wei masuk ke rumah perpustakaan untuk membaca buku pelatihan kultivator. Namun, seakan tahu apa yang Zhang Wei pikirkan, bibi Xia menekan larangan itu begitu tegas.

'Bibi tidak akan mengizinkanmu menjadi Kultivator!'

Begitulah kata bibi Xia, dan perkataannya itu masih sangat membekas di kepala Zhang Wei. Zhang Wei selalu menanyakan alasan kenapa bibi Xia melarangnya menjadi seorang kultivator, tapi bibi Xia tidak pernah menjelaskan secara rinci. Dia hanya mengatakan, 'Tidak ada hebatnya menjadi Kultivator!'.

"Rupanya kau mengetahuinya, hehehe ...." Zhang Wei hanya bisa terkekeh canggung. Tidak berniat mengatakan alasannya memperhatikan rumah perpustakaan pada Chyou.

"Zhang gege, apa kau ingin masuk ke rumah perpustakaan?" Chyou menatap rumah perpustakaan, lalu kembali pada Zhang Wei, menunggu jawaban dari bocah laki-laki itu.

Zhang Wei diam, bukannya dia tidak memiliki jawaban, tapi karena bingung harus menjawab apa. Sebenarnya Zhang Wei ingin sekali mengatakan 'ya', dia ingin sekali masuk ke dalam rumah perpustakaan, justru itulah yang dia harapkan selama ini. Namun, di sisi lain, Zhang Wei tidak bisa melanggar larangan bibi Xia. Zhang Wei tidak ingin menjadi anak yang pembangkang.

'Apa yang harus aku katakan?' Zhang Wei menatap Chyou gusar. Ragu memberi jawaban apa karena hatinya ingin sekali mengatakan 'ya', tapi larangan bibi Xia tidak bisa dia abaikan.

Melihat Zhang Wei diam, Chyou tahu Zhang Wei bingung mau menjawab apa. Chyou tahu masalah apa yang terjadi pada Zhang Wei karena Chyou pernah mendengar perdebatan antara Zhang Wei dan bibi Xia tanpa sengaja.

"Zhang gege, temani aku masuk, ya? Kebetulan aku ingin mengunjungi perpustakaan." Chyou langsung menarik tangan Zhang Wei, membawa Zhang Wei berlari menuju rumah perpustakaan.

"Ta-tapi aku ...." Zhang Wei yang belum siap tersentak kaget. Zhang Wei berniat menghentikan Chyou. Namun, tidak jadi mengingat hal ini lah yang dia inginkan, masuk ke dalam rumah perpustakaan lalu mempelajari buku pelatihan, tapi ... lagi-lagi ucapan bibi Xia menggema di kepalanya. Sudah seperti alarm yang sengaja dipasang untuk memperingatinya.

"Tidak bisa, aku tidak bisa." Zhang Wei menghentikan Chyou. Padahal sedikit lagi mereka berdua akan masuk ke dalam rumah perpustakaan.

Zhang Wei melepaskan tangan Chyou, lalu berbalik dan berlari meninggalkan Chyou. Chyou yang tidak sempat menahan Zhang Wei hanya bisa berteriak, memanggilnya untuk berhenti.

"Zhang gege! Zhang gege ...!" Meski pun Chyou sudah berteriak berulang kali, Zhang Wei tidak mau mendengarkan panggilannya, dia tetap berlari tanpa henti meninggalkan Chyou.

"Zhang gege ...!" Chyou terenyak, menatap Zhang Wei iba. Dia mengerti kenapa Zhang Wei bersikap seperti itu. Semua karena Zhang Wei sangat mematuhi ucapan bibi Xia. Karena hanya bibi Xia lah yang Zhang Wei punya. Zhang Wei tidak ingin mengecewakan bibi Xia dan ingin menjadi keponakan yang berbakti kepada bibinya.

***

Matahari hampir sepenuhnya terbenam. Langit-langit merah yang terjadi akibat bias matahari sore terlihat sedikit menyeramkan dari biasanya, pasalnya warna jingga yang harusnya tampil indah justru menampilkan warna merah darah. Sehingga langit tampak seperti lautan darah. Fenomena ini memang hanya lah siklus alam yang biasanya terjadi di waktu tertentu. Namun, untuk warga desa Suling Bambu, mereka menganggap langit merah sebagai pertanda kurang baik.

Zhang Wei melepas topi camping dari kepalanya, lalu meletakkan topi yang terbuat dari rotan itu ke kursi panjang yang ada di dekatnya. Selepas itu, Zhang Wei melepas sepatu yang dia kenakan. Kemudian masuk ke dalam rumah sambil membawa sekeranjang ikan hasil tangkapannya hari ini.

"Sini, biar Bibi yang bawa ke dapur. Kamu segera lah mandi lalu makan." Bibi Xia tiba-tiba muncul, mengambil keranjang ikan dari Zhang Wei kemudian berlalu begitu saja setelah menyampaikan beberapa kalimat.

Sejenak Zhang Wei mengamati bibi Xia, yang tiba-tiba mengingatkannya pada kejadian tadi siang, di mana Zhang Wei hampir melanggar larangan bibi Xia. Menampik kejadian siang tadi, Zhang Wei segera menuju kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang kotor karena lumpur.

Tidak butuh waktu lama untuk Zhang Wei berkemas diri, selepas mandi lalu mengenakan pakaian seadanya, dia langsung menuju meja makan sesuai perintah bibi Xia tadi. Sebenarnya Zhang Wei sudah terlalu lelah dan dia ingin sekali segera tidur, tapi mengingat bibinya yang lumayan pemarah dan cerewet jika Zhang Wei tidak makan dulu sebelum tidur, Zhang Wei bisa kena ceramah panjang lebar.

Zhang Wei duduk di depan meja kayu yang panjang dan lebarnya tidak seberapa, bahkan bisa dihitung dengan beberapa jengkal. Zhang Wei mengamati lauk yang ada di meja, hanya ada ubi dan dua ekor ikan bakar hasil tangkapan Zhang Wei sore tadi. Tidak ada yang spesial, Zhang Wei dan bibi Xia bukan orang berada, rumah mereka bahkan pemberian dari keluarga Xun, Lian Xun, ayah Chyou.

Tak.

Bibi Xia meletakkan sepiring kue beras di meja. Zhang Wei mengenal kue beras itu, pasti pemberian Chyou, karena bukan hal mengejutkan lagi kue beras selalu ada di meja makan. Chyou memang sering memberikan beberapa kue beras pada Zhang Wei dan bibi Xia.

Selepas semuanya sudah siap, bibi Xia dan Zhang Wei pun mulai melahap makanan yang ada di meja. Tanpa suara atau tanpa perbincangan. Sudah menjadi kebiasaan mereka berdua makan dalam keadaan senyap.

"Zhang'er, Bibi dengar kamu mendatangi rumah perpustakaan." Bibi Xia sudah selesai makan lebih awal. Sengaja dia lakukan agar bisa membahas tentang hal ini. Bibi Xia menghela nafas. "Bukankah sudah Bibi katakan untuk tidak datang ke sana?"

Tangan Zhang Wei berhenti bergerak, ditaruhnya kembali kue beras yang baru saja ingin dia makan. Zhang Wei beralih menatap bibi Xia. "Kenapa?" Hanya satu pertanyaan itu yang Zhang Wei ajukan dengan pandangan begitu bertanya-tanya.

"Kenapa? Bukankah Bibi sudah mengatakan Bibi tidak setuju jika kamu menjadi Kultivator." Bibi Xia balik menatap serius.

"Pertanyaanku kenapa Bibi tidak mengizinkanku menjadi Kultivator? Jangan katakan menjadi Kultivator itu tidak hebat. Aku tidak ingin mendengar jawaban itu, aku ingin mendengar alasan yang lebih masuk akal, Bibi!" balas Zhang Wei sedikit membentak. Lantas membuat bibi Xia terkejut. Tidak dia sangka Zhang Wei berani membentaknya hanya karena pertanyaan itu.

"Zhang Wei!" Bibi Xia balas membentak. Zhang Wei membuang wajahnya kasar. "Jika Bibi bilang tidak, maka tidak! Jangan sesekali kamu melanggar larangan Bibimu ini. Bibi melakukannya karena Bibi ...."

"Karena apa Bibi?" Zhang Wei berseru keras. Bibi Xia bungkam sambil membuang pandangan, tidak ingin melanjutkan ucapannya.

"Lagi-lagi begini ...." Zhang Wei terkekeh, entah menertawai apa. "Jika saja Bibi mau memberitahukan alasannya, aku mungkin akan mendengarkan larangan Bibi ... tapi Bibi bahkan tidak mau memberitahukan padaku. Bagaimana mungkin aku bisa mendengarkan larangan Bibi?" Zhang Wei berdiri, membuat bibi Xia segera menatapnya.

"Bibi egois! Bibi tidak pernah mempertanyakan apa yang aku inginkan dan tidak aku inginkan!" Lanjut Zhang Wei lagi, sebelum akhirnya dia berlari keluar meninggalkan rumah.

Bibi Xia segera mengejar Zhang Wei, tapi terhenti ketika kakinya tanpa sengaja menginjak kayu tajam yang terpaksa membuatnya harus berhenti berlari. Bibi Xia meringis pelan sembari menatap kepergian Zhang Wei yang semakin jauh.

"Zhang'er! Zhang'er! Dengarkan Bibi dulu!"

Sementara di saat yang bersamaan, Zhang Wei masih berlari meninggalkan rumah, memasuki hutan dengan perasaan marah. Dia marah karena bibi Xia tidak pernah mau menjelaskan alasan sebenarnya bibi Xia melarangnya menjadi Kultivator. Padahal semua anak-anak di desa Suling Bambu berbondong-bondong ingin menjadi Kultivator hebat. Bahkan orang tua mereka sampai rela mengirim anak mereka ke perguruan yang ada di kota.

"Xun ...!" Kesal tidak bisa mendapat jawaban, Zhang Wei berteriak memanggil nama seseorang. Lantas tiba-tiba saja muncul seekor harimau putih yang melompat dari balik semak-semak.

Zhang Wei yang mengenal harimau putih itu pun segera melompat ke punggung harimau tersebut.

"Bawa aku pergi, Xun! Bawa aku pergi sejauh mungkin," ucap Zhang Wei pada harimau putih yang dia tunggangi. Seolah mengerti dengan ucapan Xun, harimau itu memacu kakinya berlari memasuki hutan.