5. Goresan Luka bakar

Xun, harimau putih yang ditunggangi Zhang Wei masih terus berlari membela hutan, sesuai dengan perintah sebelumnya, dia akan membawa Zhang Wei pergi jauh dari pedesaan.

Sementara itu, Zhang Wei masih bungkam sejak Xun membawanya pergi. Dia masih memikirkan masalahnya dengan bibi Xia. Jujur saja, Zhang Wei merasa sangat kurang nyaman telah membentak bibi Xia tadi, karena ini baru pertama kalinya Zhang Wei bersikap demikian, tapi di sisi lain Zhang Wei juga tidak bisa melupakan keinginannya menjadi kultivator yang hebat. Semakin dia berusaha melupakan, semakin besar perasaannya ingin menjadi kultivator.

Maka dari itu Zhang Wei memilih pergi dari rumah, dia ingin menenangkan dirinya sendiri, dari pada kejadian seperti tadi kembali terjadi. Zhang Wei tidak ingin membentak bibi Xia lagi, karena mau bagaimanapun, bibi Xia lah yang merawat Zhang Wei selama ini, tanpa bibi Xia, Zhang Wei bisa saja tidak akan merasakan hangatnya keluarga.

"Aarrgg ...!" Zhang Wei tiba-tiba berteriak sangat keras, cukup mengejutkan beberapa penghuni lain yang kebetulan ada di sekitar, termasuk Xun. Xun bahkan sampai berhenti berlari karena terkejut, hingga membuat Zhang Wei tersentak dan sadar jika teriakkannya tadi telah mengejutkan harimau putih peliharaannya.

"Apa kau terkejut? Maaf." Zhang Wei lekas mengusap kepala Xun, agar harimau putih itu kembali tenang. Zhang Wei tidak menyangka jika teriakkannya tadi akan mengejutkan Xun. "Maaf telah mengejutkanmu, Xun," ucap Zhang Wei lagi. Setelah berhasil membuat Xun tenang, Zhang Wei turun dari punggung Xun. Kemudian duduk dan bersandar pada Xun.

Xun yang seolah mengerti apa yang terjadi pada perasaan Zhang Wei segera duduk, membiarkan Zhang Wei bersandar pada tubuhnya, merasakan hangatnya bulu-bulu lembut itu.

"Aku hanya tidak mengerti kenapa bibi melarangku menjadi Kultivator. Apa yang salah?" Zhang Wei bertanya pada dirinya sendiri. Masih penasaran apa alasan bibi Xia hingga beliau tidak setuju jika Zhang Wei menjadi kultivator. Jika hanya karena menjadi kultivator bukan lah hal yang hebat, Zhang Wei tidak akan percaya pada alasan itu.

'Pasti ada alasan, tapi apa?'

Xun bersuara kecil, seolah menjawab pertanyaan Zhang Wei. "Raauu, raauu ...."

"Hem? Begitukah?" Zhang Wei yang tampaknya mengerti arti ucapan Xun mengernyit sambil menatap Xun penuh tanda tanya.

"Raauu, rauuu." Xun menjawab lagi sambil mengangguk pelan.

Zhang Wei terdiam, memikirkan ucapan Xun barusan. "Tapi aku sangat ingin menjadi Kultivator. Itu sudah menjadi impianku terbesarku sejak orang-orang itu menghina bibi, mengatakan bibi bukanlah wanita yang baik. Bahkan mereka mengatakan aku anak haram. Perkataan mereka sungguh membuatku kesal, membuatku marah ... aku, aku ingin sekali membalas perkataan mereka, Xun." Zhang Wei menggeram, tangannya mengepal kuat. Dia sungguh tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang pernah menjelekkan bibi Xia. Itulah alasan kuat kenapa Zhang Wei begitu keras ingin menjadi kultivator, karena dia ingin melindungi bibi Xia dari orang-orang jahat.

"Tapi ...." Kepalan Zhang Wei mulai melemah. Dia kembali teringat pada bibinya. Senyuman lemah, hangat, dan menenangkan itu, Zhang Wei tidak tega jika harus membuat senyuman itu memudar hanya untuk keegoisannya sendiri. "Aku tidak mungkin mengecewakan bibi."

Pada akhirnya, semua akan tetap sama, Zhang Wei tidak ingin mengecewakan bibi Xia dan dia harus mengubur dalam-dalam mimpinya menjadi kultivator yang hebat.

Zhang Wei tiba-tiba beranjak, Xun pun mengikutinya. Namun, Zhang Wei langsung mencegatnya.

"Kau tunggu saja di sini, Xun. Aku ingin sendiri dulu," ucap Zhang Wei. Xun menatap Zhang Wei lekat, seakan menolak perintah Zhang Wei barusan.

"Tenang saja, aku tidak akan pergi jauh. Jadi tunggulah di sini." Zhang Wei berbalik, kemudian berjalan meninggalkan Xun. Sesekali Zhang Wei berbalik sambil memaparkan tersenyum, seolah memberi isyarat pada Xun bahwa dia akan baik-baik saja.

"Rraauu ...." Xun meraung pelan, menatap kepergian Zhang Wei yang semakin jauh, sampai akhirnya Zhang Wei hilang tertelan rimbunan pohon dan gelapnya hari yang hampir malam.

***

Hari semakin gelap, bulan dan bintang sudah bermunculan, menjalankan tugas mereka sebagai mana tugas mereka pada alam. Di bawah penerangan bulan dan bintang, Zhang Wei berjalan lemah tak tentu arah, dia hanya mengikuti ke mana kakinya melangkah. Sementara pikirannya melayang-layang entah ke mana.

Zhang Wei masih memikirkan tentang keinginannya menjadi kultivator. Jujur saja, Zhang Wei masih belum bisa menimbun dalam-dalam mimpinya itu. Justru semakin dia berusaha melupakannya, semakin kuat keinginannya menjadi kultivator. Ada yang aneh terhadap perasaannya, entah kenapa Zhang Wei tidak bisa melupakan keinginannya menjadi kultivator.

"Oh, astaga ... kenapa begitu menyiksa? Kenapa aku tidak bisa melawan keinginan ini? Kenapa?!" Zhang Wei menendang rumput yang ada di depannya kesal.

"Andai saja ada pilihan lain? Apa boleh aku memilihnya?" Zhang Wei menengadah, menatap langit gelap yang dihamburi banyak bintang, terlihat indah dan menenangkan.

Kesal tidak bisa menemukan jawaban, Zhang Wei menghempas bongkongnya ke rumput, kemudian berbaring dengan ke dua tangannya menjadi bantal. Zhang Wei menatap langit, mengamatinya dengan lamat.

"Apa di sana ada kehidupan?" Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang hal aneh. Zhang Wei berpikir, apakah di tempat bintang dan bulan ada kehidupan lain? Kehidupan seperti yang ada di tempatnya.

"Apa di sana juga Kaisar? Putri? Rakyat? Dan Kultivator?" tanya Zhang Wei lagi.

Hening.

Kerlap-kerlip hijau mulai berhamburan, semua orang mengenalnya sebagai kunang-kunang. Hewan indah itu mulai menerangi hamparan padang rumput, menyinari ruang gelap yang tidak terkena cahaya bulan, meski penerangan yang diberikan tidak seberapa.

Zhang Wei menghela nafas. Kemudian beranjak bangun, berniat pulang kembali ke rumah sebelum bibi Xia menyusulnya ke hutan karena khawatir. Lagi pula Zhang Wei tidak bisa menemukan jawaban apa pun di sini, mungkin ada baiknya dia mendengar kata bibi Xia saja. Melupakan mimpinya menjadi Kultivator.

Namun, baru saja Zhang Wei berdiri, tiba-tiba saja dadanya terasa sakit. Zhang Wei terdiam sejenak sambil memegang dadanya.

Deg! Deg! Deg!

"A-akh ... a-apa, apa yang terjadi? Kenapa dadaku terasa panas dan sakit?" Zhang Wei semakin menguatkan genggamannya. Rasa sakit di dadanya semakin kuat dan semakin panas, hingga membuat Zhang Wei tersungkur dan berteriak kesakitan.

"Aaarrgg ...! Sakit! Sakit!"

Zhang Wei semakin meringkuk kesakitan sambil meremas dadanya yang semakin terasa sakit. Setiap kali jantungnya berdetak, maka semakin kuat rasa sakit itu kembali menyerang.

Zhang Wei berguling, meringkuk, menjerit, tidak kuasa menahan rasa sakit yang terus menyerang. Seolah Zhang Wei mendapat tusukan pedang dan pukulan benda keras secara bersamaan.

"Aaarrrggg ...!" Tidak kuasa menahan panas dan sakit yang menyerang secara bersamaan, Zhang Wei segera membuka bajunya, lalu melemparnya ke sembarang tempat.

Tepat setelah badan kecil Zhang Wei tersentuh dinginnya udara malam, tampaklah tanda luka bakar yang ada di punggungnya. Segaris luka besar yang membentuk garis tato. Luka itu terus bergerak, mengais kulit Zhang Wei secara perlahan, lantas setiap detiknya membuat Zhang Wei menjerit kesakitan.

"Aaarrrggg ...!"

Semakin lama, sakit itu semakin menggila, membuat Zhang Wei menjerit keras seperti orang gila. Di tengah luasnya padang rumput, suasana terasa sedikit mencekam akibat teriakkan Zhang Wei yang tiada henti. Bahkan kunang-kunang pun harus bersembunyi karena teriakkan Zhang Wei terdengar begitu mengerikan.

Dari pinggiran hutan, tampak beberapa siluman hewan buas bermunculan, menatap Zhang Wei dengan pandangan sulit diartikan. Intinya pada satu titik mereka semua penasaran dengan apa yang terjadi pada bocah malang di tengah padang rumput.

Blush!

Tiba-tiba saja cahaya warna biru meluncur ke atas, cahaya itu keluar dari luka bakar yang rupanya sudah berhasil digaris rapi. Membuat sebuah gambar sisik dan beberapa garis dengan warna biru sedikit pudar yang hampir memenuhi seluruh punggung Zhang Wei. Adapun satu gambar kecil di belakang leher Zhang Wei membentuk lingkaran, tapi di ujung lingkaran terdapat gambar kepala yang menyerupai kepala naga.

Zhang Wei masih menggeliat seperti cacing yang tersiksa akibat terkena air garam. Di atas rumput hijau, dia menggeliat sambil berteriak menahan sakit. Meski gambar bakar di belakangnya telah selesai tergambarkan, tapi rasa sakit itu masih terus menyerang, apalagi rasa sakit itu mulai terasa di satu titik, tepat di jantung Zhang Wei.

Deg! Deg! Deg!

Dan setiap kali jantungnya berdetak, maka setiap itu juga rasa menyakitkan itu terasa.

Zhang Wei yang lemah tak berdaya akibat rasa sakit itu tidak lagi mampu bergerak banyak, selain memejamkan matanya sambil meremas dadanya sendiri, menahan rasa sakit dalam diam, dia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berteriak. Dan perlahan pandangan Zhang Wei mulai memudar, semakin memudar, dan semakin memudar, hingga akhirnya netra hitam miliknya tertutup. Zhang Wei kehilangan kesadaran. Namun, sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran, Zhang Wei sempat melihat seekor hewan putih berlari begitu cepat ke arahnya, yang tidak lain adalah Xun.